• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka

Konsep Wisata

Wisata atau pariwisata merupakan “an agent of cultural changes” yang dapat mempengaruhi perjalanan orang-orang, acra berpikir masyarakat yang dikunjungi, tata cara dan adat istiadat penduduk yang dikunjungi serta upacara-upacara keagamaan. Dengan berkembangnya kepariwisataan, orang-orang bebas bergerak dari suatu tempat ke tempat, dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain yang sama sekali berbeda adat dan kebiasaannya (Windiyarti, Gusman, Da Costa 1993).

Windiyarti, Gusman, Da Costa (1993) menyatakan bahwa dalam dunia pariwisata, tidak hanya menjaring wisatawan mancanegara saja, tetapi juga wisatawan nusantara. Hal ini tentunya akan memberikan dampak/pengaruh yang positif maupun negatif. Adapun manfaat dan keuntungan dari pengembangan kepariwisataan, diantaranya adalah :

1. Makin luasnya kesempatan usaha 2. Makin luasnya lapangan kerja

3. Meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemerintah 4. Mendorong pelestarian budaya dan peninggalan sejarah 5. Mendorong terpeliharanya lingkungan hidup

6. Terpeliharanya keamanan dan ketertiban

7. Mendorong peningkatan dan pertumbuhan di bidang pembangunan sektor lain

8. Memperluas wawasan nusantara, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta menumbuhkan rasa cinta tanah air.

Ada beberapa hal yang harus diwaspadai dalam mengembangkan kepariwisataan selain hal yang menguntungkan, , yaitu :

1. Harga di daerah tujuan pariwisata menjadi semakin tinggi 2. Terjadi pencemaran lingkungan alam dan lingkungan hidup 3. Terjadi sifat ikut-ikutan oleh masyarakat setempat

4. Tumbuhnya sikap mental materialistis 5. Tumbuhnya pedagang asongan

6. Tumbuhnya sikap meniru wisatawan 7. Meningkatnya tindak pidana.

Kesesuaian Wisata

Analisis kesesuaian wisata adalah analisis kegiatan wisata yang telah diadakan atau akan dikembangkan di suatu kawasan dengan menyesuaikan antara peruntukannya dengan potensi sumberdaya yang dimiliki. Kesesuaian wisata di Situ Gede dianalisis pada setiap kegiatan yang dikembangkan di kawasan wisata air Situ Gede. Analisis kesesuaian wisata ditentukan berdasarkan perhitungan indeks kesesuaian wisata (IKW) yang memiliki persamaan sebagai berikut (Yulianda 2007 dalam Sari 2009):

IKW = ∑

Keterangan :

IKW : indeks kesesuaian wisata Ni : nilai parameter ke-i

Nmaks : nilai maksimum dari suatu kategori wisata

Nilai parameter ke-i (Ni) merupakan hasil perkalian antara bobot dan skor lokasi penelitian dari suatu parameter. Nilai maksimum dari suatu kategori wisata (Nmaks)

merupakan hasil perkalian antara bobot dan skor maksimum dari suatu parameter. Parameter, bobot dan skor yang dimaksud dapat dilihat pada matriks kesesuaian. Matriks kesesuaian wisata yang digunakan berdasarkan matriks kesesuaian menurut Yulianda (2007) dalam Sari (2009) yang telah dimodifikasi. Matriks ini dibuat berdasarkan hasil studi pustaka dan subjektivitas dari ahli dalam bidangnya. Matriks kesesuaian untuk setiap kegiatan wisata yang akan dikembangkan di Situ Gede dapat dilihat pada lampiran 1.

Daya Dukung Kawasan

Analisis daya dukung kawasan di kawasan wisata air Situ Gede dilakukan agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Metode yang digunakan untuk analisis daya dukung yaitu dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Daya dukung kawasan yang digunakan untuk masing-masing kegiatan wisata dapat dihitung dengan persamaan (Yulianda 2007 dalam Sari 2009):

DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp Keterangan :

DDK : daya dukung kawasan (orang/hari)

K : potensi ekologis pengunjung per satuan unit area (orang) Lp : luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan (m2/m) Lt : unit area untuk kategori tertentu (m2/m)

Wt : waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (jam/hari)

Wp : waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu (jam) Daya dukung kawasan (DDK) untuk kawasan wisata air Situ Gede adalah jumlah maksimum wisatawan yang secara fisik dapat ditampung di setiap lokasi sesuai peruntukannya dalam satu hari agar tidak menimbulkan kerusakan alam dan wisatawan dapat bergerak bebas serta tidak merasa terganggu oleh keberadaan wisatawan lain di lokasi tersebut. Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area (K) adalah jumlah wisatawan maksimum yang dapat ditampung oleh suatu sarana atau lokasi dalam waktu yang bersamaan. Kondisi sarana atau lokasi yang digunakan harus dalam kondisi baik (layak pakai) sehingga masih dapat menampung wisatawan sesuai dengan nilai K yang telah ditetapkan. Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan (Lp) adalah luas atau panjang suatu area yang telah disediakan oleh pengelola agar wisatawan dapat melakukan kegaitan wisata yang telah ditetapkan di area tersebut. Unit area untuk kategori tertentu (Lt) adalah luas atau panjang suatu area yang dibutuhkan wisatawan agar dapat bergerak bebas melakukan kegiatan wisata yang ditetapkan di area tersebut dan tidak merasa terganggu oleh keberadaan wisatawan lain. Waktu yang disediakan

oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (Wt) merupakan lamanya waktu kawasan wisata air Situ Gede dibuka dalam satu hari yaitu sekitar 8 jam (jam 08.00- 16.00). Waktu yang dihabiskan oleh wisatawan untuk melakukan satu jenis kegiatan (Wp) berbeda-beda tergantung kepada jenis tujuan wisata.

Suprianto et al. (2005) dalam Damanik dan Weber (2006) menyebutkan potensi wisata ada dua, yaitu: pertama, potensi sumberdaya alam, yang memberikan peluang yang sangat besar dalam memasyarakatkan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia di tingkat lokal serta mempromosikannya di tingkat internasional dan regional.

Kedua, potensi pasar yang seiring bergesernya trend pasar wisatawan dunia “back to nature” berkembang pesat, yang berpeluang meningkatkan perekonomian ataupun

tingkat pendapatan masyarakat.

Konsep Situ

Suryadiputra (1999) dalam Rosnila (2004), sebagaimana dikutip oleh Wardhani (2010) mendefinisikan situ sebagai, karena kondisi topografi yang memungkinkan terperangkapnya sejumlah air ataupun buatan manusia (artificial) yang merupakan sumber baku bagi berbagai kepentingan kehidupan manusia. Sumber air yang ditampung pada umumnya berasal dari air hujan, sungai atau saluran pembuang dan mata air.

Krisis Ekologi

Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi, dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain. Dharmawan (2007) menyebutkan bahwa manusia meminta materi, energi, dan informasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup (pangan, sandang, dan papan). Sementara alam lebih banyak mendapatkan energi, materi, dan informasi dari manusia dalam bentuk waste and pollutant yang lebih banyak mendatangkan kerugian bagi penghuni bumi. Oleh karena itu, pertukaran tersebut mengalami ketidakseimbangan akibat ketidaksesuaian hubungan timbal balik antara manusia dengan alam. Manusia memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara alam memperoleh kerugian dari pemanfaatan tersebut karena mengalami eksplooitasi, sehingga akhirnya akan menimbulkan krisis ekologi.

Krisis ekologi dapat dilihat dari degradasi lingkungan, kualitas air, dan debit air, yang biasanya terjadi karena tingkat pengelolaan dan tingkat pemanfaatan suatu daerah wisata yang rendah. Hal ini bisa juga disebabkan pengeksploitasian daerah wisata yang berdampak negatif. Kondisi krisis ekologi ini kemudian mempengaruhi keberlanjutan wisata dalam suatu wilayah. Sebagai suatu sumberdaya, situ adalah sumberdaya yang penting dalam kehidupan manusia, yang pada umumnya masih menganggap lingkungan hidup sebagai barang bebas (free goods) dan milik umum, sehingga situ mudah sekali mengalami perubahan dalam kualitas dan kuantitasnya sebagai akibat ketidakjelasan hak-hak atas pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal ini mengakibatkan tidak terkendalinya pemanfaatan dan tanggung jawab yang jelas atas kualitas dan prospek situ, maka terjadi pengeksploitasian situ yang berdampak negatif pada keberlanjutannya. Keberlanjutan fungsi situ mutlak dipertahankan untuk kepentingan generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Upaya ini dimaksudkan untuk mewariskan kekayaan alam dan sumberdaya hayati kepada semua generasi (Sari 2009).

Akar penyebab adanya krisis ekologi secara garis besarnya adalah: populasi penduduk yang terus meningkat, teknologi produksi dan teknologi jasa yang menjadi pemicu kerusakan dan pencemaran lingkungan, kemiskinan, gaya hidup makmur, pudarnya kearifan lokal, kegagalan pasar, tidak ada mekanisme pasar, dan kegagalan kebijkan pembangunan. Jenis krisis ekologi secara garis besar diantaranya adalah kerusakan sumberdaya alam (banjir, longsor, degradasi hutan, deforestasi), pencemaran lingkungan (pencemaran air, udara, kebisingan), degradasi keanekaragaman hayati (kepunahan spesies, perubahan menjadi monokultur, kelangkaan plasma nutfah, dan meluasnya tanaman transgenik), dan perubahan lingkungan global (pemanasan bumi dan perubahan iklim; perluasan gurun; keanekaragaman hayati)3.

Degradasi Lingkungan

Menurut Dharmawan (2007) sistem sosial suatu masyarakat akan menghadapi tiga aspek terpenting kerusakan lingkungan dari perspektif ekologi politik, yaitu: 1) marjinalitas atau peminggiran secara sosial-ekologi suatu kelompok masyarakat; 2) kerentanan secara sosial ekonomi-ekologi dan fisik akibat berlangsungnya kehancuran secara terus menerus; dan 3) kehidupan yang penuh dengan resiko kehancuran tahap lanjut.

Dalam skripsinya Lestari (2011) degradasi lingkungan adalah kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana, seperti banjir, longsor, dan kebisingan. Degradasi lingkungan juga bisa dilihat dari adanya konversi yang mengubah alih fungsi lahan. Perubahan alih fungsi lahan mengakibatkan berkurangnya lahan terbuka hijau dan diperkirakan akan terus meningkat karena tingginya harga tanah dan pajak yang harus dibayar oleh pemilik tanah. Sebagai contoh, di Kelurahan Kuta pada tahun 2002 lahan terbuka seluas 195,87 Ha dan lahan terbangun seluas 586,13 Ha. Pada tahun 2004 lahan terbuka menyusut menjadi 164,58 Ha dan lahan terbangun menjadi 617,42 Ha. Alih fungsi lahan menyebabkan timbulnya degradasi lingkungan dan menimbulkan dampak negatif bagi bertambahnya bahan pencemaran di air laut Pantai Kuta melalui lolosnya air larian permukaan langsung ke Pantai Kuta.4

Debit Air

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan satuan wilayah tangkapan air (catchmanarea) yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menerima hujan, menampung dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau dan laut serta mengisi air bawah tanah. Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sebuah ekosistem, maka terjadilah interaksi antara berbagai faktor penyusunnya seperti faktor abiotik, biotik dan manusia. Sebagai ekosistem dijumpai adanya input dan segala proses yang berkaitan dengan masukan tersebut yang dapat dievaluasi berdasarkan output yang dihasilkan.

Bila curah hujan dipandang sebagai unsur input dalam ekosistem DAS, maka

output yang dihasilkan adalah debit air sungai, penambahan air tanah dan limpasan sedimentasi. Sementara itu komponen lain seperti tanah, vegetasi, sungai dalam hal ini bertindak sebagai processor (Fahrizal 2009).

3

Handout mata kuliah Ekologi Manusia, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

4

diambil dari jurnal online ISSN 1907-5626, Dampak Aktivitas Masyarakat Terhadap Tingkat Pencemaran Air Laut di Pantai Kuta Kabupaten Badung Serta Upaya Pelestarian Lingkungan dalam ECOTROPHIC | VOLUME 2 NO. 1 MEI 2007, oleh Nita Elyazar, M.S. Mahendra, I Nyoman Wardi.

Debit air sungai dalam hidrologi adalah tinggi permukaan air sungai yang diukur oleh alat ukur pemukaan air sungai. Pengukurannya dilakukan tiap hari, atau dengan pengertian lain debit atau aliran sungai adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/det).

Konsep Sosial-Ekologis

Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani, oekos berarti rumah dan logi atau

logos berarti ilmu. Sehingga dapat diartikan ekologi sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup (Adiwibowo 2007). Ekologi juga mempelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotik) dan tidak hidup (abiotik) (Adiwbowo 2007).

Menurut Dharmawan (2007) dalam Adiwibowo (2007) perubahan ekologis merupakan dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam proses pertukaran (exchange). Proses pertukaran tersebut melibatkan energi, materi, dan informasi yang diberikan oleh kedua pihak yang saling berinteraksi. Kondisi sosial ekologi dilihat dari adanya tingkat gangguan terhadap sumber air serta tingkat perncemaran air dan lingkungan.

Tingkat Gangguan terhadap Sumber Air

Noor (2006) dalam Sulton (2011) menyatakan bahwa permasalahan yang sering muncul dari kegiatan pariwisata adalah terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup seperti pencemaran pada tanah, udara, dan hidrologi air. Di Indonesia dapat dijumpai contoh daerah pariwisata yang mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup, seperti daerah pesisir Danau Toba. Pembuangan sampah sembarangan dan penangkapan ikan, dapat mengakibatkan daerah yang semula kandungan airnya tinggi menjadi rendah. Pembuangan sampah juga dapat mengakibatkan pengendapan sampah di dalam air dan di dalam tanah, sehingga dapat merusak komposisi air dan komposisi tanah. Diperlukan waktu yang sangat lama untuk kembali ke dalam kondisi semula. Polusi dan degradasi lingkungan juga akan terjadi pada semua kegiatan pariwisata.

Tingkat Pencemaran Air dan Lingkungan

Air merupakan kebutuhan pokok bagi semua manusia di bumi. Pengambilan air tidak boleh mengganggu keseimbangan air dan lingkungan. Faktor keseimbangan air lingkungan ini tidak hanya berkaitan dengan jumlah volume (debit) air yang digunakan saja, tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga agar air dan lingkungan tidak menyimpang dari keadaan normalnya (Wardhana 2007). Wardhana (2007) mengungkapkan bahwa salah satu indikator atau tanda bahwa air dan lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan warna, bau, dan rasa air. Air normal yang dapat digunakan untuk suatu kehidupan pada umumnya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Pencemaran air merupakan masalah global utama yang membutuhkan evaluasi dan revisi kebijakan sumber daya air pada semua tingkat, dari tingkat internasional hingga sumber air pribadi dan sumur. Disebutkan juga bahwa polusi air adalah penyebab terkemuka di dunia untuk kematian dan penyakit, dan tercatat atas kematian lebih dari 14.000 orang setiap harinya. Pencemaran air bisa menyebabkan

terjadinya banjir, erosi, kekurangan sumber air, sumber penyakit, tanah longsor, merusak ekosistem sungai, merugikan nelayan.

Pencemaran lingkungan dapat terlihat dari adanya pencemaran tanah. Mulyanto (2007) mengungkapkan bahwa pencemaran tanah disebabkan menumpuknya senyawa kimia yang beracun, garam-garam, organisme patogen yang membawa penyakit atau bahan-bahan radioaktif yang dapat merugikan kehidupan tanaman dan satwa. Cara-cara pengelolaan tanah yang tidak sehat sangat mengurangi mutu tanah, menyebabkan polusi tanah dan menambah berat erosi.

Konsep Sosial-Ekonomis

Rachmawati (2005) dalam laporan akhirnya menyatakan bahwa dampak ekonomi dapat diartikan sebagai bentuk kontribusi dari suatu kegiatan wisata di suatu wilayah terhadap bidang perekonomian di wilayah tersebut. Studi mengenai dampak ekonomi cenderung memberikan tekanan pada keuntungan yang didapatkan dari adanya suatu kegiatan wisata. Kondisi sosial ekonomis dapat dilihat dari tingkat pendapatan, peluang usaha dan kerja, serta perubahan mata pencaharian masyarakat.

Tingkat Pendapatan

Dampak sosial ekonomi merupakan dampak aktivitas pariwisata pada aspek sosial ekonomi yang dapat bersifat positif dan negatif. Dampak positif akibat aktivitas pariwisata diantaranya adalah terjadinya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terciptanya lapangan pekerjaan, dan peningkatan ekonomi bagi masyarakat di sekitar wilayah pariwisata. Dampak negatif dari adanya aktivitas pariwisata adalah terjadinya penurunan pendapatan bagi masyarakat yang bergerak di sektor pertanian, karena cenderung menurunnya kualitas lahan yang digunakan.

Peluang Usaha dan Kerja

Industri pariwisata merupakan industri yang sifatnya menyerap kebutuhan tenaga kerja, sehingga pengembangan pariwisata berpengaruh positif pada perluasan usaha dan kerja. Peluang usaha dan kerja lahir akibat adanya permintaan wisatawan. Kedatangan wisatawan ke suatu daerah akan membuka peluang bagi masyarakat untuk menjadi pengusaha hotel, warung, dagang, dan lain-lain. Freyer (1993) dalam Damanik dan Weber (2006) membagi industri pariwisata dalam dua golongan utama yaitu:

a. Pelaku langsung : usaha wisata yang menawarkan jasa secara langsung kepada wisatawan atau yang jasanya langsung dibutuhkan oleh wisatawan. Termasuk dalam kategori ini adalah hotel atau penginapan, restoran, biro perjalanan, pusat informasi wisata, atraksi hiburan, dan lain-lain.

b. Pelaku tidak langsung : usaha yang mengkhususkan diri pada produk-produk yang secara tidak langsung mendukung pariwisata, misalnya usaha kerajinan tangan, penerbit buku atau lembar panduan wisata, penjual roti, pertanian, peternakan dan sebagainya.

Setiyanti (2011) mengungkapkan peluang usaha dan kerja menurut BPS dalam

Tando (1992), dapat dibedakan atas usaha formal dan informal. Usaha informal adalah usaha tradisional yang lokasinya tidak tetap, tidak memakai bangunan dan jam kerja

yang tidak teratur. Usaha informal mencakup usaha sendiri dan usaha dengan bantuan keluarga. Usaha formal merupakan usaha yang lokasinya tetap, menggunakan bangunan dan jam kerja yang teratur serta mencakup usaha dengan buruh tetap atau karyawan. Kegiatan informal merupakan kegiatan yang padat karya, tingkat produktivitas rendah, pelanggan yang sedikit, tingkat pendidikan formal yang rendah, penggunaan teknologi menengah, sebagian pekerja keluarga, mudah keluar masuk usaha, serta kurang dukungan dan pengakuan dari pemerintah. Breman dalam Tando (1992) dalam

Setiyanti (2012) memberikan batasan usaha formal sebagai semua pekerja yang bergaji bulanan atau harian dalam suatu pekerjaan yang permanen, dan meliputi sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan serta terorganisir dan dilindungi badan hukum resmi.

Melihat hasil penelitian terdahulu, hasil penelitian Tando (1992) dalam Setiyanti (2011) menunjukkan bahwa kehadiran pariwisata telah memberikan peluang bagi masyarakat lokal dan sekitarnya untuk memanfaatkan peluang tersebut seperti dalam usaha penginapan, travel, rumah makan, perdagangan, transportasi, dan jasa. Kelompok masyarakat yang menggunakan peluang usaha jasa dan tenaga kerja di pariwisata umumnya berasal dari masyarakat lokal. Akan tetapi pada usaha formal, sebagian besar peluang kerja dimanfaatkan oleh karyawan dari luar daerah. Penggunaan peluang usaha di pariwisata juga telah menyebabkan adanya peralihan pemilikan sumberdaya alam antara penduduk lokal dengan penduduk desa lain yang terlihat pada usaha pendirian penginapan.

Hasil penelitian Sadono et al. (1992) dalam Setiyanti (2011) menunjukkan bahwa kunjungan wisata berdampak pada penciptaan kesempatan usaha dan kerja serta penciptaan pendapatan bagi masyarakat terutama masyarakat desa lapisan bawah di sekitar obyek wisata. Pendapatan dari sektor pariwisata merupakan tambahan pendapatan yang berarti bagi masyarakat yang berusaha di sektor ini. Tingkat pendapatan usaha atau kerja adalah pendapatan total yang diperoleh masyarakat selama sebulan dari usaha atau kerja yang dilakukan.

Perubahan Mata Pencaharian

Perubahan mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup seseorang atau masyarakat berkaitan erat dengan perubahan kelembagaan, perubahan sosial ekonomi dan budaya. Perubahan mata pencaharian terjadi karena adanya faktor-faktor penyebab yang dapat berasal dari masyarakat sendiri maupun luar masyarakat. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai keterkaitan yang erat dengan sektor pariwisata. Sektor pertanian menyediakan bahan baku untuk usaha rumah makan, jongko, maupun pedagang buah-buahan dan opak, dan di sisi lain sektor pariwisata menyerap cukup banyak tenaga kerja dari penduduk di sekitar obyek wisata yang berlatarbelakang pertanian. Keadaan ini dapat memberi pilihan pada penduduk untuk mempunyai sikap indifferent untuk bekerja di sektor pertanian dan non pertanian.

Menurut Sigit (1989) dalam Fudjaja (2002) dalam Purnamasarie (2011), faktor penyebab terjadinya transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non- pertanian dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: 1) faktor pendorong dan 2) faktor penarik. Faktor pendorong berasal dari sektor pertanian sedangkan faktor penarik berasal dari sektor non pertanian. Secara umum penyebab perubahan pada tingkat pendidikan, penduduk usia muda yang semakin meningkat, perubahan norma-norma yang berhubungan dengan jenis dan situasi pekerjaan di kalangan pencari kerja dan penduduk umumnya, adanya peluang untuk bekerja di luar sektor pertanian, sempitnya

pemilikan lahan pertanian (sawah) dan meningkatnya penggunaan teknologi serta tingkat upah yang relatif tinggi di sektor non pertanian. Sementara itu Rachmad (1992)

dalam Purnamasarie (2011) menyatakan transformasi tenaga kerja terjadi akibat adanya perubahan sikap mental para tenaga kerja, upah tenaga kerja di sektor pertanian cenderung tetap, timbulnya kesempatan kerja baru di sektor non pertanian, kenyamanan bekerja di sektor non pertanian dan semakin meningkatnya atau membaiknya kondisi komunikasi sehingga terjadi proses transformasi.

Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan dalam UU No.32 tahun 2009 didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Menurut Sugandhy dan Hakim (2009) dalam Sulton (2011), pola pembangunan berkelanjutan mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara rasional dan bijaksana. Hal ini berarti bahwa pengelolaan sumberdaya alam, seperti sumberdaya alam pertambangan, hutan pelestarian alam, hutan lindung dan hutan produksi, dapat diolah secara rasional dan bijaksana dengan memperhatikan keberlanjutannya. Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan didukung sumberdaya alam yang ada dengan kualitas lingkungan dan manusia yang semakin berkembang dalam batas daya dukung lingkupannya. Pembangunan akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya (Sugandhy dan Hakim 2009

dalam Sulton 2011). Pertimbangan lingkungan yang menyangkut ekonomi lingkungan, tata ruang, AMDAL dan social cost harus diinternalisasi dalam setiap pembuatan keputusan pembangunan untuk dapat mewujudkan hal ini, keterpaduan antar sektor, antar wilayah dan daerah dengan melibatkan semua stakeholders, menjadi suatu keharusan sehingga diperlukan koordinasi yang mantap.

Kerangka Pemikiran

Kegiatan wisata yang dilihat dari kesesuaian wisata dan daya dukung kawasan selalu bersentuhan langsung dengan kondisi ekologis suatu wilayah. Kegiatan wisata dapat mempengaruhi perubahan sosial ekologis yang dilihat dari tingkat gangguan terhadap sumber air dan tingkat pencemaran air dan lingkungan. Kegiatan wisata juga dapat mempengaruhi perubahan sosial ekonomi, yang dilihat dari pendapatan rumahtangga dari sektor pariwisata, peluang usaha dan kerja, dan perubahan mata pencaharian. Kegiatan wisata ini dapat berpengaruh terhadap terjadinya krisis ekologi suatu wilayah wisata. Krisis ekologi dilihat dari degradasi lingkungan, kualitas air, dan debit air, yang biasanya terjadi karena tingkat pengelolaan dan pemanfaatan suatu daerah wisata yang rendah. Adanya krisis ekologi di daerah wisata Situ mempengaruhi