• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan

Dharmawan (2007) mengatakan bahwa strategi penghidupan pedesaan adalah “strategi penghidupan dan nafkah yang dibangun dan selalu menunjukan pada peran sektor pertanian. Dalam posisi sistem nafkah yang demikian, basis nafkah rumahtangga buruh perkebunan yang ditempuh dalam sebuah permasalahan. Oleh karena itu, strategi nafkah rumahtangga buruh perkebunan merupakan taktik atau cara yang ditempuh para buruh perkebunan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan potensi maupun sumberdaya yang dimiliki.

Scoones (1998) dalam Turasih (2011), terdapat tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumahtangga buruh perkebunan, pertama rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi). Kedua, pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan, atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu, dan anak) untuk ikut bekerja selain pertanian dan memperoleh pendapatan. Ketiga, rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. Berikut beberapa strategi yang terdapat di Desa Patengan.

Strategi Rekayasa Sumber Nafkah Pertanian

Sebanyak 13 persen responden yang selain menjadi karyawan perkebunan juga menjadi petani. Namun, tiga persen di antaranya sudah memasuki pensiun dan lebih memilih fokus mengembangkan pertaniannya, meskipun istrinya masih menjadi karyawan tetap di perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian menjadi salah satu alternatif selain bekerja di perkebunan. Strategi ekstensifikasi pertanian adalah salah satu strategi sumber nafkah pertanian dengan cara manambah lahan garapan. Hal ini jelas tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat Desa Patengan mengingat bahwa sebagian besar penduduk tidak memiliki lahan. Ditambah peraturan terhadap batasan lahan yang dapat digarap oleh Perhutani atau minimnya akses terhadap lahan tidur milik perkebunan. Strategi intensifikasi pertanian merupakan usaha pemanfaatan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien, baik melui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi. Strategi ini belum sepenuhnya dijalankan oleh penduduk Desa Patengan, baik berupa penambahan tenaga kerja yang lebih mengutamakan anggota keluarga atau teknologi pertanian yang masih sangat sederhana. Keterbatasan modal finansial yang dimiliki merupakan salah satu kendala bagi penduduk Desa Patengan dalam mengembangkan usaha pertaniannya Pada intinya, penduduk Desa Patengan tidak

dapat menjalankan strategi ekstensifikasi pertanian dan belum sepenuhnya menjalankan strategi intensifikasi pertanian.

Strategi Pola Nafkah Ganda

Strategi pola nafkah ganda atau diversifikasi nafkah merupakan usaha yang ditempuh responden dengan mencari pekerjaan lain di luar sektor perkebunan untuk menambah pendapatan (income) dalam rumahtangga atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (istri maupun anak) untuk bekerja di sektor selain perkebunan. Strategi ini ditempuh agar sumber pendapatan tidak hanya satu melainkan dari beberapa demi mencukupi kebutuhan hidup rumahtangga. Sumber pendapatan ini dapat berupa on-farm, off-farm dan non-farm. Sektor on-farm diperoleh dari pertanian sayur-sayuran sedangkan sektor off-farm yang berupa tenaga kerja pertanian, bagi hasil atau kontrak upah tenaga kerja non upah. Sektor non-farm adalah sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian dan perkebunan. Lebih dari separuh responden memiliki pekerjaan tambahan atau sumber pendapatan sampingan yaitu sebesar 56.7 persen. Itu artinya penduduk Desa Patengan banyak menempuh strategi pola nafkah ganda dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Strategi pola nafkah ganda yang banyak ditempuh penduduk Desa Patengan adalah sektor non-farm. Jenis mata pencaharian pada sektor non-farm adalah wirausaha seperti berdagang dan sektor jasa seperti kuli bangunan, tukang ojek, jaga toko, joki bus. Selain itu, kawasan Desa Patengan merupakan kawasan wisata alam yang sangat indah dan menjadi peluang bagi penduduk Desa Patengan untuk melakukan usaha di luar perkebunan dan pertanian, di antaranya adalah fotografer, penyewa tikar, penjual cinderamata dan makanan khas setempat, dsb. Sektor non-farm dipilih oleh penduduk Desa Patengan karena dinilai dapat lebih cepat menghasilkan income setiap bulannya jika dibandingkan sektor pertanian yang harus menunggu musim panen ditambah dengan lahan pertanian yang memang sulit diperoleh. Hal tersebut sejalan dengan tesis White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) dalam Widiyanto (2010) yang mengatakan bahwa sebagian lain “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, di mana imbalan di luar pertanian lebih baik.

Sejalan dengan penelitian Turasih (2011) pilihan strategi nafkah menjadi pedagang merupakan hal yang cukup menguntungkan mengingat lokasi desa yang cukup jauh dari pasar dan kota Kabupaten. Dengan adanya pedagang yang menjual kebutuhan sehari-hari hingga kebutuhan sandang masyarakat tidak perlu jauh untuk membeli kebutuhannya. Selain itu untuk pedagangnya juga bisa mendapat keuntungan yang lebih sebab harga yang diperuntukkan biasanya relative lebih tinggi. Hal tersebut telah dirinci pada Tabel 25 yang memperlihatkan bahwa sebagian besar responden yang mengambil strategi pola nafkah ganda, memilih untuk berupaya pada sektor perdagangan baik dengan cara membuka warung sembako maupun menjadi pedagang keliling.

Strategi Migrasi

Migrasi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Scoones (1998) dalam Tulak (2009) mengatakan strategi migrasi atau rekayasa

spasial merupakan usaha yang dilakukan dengan cara mobilisasi/perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkular dalam rangka mencari sumber nafkah baru di tempat lain. Sejalan dengan pengertian di atas, pada umumnya penduduk Desa Patengan tidak banyak yang menempuh strategi migrasi ini.

.

“Yah, kumaha deui neng udah turun temurun, ada sih minat keluar. Pernah

kerja juga di Rancaekek 2 minggu dapet 500 ribu, tapi balik lagi ke sini.”

(AEP, 38 tahun, perawat lepas)

Terdapat dua rumahtangga buruh perkebunan yang salah satu anggota rumahtangganya menempuh strategi migrasi baik ke luar desa maupun ke luar pulau Jawa. Ada yang bekerja sebagai kuli bangunan dan bekerja sebagai security. Anggota rumahtangga yang keluar desa perkebunan itu rutin mengirimi keluarganya sebagian dari penghasilannya. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Turasih (2011) yang mengatakan bahwa rendahnya migrasi pemuda untuk mencari pekerjaan di luar daerah memaksa mereka harus belajar lebih sehingga menjadi petani sukses seperti generasi sebelumnya. Meski sama-sama menyatakan rendah dalam strategi migrasi ini, namun bagi penduduk Desa Patengan sudah cukup dengan salah satu anggota keluarga. Sebagian besar penduduk Desa Patengan enggan keluar dari perkebunan karena merasa khawatir tidak memilki keahlian yang memadai untuk bertahan hidup.

Strategi Survival

Strategi survival adalah upaya yang ditempuh rumahtangga buruh perkebunan untuk tetap bertahan serta menggantungkan hidupnya pada perkebunan. Upaya ini ditempuh pada saat rumahtangga buruh perkebunan tidak memiliki alternatif pekerjaan lain selain perkebunan. Rumahtangga buruh perkebunan terjebak dalam sistem kolonial yang dilestarikan oleh Pemerintah. Seluruh responden mengakui bahwa untuk bisa menetap di rumah perkebunan, minimal ada satu anggota rumahtangga yang bekerja pada perkebunan. Sebanyak 10 persen dari responden yang sudah melewati batas usia bekerja di perkebunan (55 tahun), 6.67 persen di antaranya memilih untuk kembali bekerja pada perkebunan sebagai pemetik lepas, sedangkan sisanya 3.33 persen memilih pensiun kemudian memberdayakan istrinya untu tetap bekerja pada perkebunan.

“Karena kalo keluar perkebunan, belum tentu bisa hidup. Tidak ada

jaminan, jika keluar perkebunan, makanya bertahan. Terbentur di

perkebunan.” (AEP, 37 tahun, perawat lepas)

Mayoritas penduduk Desa Patengan yang terikat pada perkebunan justru melanggengkan hubungannya secara turun termurun demi mempertahankan hidupnya. Tidak adanya daya dukung lahan, hidup dalam teritori yang aspek vitalnya dikuasai oleh negara, belenggu yang membuat terus tergantung pada perkebunan, tidak adanya posisi tawar yang memadai dalam berbagai aspek, seluruh kondisi tersebut dalam jangka panjang akan semakin menyudutkan penduduk Desa Patengan.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Marwan (2007) bahwa hubungan perkebunan (administratur) dengan anggota masyarakat bersifat paternalistik dan sekaligus otoriter, karena fungsi seorang administrator adalah menjamin

terciptanya kesetiaan total dari anggota masyarakat perkebunan terhadap keberhasilan usaha perkebunan.

Ikhtisar

Sebanyak 13 persen responden yang selain menjadi karyawan perkebunan juga menjadi petani. Namun, tiga persen di antaranya sudah memasuki pensiun dan lebih memilih fokus mengembangkan pertaniannya, meskipun istrinya masih menjadi karyawan tetap di perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian menjadi salah satu alternatif selain bekerja di perkebunan. Strategi intensifikasi pertanian belum sepenuhnya dijalankan oleh penduduk Desa Patengan, baik berupa penambahan tenaga kerja yang lebih mengutamakan anggota keluarga atau teknologi pertanian yang masih sangat sederhana.

Lebih dari separuh responden memiliki pekerjaan tambahan atau sumber pendapatan sampingan yaitu sebesar 56.67 persen. Itu artinya penduduk Desa Patengan banyak menempuh strategi pola nafkah ganda dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Strategi pola nafkah ganda yang banyak ditempuh penduduk Desa Patengan adalah sektor non-farm. Jenis mata pencaharian pada sektor non- farm adalah wirausaha seperti berdagang dan sektor jasa seperti kuli bangunan, tukang ojek, jaga toko, joki bus. Selain itu, kawasan Desa Patengan merupakan kawasan wisata alam yang sangat indah dan menjadi peluang bagi penduduk Desa Patengan untuk melakukan usaha di luar perkebunan dan pertanian, di antaranya adalah fotografer, penyewa tikar, penjual cinderamata dan makanan khas setempat, dsb. Sektor non-farm dipilih oleh penduduk Desa Patengan karena dinilai dapat lebih cepat menghasilkan income setiap bulannya jika dibandingkan sektor pertanian yang harus menunggu musim panen.

Sebesar 6.7 persen menempuh jalan migrasi dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga untuk keluar dari Desa Patengan dengan menjadi kuli dan satpam. Strategi migrasi ini masih sangat minim ditempuh karena tingkat pendidikan yang rendah untuk bersaing di dunia luar selain perkebunan. Selain ketiga strategi di atas terdapat pula strategi survival. Sebanyak 10 persen dari responden yang sudah melewati batas usia bekerja di perkebunan (55 tahun), 6.67 persen di antaranya memilik untuk kembali bekerja pada perkebunan sebagai pemetik lepas, sedangkan sisanya 3.33 persen memilih pensiun kemudian memberdayakan istrinya untuk tetap bekerja pada perkebunan. Ketergantungan terhadap PT Perkebunan Nusantara VII ini tentu mempengaruhi pola pikir penduduk Desa Patengan untuk terus mempertahankan eksistensinya menjadi karyawan terus menerus secara turun temurun. Tidak adanya daya dukung lahan, hidup dalam teritori yang aspek vitalnya dikuasai oleh negara, belenggu yang membuat terus tergantung pada perkebunan, tidak adanya posisi tawar yang memadai dalam berbagai aspek, seluruh kondisi tersebut dalam jangka panjang akan semakin menyudutkan penduduk Desa Patengan.