• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 METODOLOGI PENELITIAN

4.5 Metode Pengambilan dan Analisis Data

4.5.1 Penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu

Analisis terhadap kondisi PPN Palabuhanratu dilakukan secara deskriptif dengan konsep triptyque portuaire.

1) Kondisi PPN Palabuhanratu:

Kondisi PPN Palabuhanratu yang dianalisis adalah :

(a) Hasil studi kelayakan pembangunan PPN Palabuhanratu yang dilakukan Rogge et al. (tahun 1987), terutama mengenai pola pembangunan yang ditentukannya.

(b) Kondisi fasilitas pembangunan tahap pertama dan operasionalnya (periode tahun 1993-2002) yang meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Kondisi operasional pelabuhan berdasarkan fungsinya. (c) Kondisi pembangunan dan operasional PPN Palabuhanratu tahap kedua

(periode tahun 2003-2005). Kondisi pembangunan adalah fisik bangunan dan kondisi operasional adalah tentang pelaksanaan fungsinya.

2) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah produksi (foreland), yang dianalisis adalah kondisi daerah penangkapan ikan di WPP 9 Samudera Hindia, daerah penangkapan ikan kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya

di PPN Palabuhanratu, pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan daerah penangkapan ikan.

3) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah distribusi (hinterland), yang dianalisis adalah pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu, produksi ikan segar, daerah distribusi ikan segar (hinterland primer), distribusi ikan pindang dan distribusi ikan asin (hinterland sekunder), hinterland perpaduan serta kondisi sarana angkutan dan prasarana jalan.

Analisisi dilakukan terhadap data primer dan sekunder melalui penyajian tabel, grafik, gambar, peta dan foto.

(2) Faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan PPN Palabuhanratu

Indikasi perlunya PPN Palabuhanratu dapat dikembangkan antara lain: 1) Penentuan lokasi pelabuhan perikanan sangat terkait dengan adanya potensi

sumberdaya ikan yang akan dieksploitasi atau sejauh mana kondisi di wilayah produksinya (foreland). Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa lokasi keberadaan pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi merupakan sektor basis bagi Kabupaten Sukabumi, dapat ditentukan dengan menggunakan

location quotient (LQ): t i t i V V v v LQ= , Dengan: LQ= Location Quotient. = i

v PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2000-2004.

=

t

v PDRB seluruh sektor Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2000-2004.

=

i

V PDRB sub sektor perikanan Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2000-2004.

=

t

V PDRB seluruh sektor Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar harga berlaku tahun 2000-2004.

Apabila nilai:

LQ > 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor basis.

LQ < 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor non basis.

2) Pengembangan pelabuhan perikanan sangat tergantung kepada sejauh mana produk ikan yang didaratkan dapat dipasarkan atau didistribusikan ke daerah

hinterland-nya. Kualitas pemasaran ikan di lokasi tersebut dibandingkan misalnya dengan kualitas pemasaran ikan di kabupaten dimana pelabuhan perikanan itu berada, yakni dengan menentukan indeks relatif nilai produksi (I) (Lubis, 2003): t p t p Q Q N N I = Dengan, = p

N Nilai produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (Rp).

=

t

N Nilai produksi perikanan di Kab. Sukabumi (Rp).

=

p

Q Jumlah produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (kg).

=

t

Q Jumlah produksi perikanan di Kabupaten Sukabumi (kg).

=

I 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu sama dengan nilai relatif produksi perikanan Kabupaten Sukabumi, yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu sama bagusnya dengan kualitas pemasaran ikan di Kabupaten Sukabumi.

I > 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih baik apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan dari Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu lebih tinggi dengan kualitas pemasaran ikan di Kabupaten Sukabumi.

I < 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih rendah apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan

Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu lebih rendah dengan kualitas pemasaran ikan Kabupaten Sukabumi.

3) Kepadatan kolam pelabuhan yang ada sekarang.

Kepadatan kolam yang ada saat ini perlu dievaluasi tentang kapasitas pemanfaatannya, apakah kepadatan kolam saat ini sudah sesuai kapasitasnya.

4) Manajemen pelabuhan perikanan

(a) Legalitas pelabuhan perikanan, dianalisis tentang dasar hukum pembangunan pelabuhan perikanan.

(b) Organisasi pelabuhan perikanan, dianalisis tentang organisasi pelabuhan termasuk tugas pokok dan fungsinya serta sampai seberapa jauh organisasi pelabuhan dapat mendukung berfungsinya pelabuhan.

(c) Tata hubungan kerja, dianalisis tentang instansi terkait yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan.

(d) Sumberdaya manusia, dianalisis tentang kondisi SDM pengelola pelabuhan.

(e) Standard operational procedure (SOP), dianalisis tentang SOP masing- masing kegiatan pelabuhan.

(f) Pelayanan operasional pelabuhan, dianalisis tentang layanan operasional pelabuhan kaitannya dengan fungsi pelabuhan perikanan.

(3) Persaingan antar pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia.

Pada WPP 9 terdapat 216 unit pelabuhan perikanan, diantaranya terdapat 11 pelabuhan perikanan yang dapat didarati oleh kapal berukuran >30 GT sehingga dianggap pelabuhan perikanan tersebut dapat saling bersaing yakni PPN Palabuhanratu, PP Sabang, PPS Bungus, PPN Sibolga, PPI Pulau Baai, PP Pulau Tello, PPS Jakarta, PPS Cilacap, PPI Muncar, PPN Prigi dan Pelabuhan Umum Benoa. Namun dalam penelitian ini yang memiliki data lengkap adalah PPN Palabuhanratu, PPS Jakarta, PPN Sibolga, PPS Bungus, PPN Prigi dan PPS Cilacap, sehingga hanya ada 6 pelabuhan perikanan yang dianalisis persaingannya.

Rustiadi et al. (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain, akan menjadi pusat atau mempunyai hierarki lebih tinggi. Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah yang lain.

Dalam kaitan penelitian ini, maka yang dijadikan elemen persaingan adalah fasilitas dan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan berdasarkan strata tingkat pendidikan pegawai untuk masing-masing pelabuhan perikanan, jenis ikan ekonomis penting dan nilai harga ikan, alat penangkapan ikan, jenis kapal. Metode yang dipakai dalam analisis persaingan antar pelabuhan didalam WPP 9 Samudera Hindia adalah metode hierarki perkembangan wilayah (metode skalogram).

Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa metode skalogram adalah metode untuk menentukan hierarki wilayah. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas pelabuhan perikanan (6 unit PP), tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal masing-masing pelabuhan didata dan disusun dalam suatu tabel. Penyusunan tabel ini menggunakan asumsi bahwa masing-masing fasilitas yang dimiliki oleh setiap pelabuhan mempunyai bobot dan kualitas yang bersifat indifferent termasuk juga tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan kapal. Kemudian langkah selanjutnya adalah menyusun hierarki yang paling tinggi berdasarkan jumlah total fasilitas, tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal yang dimiliki masing-masing pelabuhan perikanan. Selanjutnya menyusun hierarki berdasarkan indeks masing-masing pelabuhan dengan urutan dari indeks paling tinggi. Terakhir ditentukan urutan indeks yang di perbandingkan untuk masing-masing pelabuhan. Adapun rumus untuk menentukan indeks hierarki adalah:

Indeks hierarki (Ii) =

(

.

)

ak

n

F

n k ik

Dengan: ak n

adalah bobot fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan

yang didaratkan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal /faktor penentu hierarki, n = Jumlah pelabuhan, k = Jumlah fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal, ak = Jumlah pelabuhan yang memiliki fasilitas atau jenis pendidikan SDM, jenis ikan yang didaratkan, jenis alat penangkapan ikan dan jenis kapal dan Fik = Fasilitas atau

jenis pendidikan SDM atau jenis ikan yang didaratkan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal yang dimiliki pelabuhan. Akan ditentukan 6 komponen yang diperbandingkan melalui 6 skalogram yakni: skalogram berdasarkan jenis fasilitas, sumberdaya manusia pengelola, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan jenis kapal. Masing-masing skalogram akan ditentukan jumlah jenis variabel yang dibandingkan, bobot kelangkaan dan bobot jenis. Jumlah jenis variabel adalah semua jenis komponen yang ada di masing-masing pelabuhan. Bobot kelangkaan adalah seberapa besar setiap pelabuhan memiliki komponen atau beberapa komponen sehingga dianggap langka dan diberi nilai besar. Bobot jenis adalah cara pandang lain untuk menilai persaingan yang memiliki jenis komponen.

Khusus untuk PPN Palabuhanratu digunakan data sesuai dengan kelasnya yakni kelas nusantara.