• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Tata Usaha Negara

BELUM MEMILIKI DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP

C. Penegakan Administrasi Lingkungan

3. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Tata Usaha Negara

organ administrasi dapat memberikan hukuman tanpa perantara hakim.

Pengenaan denda administratif tanpa perantaraan hakim ini tidak berarti pemerintah dapat menerapkannya secara sewenang-wenangnya (arbitrer). Pemerintah harus tetap memperhatikan asas-asas hukum administratif.185

3. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Tata Usaha Negara

Penghitungan besaran denda dilakukan berdasarkan presentase jumlah biaya yang dikeluarkan secara riil untuk melaksanakan paksaan pemerintahan. Untuk menentukan besaran biaya didasarkan kepada pendapat ahli dan efektivitas pelaksanaan paksaan pemerintahan. Ketentuan mengenai penghitungan besaran denda diatur dalam Peraturan Menteri.

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat dengan UU PERATUN) No. 5 Tahun 1985 jo. UU No. 9 Tahun 2004 memberikan landasan normatif mengenai sarana perlindungan hukum bagi orang atau badan hukum perdata untuk mengajukan gugatan administrasi (gugatan TUN) atas penerbitan izin lingkungan. Pada pasal 53 ayat (1) UU PERATUN No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004 memformulasikan bahwa:

“orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”.

185 Ridwan HR., Sanksi Administrasi Negara, PT. Rajagrafindo, Jakarta, 2006, hal. 334.

Pijakan awal dan objek gugatan administrasi sedasar Pasl 53 ayat (1) dan Pasal 1 angka 4 UU PERATUN adalah KTUN. Menurut Pasal 1 angka 3 UU PERATUN, yaitu:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorangg atau badan hukum perdata.”

Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara, izin lingkungan dapat disengketakan (digugat) di badan Peradilan Administrasi atas dasar UU PERATUN. Gugatan administrasi yang berisi tuntunan (petitum) agar izin lingkungan dapat dinyatakan batal atau tidak sah secara esensial yang dimaksudkan untuk menghentikan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.186

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Pasal 53 ayat (2) UU PERATUN mengatur tentang alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan administrasi (TUN), yaitu:

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia kurang didayagunakan sebagai jalur hukum penyelesaian sengketa lingkungan. Sebenarnya dengan segala kekurangan dan kelemahannya, proses hukum pada kasus-kasus lingkungan dapat

186 Siti Sundari Rangkuti, menyatakan bahwa Gugatan oleh seseorang atau badan sanksi perdata yang merasa kepentingannya dirugikan PTUN adalah berisi tuntutan agar izin itu dinyatakan batal atau tidak sah oleh hakim, sehingga putusan tersebut segera menghentikan pencemaran akibat izin lingkungan yang tidak cermat, Airlangga University Press, Surabaya, 2000.

terselesaikan melalui Institusi Peradilan Administrasi merupakan langkah apresiatif terhadap eksistensi dan fungsi Peradilan Administrasi.187 Dan dengan adanya PTUN sebagai sarana penyelesaian sengketa lingkungan untuk menghentikan pencemaran lingkungan akibat suatu izin lingkungan (hukum lingkungan administratif).188

187 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, 1999, hal. 55.

188 Siti Sundari Rangkuti, Reformasi Bidang Sanksi Lingkungan, Suara Pembaruan, Edisi 26 Maret 2001.

Tetapi pada kenyataannya di Indonesia pada umumnya Gugatan Tata Usaha Negara yang diperkirakan tidak sejalan atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lingkungan yang diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat seperti dalam kasus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melawan SEKJEND Departemen Pertambangan dan Energi di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan No. Putusan 600/6115/SJT/1995. Gugatan tersebut diajukan pada masa berlakunya UULH 1982. Pada masa UU tersebut, Komisi Penilai Amdal berada pada masing-masing kementerian sektoral. WALHI menggugat SEKJEND Departemen Pertambangan dan Energi yang dinilai telah mengesampingkan saran-saran WALHI tentang AMDAL PT. Freeport ketika menerbitkan keputusan persetujuan AMDAL PT. Freeport. Penyampaian saran tersebut merupakan wujud dari peranserta masyarakat dan dalam kedudukan WALHI sebagai anggota tidak tetap Komisi Penilai Amdal PT Freeport. Namun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah menolak gugatan WALHI dengan pertimbangan bahwa Komisi Penilai Amdal tidak terikat dengan saran WALHI dalam membuat keputusan persetujuan Amdal.

Selain itu, gugatan tata usaha negara dapat pula dilihat dari perspektif kepentingan pelaku usaha. Pelaku usaha juga dapat mengajukan gugatan tata usaha negara untuk melawan Keputusan Tata Usaha Negara di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dianggapnya merugikan kepentingan usahanya.

Seperti kasus perkara tata usaha negara adalah PT. Bakti Bangun Era Mulia yang melawan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan No. Putusan 109/K/TUN/2009. Dalam perkara tersebut penggugat yaitu Direktur Utama PT. Bakti Bangun Era Mulia, Tjondro Indria Liemonta dkk.

Menggugat Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Keputusan ini diterbitkan atas dasar kajian Amdal rencana kegiatan reklamasi dan revitalisasi Pantai Utara Jakarta.

Sementara pada sanksi-sanksi hukum administrasi berupa paksaan pemerintahan, denda, pembekuan izin dan pencabutan izin juga dilakukan oleh pejabat tata usaha negara terhadap para pelanggar administrasi lingkungan tanpa melalui proses peradilan. Persoalan akan timbul jika terjadi pelanggaran administrasi lingkungan, tetapi pejabat tata usaha negara yang berwenang tidak menjalankan kewenangannya, yaitu menjatuhkan sanksi administrasi kepada si pelanggar. Dengan kata lain, pejabat tata usaha negara yang berwenang mendiamkan saja terjadinya pelanggaran hukum administrasi atau bahkan secara diam-diam merestui kegiatan yang melanggar administrasi lingkungan. Misalkan, sebuah rencana kegiatan usaha, menurut ketentuan hukum lingkungan administrasi wajib melakukan Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tetapi ternyata kegiatan itu telah berdiri atau beroperasi tanpa melalui proses Amdal dan pejabat yang berwenang ternyata tetap mengeluarkan izin usaha bagi kegiatan tersebut189

Dengan demikian melalui gugatan administrasi ialah suatu tindakan administratif (pemerintahan) yang dapat dibatalkan ataupun ditunda pelaksanaanya.

Tindakan administratif yang pernah dijadikan objek gugatan adalah mengenai aktivitas

.

Perkembangan hukum di beberapa negara terutama Belanda, Amerika Serikat dan terutama di Indonesia memberikan peluang kepada warga untuk mengajukan gugatan tata usaha negara kepada pejabat yang berwenang. Di Indonesia, gugatan terhadap pejabat tata usaha negara dilakukan melalui prosedur gugatan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 No. 35).

190

a. Pembuangan limbah;

:

b. Pembangunan jalan raya;

c. Reklamasi (perairan dan pantai); dan d. Pengelolaan bandar udara.

189 Takdir Rahmadi, Sanksi Lingkungan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal.

1.

190 Takdir Rahmadi, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Fakultas Sanksi Universitas Airlangga, Surabaya, 1996, dalam Suparto Wijoyo, Refleksi Matarantai Pengaturan Sanksi Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu, Airlangga University Press, 2006, hal. 1.