• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR AGRARIA DAN AKSES TANAH DI DESA PERKEBUNAN

Struktur Agraria di Desa Perkebunan

Struktur Agraria merupakan tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan dan peruntukan tanah yang boleh dikatakan telah menjadi mapan. Masalah pemilikan dan penguasaan tanah ini merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini bukanlah sebatas menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanahnya, yang di negara- negara agraris umumnya dipandang sebagai bersifat “religio-magis”, melainkan juga dan terutama menyangkut hubungan sosial manusia dengan manusia (Wiradi 2009). Sebesar 65 persen tanah di desa Patengan dikuasai oleh perkebunan besar dan lebih dari 80% penduduknya bekerja di perkebunan, maka penguasaan dan pemilikan tanah mengambil bentuk berbeda dibandingkan dengan desa pertanian biasa. Di dalam hal desa perkebunan ini, penguasaan petani atas tanah umumnya adalah tanah perkebunan yang tidak dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan, sehingga dapat ditanami petani untuk kepentingannya sendiri. Hal ini dianalisis agar dapat menemukan keterkaitan atau benang merah antara ketimpangan struktur agraria yang terjadi di desa perkebunan terhadap pola nafkah yang terbentuk sebagai akibat dari ketimpangan tersebut.

Pola Pemilikan Lahan

Berangkat dari uraian sejarah pada bab sebelumnya bahwa perpindahan status kepemilikan tanah dari nasionalisasi perusahaan perkebunan ke tangan pemerintah Indonesia ternyata tidak serta merta membawa perubahan yang signifikan terhadap akses masyarakat pada tanah perkebunan. Pola pemilikan lahan sendiri adalah pola penguasaan yang disertai legalitas atau dengan kata lain status tanah dapat dibuktikan dengan sertifikat tanah. Dilihat secara mikro Desa, pola pemilikan lahan di Desa Patengan sebagian besar dikuasai oleh negara. Terdapat tiga perusahaan besar yang merupakan representatif dari negara yaitu PT Perkebunan Nusantara VIII, BKSDA, dan Perum Perhutani, dengan batas wilayah, orientasi dan kebijakannya masing-masing. Ketiga Perusahaan tersebut tidak dapat memiliki tanah, tetapi perusahaan menguasai tanah atas dasar HGU/Hak Guna Usaha dari pemerintah. Setelah masa HGU selesai, tanah kembali pada pemerintah sebagai tanah-negara.

PT Perkebunan Nusantara VIII dan Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas melayani bagi kepentingan umum namun tetap memupuk keuntungan sesuai prinsip perusahaan. Itu artinya orientasi kedua perusahaan tersebut adalah profit. Berbeda dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang bertugas memantau serta mengelola kawasan konservasi, suaka margasatwa, cagar alam, dan lain sebagainya. Itu artinya orientasi BKSDA adalah non-profit. Oleh karena itu, di Desa Patengan terdapat PT Perkebunan Nusantara

VIII, BKSDA, Perum Perhutani, dan masyarakat yang menjadi pelaku atau subjek agraria.

Tabel 8 Persentase kepemilikan lahan di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung tahun 2013

No Kepemilikan Lahan Persentase (%)

1 Perkebunan 65

2 Perhutani 10

3 Badan Konservasi Sumberdaya Alam

20

4 Penduduk Desa 5

Total 100

Sumber: Data Potensi Desa Patengan tahun 2011

Tabel 8 di atas terlihat bahwa kepemilikan lahan di dominasi oleh tanah milik Negara yaitu sekitar 95 persen, sedangkan tanah milik sendiri hanya seitar 5 persen. Tanah milik Negara di sini terdiri dari PT Perkebunan Nusantara VIII, Perum Perhutani, dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Sedangkan untuk tanah milik sendiri dalam perkembangannya memang terdapat wilayah- wilayah di Desa Patengan yang mengalami alih fungsi lahan dari lahan pemukiman masyarakat menjadi lahan perkebunan begitu sebaliknya. Kasus ini terjadi pada RW 09 Pasanggrahan dan RW 11 Rahayu yang saat ini tanahnya bersifat hak milik pribadi bukan hak milik perkebunan.

“Pada tahun 80-an saat itu perkebunan ingin membuka lahan baru yang ternyata adalah lahan pemukiman penduduk. Setelah melalui proses yang sangat panjang, pada akhirnya terjadi kesepakatan bahwa pemukiman penduduk tersebut dipindahkan ke wilayah lain, sedangkan wilayah pemukiman tersebut berubah menjadi lahan perkebunan baru. Pemukiman penduduk yang dipindahkan tersebut adalah Pesangrahan dan Rahayu yang

pada akhirnya menjadi hak milik pribadi.” (AHM, Humas PTPN VIIII)

Akhirnya, hanya kedua RW (Pasanggrahan dan Rahayu) inilah yang menjadi hak milik pribadi dibanding kesebelas RW lainnya di Desa Patengan yang notabene milik perkebunan. Umumnya masyarakat Desa Patengan memang tidak memiliki lahan karena sudah dikuasai oleh perkebunan, kehutanan, dan unit konservasi. Namun, tidak dipungkiri pula bahwa ada sebagian kecil penduduk Desa Patengan yang memiliki lahan di luar perkebunan atau di desa lain yang didapatkan melalui warisan maupun jual beli. Meski, banyak pula yang memutuskan untuk menjual lahan tersebut karena kebutuhan yang semakin mendesak.

Pola Penguasaan Lahan

Pola penguasaan lahan dapat diperoleh melalui sewa, pinjam atau bagi hasil. Pada penelitian sebelumnya, Maharani (2011) mengatakan bahwa struktur penguasaan dan manajemen sumberdaya agraria didominasi oleh Pemerintah yang berwujud PTPN dan TNGHS. Hal ini benar adanya dibuktikan dengan pola

penguasaan lahan di Desa Patengan yang sebagian besar dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara VIII.

Rumahtangga buruh di Desa Patengan umumnya tidak banyak yang menguasai lahan. Hal tersebut dikarenakan, pertama, tanah yang dapat dimiliki penduduk sangat terbatas, hanya 5 persen dari tanah desa. Sedangkan 95 persen tanah desa merupakan tanah perkebunan, Perum Perhutani dan Hutan Konservasi. Kedua, penguasaan tanah secara terbatas diperoleh dari Perum Perhutani sebagai pesanggem tanah kehutanan dan dari PTPN VIII berupa tanah yang tidak dimanfaatkan oleh perkebunan. Dari 30 responden yang dapat mengakses lahan perhutani sebesar 10 persen dan lahan milik perkebunan sebesar 3 persen sedangkan sisanya 87 persen tidak dapat mengakses lahan disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain, keterbatasan modal yang dimiliki untuk memulai usaha pertanian baik di lahan milik Perhutani maupun di lahan tidur milik perkebunan, keterbatasan jaringan komunikasi yang baik kepada mandor maupun mandor besar untuk bisa memakai lahan tidur perkebunan, serta penduduk yang lebih memilih sektor non-pertanian karena prospek income yang rutin setiap bulan ketimbang memulai usaha pertanian.

Penduduk Desa Patengan harus tergabung dalam LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dengan pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) untuk dapat mengakses lahan Perum Perhutani. Lokasi yang disediakan oleh Perum Perhutani diatur oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan. Di Desa Patengan terdapat dua Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BPKH) yaitu Tbr Timur dan Ciwidey. BPKH Tbr Timur Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cimanggu seluas 21.80 hektar sedangkan BPKH Ciwidey Patuha mengatur petak 1a L; 10.00 hektar; 1b L; 20.00 hektar, 8a L;10.00 hektar, 84 L, dengan jumlah luas seluruhnya 47.00 hektar dalam wilayah administratif Desa Patengan.

Lahan milik Perhutani dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Patengan dengan sistem pinjam-pakai dengan ketentuan tertentu. Masyarakat Desa Patengan biasa menyebut luas lahan berdasarkan patok. Satu patok sama dengan 25 tumbak atau setara dengan 400 meter persegi dengan kewajiban menanam 80 pohon kopi pada setiap patoknya

Tabel 9 Jumlah luas lahan yang dapat diakses oleh responden menurut pekerjaannya di perkebunan tahun 2013

Responden Pekerjaan di perkebunan Luas lahan (m

2

)

Perhutani Perkebunan

GND Pensiun 3200 0

IWI Pemetik tetap 800 0

AEP Perawat lepas 1600 0

IKN Mandor 0 2000

Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan Tabel 9, dari empat responden yang dapat mengakses lahan di Desa Patengan, tiga diantaranya memilih sistem pinjam pakai yang diterapkan oleh Perhutani, sedangkan satu responden dapat mengakses lahan tidur milik perkebunan. Pada kasus bapak GND yang merupakan pensiunan perkebunan,

beliau meminjam 3200 m2 pada Perhutani sebagai lahan pertanian. pada kasus bapak IWI seorang pemetik tetap ia hanya meminjam 800 m2 pada Perhutani. Pada kasus bapak AEP seorang perawat lepas meminjam 1600 m2 pada Perhutani. Sedangkan, untuk kasus bapak IKN yang merupakan seorang mandor meminjam 2000 m2 lahan tidur milik perkebunan.

“Itulah, pihak perkebunan membiarkan masyarakat yang menggunakan

lahan tidur perkebunan untuk digarap. Tapi jika sewaktu-waktu perkebunan membutuhkan lahan itu, maka harus dikembalikan meski

sudah ditanami.” (AHM, Humas PTPN VIIII)

Berangkat dari kasus bapak IKN yang mampu mengakses lahan perkebunan tentu harus memiliki hubungan yang baik dengan pihak perkebunan ditunjang lama bekerja di perkebunan demi menambah kepercayaan perkebunan membiarkan lahan tersebut dimanfaatkan sementara oleh masyarakat meskipun pada akhirnya harus dikembalikan lagi pada perkebunan jika sewaktu-waktu akan digunakan. Uraian di atas menunjukan bahwa pola penguasan lahan di Desa Patengan hanya dapat diakses dengan sistem pinjam-pakai baik milik Perhutani maupun milik perkebunan. Masyarakat Desa Patengan tidak memiliki lahan sendiri untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.

Pola Hubungan Sosial Agraria

Pola hubungan sosial agraria terjadi akibat adanya interaksi antar subjek agraria dalam mengelola objek agraria yang dalam hal ini adalah lahan. Pola hubungan sosial agraria adalah hubungan antara pemilik, penyewa, atau buruh tani. Di Desa Patengan tidak ada pola hubungan antara pemilik dan penyewa karena tidak ada proses sewa menyewa lahan antara perkebunan dengan masyarakat maupun dengan Perhutani.

Berangkat dari pengertian tenure atau sistem tenurial dalam modul kajian agraria, John W Bruce (1998) mengatakan bahwa keseluruhan bentuk tenurial yang diakui di bawah perundangan Negara. Dalam hal ini Desa Patengan sebesar 95 persen lahannya adalah milik Negara bahwa masyarakat bersentuhan langsung dengan Negara dalam menggantungkan hidupnya. Sedangkan, pola hubungan sosial yang terbentuk antara Perhutani dengan masyarakat adalah bagi hasil atas lahan yang dipinjam pakai untuk pertanian. sistem bagi hasil yang telah ditentukan sebagian besar kembali pada petani itu sendiri dan pihak Perhutani, sebagian pada Desa dan LMDH.

Pola hubungan sosial agraria yang terjadi di Desa Patengan pada dasarnya adalah interaksi masyarakat dengan Pemerintah yang dalam hal ini adalah pihak PT Perkebunan Nusantara VIII, Perum Perhutani, dan BKSDA dalam mengelola sumberdaya (lahan) yang ada di Desa Patengan. Namun, melihat orientasi kedua perusahaan milik Pemerintah di atas adalah profit bagi Negara hal tersebut mengindikasikan sama saja dengan perusahaan-perusahaan swasta lainnya.

Akses Rumahtangga Buruh terhadap Tanah di Desa Perkebunan Ribot dan Peluso (2003) mengatakan bahwa akses diartikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari benda material, orang, lembaga, dan simbol. Studi tentang properti selama ini berkaitan dengan klaim atau hak,

studi tentang akses lebih menekankan kepada banyaknya cara orang memperoleh manfaat dari sumberdaya, yang tidak terbatas pada kepemilikan dan hak saja. Akses kontrol adalah kemampuan untuk menengahi akses orang lain. Kontrol mengacu pada pemeriksaan dan arah tindakan, fungsi, atau kekuasaan langsung.

Berangkat dari pengertian tersebut, pola penguasaan lahan di Desa Patengan memang kurang beragam karena didominasi oleh lahan milik PT Perkebunan Nusantara VIII, masyarakat dapat mengakses lahan dengan cara pinjam pakai dari Perum Perhutani maupun lahan tidur milik PT Perkebunan Nusantara VIII. Itu artinya akses terhadap sumberdaya lahan masih sangat terbatas. Persentase rumahtangga petani pengguna lahan Perhutani dari 30 responden penelitian mencapai 10 persen, sedangkan pengguna lahan tidur perkebunan hanya mencapai 3 persen, dan sisanya adalah tidak memiliki akses terhadap lahan. Angka tersebut memastikan bahwa di Desa Patengan ini cukup menggambarkan bahwa sebagian besar rumahtangga petani di Desa Patengan termasuk ke dalam kategori landless, atau tidak memilki lahan.

Access maintenance merupakan pihak yang memiliki akses pada tanah, melakukan tindakan untuk memastikan kontinuitas akses tersebut. Dalam hal ini keempat responden atau 13 persen yang dapat mengakses tanah tersebut adalah subjek dari access maintenance ini. Dari keempat responden tersebut, tiga di antaranya atau sebesar 10 persen merupakan karyawan perkebunan yang juga memiliki akses ke tanah Perhutani. Ketiga responden tersebut tergabung menjadi anggota PHBM kemudian diberikan kesempatan untuk menggarap lahan Perhutani dengan batas dan aturan yang telah disepakati. Selama aturan dari Perhutani maka anggota PHBM dapat terus memanfaatkan lahan Perhutani untuk pertanian. Sedangkan satu responden atau 3 persen yang memiliki akses terhadap tanah perkebunan memiliki perbedaan kontinuitas yang berbeda dibandingkan dengan responden yang memiliki akses ke tanah Perhutani. Perbedaannya adalah batas pemanfaatan tanah perkebunan tergantung pada kebutuhan perkebunan atas tanah tersebut. Itu artinya, jika perkebunan membutuhkan tanah itu maka perkebunan berhak menggunakan tanah tersebut meski sudah ditanami atasnya oleh penduduk yang menggunakannya.

Ikhtisar

Pola pemilikan lahan sendiri adalah pola penguasaan yang disertai legalitas atau dengan kata lain status tanah dapat dibuktikan dengan sertifikat tanah. Diihat secara mikro Desa, pola pemilikan lahan di Desa Patengan sebagian besar dikuasai oleh negara. Terdapat tiga perusahaan besar yang merupakan representatif dari negara yaitu PT Perkebunan Nusantara VIII, BKSDA, dan Perum Perhutani, dengan batas wilayah, orientasi dan kebijakannya masing- masing. Ketiga Perusahaan tersebut tidak dapat memiliki tanah, tetapi perusahaan menguasai tanah atas dasar HGU/Hak Guna Usaha dari pemerintah. Setelah masa HGU selesai, tanah kembali pada pemerintah sebagai tanah-negara.

Dilihat dari pola penguasaan lahan rumahtangga petani di Desa Patengan umumnya tidak banyak yang menguasai lahan. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan mengakses lahan, baik lahan milik perhutani maupun lahan milik perkebunan. Responden yang dapat mengakses lahan perhutani sebesar 10 persen

dan lahan milik perkebunan sebesar 3 persen sedangkan sisanya 87 persen tidak dapat mengakses lahan.

Pola hubungan sosial agraria yang terjadi di Desa Patengan pada dasarnya adalah interaksi masyarakat dengan Pemerintah yang dalam hal ini adalah pihak PT Perkebunan Nusantara VIII, Perum Perhutani, dan BKSDA dalam mengelola sumberdaya (lahan) yang ada di Desa Patengan. Namun, melihat orientasi kedua perusahaan milik Pemerintah di atas adalah profit income bagi Negara hal tersebut mengindikasikan sama saja dengan perusahaan-perusahaan swasta lainnya.

Dalam akses tanah di Desa Patengan masyarakat hanya dapat mengakses tanah milik Perhutani dan tanah tidur milik perkebunan. Access maintenance merupakan pihak yang memiliki akses pada tanah, melakukan tindakan untuk memastikan kontinuitas akses tersebut. Dari keempat responden tersebut, tiga di antaranya atau sebesar 10 persen merupakan karyawan perkebunan yang juga memiliki akses ke tanah Perhutani. Ketiga responden tersebut tergabung menjadi anggota PHBM kemudian diberikan kesempatan untuk menggarap lahan Perhutani dengan batas dan aturan yang telah disepakati. Sedangkan, satu responden atau 3 persen yang memiliki akses terhadap tanah perkebunan memiliki perbedaan kontinuitas yang berbeda dibandingkan dengan responden yang memiliki akses ke tanah Perhutani. Perbedaannya adalah batas pemanfaatan tanah perkebunan tergantung pada kebutuhan perkebunan atas tanah tersebut. Itu artinya, jika perkebunan membutuhkan tanah itu maka perkebunan berhak menggunakan tanah tersebut meski sudah ditanami atasnya oleh penduduk yang menggunakannya.

KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA PETANI DESA