• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH DAN SISTEM PERKEBUNAN Sejarah Perkebunan Indonesia

Sejarah adalah sebuah konstruksi sosial yang dibutuhkan untuk melihat kronologi suatu kerjadian yang terjadi di daerah tersebut. Kronologi tersebut disusun secara terstruktur berdasarkan periode waktu sejak zaman kolonial hingga pada masa ini. Hal tersebut dapat memudahkan melihat transformasi agraria yang terjadi di Desa Patengan. Sebagian besar informasi didapatkan melalui studi literatur yang diperkuat oleh jurnal maupun penelitian-penelitan sebelumnya yang telah dilakukan serta mengaitkannya dengan keadaan struktur agraria di Desa Patengan pada masa ini.

Periode Kolonial Belanda (1870-1942)

Sistem perkebunan mulai masuk ke Indonesia melalui kolonialisme Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda. Namun, sebelum diperkenalkannya sistem perkebunan besar, sistem kebun yang mengkaitkan komoditi perdagangan, seperti: lada, cengkih, pala sudah dikenal penduduk Indonesia. Sistem kebun di Indonesia juga merupakan sistem usaha pertanian yang lebih dahulu dikenal sebelum masuknya sistem perkebunan. Sejak masa pra kolonial sampai masa penjajahan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), yaitu pada abad ke-17-18, sistem usaha kebun menjadi sumber produksi komoditi perdagangan yang penting (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Atas desakan kaum pengusaha besar swasta, lahirlah Agrarische Wet/ Undang-Undang Agraria tahun 1870. Aturan ini diberlakukan untuk kepentingan kapital kolonial. Undang-Undang Agraria ini menjadi landasan bagi penguasaan tanah berskala besar oleh perusahaan asing baik dalam hal kepemilikan dan hubungan kerja di perkebunan. Undang-Undang ini memberikan perusahaan perkebunan menguasai ratusan hektar tanah dan menciptakan kondisi dengan cara merongrong kontrol masyarakat atas sumber produksi. Di satu sisi, terdapat kepastian hak kepemilikan tanah pada masyarakat pribumi, di sisi lain, kebijakan itu membuka peluang investasi modal asing di perkebunan swasta (Luthfi 2010).

Ekspansi kolonial swasta pada masa liberal atau melalui Agrarische Wet ini mengukuhkan keterlibatan swasta dan memasukkan kapital ke perkebunan besar, juga di dalamnya terdapat dasar-dasar domein verklaring yang memuluskan proses itu sebagaimana dikukuhkan pada masa Raffles. Pada domein verklaring dinyatakan, “bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, baik secara individual maupun komunal, maka tanah itu menjadi milik Negara”. Dengan demikian tanah itu mutlak bisa disewakan kepada perusahaan swasta oleh Negara (Luthfi 2010).

Tonggak sangat penting dalam sejarah agraria Indonesia dimulai pada tahun 1870, karena pada tahun itu berduyun-duyun modal swasta Eropa. Para pemodal swasta Eropa tersebut mencengkram Indonesia dengan memunculkan perkebunan-perkebunan swasta besar di Sumatera dan juga di Jawa, dengan segala akibatnya. Tujuan Undang-undang Agraria 1870 untuk memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing memang berhasil gemilang. Tetapi tujuan lainnya,

yaitu melindungi dan meperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli ternyata jauh dari harapan. Apalagi ditambah dengan sikap para raja atau sultan baik di Jawa maupun Luar Jawa yang tergiur untuk memberikan konsesi kepada para pengusaha swasta asing (Wiradi 2009).

Perusahaan-perusahaan perkebunan besar Barat membutuhkan banyak tanah pertanian dan tenaga kerja. Kedua hal itu diperlukan untuk mengembangkan beberapa jenis tanaman industri baru yang hasilnya dijual ke pasaran Atlantik. Pengerahan tanah dan tenaga kerja dilakukan oleh perkebunan-perkebunan itu dengan cara paksa. Di Jawa perluasan tanaman tebu, kopi, dan lain lain tanaman ekspor berkembang sangat pesat, sebaliknya perluasan lahan petani tidak lagi seimbang dengan pertumbuhan penduduk, akibatnya para petani itu kemudian terpaksa menjual tenaga kepada perkebunan-perkebunan besar (Breman 1997)

Indonesia merupakan negara yang dijadikan lumbung oleh Belanda dibawah sistem penjajahan di era Perang Dunia. Kebijakan kolonial memaksakan para petani untuk menanam komoditi yang sangat laris di pasar dunia. Hal itu mereka lakukan demi memperkuat eksistensi di persaingan global antar Negara dunia. Pada dasarnya menurut Gordon (1982) hakikat sistem perkebunan kolonial adalah: (1) Kepemilikan asing, (2) Teritori dengan kekuasaan Negara di dalamnya, (3) Tanah murah, (4) Buruh murah= setengah perbudakan.

Segala usaha Belanda di Indonesia tergambar dan tercermin pada politik agrarianya. Keterangan ini akan tambah lebih jelas lagi dengan tindakan dan usaha Belanda selama perang kolonial atau aksi polisionil. Perang kolonial yang mereka sebut sebagai „tindakan keamanan‟. Tujuannya untuk merebut kembali perkebunan-perkebunan. Keamanan mereka adalah „keamanan kebun‟, keamanan onderneming dan keamanan kapital besarnya (Luthfi 2010).

Berdasarkan perkembangannya ranah agraria terbatasi pada wilayah pertanian belaka. Padahal, berbagai isu agraria dan konflik yang terjadi di sana, serta klaim-klaim/pendudukan tanah oleh rakyat pada periode sebelumnya berada di perkebunan. Akan tetapi ketika perkebunan (perusahaan) diserahkan kembali kepada „penguasanya semula‟ yakni orang Belanda, maka ranah ini menjadi dihindari, termasuk disikapi secara tidak tegas dalam UUPA (Luthfi 2010).

Periode 1942-1965

Gordon (1982) mengemukakan runtuhnya kolonialisme Belanda & sesudahnya (antara 1942-1965) tidak membawa terbangunnya suatu mode produksi post-kolonial, melainkan suatu formasi sosio ekonomi ”indeterminate”. Pengembalian asset perkebunan asing oleh Negara, belum berarti bahwa suatu strategi ekonomi baru sedang dikembangkan:

1. Asset perkebunan tersebut merupakan sistem yang sedang runtuh dan tidak bisa menghasilkan keuntungan.

2. Pengambilalihan dikuasai oleh birokrat militer untuk kepentingan memperkuat posisi sendiri, ketimbang bagian dari suatu strategi ekonomi nasional baru.

Masa pendudukan Jepang di Indonesia, perusahaan perkebunan dikelompokkan dan dikelola menurut kesatuan wilayah kepulauannya. Perkembangan perkebunan di Jawa dikelompokkan ke dalam Kanei Nogioo Semushei, dan kelompok perkebunan swasta asing disebut Sabai Kanri Kodan (Kartodirdjo dan Suryo 1994). Militer Jepang memaksa petani menanam bahan

pangan dan non pangan (minyak) untuk kepentingan militer. Mereka memperbolehkan tanah perkebunan besar yang semula dikuasai pengusaha Eropa untuk diolah menjadi area pertanian rakyat dan penanaman non pangan. Namun, pada tahun 1949 terjadi perjanjian Konferensi Meja Bundar yang isinya sungguh merugikan Indonesia. Salah satunya kebijakan poin ke-5 yang berisi perkebunan- perkebunan besar yang diduduki rakyat harus dikembalikan kepada pemegangnya semula, yakni kaum pemodal Belanda/asing. Rakyat harus diusir dari tanah-tanah tersebut. Pada tahun 1956, dibatalkan secara sepihak, menyusul tindakan nasionalisasi yang dilancarkan pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1957, terjadi nasionalisasi perkebunan besar, pemerintah mengambil keputusan sepihak karena Irian Barat ditunda pengembaliannya oleh Belanda (Luthfi 2010).

Periode 1957-1960 telah terjadi beberapa perubahan penting dalam kehidupan politik yang mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dalam sektor perekonomian, antara lain ialah terjadinya perubahan struktur politik dan sistem demokrasi liberal ke sistem Demokrasi Terpimpin, pencanangan sistem Ekonomi Terpimpin, dan perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda ke tangan RI. Kebijaksanaan politik Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin, besar pengaruhnya terhadap perubahan kebijaksaan di sektor perekonomian, yang mencakup perdagangan, perindustrian, dan perkebunan (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Pemerintah memilki dasar untuk melaksanakan usaha pemilikan modal secara langsung dengan jalan mengambil alih perusahaan-perusahaan. Proses pengambilalihan perusahaan Belanda ini berlangsung sejak bulan Desember 1957, dan dikenal sebagai proses “nasionalisasi‟ perusahaan asing. Peristiwa pengambilalihan berjalan secara spontan dan unilateral. Pegambilalihan perusahaan swasta tersebut, merupakan pukulan bagi modal asing di Indonesia, dan secara mendasar mengubah struktur perekonomian. Proses pengambilalihan ini telah melibatkan pengalihan pemilikan 90 persen produksi perkebunan. Perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu tidak diserahkan kepada pihak swasta nasional yang pada waktu itu dipandang masih terlalu lemah untuk menangani sejumlah besar perusahaan swasta bekas milik Belanda, dan sisa kegiatan perekonomian dari masa penjajahan, serta membangun basis perekonomian industri nasional (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Periode 1966

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa banyak masalah yang dihadapi perkebunan selama 1960-1967, baik dari segi struktur organisasi, efisiensi, maupun produksi, disebabkan oleh berbagai situasi politik dan perekonomian pada masa itu. Dalam rangka menanggulangi situasi perkebunan itu, maka pada tahun 1967 dibetuk “Panitia 17” yang bertugas untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam penanganan perkebunan. Panitia ini berhaisl merumuskan reorganisasi di bidang perkebunan yang pelaksanaannya dilakukan pada tahun berikutnya (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Tahun 1968 terjadi tiga perubahan penting, yaitu pertama, penciutan jumlah PPN dari 88 buah menjadi 28 buah; dan kedua, penghapusan BPU masing-masing (PP. No.13, tanggal 27 Maret 1968); dan ketiga pembentukan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) (PP No.14, tanggal 13 April 1968). Perubahan tersebut selanjutnya diikuti dnegan penetapan pembentukkan Badan Khusus Urusan

Perusahaan Negara (BKU-PN), pada tahun 1969, yang sekaligus menetapkan pemisahan tugas antara Direktorat Jendral Perkebunan dan BKU-PNP. Seperti struktur lembaga perkebunan sebelumnya, maka BKU-PNP dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Perwakilan-Perwakilan Wilayah (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Kelembagaan perusahaan perkebunan Negara dilakukan perubahan lagi, yaitu melalui pengalihan bentuk pada tahun 1969 dari Perusahaan Negara (PN) menjadi Perseroan Terbatas (PT) (UU No.9/1969 dan PP. No. 12/1969). Proses pengalihan bentuk PN menjadi PT itu dilakukan secara bertahap dan melalui penilaian akan kelayakannya. Dalam rangka pengalihan ke bentuk perseroan tersebut, maka pada tahun itu juga telah dilakukan penilaian terhadap 28 buah PNP yang memungkinkan untuk dijadikan PT. Sampai pada tahun 1972, jumlah PNP yang telah disetujui pemerintah utuk dijadikan PT sebanyak 13 buah. Dari ke-13 buah itu yang telah berhasil didirikan adlaah PT XI, PT XII, PT XIII, PT XXIII, dan XXVI (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Perkembangan sesudah tahun 1980-an menunjukkan bahwa sektor perkebunan masih tetap merupakan salah satu sumber perekonomian Negara, sekalipun kedudukannya sebagai primadona devisa Negara seperti yang terjadi sebelum kemerdekaan telah surut. Kebijaksanaan pemerintah untuk mengalihkan produksi ekspor migas ke non-migas sebagai sumber devisa Negara, yang dikembangkan pada masa sesudah tahun 1980-an, telah mengokohkan kembali keberadaan perkebunan di Indonesia (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

Sejarah Perkebunan PTPN VIII dan Desa Patengan

Kebun Rancabali merupakan salah satu unit usaha PT Perkebunan Nusantara VIII, yang berlokasi di Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Didirikan tahun 1870 oleh H.I.L Mij Tiederman dan Van Kerchan Netherland Indische Land bouw Maatscha Ppy, sebagai cikal bakal kebun Sparta Sinumbra dan Rancasuni. Tahun 1958 diambil alih Pemerintah Indonesia (nasionalisasi), masuk PPN Baru Kesatuan Jawa Barat II. Tahun 1963 masuk PPN Antan VII. Tahun 1971 masuk PTP XII (Pesero). Pada 2 Mei 1974 peletakan batu pertama pembangunan Pabrik Teh Rancabali oleh Direksi PTP XII. Tahun 1975 berdiri perkebunan Rancabali, gabungan dari kebun Rancasuni dan sebagian areal kebun Sinumbra dan Rancabolang. Pada 7 Juli 1976 pabrik teh Rancabali diresmikan oleh Soeharto, sekaligus mulai beroperasi. Tahun 1985 renovasi pabrik teh orthodox Rancasuni menjadi pabrik teh hitam CTC. Berganti nama menjadi Pabrik CTC Walini dan mulai beroperasi tahun 1986. Tahun 1996 masuk PTPN VIII hasil penggabungan PTP XI, XII dan XIII, yang berkantor pusat Jalan Sindang Sirna No.4 Bandung.

Kebun Rancabali telah ada sejak zaman kolonial Belanda terus bertransformasi yang berakhir pada terjadinya proses “nasionalisasi” yang berimbas pada jatuhnya perusahaan perkebunan ke tangan Pemerintah Indonesia. Penelusuran tentang sejarah perkebunan di Desa Patengan hanya bisa ditelusuri melalui data sekunder yang didapatkan dari literatur tentang perkebunan yang telah dipaparkan di atas. Ini terkait dengan minimnya responden dan informan yang bisa ditanyai tentang kondisi perkebunan pada masa kolonial maupun masa setelahnya. Desa Patengan sendiri sejak dulu terletak di kawasan perkebunan.

Kronologi tentang perubahan struktur agraria di Desa Patengan yang merupakan Desa Perkebunan akan dipaparkan di bab selanjutnya.

Gambar 3 Kronologi sejarah perkebunan, PT Perkerbunan Nusantara VIII, Kebun Rancabali, Bandung, Jawa Barat

Jenis dan Orientasi Tanaman Perkebunan

Sejak zaman kolonial Belanda Kebun Rancabali di Desa Patengan hanya memiliki satu jenis tanaman yang wajib ditanam yaitu teh. Hingga saat ini pun masih bertahan, terus diperbaharui dan diremajakan. Pohon teh dibongkar setiap 50 tahun sekali dengan pemangkasan dalam waktu 36 bulan sekali. Jumlah produksi teh di PTPN VIII pada saat musim hujan dapat mencapai 101-150 ton/ hari. Menurut data statistik Produksi Perkebunan Besar (PBS/PTP) Propinsi Jawa Barat Tahun 2012, rata-rata produksi Kebun Rancabali adalah 4.24 ton/hektar. PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) adalah Badan Usaha Milik Negara yang

Kebun Rancabali didirikan 1870 oleh

H I L Mij Tiederman dan Van

Kerchan Netherland Indische Landbouw Maatscha Ppv Tahun 1958 (nasionalisasi) masuk PPN Baru Kesatuan Jawa Barat Tahun 1963 masuk PPN Antan VII Penggabungan perusahaan dalam lingkup PPN lama dan PPN baru menjadi BPUB atau badan Pimpinan Umum Urusan Perkebunan Negara (BPU- PPN) Tahun 1971 masuk PTP XII 2 Mei 1974 peletakkan batu pertama pabrik teh

Racabali oleh Direksi PTP XII, H.O Adiwinata, H.A.D Sastrawinata, dan H.R Yusup Argadipraja Tahun 1975 Kebun Rancasuni dan sebagian Kebun Sinumbra dan Rancabolang dilebur menjadi Kebun Rancabali 7 Juli 1976 pabrik teh Rncabali diresmikan oleh Soeharto Tahun 1985 mulai beroperasi pabrik teh Orthodox Rancasuni menjadi

pabrik teh hitam CTC

Tahun 1986 menjadi pabrik

CTC Walini

Tahun 1996 PTPN VIII adalah hasil gabungan dari PTP XI, PTP XII, PTP XIII. Hal tersebut sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah RI No.13 Tahun 1996 tentang peleburan perusahaan perseoran (persero). Sesuai akta notaris

Harun Kamil, SH No.41 tanggal 11 Maret 1996 dan Menteri Kehakiman RI dengan SK. No.C2- 8336.HT.01.01

pada dasarnya berorientasi profit. Itu artinya, keuntungan yang dihasilkan dari jumlah produksi dari perkebunan akan dikembalikan kepada Negara.

Sistem Perkebunan PTPN VIII Kebun Rancabali

Karyawan PTPN VIII terbagi atas karyawan lepas dan tetap. Karyawan tetap maupun lepas mendapatkan upah harian maupun upah borongan berdasarkan pucuk basah yang dihasilkan. Karyawan tetap mendapatkan tunjangan dari perkebunan dan tetap mendapatkan upah meski hari libur nasional. Sedangkan, karyawan lepas tidak mendapatkan hal tersebut.

Sistem pengupahan karyawan di PTPN VIII dibagi berdasarkan golongan, dari golongan IVD sampai IA. Karyawan tetap akan dibayar sesuai UMP (upah minimum provinsi) pada sektor perkebunan. Sedangkan, karyawan lepas hanya dibayar sesuai hasil produksi berdasarkan pucuk basah harian maupun borongan.

Pembagian karyawan menurut aspek teknis yaitu petik, rawat, pabrik, teknik, dan kantor. Pembagian kerja berdasarkan gender hanya terdapat pada aspek teknik terutama pada bidang pengoperasian alat atau distribusi produksi. Saat ini jumlah karyawan tetap mencapai 649 orang dengan jumlah laki-laki sebesar 430 orang dan perempuan 219 orang. Sedangkan, jumlah karyawan lepas harian mencapai 1202 orang dengan jumlah laki-laki 638 orang dan perempuan 564 orang. Berikut adalah struktur karyawan perkebunan yang dapat diakses penduduk Desa Patengan.

Gambar 4. Struktur karyawan perkebunan yang dapat diakses oleh penduduk Desa Patengan

Karyawan yang termasuk golongan IA, memiliki upah pokok yang diterima setiap bulan berkisar antara Rp626 000 – Rp689 000 pada tahun 2012 atau sekitar Rp27 560 per hari, baik untuk buruh tetap maupun buruh lepas. Sedangkan, tunjangan hanya diberikan kepada buruh tetap saja setiap bulannya sebesar Rp209 000 – Rp230 000 pada tahun 2012. Hal ini mengalami peningkatan, menurut penelitian Puspitarini (2005) pada tahun 2005, gaji pokok yang diterima setiap bulan berkisar antara Rp322 000 – Rp362 000 atau sekitar Rp14 400 per hari dengan tunjangan setiap bulannya sebesar Rp107 000 – Rp120 000.

Kepala Bagian Mandor Besar Mandor Karyawan Tetap

petik rawat pabrik

Karyawan Lepas

Tunjangan yang diberikan oleh PTPN VIII kepada karyawan tetap dalam bidang kesehatan, jamsostek, tempat tinggal, izin cuti.

Ikhtisar

Sejarah merupakan konstruksi sosial yang terjadi di masyarakat. Transformasi yang dialami perkebunan merupakan bagian dari kompleksitas peralihan kepemilikan lahan dan perusahaan dari Pemerintah Kolonial Belanda kepada negara. Hal ini membenarkan apa yang dikemukakan oleh Gordon (1982) bahwa sistem perkebunan tak dapat lepas dari 3 aspek yaitu tanah murah, tenaga kerja murah, serta negara yang akan memberikan dukungan politik. Regulasi yang ada pada sistem perkebunan pun tak dapat dilepaskan dari jerat sejarah yang melingkupi dinamika agraria yang terjadi di Indonesia. Ketidaksiapan pemerintah mengelola perkebunan-perkebunan besar saat itu dapat terlihat dari pergolakkan yang terjadi pada masa tarik ulur sepeninggal Jepang dan Belanda. Perkebunan pernah mengalami masa kejayaan di mana perkebunan merupakan sumber devisa utama bagi kas negara dengan komoditi yang laris di pasar Internasional terutama teh yang hanya dapat tumbuh di daerah dataran tinggi dengan iklim yang mendukung. Namun, menurut Kartodirdjo dan Suryo (1994) seiring perjalanannya tuntutan dan tantangan semakin berat mengingat kondisi struktural masyarakat pendukung dan ekologisnya telah berubah.