BAB IV. KATEKIS PENDOA
B. Pendoa
Setiap pribadi memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan, begitu pula dengan doa. Doa tidak bisa dipaksakan kepada setiap pribadi untuk dilaksanakan namun tidak mudah dilaksanakan bagi mereka yang memberi tempat pada doa sebagai suatu selingan. Tanpa disadari, doa yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan di dalam kehidupan sehari-hari justru akan memberikan pengaruh terhadap pribadi yang melaksanakan doa.
Mengikuti Yesus berarti mengikuti teladan Yesus pula. Di mana Yesus sebagai seorang pendoa perlu diteladani. Dalam hal ini Darminta (2001: 16) mengatakan bahwa “para murid dan kita semua mau menjadi pendoa seperti Yesus Pendoa, sebagai syarat untuk menapak jalan Yesus menuju Allah Bapa.” Dengan melihat teladan Yesus sebagai seorang Pendoa maka kita selalu berupaya untuk belajar berdoa. Keinginan untuk berdoa pun bukan berasal dari orang lain, namun untuk melaksanakan doa dan mau mengikuti teladan Yesus Sang Pendoa itu muncul dari diri sendiri. Bagaimanapun keinginan untuk berdoa dan berelasi dengan Allah merupakan wujud kerinduan kita kepada Allah yang perlu tanggapan segera dari kita. Apabila sudah mampu untuk melaksanakan doa dengan rutin dan dilaksanakan dengan sepenuh hati maka tidak akan muncul kejenuhan dalam berdoa.
Sebagai orang Kristiani tentunya kehidupan doa diharapkan menjadi bagian dalam hidupnya sehari-hari. Doa yang dilaksanakan sebagai orang Kristiani tentunya mengikuti doa Yesus karena kita adalah murid Yesus. Yesus telah terlebih dulu mengajarkan doa kepada kita, saat ini kita sebagai murid-Nya perlu meneladani dan
menjalankan doa Yesus dalam hidup. Tentunya dalam perjalanan hidup di dunia ini, setiap pribadi mengalami berbagai macam pengalaman baik yang menyedihkan maupun menyenangkan. Begitu juga dengan pengalaman hidup seorang pendoa. Dengan pergaulan hidup bersama orang lain, seorang pendoa akan lebih menyadari bahwa dirinya memiliki kekurangan-kekurangan. Dalam hubungan dan pertemuan dengan orang lain, orang menyadari bahwa hidup dan dirinya itu terbatas, sehingga merasa bahwa dirinya memerlukan orang lain dalam beberapa hal (Darminta, 1981: 9). Seorang pendoa di dalam kehidupan sehari-hari mau memberikan diri demi kemajuan hidup bersama dan terbuka terhadap masukan dari orang di luar dirinya.
Seorang pendoa harus menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan. Membuka diri merupakan usaha yang tepat untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya tersebut. Dengan membuka diri kepada orang lain, kita akan menerima banyak hal dari orang lain yang belum kita miliki. Membuka diri untuk saling melengkapi satu sama lain. Pada kenyataannya, hidup manusia memang dikendalikan oleh Allah. Seringkali kita memahami doa sebagai suatu kegiatan manusia menyapa Allah, lebih tepatnya lagi bahwa doa itu hanya menggambarkan hubungan pribadi dengan Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, doa bisa juga dipahami sebagai hubungan yang terjalin antara pribadi dengan orang lain. Doa yang dilakukan oleh setiap pribadi beranjak dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Berkaitan dengan hal ini Darminta (1983: 30) mengatakan bahwa “pengalaman dalam lingkup hidup antar manusia ini kiranya juga dapat menjelaskan dinamika doa yang ditujukan kepada Allah.” Mengalami pengalaman setiap harinya akan
mempengaruhi cara seseorang berdoa kepada Allah. Seorang pendoa mampu menciptakan suasana yang erat antara satu dengan yang lain atas dasar cinta kasih. Cinta kasih yang bermula dari kasih Allah kepada manusia, kasih itu tumbuh di dalam hidup kita dan semakin kita wujudkan di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan suasana cinta kasih itu pula maka persahabatan akan semakin tumbuh dan terjalin di antara sesama. Dalam hal ini Darminta (1983: 31) mengatakan:
Sebagai pribadi yang khas dan terbatas, orang memerlukan pribadi yang lain agar kepribadiannya menjadi lengkap dan utuh. Orang menuju dan menyapa orang lain untuk mengajak dan menawarkan persahabatan, dan membangun timbal balik dan perlakuan yang sejajar sebagai pribadi yang bermartabat dan merdeka.
Seorang pendoa mampu menjadi panutan bagi orang lain, baik sikap dan tutur katanya. Semua orang akan beranggapan bahwa seorang pendoa itu mempunyai sikap yang baik dan yang mereka ucapkan mempunyai daya tarik bagi para pendengarnya. Sehingga seorang pendoa sungguh dapat mengamalkan ajaran Yesus Kristus sendiri di dalam kehidupannya pribadi dan kehidupan bersama dengan orang lain. Doa yang disampaikan kepada Allah selalu ditujukan kepada orang lain, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa doa yang dilaksanakan muncul dari keperluan untuk melengkapi kekurangan di dalam diri. Dengan melihat keterbatasan diri dan mau menerima segala keterbatasan diri, maka pribadi tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang mampu mengenal diri lebih dalam lagi. Selain itu juga, jika setiap pribadi sudah bisa menerima keterbatasan diri maka hal ini akan membantu mereka dalam hal rohani yaitu mereka mencapai kematangan rohani. Pribadi tersebut juga
semakin tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dalam hal iman. Segala sesuatu yang dialami dalam hidupnya, kegelisahan, kecemasan akan terlepas dari pribadi dengan sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah. Dalam hal ini Darminta (1997: 55) mengatakan:
Kerohanian yang matang dan dewasa adalah yang menyebarkan kehidupan, membela kehidupan, bukan sebaliknya menyebarkan kematian. Dan seorang pendoa sejati adalah orang yang menghargai dan menghormati kehidupan karena hidup dalam Roh Kudus berasal dari Allah
Dengan tercapainya kematangan rohani pada setiap pribadi, maka seluruh perjalanan hidup mereka akan menyerahkannya kepada Allah. Selain itu di dalam kehidupannya mereka mampu memancarkan kasih Allah kepada sesamanya tanpa melihat perbedaan dan tanpa melihat adanya keterbatasan yang dimiliki oleh sesamanya tersebut.