• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penentuan Prioritas

4.1.4. Penentuan Nilai Prevalensi

Nilai prevalensi ini adalah peluang terdapat bahaya dalam produk pangan tertentu. Angka- angka prevalensi ini diperoleh dari hasil kajian atau penelitian yang ada. Prevalensi ini didapat dengan melihat persentase antara jumlah sampel (kadar bahayanya melebihi batas maksimum yang ditetapkan SNI) dengan jumlah sampel yang diuji (Harinaldi. 2005).

prevalensi = x 100% Keterangan:

n : jumlah sampel yang kadar bahayanya melebihi batas maksimum yang ditetapkan SNI N : jumlah sampel yang diuji

Sama halnya dengan penentuan klasifikasi pada tingkat konsumsi, penentuan klasifikasi prevalensi ini juga didasarkan pada penghitungan pengkelasan menggunakan metode statistika. Klasifikasi prevalensi dibagi menjadi 5 kelompok seperti pada tabel 13.

Tabel 13. Klasifikasi dan skor untuk tingkat prevalensi

No. Klasifikasi Skor

1 Sangat tinggi 10 2 Tinggi 7 3 Sedang 5 4 Rendah 3 5 Sangat rendah 1 Bahaya Mikrobiologi

Studi literatur untuk data prevalensi dilakukan untuk mengetahui peluang terdapatnya bahaya dalam produk pangan. Semakin banyak literatur prevalensi untuk masing-masing kombinasi maka nilai keakuratannya juga semakin meningkat. Namun, tidak semua penelitian mengenai cemaran tersebut sering dilakukan.

Untuk bahaya mikrobiologi, data prevalensi Bacillus cereus pada nasi, Listeria monocytogenes pada daging sapi dan ayam, serta Staphylococcus aureus pada makanan siap saji masih sangat minim sehingga tingkat keakuratannya juga masih rendah. Data prevalensi pada Tabel 14 diperoleh dari hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Hasil penelitian yang diambil dikhususkan pada penelitian yang dilakukan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar hasilnya relevan dan kebijakan yang nantinya diambil mampu memecah permasalahan keamanan pangan di Indonesia.

26

Tabel 14. Prevalensi bahaya mikrobiologi terhadap produk pangannya

Bahaya (BSN 2009) Produk

Prevalensi Peluang Bahaya dalam

Produk (%) Tingkat Skor

Campylobacter jejuni (-) /25 ml-g

daging ayam 15.71) 22.62) 35.73) 24.7 Sedang 5 susu murni + susu cair

pabrik 2

.

0 4) 9.05) 12.36) 7.8 Rendah 3 Salmonella sp. (-) /25 g telur ayam (Salmonella Enteridis) 1.4 7) 4.08) 0.09) 1.8 Sangat Rendah 1 udang segar & beku

(Salmonella paratyphi) 19.2 10) 36.011) 18.812) 24.7 Sedang 5 daging ayam (Salmonella Typhimurium) 55.0 13) 7.914) 66.715) 43.2 Sangat Tinggi 10 V.parahaemolyticus (-) /25 g udang segar 28.4 16) 43.517) 20.812) 30.9 Tinggi 7 Staphylococcus

aureus (2 log CFU/g) ayam siap saji 70.0

18)

81.319) - 75.6 Sangat Tinggi 10 Bacillus cereus

(2,2 log CFU/g) nasi putih 47.5

20) - - 47.5 Sangat Tinggi 10 Listeria monocytogenes (-) /25 g

daging sapi 0.021) - - 0.0 Sangat

Rendah 1

daging ayam 0.022) - - 0.0 Sangat

Rendah 1

susu pasteurisasi 0.023) 0.024) 2.84) 0.9 Sangat Rendah 1 Sumber: 1) Abdy 2007. 2) Widhiasmoro 2011. 3) Khoirudin 2008. 4) Jayarao et al. 2006. 5) Jayarao et al. 2001. 6) Rohrback et al.1992. 7) Nugroho 2005. 8) Oktavera 2011 9) Satyaningsih 2007. 10) Rusyanto 2005. 11) Hasutji et al. 2009. 12) Slamet 2000. 13) Sylviana 2008. 14) Setiowati et al. 2011. 15) Winata 2011. 16) Amizar 2011. 17) Yennie 2011. 18) Sari 2010. 19) Dwintasari 2010. 20) Wisdawati 2010. 21) Tandisole 2010. 22) Yanti 2011. 23) Kibuuka 2009. 24) Agatha et al. 2009 Campylobacter jejuni

Prevalensi rata-rata Campylobacter jejuni pada susu pasteurisasi di Indonesia adalah 7.8% (Tabel 14). Menurut CDC (2001), di Wisconsin dari 75 orang yang menderita Campylobacteriosis 70 diantara disebabkan meminum susu yang belum di pasteurisasi. Seharusnya pada susu yang di pasteurisasi tidak boleh terdapat C. jejuni karena proses pemanasan selama pasterurisasi mampu membunuh sel vegetatif dari C. jejuni. Terdapat C. jejuni pada susu pasteurisasi dapat dijadikan indikator bahwa proses pasteurisasi yang dilakukan belum memenuhi standar.

Prevalensi rata-rata Campylobacter jejuni pada daging ayam segar di Indonesia adalah 24.7% (Tabel 14). Menurut Altekruse et al. (1999) hampir 98% bakteri C. jejuni ditemukan pada karkas ayam dengan jumlah bakteri melebihi 103 CFU per 100 gram sampel karkas sedangkan menurut FDA (2012), prevalensi C. jejuni pada daging ayam berkisar antara 20-100%. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa prevalensi C. jejuni pada karkas ayam broiler di USA adalah 69% (Willis and Murray. 1997), di Jepang adalah 71.2% (Saito et al. 2005), di Irlandia adalah 42% (Whyte et al. 2004). Besarnya nilai prevalensi ini disebabkan karena C. jejuni merupakan mikroflora alami yang hidup pada saluran pencernaan unggas seperti ayam. Nilai yang didapat di Indonesia ini cukup jauh berbeda dengan literatur maupun hasil penelitian di beberapa negara tersebut. Hal ini mungkin disebabkan pada saat pengujian media selektif yang digunakan berbeda, perbedaan metode

27

perhitungan koloni, ataupun datanya kurang mewakili Indonesia karena penelitian hanya diambil dari kota Bogor dan Jakarta.

Salmonella spp.

Prevalensi rata-rata Salmonella Enteridis pada telur ayam di Indonesia adalah 1.8% (Tabel 14). Laporan penelitian Singh et al. (2010) menunjukkan tingkat cemaran Salmonella pada 150 sampel telur ayam yang dijual secara eceran di India, teridentifikasi 13 telur ayam (7.4%) positif terinfeksi Salmonella diantaranya 7 butir pada kulit telur (4.6%) dan 4 butir pada kuning telur (2.6%). Data dari Jerman melaporkan infeksi Salmonella pada telur terjadi sekitar 1:380 (0.26%) dengan infeksi pada kuning telur 1:5000 (0.02%). Data serupa didapat dari hasil penelitian di Denmark, cemaran Salmonella diperkirakan terjadi pada setiap 1 dari 2000 telur (0.05%) (Mølbak et al. 2006). Tidak ditemukannya S. Enteritidis pada sampel-sampel telur dimungkinkan karena telur ayam ras mempunyai pertahanan fisik berupa kutikula, kerabang dan selaput telur serta pertahanan kimia berupa zat antimikrobial alamiah yaitu lisosim dan ovotransferin. Selain itu, nilai prevalensi dari Tabel 14 lebih kecil dari literatur juga dikarenakan higienitas ditingkat peternakan telah cukup baik.

Prevalensi rata-rata Salmonella paratyphi pada udang segar dan beku adalah di Indonesia 24.7% (Tabel 14). Hasil ini memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan Norhana et al. (2010) yaitu, prevalensi Salmonella pada udang segar dan beku di US sebesar 8.1%, pada udang segar di India sebesar 11%, dan udang mentah di Malaysia sebesar 25%.

Prevalensi rata-rata Salmonella Thipymurium pada telur ayam adalah di Indonesia 43.2% (Tabel 14). Menurut Zhao et al. (2006), prevalensi Salmonella dari 6046 sampel daging asal retail yang diisolasi oleh FoodNet, 6% terkontaminasi oleh Salmonella, dimana berdasarkan pengujian serotipe diketahui bahwa S. Heidelberg yang paling sering ditemukan (23%), diikuti oleh S. Saintpaul (12%), S. Typhimurium (11%) dan S. Kentucky (10%). Penelitian Minami et al. (2010) menyebutkan cemaran Salmonella pada daging ayam di pasar tradisional di Thailand sebesar 48% dan Dallal et al. (2010) menyebutkan di Iran cemaran Salmonella pada daging ayam adalah 45%. Hasil ini (Tabel 14) sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al., namun sesuai dengan penelitian yang dilakukan Minami et al. dan Dallal et al. Kontaminasi silang pada karkas selama proses pemotongan meningkatkan jumlah Salmonella di daging sebesar 30%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan ini dimungkinkan perbedaan tingkat kebersihan pada masing-masing proses pemotongan. Sumber yang mungkin menjadi penyebab kontaminasi Salmonella antara lain air, pakan, kotoran hewan, peralatan, dan keadaan lingkungan baik di dalam maupun di luar lokasi ternak (Davies 2005).

Vibrio parahaemolyticus

Prevalensi rata-rata V. parahaemolyticus pada udang segar adalah 30.9% (Tabel 14). Menurut Deepanjali et al. (2005), di India prevalensi terdapatnya V. parahaemolyticus pada seafood adalah 10.2%. V. parahaemolyticus umumnya lebih sering terjadi di negara beriklim tropis karena merupakan kondisi optimum pertumbuhannya. Ini menyebabkan hasil perikanan laut di Indonesia memiliki kandungan V. parahaemolyticus tinggi. Habitat alami bakteri ini adalah air asin/air laut karena sifatnya yang halofilik. Budidaya tambak udang membutuhkan air payau, dimana sumber air tersebut merupakan kombinasi air asin dan air tawar. Air laut yang terkontaminasi ini yang nantinya menjadi sumber V. parahaemolyticus pada hasil tambak udang. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, kekeruhan, nutrien perairan, dan konsentrasi oksigen terlarut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap keberadaan V. parahaemolyticus (Yennie Yusma 2011).

28

Listeria monocytogenes

Listeria monocytogenes menjadi penyebab utama permasalahan di industri pangan. Salah satunya karena kemampuannya untuk tumbuh dan bertahan hidup pada suhu 2 – 45 °C, ini berarti bahwa L. monocytogenes juga merupakan cemaran yang dapat mengkontaminasi pangan siap saji (FDA 2004). Namun, karena terbatasnya data mengenai L. monocytogenes pada pangan siap saji maka data yang dibahas adalah data L. monocytogenes pada pangan segar. Prevalensi rata-rata L. monocytogenes pada daging ayam, daging sapi, dan susu pasteurisasi secara berurut adalah 0%, 0%, dan 0.9% (Tabel 14). Menurut Loura et al. (2005), peluang L. monocytogenes pada daging ayam adalah 20%. Menurut Garcia et al. (2004), prevalensi L. monocytogenes pada daging ayam, daging sapi, dan susu sapi segar berturut-turut adalah 36.1%, 34.9%, dan 6.8%.

Perbedaan yang sangat jauh ini dikarenakan jumlah sampel yang digunakan, pada penelitian L. monocytogenes di daging ayam oleh Yanti (2011), sangat kecil (n = 10). Sehingga tingkat deteksinya pun menjadi rendah. Memperkirakan ukuran sampel yang tepat sangat sulit dilakukan karena prevalensi dari Listeria monocytogenes sendiri di Indonesia belum diketahui sehingga penghitungan ukuran sampel yang tepat juga sangat sulit dilakukan. Selain itu, Listeria monocytogenes tidak dapat berkembang pada makanan yang memiliki jumlah bakteri tinggi (Loanna et al. 2009). Faktor yang berperan besar tidak ditemukannya L. monocytogenes pada sampel daging sapi yang dijual di beberapa pasar tradisional di Surabaya karena L. monocytogenes merupakan bakteri yang mudah tumbuh pada suhu dingin sedangkan Surabaya sendiri merupakan daerah yang bersuhu panas (Cossart 2004). Selain itu, menurut Stopforth et al. (2005) L. monocytogenes tidak dapat berkembang pada makanan yang memiliki jumlah bakteri tinggi. Seperti yang diketahui proses penyiapan daging sapi di pasar tradisional Surabaya tidak memperhatikan aspek sanitasi dan hygiene sehingga bakteri yang terdapat dalam daging sapi yang dijual di pasar tradisional Surabaya sangat banyak (Sodik 2006). Tidak ditemukannya L. monocytogenes juga dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit (n = 30).

Staphylococcus aureus

Prevalensi rata-rata Staphylococcus aureus pada ayam siap saji adalah 75.6% (Tabel 14). Penetapan prevalensi Staphylococcus aureus sedikit berbeda penetapan prevalensi pada Listeria monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus, Salmonella spp., dan Campylobacter jejuni. Karena Staphylococcus aureus pada SNI memiliki ambang penerimaan sebesar 100 CFU/g maka nilai prevalensi ini dihitung berdasarkan peluang terdapatnya Staphylococcus aureus >100 CFU/g produk. Prevalensi cemaran S. aureus pada pangan siap saji di Korea yang telah diteliti oleh Oh et al. (2007) yaitu sebesar 8.6% dan di Thailand oleh Chomvarin et al. (2006) sebesar 10.8%.

Umumnya makanan terkontaminasi S. aureus yang berasal dari manusia, seperti tangan pekerja atau kontaminasi dari sumber lain, seperti peralatan yang sebelumnya telah terkontaminasi S. aureus dari manusia. Penelitian yang dilakukan Loir (2003) menyatakan bahwa 30-50% manusia sehat merupakan pembawa S. aureus. Acco et al. (2003) juga menyatakan bahwa terdapat 30% sistem pernapasan pengolah bahan pangan di Brazil yang mengandung S. aureus. Setelah dikonfirmasi lebih lanjut pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa 31.71% mulut dan hidung (sistem pernapasan) manusia sehat merupakan pembawa S. aureus. Menurut Deshpande (2002), S. aureus dapat berpindah lewat bersin, batuk, kontak jari, kontak bibir, gigitan, dan sapu tangan. Perbedaan antara hasil penelitian di Indonesia dengan Korea dan Thailand ini, kemungkinan disebabkan oleh kondisi iklim dan higienitas dari orang yang menangani makanan siap saji tersebut.

29

Bacillus cereus

B. cereus dapat memanfaatkan pati sebagai sumber optimal untuk pertumbuhannya (Gibbs 2003). Oleh karena itu, B. cereus bisasanya terdapat di dalam susu, daging, rempah-rempah, dan sereal (seperti beras). Prevalensi rata-rata Bacillus cereus pada nasi putih adalah 47.5% (Tabel 14). Sama halnya dengan Staphylococcus aureus, B. cereus juga memiliki nilai ambang penerimaan yaitu 100 CFU/g. Sehingga nilai prevalensinya pun dihitung berdasarkan peluang terdapatnya B. cereus >100 CFU/g produk. Meskipun data yang diperoleh hanya berasal dari satu sumber, data tersebut sudah cukup mewakili mengingat B. cereus merupakan mikroba yang umum terdapat pada nasi. Selain itu, penyimpanan nasi pada suhu ruang juga dapat menyebabkan konsentrasi B. cereus pada nasi menjadi tinggi.

Rosenquist et al. (2005) menemukan dari 1070 sampel nasi yang dianalisis di Denmark pada kurun waktu 2000-2003, sebanyak 97.6 % memiliki kandungan B. cereus <103 CFU/g, 1.1 % memiliki kandungan B. cereus 103 – 104 CFU/g, dan 1.3 % memiliki kandungan B. cereus >104 CFU/g. Rosenquist menggolongkan bahwa sampel yang berada pada status potentially hazardous adalah B. cereus dengan jumlah >104 CFU/g yaitu hanya 1.3%. Perbedaan antara hasil penelitian di Indonesia dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosenquist et al. mungkin terletak pada waktu hidang dari nasi tersebut. Jumlah B. cereus akan meningkat seiring lamanya waktu hidang. Contohnya dari satu sumber nasi yang sama, jumlah B. cereus yang terdeteksi akan berbeda jika pada pengujian B. cereus pertama dilakukan 3 jam setelah matang dan pengujian kedua dilakukan 5 jam setelah nasi makan.

Dapat disimpulkan peluang bahaya Bacillus cereus pada nasi, Staphylococcus aureus pada makanan siap saji, dan salmonellosis pada daging ayam memiliki tingkat prevalensi relatif yang sangat tinggi sedangkan Campylobacter jejuni pada susu pasteurisasi; salmonellosis pada telur ayam; dan Listeria monocytogenes pada daging sapi, ayam, serta susu pasteurisasi memiliki tingkat prevalensi relatif sangat rendah.

Bahaya Kimia

Bahaya kimia yang ditentukan prevalensi antara lain logam berat, histamin, aflatoksin B1, dan Na-Nitrit. Sumber prevalensi untuk bahaya kimia ini diperoleh sebagian besar dari Badan POM tahun 2007 dan 2009. Selain itu, prevalensi ini juga diperoleh dari beberapa penelitian lain. Prevalensi logam berat (Pb, Cd, Hg, dan As) dalam pembahasan ini dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu prevalensi logam berat pada pangan jajanan (AMDK, gorengan, minuman teh, dan susu UHT) pada Tabel 15 dan logam berat pada produk perikanan pada Tabel 16.

Hasil yang diperoleh pada Tabel 15 menunjukkan hanya timbal (Pb) di susu UHT (66.7%) dan merkuri (Hg) di AMDK (50%), gorengan (50%), dan minuman teh (33.3%); yang memiliki prevalensi > 0%. Timbal di susu UHT kemungkinan tercemar melalui paparan udara dan alat yang tidak bersih dari timbal sehingga pada produk akhir ditemukan sejumlah timbal yang melebihi batas yang ditetapkan oleh SNI. Cemaran merkuri yang tinggi umumnya merupakan hasil kontaminasi dari pembuangan limbah pabrik/perusahaan yang selama proses produksinya menggunakan bahan baku mengandung merkuri. Ditemukannya keberadaan merkuri pada produk AMDK, gorengan, dan minuman teh ini mungkin disebabkan peralatan atau bahan baku yang digunakan telah tercemar merkuri sehingga terakumulasi pada produk akhirnya.

Prevalensi aflatoksin B1pada kacang tanah dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu di tingkat petani, pengumpul, dan pengecer. Prevalensi aflatoksin di tingkat pengecer lebih tinggi dibanding di tingkat petani dan pengumpul. Terjadinya peningkatan persentase biji yang terserang aflatoksin B1 diduga karena peningkatan kadar air biji kacang tanah selama penyimpanan dan jangka waktu

30

penyimpanan kacang tanah di tingkat pengecer yang lebih lama daripada di tingkat petani maupun pengumpul (Akbar 2004).

Tabel 15. Prevalensi bahaya kimia pada produk non-perikanan

Bahaya Produk Prevalensi

I II III SNI1 (%) Klasifikasi Skor

Timbal2 (Pb)

AMDK 0.0002 0.0020 - 0.005 ppm 0 Rendah 1 Gorengan 0.0010 0.0125 - 0.250 ppm 0 Rendah 1 Minuman teh (seduhan) 0.0240 0.0240 0.0125 2.000 ppm 0 Rendah 1 Susu UHT 0.0240 0.0125 0.0240 0.020 ppm 66.7 Tinggi 10 Kadmium2

(Cd)

AMDK 0.0002 0.0013 - 0.003 ppm 0 Rendah 1 Gorengan 0.0013 0.0070 - 0.200 ppm 0 Rendah 1 Minuman teh (seduhan) 0.0015 0.0015 0.0070 0.200 ppm 0 Rendah 1 Susu UHT 0.0015 0.0015 0.0070 0.200 ppm 0 Rendah 1 Merkuri2

(Hg)

AMDK 0.0025 0.0002 - 0.001 ppm 50 Tinggi 10 Gorengan 0.0025 0.0444 - 0.030 ppm 50 Tinggi 10 Minuman teh (seduhan) 0.0025 0.0025 0.0932 0.030 ppm 33.3 Tinggi 10 Susu UHT 0.0025 0.0122 0.0025 0.030 ppm 0 Rendah 1 Aflatoksin B1 kacang tanah Petani 18.23) 5.74) - 20 ppb 5.7 Tinggi 10 Pengecer 55.43) 30.05) - 30.0 Tinggi 10 Pengumpul 14.53) 7.16) - 7.1 Tinggi 10 Jagung (basah + pipilan) 16.07) - - 16.0 Tinggi 10 Na-nitrit daging sapi olahan 30.08) - - 125 ppm 30.0 Tinggi 10 Keterangan :

Kolom prevalensi I, II, dan III berisi konsentrasi cemaran (survei Badan POM 2010), kecuali pada aflatoksin dan nitrit. Sumber : 1) SNI 7387-2009. 2) BPOM 2010. 3) BPOM 2007. 4) Lilieanny et al. 2005. 5) Haryo 2009. 6) Akbar 2004. 7) Utami 2008. 8) S Cory 2009.

Prevalensi Na-Nitrit pada daging sapi adalah 30%. Penggunaan nitrit sebagai pengawet pada daging sapi memang dibolehkan dengan batas maksimum menurut SNI sebesar 125 ppm. Nilai prevalensi muncul akibat penggunaan nitrit dengan takaran serampangan sehingga jumlahnya tidak terkontrol. Nilai SNI bahaya kimia (logam berat, histamin, aflatoksin B1, dan Na-Nitrit) untuk masing-masing produk memiliki batas maksimum penerimaan yang berbeda-beda. Nilai 0% pada kolom prevalensi bukan berarti “sama sekali tidak terdapat bahaya” dalam produk melainkan “tidak ada bahaya kimia yang melebihi batas” yang telah ditetapkan oleh SNI.

Tabel 16. Prevalensi bahaya kimia pada produk perikanan

Produk N Pb Skor Hg Skor Cd Skor As Skor Histamin Skor Sumber

Ikan 3 100 10 100 10 Bangun 2005. 30 0 1 6.67 3 0 1 BPOM 2009. 3 100 33.3 10 5 BPOM 2009. 5 0 1 Kamaludin 2006. 14 14.3 3 Gunawan et al. 2008. 4 0 1 Simange et al. 2010. 20 5 1 Nur M et al. 2008.  100 10 3.57 3 53.3 10 2.5 1 66.67 10 Crustacea (udang, kepiting) 2 0 1 Gunawan et al . 2008. 3 0 1 0 1 0 1 BPOM 2009. 2 0 1 Nur M et al. 2008.  0 1 0 1 0 1 Mollusca (kerang) 3 0 1 Hayati Nur 2009. 3 0 1 33.3 0 1 BPOM 2009. 2 0 1 Nur M et al. 2008.  0 1 33.3 10 0 1

31

Untuk cemaran logam berat dan histamin pada produk perikanan (Tabel 16), hampir semuanya hanya menggunakan satu hasil penelitian sehingga hasilnya kurang mewakili data cemaran di Indonesia. Pada produk perikanan jenis crustacea (udang, kepiting) tidak ditemukan adanya cemaran merkuri, kadmium, dan arsen sedangkan pada produk perikanan jenis mollusca (cumi-cumi) ditemukan adanya cemaran kadmium. Pada produk perikanan jenis ikan ditemukan cemaran timbal, histamin, kadmium, merkuri, dan arsen dengan tingkat prevalensi yang berbeda-beda (timbal > histamin > kadmium > merkuri > arsen). Timbal dan kadmium memiliki prevalensi besar karena sifatnya yang terakumulasi antara lingkungan hidup dan pola rantai makanannya. Selain itu, prevalensi histamin yang besar disebabkan penanganan ikan yang kurang baik terutama pada faktor suhu dan waktu penyimpanan pangan (Bangun 2005).

Pengkelasan untuk tigkat prevalensi juga dihitung berdasarkan metode pengkelasan statistik seperti yang dilakukan pada pengkelasan tingkat konsumsi pada pembahasan sebelumnya. Hasil perhitungan klasifikasinya dapat dilihat pada Tabel 17. Perhitungan pengkelasan untuk tingkat prevalensi ini secara lengkap terlampir pada Lampiran 6.

Tabel 17. Klasifikasi tingkat prevalensi berdasarkan interval kelasnya.

Prevalensi Tingkat Skor

> 40.9% Sangat Tinggi 10

26.1 – 40.9% Tinggi 7

15.0 - 26,0% Sedang 5

7.5 – 14.9% Rendah 3

< 7.5% Sangat Rendah 1