• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPTIF LOKASI

3.1 Penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

BAB III

DESKRIPTIF LOKASI

3.1 Penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Penerapan Syari’at Islam di Nanggoe Aceh Darussalam (NAD) secara Formal dalam istitusi pemerintah dengan terbitnya Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Pemberlakuan syari’at Islam di NAD bahkan telah di isyaratkan sejak tahun 1999, pada masa pemerintahan Presiden B.j.Habibie, dengan diberlakukannya UU-RI (Undang-Undang Republik Indonesia) nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi daerah Istimewa Aceh yang mengandung unsur pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya.

Pemberlakuan Syari’at Islam di NAD bahkan semakin konkrit dan tersistem dengan keluarnya UU-RI Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, sekaligus mengubah Provinsi daerah Istimewa Aceh Menjadi Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan Perda Nomor 5 tahun 2000 pasal 5 ayat (2) dinyatakan bahwa pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Meliputi aspek yang luas yaitu Aqidah, Ibadah, muamalah, Akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah, Baitul Mal, Kemasyarakatan, Syi’ar Islam, pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan mawaris.

Dengan landasan konstitusional UU Nomor 44 tersebut dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Namggroe Aceh Darussalam serta keputusa Presiden Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah

Syari’ah, Penerapan Syari’at Islam Diatur secara lebih operasional melalui Peraturan daerah (Perda) atau Qanun Serta peratura lainnya (Keputusan, Surat, dan Instruksi Gubernur NAD) dalam sejumlah aspek Syari’at Islam.

Sejumlah perda atau qanun telah diterapkan yaitu tentang ketentuan Pokok Pelaksanaan Syari’at Islam, Pembentukan Majlis Permusyawaratan Ulama, dan penyelengaraan kehidupan Adat. Sedangkan qanun yang dihasilkan ialah tentang tentang peradilan Syari’at Islam; Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam; Larangan Miuman Khamar dan sejenisnya, Larangan Maisir (Perjudian), tentang Khalwat (perbuatan mesum), dan disusul berbagai draf qanun lainnya seperti pemanfaatn dan pembayaran Diyat, Tugas dan fungsi jaksa dalam pelaksanaan Syari’at Islam, Pengololaan zakat, dan Penyelenggaraan aktifitas masjid.

Secara keseluruhan pelaksanaan atau penerapan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam itu menyangkut aspek-aspek penyelenggaraan kehidupan adat dan kebudayaan sebagai alat kontrol bagi masyarakat yang diintegrasikan dengan Syari’at Islam (Perda No.7/Th.2000 dan Qanun No. 12/Th. 2004); bidang aqidah, ibadah, dan Syi’ar Islam (qanun No. 11/Th,2000); Larangan minum khamar (arak, minuman keras) dan sejenisnya (Qanun .12/Th. 2003); Larangan maisir atau perjudian (qanun No.13/Th. 2003); Laranagn khalwat atau mesum (Qanun No. 14/Th. 2003); Pengololaan zakat (Qanun No. 7/Th. 2004. Dan surat Gubernur No.4451.12/1227370/2002); pembudayaan kemakmuran masjid dan meunasah (Intruksi Gubernur No. 05/INSTR/2000); keharusan membaca Alqur’an dan pemahaman adat istiadat daerah bagi murid Sekolah Dasar (Intruksi Gubernur No. 02/INSTR/1990), pelaksanaan zakat gaji/jasa bagi setiap

pegawai/karyawan di lingkunagn pemerintahan (Intruksi Gubernur 02/INSTR/2002); Laranagn judi, buntut, taruhan, dan sejenisnya (Intruksi Gubernur No.05/INSTR/2002); dan pelaksanaan shalat berjamaah dilingkungan kantor/Instansi/badan/lembaga/dinas pemerintahan (Intruksi Gubernur No. 06/INSTR/2002).

Peraturan daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam BAB 1 ketentuan umum Pasal 1.dalam peraturan ini yang dimaksud dengan.

1. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia dan pembantu-pembantunya;

2. Daerah adalah Propinsi Daerah Istimewa Aceh;

3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat-perangkat daerah otonom yang lain sebagai Badan eksekutif daerah;

4. Gubernur adalah Gubernur Daerah Istimewa Aceh;

5. MPU adalah Majelis permusyawaratan Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh:

6. Syari’at Islam adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan;

7. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di propinsi Daerah Istimewa Aceh.

BAB II Tujuan dan Fungsi

1. Ketentuan tentang Pelaksanaan Syari’at Islam yang diatur dalam Peraturan Daerah ini, bertujuan untuk mengisi di bidang Agama, dengan menerapkan Syari’at Islam

2. Keberadaan Agama lain diluar agama Islam tetap diakuai didaerah ini, dan pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing.

3. Ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam peraturan Daerah ini, berfungsi sebagai pedoman dasar dalam menerapkan pokok-pokok syari’at Islam di daerah.

3.1.1 Wilayah Peradilan Islam

Dalam sejarah Islam dikenal beberapa bentuk lembaga peradilan yang khas dengan kopetensi yang berbeda. Dalam hal ini ada 4 (empat) macam wilayah peradilan Islam (Ash-Shiddieqy, t,th;38)

3.1.2 Wilayah al-Tahkim

Yaitu apabila dua pihak atau lebih memilih seseorang yang dianggap mampu dan adil untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan melandaskan pada hukum Syara’ dalam hal ini tahkim hanya boleh dilakukan dalam soal sengketa harta dan hukum keluarga. Dan tidak boleh menyangkut dengan hukum pidana.

3.1.3 Wilayah al-Qadha’

Adalah lembaga peradilan sesungguhya, yang berwenang menyelesaikan segala macam sengketa baik perdata maupun pidana. Keputusan qadhi memiliki daya paksa bagi para pihak. Khusus di Indonesia sekarang ini peradilan Agama tidak memiliki kewenangan dalam perkara pidana.

Pengadilan agama hanyalah berwenang memeriksa dan memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang bergama Islam; Perkawinan, Kewarisan, wasiat, dan hibah Waqaf sedeqah. Ketentuan ini lahir berdasarkan Undang-Udang Nomor 7 tahun 1989 tenttangPeradilan Agama (pasal 49).

3.1.4 Wilayah al-Mazhlim

Ini adalah semacam lembaga peradilan yang khusus dan agak mirip dengan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Al Mawardi (th; 2008) ada sepuluh macam perkara yang diperiksa oleh lembaga ini yaitu :

1. Pengaduan oleh rakyat terhadap penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat/penguasa

2. Kecurangan petugas zakat dan Baital-mal

3. Pengawasan terhadap perlakuan para pejabat (al-wulah) terhadap rakyat

4. Pengaduan para pegawai dan tentara misalnya menyangkut tentang ‘penyunatan’ atau kelambatan gaji

5. Pengaduan oleh rakyat tentan perampasan harta (al-ghushub) oleh para penguasa (al-ghushub sulthaniyyah)atau oleh orang-orang kuat.

6. Pengawasan harta wasaf

7. Melaksanakan putusan lembaga peradilan yang tidak sanggup dijalankan karena pihak yang kalah adalah orang kuat dan orang-orang besar

8. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang menyangkut kepentingan umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh muhtasib (petugas hisbah)

9. Menjaga pelaksanaan ibadah yang penting (al-ibadah al-zhahirah) seperti shalat jum’at, Idul Fitri, dan haji

10.Mengawasi penyelesaiaan perkara-perkara yang menjadi sengketa antara dua belah pihak agartetapdijalankan dengan benar.

3.1.5 Wilayah Al-Hisbah

Ini adalah suatu lembaga yang bertugas menegakkan amar ma’ruf (apabila jelas-jelas ditinggalakan (shahara tarkuhu) dan mencegah kemungkaran apabila jelas-jelas dilakukan (zhahara Fi’luhu). Kewenangan lembaga ini meliputi hal-hal yang berkenaan dengan ketertiban umum, kesusilaan (al-adab), dan sebagian tindak pidana ringan yang menghendaki penyelesaian segera. Tujuan adanya lembaga ini adalah untuk menjaga ketertiban umum serta memelihara keutamaan moral dan adab dalam masyarakat.

Di dalam Qanun Aceh Timur tahun 2008 tentang Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Pasal 48 disebutkan bahwa :

Tugas pokok dan fungsi kewenangan satuan Polisi Pamong Praja dan wilayatul Hisbah mempunyai tugas memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan daerah (Qanun), Pertauran Bupati, Keputusan Bupati, melakukan sosialisasi, pengawasan, Pembinaan, Penyidikan, dan pembantuan pelaksanaan hukuman dalam lingkup peraturan perundang-undangan dibidang Syari’at Islam. ( Qanun Aceh Timur;2008 )