REKOMENDASI
PENENTUAN PRIORITAS
TERHADAP BAHAYA MIKROBIOLOGI DAN KIMIA
PADA PRODUK PANGAN TERTENTU
53
PENDAHULUAN
Surveilan keamanan pangan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada pihak pengguna yang membutuhkan untuk ditindaklanjuti. Aktivitas yang dilakukan oleh surveilan keamanan pangan antara lain melakukan survei masalah kandungan bahan-bahan berbahaya yang tidak diijinkan, bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi batas standar yang ditetapkan, dan beberapa kasus keracunan pangan. Karena masalah keamanan pangan sangat kompleks dan luas cakupannya, maka topik yang dipilih dalam surveilan keamanan pangan harus merupakan prioritas dan sesuai denga tujuan utama. Untuk menentukan skala prioritas tersebut perlu dilakukan suatu kajian risiko.
Kajian risiko dapat berupa kajian kualitatif, semi-kualitatif, atau kuantitatif. Kepentingan dari kajian risiko kualitatif maupun kuantitatif berbeda bergantung dengan kondisi yang ada. Kajian kuantitatif merupakan pilihan yang lebih disukai, terutama jika data cukup tersedia. Pada kondisi di mana terdapat keterbatasan data, waktu, ataupun sumber daya lain maka kajian kualitatif yang dipilih.
Pada penentuan prioritas ini digunakan pendekatan melalui kajian risiko secara kualitatif. Kajian risiko secara kualitatif adalah kajian yang deskriptif atau merupakan penetapan kategori berdasarkan informasi-informasi yang tersedia. Keluaran yang diperoleh biasanya dinyatakan dalam kategori risiko tinggi, sedang, rendah atau risiko yang dapat diabaikan. Kajian kualitatif ini bukan merupakan review atau rangkuman informasi pustaka, tetapi harus mengikuti pendekatan terstruktur dan sistematik seperti halnya pada kajian secara kuantitatif. Kajian ini dilakukan terhadap bahaya mikrobiologis dan kimia pada produk pangan tertentu.
Kajian risiko kimia menitikberatkan pada keberadaan bahan kimia, seperti bahan tambahan pangan (aditif), cemaran kimiawi maupun residu obat-obatan ternak. Penggunaan bahan tambahan pada produk pangan terutama ditujukan untuk meningkatkan mutu, misalnya cita rasa, warna, aroma, dan untuk mengawetkan produk pangan. Dengan semakin meningkatnya penggunaan bahan tambahan pada produk pangan, paparan terhadap bahan tersebut juga meningkat, sehingga perlu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap kesehatan, misalnya potensi bahan tersebut sebagai penyebab kanker atau penyakit lain.
Kajian risiko mikrobiologis menitikberatkan pada evaluasi kemungkinan munculnya efek terhadap kesehatan setelah terpapar dengan mikroba patogen atau dengan media yang mendukung mikroba patogen. Bahaya pada kajian risiko mikrobiologis pada dasarnya mempunyai sifat yang berbeda dengan bahaya pada kajian risiko kimiawi. Pada umumnya bahaya pada kajian risiko mikrobiologis berupa benda hidup, yang dapat berubah dengan lajunya waktu, dan dapat tumbuh (bertambah), tetap atau mati (berkurang) sebelum pangan dikonsumsi.
TUJUAN
Tujuan pembuatan pedoman ini yaitu untuk menentukan mengetahui tingkat risiko dari suatu bahaya terhadap kesehatan masyarakat.
PETUNJUK PENGISIAN
Penentuan prioritas dilakukan apabila daftar kombinasi antara bahaya dan produk pangan telah dibentuk. Parameter-parameter yang dibutuhkan antara lain tingkat keparahan (konsekuensi), tingkat konsumsi, dan data prevalensi. Data-data ini selanjutnya diberi peringkat dan skor untuk
54
kemudian dikombinasikan dan dihitung, sehingga diperoleh nilai akhir sebagai dasar penentuan prioritas. Ini adalah kerangka tabel penentuan prioritas:
No. Bahaya Produk pangan Konsekuensi Konsumsi Prevalensi Skor akhir
1. ... ... ... ... ... ...
... ... ... ... ... ... ...
Tabel penggolongan konsekuensi bahaya
Virus Tingkat Keparahan Bakteri Tingkat Keparahan
Adenovirus Sedang Aeromonas hydrophilla Tinggi
Astrovirus Sedang Bacillus anthracis Tinggi
Calicivirus Rendah Bacillus cereus Rendah
Hepatitis A Sedang-Tinggi Brucella abortus Sedang-Tinggi
Norwalk dan Norwalk-like Rendah-Sedang Campylobacter jejuni Rendah-Sedang
Parvovirus Sedang Clostridium botulinum Tinggi
Rotavirus Sedang Clostridium perfringens Rendah
Coxiella burnetti Rendah-Tinggi Parasit protozoa Tingkat Keparahan Escheria coli (enteroinvasive) Rendah-Tinggi Cryptosporidium parvum Sedang-Tinggi Escheria coli (enteropathogenic) Rendah-Tinggi Cyclospora cayetanensis Sedang Escheria coli (enterotoxigenic) Rendah-Tinggi Entamoeba histolytica Rendah-Tinggi E. coli O157:H7 (enterohemorrhagic) Sedang-Tinggi
Giardia lamblia Rendah-Sedang Listeria monocytogenes Rendah-Tinggi
Toxoplasma gondii Rendah-Tinggi Mycobacterium avium Tinggi
Mycobacterium bovis Tinggi Parasit lainnya Tingkat Keparahan Mycobacterium tuberculosis Tinggi
Angiostrongylus cantonensis Tinggi Salmonella paratyphi Tinggi
Anisakid nematodes Rendah-Tinggi Salmonella spp. (serovar) Rendah-Tinggi
Diphyllobothrium spp. Rendah-Sedang Salmonella typhi Tinggi
Taenia saginata Sedang-Tinggi Shigella spp. Sedang-Tinggi
Taenia solium Sedang-Tinggi Staphylococcus aureus Rendah, Tinggi (Langka) Trichinella spiralis (nematode) Sedang-Tinggi Streptococcusi betahemolitik Rendah-Sedang
Vibrio choloerae (non-O1) Rendah-Sedang
Toksin Tingkat Keparahan Vibrio choloerae (O1) Rendah, Tinggi (Langka)
Ciguatoxins Sedang-Tinggi Vibrio parahaemolyticus Sedang
Diarrhetic shellfish poisons (DSP) Rendah Vibrio vulnificus Tinggi
Domoic acid Sedang-Tinggi Yersinia enterocolitica Rendah-Sedang, Kronis
Histamine, histamine-like Rendah-Tinggi Yersinia pseudotuberculosis Sedang Neurotoxic shellfish poisons Rendah Sumber:
Paralytic shellfish poison (PSP) Sedang-Tinggi Deshpande (2002); CDC (2004); Ward, et. al. (2004)
Tetrodotoxin Sedang-Tinggi
Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan untuk menentukan tingkat prioritasnya: Penentuan tingkat keparahan dampak yang diakibatkan terpaparnya bahaya
Tingkat keparahan atau konsekuensi diisi dengan melihat seberapa parah dampak yang ditimbulkan oleh bahaya tersebut. Untuk parameter mikrobiologi tingkat keparahan ini dilihat dari waktu inkubasi, perkiraan kasus kematian / kasus KLB, dan dosis yang menyebabkan sakit. Selain itu, untuk dapat pula dilihat berdasarkan resistensinya terhadap antibiotik-antibiotik tertentu. Untuk
55
parameter kimia tingkat keparahan ini dilihat dari nilai LD50 masing-masing bahaya, semakin kecil
nilai LD50 maka dapat dikatakan bahaya tersebut memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi. Secara
umum, klasifikasi tingkat keparahan ini dibagi tiga yaitu rendah (R), sedang (S), dan tinggi (T). Tabel skor klasifikasi
No. Klasifikasi Skor
1 Tinggi 10
2 Sedang 5
3 Rendah 1
Berikut tabel penggolongan tingkat bahaya parameter kimia berdasarkan nilai LD50 (Hodgson Ernest.
2004):
No. Klasifikasi LD50 (mg/kg) Skor
1 Tinggi <50 10
2 Sedang 50 – 500 5
3 Rendah >500 1
Perlu diperhatikan pula dampak bahaya dapat berbeda pada kelompok sasaran, dosis paparan, dan tingkat paparan tertentu.
Penentuan tingkat konsumsi
Tingkat atau jumlah konsumsi didasarkan pada data konsumsi masyarakat Indonesia yaitu data SUSENAS yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data SUSENAS yang digunakan sebagai acuan sebaiknya adalah data hasil survei pada tahun yang bersangkutan (pada saat dilakukan kajian risiko atau 1 tahun sebelumnya). Jika sumber data konsumsi berasal dari beberapa sumber yang berbeda, maka satuan dari data tersebut harus disamakan sesuai data SUSENAS yaitu kg / perkapita / minggu. Klasifikasi tingkat konsumsi ini dilakukan dengan menggunakan metode statistika pengkelasan.
Langkah penentuan pengkelasan :
a. Cari Range (R = data max – data min)
b. Hitung banyak kelas (K) dengan rumus K = 1 + 3,3 log N (N = banyak data) c. Cari Interval Kelas dengan rumus I = R/K. (biasanya I = bilangan ganjil) d. Pilih batas bawah kelas pertama (biasanya data min)
e. Cari frekuensi dengan menggunakan turus
f. Buat tabel hubungan antara interval dengan frekuennsi g. Tentukan pengelompokan data dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
L : batas atas interval n : banyak data
fk : total frekuensi pada interval sebelumnya f : frekuensi dari interval pada n yang ditentukan
56
Untuk data SUSENAS 2011 klasifikasinya adalah sebagai berikut:
No. Jumlah konsumsi (kg perkapita/minggu) Klasifikasi Skor
1 < 0,0055 Sangat Rendah 1
2 0,0056 - 0,0116 Rendah 3
3 0,0117 - 0,0176 Sedang 5
4 0,0177 - 0,0306 Tinggi 7
5 > 0,0307 Sangat Tinggi 10
Nilai klasifikasi ini mungkin berubah sesuai dengan data yang ada. Penentuan prevalensi
Nilai prevalensi ini adalah peluang terdapat bahaya dalam produk pangan tertentu. Angka- angka prevalensi ini diperoleh dari hasil kajian atau penelitian yang ada. Prevalensi ini didapat dengan melihat persentase antara jumlah sampel (kadar bahayanya melebihi batas maksimum yang ditetapkan SNI) dengan jumlah sampel yang diuji.
prevalensi = x 100% Keterangan:
n : jumlah sampel yang kadar bahayanya melebihi batas maksimum yang ditetapkan SNI N : jumlah sampel yang diuji
Sama halnya dengan penentuan klasifikasi pada tingkat konsumsi, penentuan klasifikasi prevalensi ini juga didasarkan pada penghitungan pengkelasan menggunakan metode statistika.
Berikut adalah tabel klasifikasinya:
No. Klasifikasi Skor
1 Sangat tinggi 10
2 Tinggi 7
3 Sedang 5
4 Rendah 3
5 Sangat rendah 1
Penghitungan (skoring) prioritas
Setelah masing-masing parameter (konsekuensi, konsumsi, dan prevalensi) ditentukan skornya, maka langkah yang selanjutnya dilakukan adalah mengkalkulasi atau mengalikan antara skor konsekuensi dengan skor konsumsi dan prevalensi.
Berikut adalah tabel penghitungan skor akhir:
No. Bahaya Produk
Pangan Skor Konsekuensi Skor Konsumsi Skor Prevalensi Skor Akhir
1 Mikrobiologi Udang A B C A*B*C
2 Kimia Daging D E F D*E*F
Prioritas tertinggi diperoleh dengan mengurutkan hasil skor akhir, kombinasi bahaya yang memiliki nilai tertinggi merupakan kombinasi dengan prioritas tertinggi pula.
57
Contoh Kasus Mikrobiologi
Bahaya Produk
Pangan
Konsekuensi Konsumsi (perkapita/minggu) Klasifikasi Skor Jumlah Klasifikasi Skor V.parahaemolyticus udang
segar Sedang 5 0,012 kg Sedang 5
Prevalensi (%)
Skor Akhir I II III Klasifikasi Skor
28,4 43,5 20,8 30,9 Tinggi 7 175
Konsekuensi Vibrio parahaemolyticus dikatakan sedang karena waktu inkubasinya 1 – 3 hari, kasus kematian <1%, dan dosis yang menyebabkan sakit sebesar 105– 107 CFU.
Jumlah konsumsi udang segar menurut SUSENAS 2011 yaitu sebesar 0,012 kg.
Dari 3 kajian yang berbeda diperoleh bahwa prevalensi (peluang) terdapatnya Vibrio parahaemolyticus pada udang segar yaitu 28.4%, 43.5%, 20.8% dan rata-ratanya adalah 30.9%.
Masing-masing parameter diperingkatkan dan diperoleh konsekuensi=5, konsumsi=5, dan prevalensi=7, kemudian dikalikan untuk menghitung skor akhir. SA = 5*5*7 SA = 175 Contoh Kasus Kimia
Bahaya Produk
Pangan
Konsekuensi Konsumsi (perkapita/minggu) Klasifikasi Skor Jumlah Klasifikasi Skor Aflatoksin B1 Kacang
tanah Tinggi 10 0,008 kg Rendah 3
Prevalensi (%)
Skor Akhir I II III Klasifikasi Skor
18,2 14,5 16,0 16,3 Sedang 5 150
Konsekuensi Aflatoksin B1 dikatakan tinggi karena nilai LD50 sebesar 9 mg/kg.
Jumlah konsumsi kacang tanah menurut SUSENAS 2011 yaitu sebesar 0,008 kg.
Dari 3 kajian yang berbeda diperoleh bahwa prevalensi (peluang) terdapatnya Vibrio parahaemolyticus pada udang segar yaitu 18.2%, 14.5%, 16.0% dan rata-ratanya adalah 16.3%.
Masing-masing parameter diperingkatkan dan diperoleh konsekuensi=10, konsumsi=3, dan prevalensi=5, kemudian dikalikan untuk menghitung skor akhir. SA = 5*5*7 SA = 150
Keterangan tambahan:
Prevalensi Klasifikasi Skor Jumlah konsumsi
(kg perkapita/minggu) Klasifikasi Skor > 40.9% Sangat Tinggi 10
26.1 – 40.8% Tinggi 7 < 0.0055 Sangat Rendah 1
15.0 – 26.0% Sedang 5 0.0056 – 0.0116 Rendah 3
7.5 – 14.9% Rendah 3 0,0117 – 0.0176 Sedang 5
< 7.4% Sangat Rendah 1 0.0177 – 0.0306 Tinggi 7