• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 FORMULASI INDEKS RESILIENS

2.2 Metode Penelitian

2.2.1 Penentuan peubah indikator

Berdasarkan kajian pustaka diperoleh 11 peubah yang dapat menjadi calon peubah indikator resiliensi terumbu karang. Kesebelas peubah tersebut mewakili 6 (enam) komponen atau faktor yang berperan besar di dalam pemulihan terumbu karang (Tabel 2), jika terjadi gangguan yang berdampak akut dan berkaitan langsung dengan kelulushidupan karang.

Indeks resiliensi yang dikembangkan dirancang untuk mengukur secara kuantitatif kemampuan terumbu karang pulih kembali ketika mengalami gangguan kematian karang masal. Di dalam terumbu karang, komunitas karang

merupakan komponen utama pembentuk ekosistem terumbu karang, sehingga pemulihan komunitas karang merupakan indikator utama dari pemulihan terumbu karang.

Tabel 2 Daftar 11 peubah indikator resiliensi terumbu karang yang diperoleh dari kajian pustaka.

Komponen Peubah indikator Unit/penjelasan

A. Warisan biologis (Biodiversity)

1) Kekayaan genus (CGR: coral genera richness)

2) Kekayaan kelompok fungsional (CFG: coral functional group)

jumlah genus

jumlah bentuk tumbuh (life form)

B. Warisan struktural (Habitat complexity and substrate)

3) Karang masif dan submasif (CMC dan CSC: coral massive and sub-massive covers)

4) Susbtrat yang tidak dapat dihuni (USS: unsuitable settlement substrate)

% tutupan CMC+CSC

% tutupan pasir (S) dan lumpur (SI)

C. Biota yang datang (Mobile link,

Recruitment)

5) Jumlah kelas ukuran koloni (CSC: coral size classes)

6) Jumlah karang ukuran kecil (CSN: coral small-size number)

jumlah kelas, dengan interval 10 cm jumlah koloni kecil D. Produktivitas

(Regimes)

7) Karang (CCO: coral cover)

8) Algae (ALC: algal cover)

9) Fauna lain (OTF: other fauna cover) % tutupan karang % tutupan algae % tutupan OTF E. Herbivori (Herbivory)

10)Algae berdaging (AMC: macroalgal cover)

% tutupan makroalgae (MA)

F. Kualitas perairan (Water quality)

11)Karang Acropora (CAC: coral Acropora cover)

% tutupan karang Acropora

Proses pemulihan kembali terumbu karang tersebut tergantung pada:

(a) Warisan biologis, berupa karang yang selamat dari gangguan. Besar kecilnya warisan biologis tersebut ditentukan oleh keanekaragaaman hayati komunitas karang saat ini. Karang dari spesies tertentu, genus tertentu, atau dengan bentuk tumbuh tertentu lebih tahan terhadap gangguan daripada yang lainnya (Brown & Suharsono 1990; Gleason 1993; Marshall & Baird 2000; Ninio & Meekan 2002). Karang yang selamat dari gangguan dapat mempercepat rekolonisasi ruang yang terbuka, baik dari larva yang dihasilkan (Miller & Mundy 2003; Starger et al. 2010), dari rekruitmen secara vegetatif (Williams et al. 2008; Golbuu et al. 2007), maupun dari pertumbuhan karang tersebut.

Peubah indikator dari keanekaragaman hayati karang yang digunakan adalah keanekaragaman genus (CGR, coral genera richness), dan keanekaragaman bentuk tumbuh atau kelompok fungsional karang (CFG, coral functional groups). Keanekaragaman spesies tidak digunakan karena tingginya tingkat kesulitan identifikasi karang ke tingkat spesies di dalam air, dan kurangnya ahli taksonomi karang di Indonesia (Erdinger & Risk 2000).

(b) Warisan struktural adalah bentuk fisik terumbu karang yang akan bertahan ketika terjadi gangguan. Warisan struktural ini berupa kompleksitas habitat dan substrat yang dapat ditumbuhi karang. Habitat yang kompleks dapat menjaga keanekaragaman ikan (Wilson et al. 2007) dan kelangsungan proses herbivori (Ledlie et al. 2007), serta meningkatkan rekruitmen karang (Petersen et al. 2005), sehingga sangat penting dalam pemulihan komunitas karang. Kompleksitas habitat terumbu karang biasanya diukur dengan indeks spasial (Rogers et al. 1983), indeks permukaan (Roberts & Ormond 1987), atau penilaian visual (Wilson et al. 2007). Di dalam penelitian ini, yang menggunakan data transek garis, ukuran kompleksitas habitat diperkirakan berdasarkan tutupan karang masif (CMC, coral massive cover) dan submasif (CSC, coral submassive cover). Keduanya dapat dijadikan satu peubah sebagai CMS (coral massive submassive). CMS, disamping memiliki kepadatan kerangka yang tinggi juga banyak dilaporkan merupakan kelompok yang tahan (resistant) terhadap gangguan (Gleason 1993; Ninio & Meekan 2002). Pada terumbu karang yang mengalami kematian masal, semua bentuk tumbuh karang yang lain akan segera menjadi pecahan karang (rubble) karena memiliki kepadatan kerangka kapur yang jauh lebih rendah. Kelimpahan CMS yang tinggi dapat menjamin ketersediaan habitat yang kompleks ketika terjadi gangguan kematian karang secara masal. Sayangnya kelimpahan CMS tidak hanya menunjukkan kompleksitas habitat yang tinggi tetapi juga berkaitan dengan kualitas air yang buruk, misalnya dekat sumber polusi dari daratan (Erdinger & Risk 2000). Hubungan antara kelimpahan CMS dengan resiliensi menjadi tidak linier, melainkan seperti parabola (kuadratis), sehingga tidak dapat secara langsung dijadikan sebagai peubah indikator dari resiliensi terumbu karang.

Sebagian struktur terumbu karang merupakan substrat keras yang stabil sehingga dapat ditumbuhi larva karang, tetapi sebagian lainnya tidak. Besarnya jumlah substrat yang dapat ditumbuhi oleh karang sulit diukur pada transek, karena sebagian substrat stabil tersebut sedang ditumbuhi dan tertutup oleh karang atau oleh biota lainnya. Di dalam penelitian ini peubah indikator yang digunakan adalah besarnya substrat yang tidak dapat digunakan larva karang untuk menempel dan tumbuh (USS, unsuitable settlement subsrate), sehingga tidak ditumbuhi karang atau benthos lainnya, yaitu tutupan pasir dan lumpur. Peubah indikator USS tersebut bersifat negatif terhadap potensi pemulihan karang sehingga memiliki tanda kurang (-) di dalam rumus indeks. Substrat pecahan karang, karang mati, dan batu kapur (rock) dapat berfungsi sebagai substrat penempelan larva karang ketika dalam kondisi stabil. Jika pecahan karang tersebut belum stabil saat ini, mereka akan menjadi stabil di lain waktu setelah banyak mendapat sedimentasi kapur perekat dari algae berkapur.

(c) Komponen biota yang datang (mobile link) dapat berupa karang, ikan terumbu, maupun biota yang lainnya. Pemulihan komunitas karang sangat tergantung pada datangnya larva karang, yang menjadi faktor utama keterkaitan antar terumbu. Kedatangan ikan terumbu dan biota lain dapat menjadi bagian penting dari proses rekruitmen karang, tetapi tidak berpengaruh secara langsung pada pemulihan karang. Data rekruitmen karang tidak tersedia di dalam transek garis, sehingga digunakan pendekatan lain untuk mewakili rekruitmen karang, yaitu ukuran koloni karang.

Di dalam penelitian ini rekruitmen karang diukur berdasarkan ukuran koloni karang di transek garis. Transek garis dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran koloni karang (Marsh et al. 1984), dengan menggunakan rumus tertentu. Ukuran koloni ditentukan sebagai panjang potongan transek (intercept chord) yang melintasi bagian koloni tersebut, karena penggunaan rumus yang rumit dianggap tidak praktis bagi pengelola (manajer) kawasan terumbu karang. Cara pendugaan yang praktis ini juga tidak berpengaruh pada hasil penelitian, karena tujuan utama penelitian bukan untuk mengetahui ukuran koloni karang.

Jika di suatu terumbu terjadi rekruitmen yang berkesinambungan maka struktur komunitas karang akan memiliki banyak ukuran koloni, atau rentangan ukuran koloni terkecil dengan terbesar lebar. Peubah indikator jumlah kelas ukuran koloni (CCS, coral colony size), dengan interval ukuran koloni 10 cm (panjang transek) digunakan untuk melihat kesinambungaan rekruitmen karang. Jumlah koloni pada kelas ukuran koloni yang terkecil ( 10 cm) dapat mencerminkan proses reskruitmen pada terumbu karang tersebut, sehingga dapat digunakan juga sebagai indikator dari rekruitmen karang. Secara konvensional, rekruitmen karang di habitat alami diukur berdasarkan jumlah anakan karang atau juvenile yang didefinisikan sebagai koloni karang berukuran 5 cm (Van Moorsel 1985; Golbuu et al. 2007), 2 dan 5 cm (Miller et al. 2000), 0.5-5.0 cm (McClanahan et al. 2005), dan 2-40 mm (Edmunds et al. 2004). Di dalam penelitian ini rekruitmen karang diestimasi berdasarkan jumlah koloni karang yang berukuran kecil (CSN, coral small-size number), yaitu yang mempunyai ukuran 1-10 cm panjang transek. Batasan ukuran koloni ini tidak memiliki makna secara biologis dan ekologis, tetapi dapat menunjukkan ada tidaknya proses rekruitmen karang di terumbu karang tersebut.

(d) Produktivitas ekosistem juga merupakan faktor yang penting dari resiliensi terumbu karang. Kelimpahan karang (COC, coral cover) sudah lama dijadikan sebagai indikator utama kondisi terumbu karang. Walaupun hal ini tidak selalu efektif (Erdinger & Risk 2000), peneliti dan pengambil kebijakan belum melihat alternatif lain yang lebih baik dan praktis seperti peubah tutupan karang. Pada komunitas yang telah mengalami pergantian fase (phase shift), maka kelimpahan karang akan digantikan oleh makroalgae dan fauna lain, misalnya sponge, karang lunak, atau anemon (Hughes 1994; Fox et al. 2003; Tkachenko et al. 2007; Norstrom et al. 2009).

Sebagai peubah indikator dari komunitas alternatif setelah hilangnya dominansi karang adalah kelimpahan makroalgae atau fauna lain. Baik makroalgae maupun fauna lain ternyata keduanya memiliki kelimpahan yang sedikit pada terumbu karang Indonesia, secara berurutan mempunyai rata-rata (±SD) adalah 2.18±7.61% dan 8.05±11.28%, dan rentangan 0-100% dan 0-

81.1%. Nilai rata-rata yang kecil dengan rentangan yang sangat besar merupakan indikasi peubah yang memiliki sumbangan ragam kecil. Jika kedua peubah tersebut digabungkan menjadi satu peubah indikator dari resiliensi terumbu karang, maka peubah tersebut masih kurang berpengaruh. Di antara lima kelompok algae yang paling dominan adalah algae turf (turf algae), yaitu kelompok algae yang berfilamen, tidak berdaging; yang memiliki rata-rata tutupan 18.93±19.99%. Algae berfilamen merupakan pesaing karang yang penting (Jompa & McCook 2003a, 2003b), disamping makroalgae. Agar biota dominan alternatif di terumbu karang menjadi peubah yang sebanding dengan tutupan karang, maka digunakan peubah indikator gabungan yang meliputi semua jenis algae dan fauna lain, dengan nama AOF (algae-other-fauna). Pada terumbu karang di Indonesia kelimpahan rata-rata AOF 30.57±24.24% dan rentangan 0-100%. Penggunaan semua jenis algae sebagai indeks kesehatan terumbu karang sudah pernah disarankan Bahartan et al. (2010). (e) Herbivori merupakan satu proses ekologis yang sangat penting pada resiliensi

ekosistem terumbu karang. Herbivori merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat mengendalikan kelimpahan makroalgae. Jika pertumbuhan makroalgae tidak dikendalikan maka komunitas makroalgae akan segera mendominasi terumbu karang (Hughes et al. 2007). Dominansi makroalgae berdampak negatif pada komunitas karang batu. Herbivori menyediakan ruang kosong untuk penempelan larva karang. Herbivora yang besar tidak hanya mencabik makroalgae tetapi juga memarut dasar terumbu tempat tumbuhnya makroalgae. Bagian kapur terumbu yang terbuka akibat cabikan tersebut akan segera ditumbuhi oleh bakteri dan layak untuk menjadi tempat penempelan larva planula karang.

Meskipun herbivori penting, penggunaan ikan herbivora sebagai peubah indikator resiliensi tidak mudah. Di dalam komunitas ikan herbivora, spesies yang berperan penting sangat tergantung pada komposisi komunitas makroalgae (Fox & Bellwood 2008; Hoey & Bellwood 2008). Herbivori yang sangat penting juga kadang diperankan oleh ikan yang umumnya dikelompokkan sebagai invertivora, misalnya Platax pinnatus di Orpheus Island (Bellwood et al. 2006). Redundansi peran ikan herbivora dengan

Diadema antillarum juga bervariasi antar lokasi (Carpenter 1990). Pengukuran intensitas herbivori lebih reliabel dilakukan pada dampak herbivori, yaitu kelimpahan makroalgae. Pada kondisi herbivori rendah komunitas makroalgae atau turf algae akan mempunyai kelimpahan yang tinggi (Littler et al. 2006), tergantung pada nutrient yang tersedia. Dengan menggunakan kelimpahan atau tutupan makroalgae (AMC, algae macro cover), pengukuran dampak herbivori lebih langsung dan datanya dapat diperoleh dari transek garis. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tutupan makroalgae (AMC) digabungkan dengan peubah yang lain menjadi AOF (algae dan faua lain).

(f) Kualitas perairan merupakan komponen yang sangat penting di dalam resiliensi terumbu karang. Air yang keruh atau banyak sedimen merupakan tekanan lingkungan yang menurunkan resiliensi terumbu karang. Di dalam data transek garis, komponen yang dapat berkaitan dengan kondisi perairan yang baik adalah karang Acroporidae (Done 1982; Erdinger & Risk 2000). Disamping itu, Acroporidae juga mencerminkan kondisi resiliensi yang tinggi karena komunitas karang Acropora berkaitan dengan pemulihan tutupan karang yang cepat (Ninio & Meekan 2002; Wakeford et al. 2008). Pentingnya karang Acropora sebagai indikator dari indeks resiliensi ini sangat disarankan oleh Dr. Brian Keller, peneliti NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), suatu lembaga yang mengelola terumbu karang di Florida Keys.

Sebaliknya, jika terjadi gangguan yang menyebabkan kematian masal karang, maka karang Acropora menjadi salah satu kelompok karang yang paling rentan (Brown & Suharsono 1990; Ninio & Meekan 2002). Kelimpahan karang Acropora yang terlalu tinggi menunjukkan kompleksitas habitat yang rendah. Kerangka karang Acropora yang sudah mati mudah patah dan menjadi puing pecahan karang, sehingga permukaan terumbu karang hampir menjadi rata kehilangan struktur tiga dimensi. Kelimpahan karang Acropora perlu dipadukan dengan kelimpahan karang masif dan submasif untuk menunjukkan kualitas perairan yang baik dan kompleksitas habitat yang tinggi.

Peubah indikator dari kedua kualitas terumbu karang tersebut dinamakan kualitas habitat karang (CHQ, coral habitat quality), yang merupakan akar kuadrat dari interaksi kelimpahan karang masif dan submasif dengan kelimpahan karang Acropora. Istilah karang masif dan submasif mengacu pada karang non-Acropora yang memiliki kerangka padat dengan bentuk tertentu. Secara teoritis nilai maksimum dari CHQ adalah 50%, yaitu ketika terumbu karang 50% tertutup oleh karang Acropora dan 50% sisanya tertutup oleh karang masif dan submasif. Peubah CHQ merupakan peubah baru yang menunjukkan kompleksitas habitat dan kualitas air, dengan satuan %.

Keterangan:

CAC=tutupan karang Acropora, CMC=tutupan karang masif, CSC=tutupan karang sub-masif.

Adanya penggabungan peubah membuat jumlah peubah indikator resiliensi terumbu karang berkurang dari 11 menjadi 8 (delapan) peubah. Peubah ALC, AMC, dan OTF telah bergabung menjadi sebuah peubah baru AOF, yang juga melibatkan kelimpahan jenis-jenis algae yang lain (turf algae, coralline algae, algal assemblage, Hallimeda). Peubah kompleksitas habitat (CMC dan CSC) digabung dengan peubah kondisi perairan (CAC) menjadi peubah kualitas habitat CHQ. Dengan demikian peubah indikator dari resiliensi yang diteliti meliputi: CGR, CFG, CCS, CSN, USS, CHQ, COC, dan AOF.