UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
SYARI’AT ISLAM FUNGSINYA SEBAGAI
KONTROL SOSIAL
(Studi Deskriptif di Desa Leuge Kec.Peureulak Kota, Kab. Aceh Timur).
DIAJUKAN OLEH :
FAKHRUDDIN NIM (040901003)
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Medan
2010
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini di setujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Fakhruddin
Nim : 040901003
Departemen : Sosiologi
Judul : Syari’at Islam Fungsinya Sebagai Kontrol Sosial
( Studi Deskriptif di Desa Leuge Kec. Peureulak Kota,
Kab. Aceh Timur)
Pembimbing Skripsi Ketua Departemen Sosiologi
Dra, Lina Sudarwati, M.Si Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
Nip.196603181989032001 Nip. 196805251992031002
An. Dekan
Pembantu Dekan I Fisip USU
Drs. Humaizi, MA
ABSTRAK
Penerapan Syari’at Islam menyangkut aspek-aspek penyelenggaraan kehidupan adat dan kebudayaan sebagai alat kontrol bagi masyarakat yang diintegrasikan dengan Hukum Syari’at Islam. Syariat Islam adalah aturan yang diturunkan oleh Allah SWT yang berfungsi untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam sekitar. Bagi masyarakat Serambi Mekkah Syari’at Islam sudah lama di isukan dan bahkan semenjak kerajaan-kerajaan Islam pertama masuk kenusantara. Pada masa kerajaan Sulthan Iskandar Muda (1607—1636) yang berusaha menegakkan kehidupan beragama, memberantas minuman keras dan perjudian, shalat jum’at bersama-sama rakyat, dan melarang perbuatan zina. Syari’at Islam dijadikan sebagai pedoman hukum kepada seluruh rakyatnya dan setelah masa kerajaan pemerintahan beliau di gantikan maka hukum Syari’at Islam semakin pudar, akan tetapi pelaksanaannya masih hanya sekedar kesadaran individu. Pada tahun 2000 terbitnya Peraturan Daerah Nomor 5. tentang pelaksanaan Syari’at Islam yang diformalkan menjadi hukum legitimasi dan dilengkapi dengan beberapa Qanun yang bertujuan untuk alat pengawasan bagi warga masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah fungsi penerapan Syari’at Islam sebagai kontrol sosial terhadap tindakan pelanggaran hukum Islam pada masyarakat desa Leuge kecamatan Peureulak Kota Kabupaten Aceh Timur. Penelitian ini dilakukan dengan analisa deskriptif dan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang saling melengkapi satu sama lainnya. Teknik pengumpulan data secara kuantitatif dilakukan dengan cara quisioner yang disebarkan kepada 94 responden dengan rincian 48 laki-laki dan 46 perempuan, hal ini dilakukan untuk mengetahui fungsi Syari’at Islam sebagai alat kontrol sosial dalam penerapan Syari’at Islam. Sedangkan pengumpulan data secara kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam kepada 15 informan yang diambil secara porposif dari sampel berdasarkan kebutuhan kriteria yang menurut peneliti dianggap dapat mewakili. Setelah data terkumpul dilakukan analisis data dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan interpretasi data kualitatif.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 11
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Manfaat Penelitian ... 11
BAB II. METODE PENELITIAN 2.1. Jenis Penelitian ... 13
2.2. Lokasi Penelitian ... 13
2.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 13
2.3.1. Populasi ... 13
2.3.2.1. Penarikan Sampel Secara Kuantitatif ... 14
2.3.2.2.Informan Dengan Menggunakan Metode Kualitatif ... 16
2.4. Teknik Pengumpulan Data ... 17
2.4.1. Metode Kuantitatif ... 17
2.4.2. Metode Kualitatif ... 18
2.5. Teknik Analisa Data ... 19
2.5.1. Analisa Data Kuantitatif ... 19
2.5.2. Interpretatif Data Kualitatif ... 19
2.6.1. Pengaruh Islam Terhadap Masyarakat Aceh ... 20
2.6.2. Fungsi Agama ... 21
2.7. Definisi Operasional ... 30
BAB III. DESKRIPTIF LOKASI 3.1. Penerapan Syari’at Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ... 33
3.1.1. Wilayah Peradilan Islam ... 36
3.1.1. Wilayah Al-Tahkim ... 36
3.1.2. Wilayah Al-Qadha’ ... 36
3.1.3. Wilayah Al-Mazhlim ... 37
3.1.4. Wilayah Al-Hisbah ... 38
3.2. Sejarah Berdirinya Desa Leuge ... 38
3.3. Karakteristik Desa Leuge ... 39
3.3.1. Keadaan Alam ... 39
3.3.2. Letak Desa Terhadap Pusat Kota ... 40
3.4. Komposisi dan Karakteristik Penduduk Desa Leuge ... 40
3.4.1. Jumlah Penduduk ... 40
3.4.2. Pekerjaan ... 40
3.4.3. Komposisi Penduduk Menurut Usia ... 41
3.4.3. Tingkat Pendidikan ... 42
3.4.4. Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 43
3.4.5. Etnis ... 43
3.5. Sarana dan Prasarana ... 44
BAB IV. TEMUAN DATA DAN ANALISA DATA 4.1. Karakteristik Responden ... 45
4.1.2. Komposisi Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan ... 45
4.1.3. Komposisi Responden Berdasarkan Usia ... 46
4.1.4. Komposisi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 47
4.2. Profil Informan ... 48
4.3. Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Fungsinya Sebagai Kontrol Sosial ... 51
4.4. Tanggapan Responden Terhadap Frekuensi Pelanggaran Syari’at Islam Setelah Penerapan Syari’at Islam ... 62
4.5.Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial Menurut Jenis Kelamin, Usia, Jenjang Pendidikan, dan Pekerjaan ... 65
4.5.1.Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial Menurut Jenis Kelamin ... 65
4.5.2.Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 67
4.5.3.Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial Berdasarkan Usia ... 69
4.5.4.Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial Berdasarkan Pekerjaan ... 70
4.6.Tanggapan Informan Terhadap Frekuensi Pelanggaran Hukum Syari’at Islam Setelah Penerapan Syari’at Islam ... 71
4.6.1. Kepatuhan Berbusanan Islami ... 72
4.6.2. Pelanggaran Perbuatan Khalwat ... 73
4.6.3. Pelanggaran Perbuatan Judi (Maisir) ... 74
4.6.4. Pelanggaran Mengkonsumsi Minuman Keras (Khamer) ... 75
4.7.Tanggapan Wilayatul Hisbah (Polisi Syari’at Islam) Sebagai
Petugas Aparat Penegak Hukum Syari’at Islam ... 77
BAB V. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan ... 82 5.2. Saran. ... 83
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. : Distribusi Jenis Kelamin dan Tingkat Jenjang Pendidikan ... 14
Tabel 2. : Distribusi Sampel Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Jenjang Pendidikan ... 16
Tabel 3. : Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 40
Tabel 4. : Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 41
Tabel 5. : Komposisi Penduduk Berdasarkan usia ... 41
Tabel 6. : Komposisi Penduduk BerdasarkanTingkat Pendidikan ... 42
Tabel 7. : Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 43
Tabel 8. : Komposisi Penduduk Menurut Etnis ... 43
Tabel 9. : Jenis Sarana dan Prasarana Desa ... 44
Tabel 10. : Komposisi Responden Menurut Jenis Kelamin ... 45
Tabel 11. : Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 46 Tabel 12. : Kom Tabel 14 : Distribusi Jawaban Responden Tentang Mengetahui Penerapan Syari’at Islam di Aceh ... 52
Tabel 15. : Disribusi Jawaban Responden Tentang Setuju Adanya Penerapan Syari’at Islam ... 52
Tabel 16. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Adanya Petugas Khusus Untuk Mengawasi Perbuatan Pelanggaran Syari’at Islam ... 52
Tabel 17. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Hukuman Yang Dijatuhkan Bagi Masyarakat Yang Ketahuan Melakukan Pelanggaran Syari’at Islam ... 52
Tabel 18. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Wilayatul Hisbah (WH) Sering Melakukan Razia ... 53
Tabel 19. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Bersedia Keluarga/Tentangga/ Teman Melaporkan ke Wilayatul Hisbah Apabila Setelah di Nasehati Masih Juga Melakukan Pelanggaran Syari’at Islam ... 54
Tabel 21. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Rasa Aman Keluar Setelah Ad any a Wilayatul Hisbah ... 55 Tabel 22. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Setelah di Berlakukan
Syari’at Islam Adanya Kehidupan yang Lebih Baik ... 55 Tabel 23. : Distribusi Jawaban Responden Tentang razia yang di Laksanakan Oleh
Wilayatul Hisbah di Tempat-Tempat Umum ... 56 Tabel 24. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Masyarakat Terjaring Hukuman
Terkait Pelanggaran Syari’at Islam ... 56 Tabel 25. : Distribusi Jawaban Responden Mayarakat Terjaring Hukuman Terkait
Pelanggaran Syari’at Islam Menjadi Perhatian Bagi Anggota Masyarakat Lain Untuk Tidak Melakukan. ... 57 Tabel 26. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Setuju Apabila Ada
Keluarganya di Hukum Sesuai Perbuatannya Apabila Melanggar Hukum Syari’at Islam ... 57 Tabel 27. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Responden Orang yang
Selalu Menasehati Orang Lain Untuk Menjauhi Perbuatan yang di Larang Hukum Syari’at Islam ... 58 Tabel 28. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Salah Satu Faktor dan Ketertiban
Adalah di Berlakukannya Syari’at Islam ... 58 Tabel 29. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Budaya Da’wah Islamiyah Sudah
Melekat di Masyarakat dan masih di Teruskan ... 59 Tabel 30. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Da’wah Islamiyah Memiliki
Nilai yang Positif Untuk Mendukung Pelaksanaan Syari’at Islam ... 59 Tabel 31. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Keterlibatan Wilayatul Hisbah
Dalam Pelaksanaan Da’wah Islamiyah ... 59 Tabel 32. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Kondisi Keamanan Desa
Pelaksanaan Syari’at Islam ... 60
Tabel 34 : Distribusi Jawaban Responden Tentang Hubungan Aparatur Syari’at Islam Dengan Masyarakat ... 61
Tabel 35. : Distribusi Jawaban Respoden Tentang Setelah Adanya Pelaksanaan Syari’at Islam Masyarakat Semakin Aman dan Tentram ... 61
Tabel 36. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Masyarakat Mengetahui Fungsi Penerapan Syari’at Islam ... 62
Tabel 37. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Pelanggaran Busana (Pakaian Isla mi) Setelah Pemberlakuan Syari’at Islam ... 62
Tabel 38. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Perbuatan Khalwat Setelah Pemberlakuan Syari’at Islam ... 63
Tabel 39. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Perbuatan Judi (Maisir) Setelah Pemberlakuan Syari’at Islam ... 63
Tabel 40. : Distribusi Jawaban Responden Tentang Mengkonsumsi Minuman Keras (Khamer) Setelah Pemberlakuan Syari’at Islam ... 64
Tabel 41. : Distribusi Jawaban Responden Tentang MasyarakatMeninggalkan Kewajiban Shalat Jum’at Setelah Pemberlakuan Syari’at Islam ... 64
Tabel 42. : Tanggapan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 66
Tabel 43. : Tanggapan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 67
Tabel 44. : Tanggapan Responden Berdasarkan Usia ... 69
Tabel 45. : Tanggapan Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 70
ABSTRAK
Penerapan Syari’at Islam menyangkut aspek-aspek penyelenggaraan kehidupan adat dan kebudayaan sebagai alat kontrol bagi masyarakat yang diintegrasikan dengan Hukum Syari’at Islam. Syariat Islam adalah aturan yang diturunkan oleh Allah SWT yang berfungsi untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam sekitar. Bagi masyarakat Serambi Mekkah Syari’at Islam sudah lama di isukan dan bahkan semenjak kerajaan-kerajaan Islam pertama masuk kenusantara. Pada masa kerajaan Sulthan Iskandar Muda (1607—1636) yang berusaha menegakkan kehidupan beragama, memberantas minuman keras dan perjudian, shalat jum’at bersama-sama rakyat, dan melarang perbuatan zina. Syari’at Islam dijadikan sebagai pedoman hukum kepada seluruh rakyatnya dan setelah masa kerajaan pemerintahan beliau di gantikan maka hukum Syari’at Islam semakin pudar, akan tetapi pelaksanaannya masih hanya sekedar kesadaran individu. Pada tahun 2000 terbitnya Peraturan Daerah Nomor 5. tentang pelaksanaan Syari’at Islam yang diformalkan menjadi hukum legitimasi dan dilengkapi dengan beberapa Qanun yang bertujuan untuk alat pengawasan bagi warga masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah fungsi penerapan Syari’at Islam sebagai kontrol sosial terhadap tindakan pelanggaran hukum Islam pada masyarakat desa Leuge kecamatan Peureulak Kota Kabupaten Aceh Timur. Penelitian ini dilakukan dengan analisa deskriptif dan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang saling melengkapi satu sama lainnya. Teknik pengumpulan data secara kuantitatif dilakukan dengan cara quisioner yang disebarkan kepada 94 responden dengan rincian 48 laki-laki dan 46 perempuan, hal ini dilakukan untuk mengetahui fungsi Syari’at Islam sebagai alat kontrol sosial dalam penerapan Syari’at Islam. Sedangkan pengumpulan data secara kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam kepada 15 informan yang diambil secara porposif dari sampel berdasarkan kebutuhan kriteria yang menurut peneliti dianggap dapat mewakili. Setelah data terkumpul dilakukan analisis data dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan interpretasi data kualitatif.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan baik suku bangsa, ras, etnis, budaya maupun agama, dalam hal keagamaan mayoritas
penduduk Indonesia memeluk agama Islam sehingga timbulnya gerakan untuk menerapkan Syaria’t Islam di sejumlah daerah yang merupakan
fenomena yang menonjol di era reformasi. Gerakan ini hampir bersamaan dengan perjuangan mengusung perjuangan Jakarta tahun 2000 yang dilakukan oleh kelompok-kelompok umat Islam dalam berbagai kelompok keagamaan.
Gerakan Islam yang memperjuangkan formalisasi Syari’at Islam berlangsung secara relatif luas di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Aceh. Kenyataan yang
cukup menarik bahwa gerakan Islam memperjuangkan penerapan Syari’at Islam itu paling menonjol tumbuh dan berkembang terutama di tiga wilayah yakni Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Jawa
Barat (Jabar). Ketiga daerah tersebut dimasa lampau dikenal dengan daerah-daerah yang menjadi basis gerakan DI/TII. Ketiga daerah-daerah yang dikenal
tanahnya subur itu juga sering di kategorikan sebagai daerah dengan penduduk taat beragama Islam dan basis dari kekuatan-kekuatan politik Islam seperti Syarikat Islam dan Masyumi dimasa lalu.
Masyarakat Aceh atau kini bernama Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sebenarnya telah memulai penerapan Syari’at Islam secara formal dalam
B.J Habiebie, dengan di berlakukannya UU-RI (Undang-Undang Republik
Indonesia) Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mengandung unsur pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya, khususnya dalam pasal Penyelanggaran Kehidupan
Beragama.
Pemberlakuan Syariat Islam di NAD bahkan semakin konkrit dan
tersistem dengan keluarnya UU-RI No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, Sekaligus mengubah Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dalam UU otonomi Khusus yang ditandatangani
oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, dalam hal tersebut juga terdapat ketentuan-ketentuan khusus mengenai instrumen peleksanaan Syari’at Islam
di wilayah ini seperti Mahkamah Syari’ah, Qanun (Peraturan Daerah), dan lain-lain.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri juga di
keluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syari’ah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yaitu lembaga peradilan
sebagai pengganti institusi Peradilan Agama, yang bebas dari pengaruh manapun yang berlaku untuk pemeluk agama Islam di seluruh wilayah NAD. Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh jauh lebih banyak di warnai oleh
dinamika politik antara Aceh dengan Pusat. Gerakan penerapan Syari’at Islam tidak sepenuhnya murni tumbuh dari gerakan masyarakat akan tetapi karena
Akomudasi dan kebijakan politik dalam konteks penyelesaian konflik yang berkepanjangan di wilayah ini sejak era orde lama. Konflik politik ini bahkan memiliki akar kesejarahan sejak Indonesia merdeka dalam masa awal hingga
lama. Dengan kata lain, pemberlakuan Syari’at Islam secara formal di Aceh
lebih merupakan kebijakan politik pemerintah pusat untuk Aceh dari pada murni lahir dari gerakan keagamaan, kendati faktor gerakan pun ikut mewarnainya.
Tetapi apapun karakternya, pemberlakuan Syariat Islam di Aceh tetap memiliki warna sendiri dan lebih jauh bahkan ikut mempengaruhi daerah lain
untuk melakukan hal yang sama seperti halnya di sulawesi Selatan dan Jawa Barat, disamping daerah-daerah lainnya. Aceh bahkan memiliki karakter khusus sebagai daerah berbasis perjuangan yang heroik dan dikenal sebagai
Serambi Mekah yang menggambarkan kelekatan masyarakat dengan Islam.
Penerapan Syari’at Islam bahkan lebih luas dan bebagai macam aspek dengan
daya dukung perundang-undangan dan perangkat-perangkat kelembagaan yang lengkap, sehingga Syari’at Islam menyatu dengan pemerintahan kendati tetap berada dalam kerangka otonomi khusus dan secara nasional tetap berada
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai hasil usaha para ulama dan para mubaligh sejak mulanya
Islam masuk di Aceh, maka rakyat Aceh sangat fanatik kepada Islam. Fanatik adalah lain dari pada taat. Seorang yang fanatik belum tentu taat, akan tetapi dorongan dan dukungan serta partisipasinya dalam menegakkan Syariat
Islam sangat kuat. Di Aceh dilarang etnis cina berjualan makanan masak selama bulan puasa. Namun larangan ini tidak bertahan lama, kemudian di
selaku penguasa Perang daerah Untuk Daerah Istimewa Aceh yaitu Kolonel
M. Jasin. keputusan tersebut berisi:
Pertama : Terlaksananya secara tertib dan seksama unsu-unsur Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya di daerah Istimewa Aceh,
dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara. Kedua : Penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama diatas,
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan Daerah Istimewa Aceh.
Berdasarkan keputusan PEPERDA tersebut, maka DPRD Gotong Royong Daerah Istimewa Aceh, setelah lima kali sidang, maka pada tanggal 15 agustus
1962 mengeluarkan pernyataan sebagai berikut :
I. Dalam batas-batas wewenang serta kemungkinan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah
Daerah Istimewa Aceh akan melaksanakan unsur-unsur Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sesuai sepeti prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Keputusan PEPERDA tanggal 7 April 1962 No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962.
II. untuk pelaksanaan usaha tersebut, akan dibuat peraturan-peraturan
Daerah dan untuk merencanakan peraturan-peraturan itu, dimana di anggap perlu, akan diserahkan kepada suatu panitia yang dibentuk oleh
Pemerintahan Daerah.
III. Untuk menjaga jangan ada kesimpangsiuran didalam pengertian dan penyelenggaraan tentang unsur-unsur Syari’at Islam yang dimaksud,
undang-undang pokok tentang Agama. (Sekretariatan DPRD-GR Daerah
Istimewa Aceh, 1972:207).
Baik Keputusan PEPERDA tersebut di atas, maupun pernyataan DPRD–GR tersebut, dikeluarkan dalam rangka politik pemulihan keamanan di
Aceh. Mengapa jalan itu di tempuh, tidak lain melainkan oleh karena rakyat Aceh sangat fanatik kepada Islam.
Masyarakat Aceh pada umumnya dan khususnya daerah kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur memang dikenal sebagai masyarakat yang taat dalam beragama Islam, artinya secara nominal dan semangat yang tumbuh
dalam masyarakat secara luas telah menjalankan rukun Islam dan memiliki daya fanatisme relatif tinggi dalam beragama.
Penduduk atau masyarakat Aceh yang yang menempati wilayah yang luasnya 55.390 km2 atau sekitar seluas Jawa Barat itu mayoritas (97,3%) beragama Islam, sedangkan mereka yang beragama Non-Islam kebanyakan
berasal dari luar Aceh yang menjadi pegawai pemerintahan atau sebagai pedagang. Demikian kental nuansa keislaman di wilayah yang kini bernama
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu hingga daerah ini populer disebut Serambi Mekkah, yang melukiskan kehidupan masyarakat Aceh yang Islami. Dalam hal ini adanya pandangan yang menyatakan kuatnya budaya Islam
dalam kehidupan masyarakat Aceh dari aspek keseharian hingga kesikap politik sebagaimana gambaran berikut ini : ‘’Budaya Islam memang
Sejumlah indikasi dari keberadaan Aceh sebagai basis kaum muslimin
dengan citra keislaman yang kental di masa lalu dapat ditelusuri dan ditujukkan dalam berbagai hal sebagaimana dalam tulisan Teuku Syamsuddin. Yang dapat di gambarkan dalam beberapa simpulan antara lain :
I. Sejak kedatangan Islam di Aceh sebagaimana pada peninggalan raja-raja pasai seperti pada nisan Sultan Malikul Saleh yang wafat pada
tahun 1929 Masehi, masyarakat Aceh mengenal huruf dan tulisan Arab sehingga melahirkan tulisan Arab-melayu yang menjadi alat ciri khas komunikasi bahasa penduduk Aceh yang disebut huruf jawoe.
II. Kegiatan penduduk sejak lama terbiasa dalam melakukan kewajiban-kewajiban ibadah dan membangun mesjid dan madrasah (meunasah)
secara bersama-sama atau gotong royong.
III.Kesatuan-kesatuan teritorial ditingkat bawah seperti gampoeng (kumpulan desa-desa), mukim (kumpulan desa-desa), sagoe (kumpulan
beberapa mukim) dan daerah Sultan, selain, ulee balang (distrik) terkait dengan struktur masyarakat lama masyarakat berada dalam
pengaruh keagamaan (Islam) dengan puncak kekuasaan mempengaruhi kehidupan masyarakat berada dibawah Sulthan dan di masyarakat luas berada dalam pengaruh Teungku (Ulama atau ahli agama Islam) dan
Imam (kepala Mukim) diluar pengaruh Ulee balang (teuku) yang tergolong elit priyayi.
V. Hukum Islam telah berlaku sejak zaman kerajaan (zaman Belanda)
dengan kekuasan peradilan Agama Islam dan adanya lembaga tertinggi Mahkamah Syari’at terutama dalam menangani perkara-perkara hukum perkawinan, waris, dan perkara perdata lainnya.
VI.Pendidikan agama memperoleh tempat yang tinggi dalam kehidupan masyarakat dengan peran lembaga meunasah (madrasah) yang cukup
penting ditingkat bawah. (Haedar Nashir,2007:330-333)
Masyarakat Aceh memiliki corak kehidupan yang kental dengan
agama Islam dapat dilacak akar sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang menjadi pusat-pusat kerajaan Islam yang menjadi pusat kekuasaan politik
sekaligus agama. Aceh tergolong wilayah yang memiliki sejarah yang sangat panjang dalam hal kedatangan islam dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, yang dimulai dari kerajaan Peureulak (840-1291), Samudera Pasai
(1042-1427), Teumieng/Tamiang (1184-1398), Darussalam (1205-1530), dan Aceh Darussalam (1511-1903). Dan kerajaan-kerajaan islam lainnya.
Gambaran tentang pertautan sejarah Aceh dan kehadiran Islam sebagaimana dipaparkan itu menunjukkan betapa Islam telah memperoleh tempat khusus dan mendalam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam
kaitan inilah pertautan Islam dapat menjadi faktor penguat dan perekat bagi pemberlakuan Syari’at Islam atau hukum Islam dalam kehidupan masyarakat
‘’ Kerajaan-kerajan yang pernah ada di bumi Aceh yang Akrab disebut
Serambi Mekkah ini adalah kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Samudera Pasai. Bahkan kerajaan-kerajaan yang pernah ada sebelum kerajaan Aceh Darussalam terwujud, seperti Kerajaan Daya, Kerajaan Aceh Rayeuk,
Kerajaan Pidie, kerajaan Linge’, dan Kerajaan Beuna, semuanya menjadikan Islam sebagai atas kerajaan dengan sumber hukumnya Al-Qur’an, Ijma’, dan
Qiyas.
Pada masa penjajahan Belanda (1887-1912), pelaksanaan hukum Islam masih berlaku di Aceh. Di zaman pergolakan paling keras dan perang
kemerdekaan melawan Belanda di Negeri serambi mekkah Itu, penerapan Syari’at Islam dilakukan melalui legitimasi pelaksanaan hukum Islam dalam
masalah-masalah hukum keluarga, Waris, dan sebagainya melalui peran Lembaga peradilan Agama Islam bagi masyarakat Aceh. Sedangkan dalam perkembangan sejarah Aceh berikutnya mumentum formal bagi masyarakat
untuk menerapkan syari’at Islam setelah era kemerdekaan Indonesia tahun 1945, tercapai setelah pemberontakan DI/TII dengan yang di pimpin oleh
Tengku Daud Beureeuh. Sehingga keluarnya Keputusan Perdana Menteri R.I nomor 1/Missi/1959 yang memberikan status istimewa bagi provinsi Aceh dalam tiga bidang yaitu keagamaan, peradatan, dan pendidikan.
Di era orde baru dalam rentang waktu 1999-2002, ketika gerakan
separatis GAM tumbuh semakin kuat, pemerintah pusat di Jakarta yang didukung oleh DPR, melakukan terobosan baru dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan
Presiden Nomor 11 tentang Mahkamah Syari’at di Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam. Seteleh Tap MPR dan kedua Undang-Undang bagi Aceh ditetapkan, kemudian keluar berbagai Peraturan Daerah (Qanun, Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengenai pelaksanaan unsur-unsur
Syari’at Islam (18 Qanun/Perda) dan Instruksi Gubernur (11 Instruksi) yang mengatur berbagai aspek pelaksanaan dan penerapan Syari’at Islam di daerah
Serambi Mekkah.
Kelahiran dan pemberlakuan Undang-Undang disertai Peraturan Daerah atau qanun serta peraturan peraturan lainnya yang mengatur keabsahan
dan penerapan Syari’at Islam di NAD pada era reformasi ini merupakan fenomena baru yang tidak pernah di peroleh sebelumnya dalam sejarah
kehidupan Aceh setelah Indonesia merdeka tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, janji Presiden Soekarno untuk penerapan Syari’at Islam di Aceh tidak dipenuhi, yang kemudian memicu pemberontakan
DI/TII yang di bawah pimpinan Daud Bereeuh, kendati akar pemberontakan tersebut bersifat kompleks, setelah Daud Bereeuh turun gunung dan
melakukan perdamaian yang kemudian melahirkan status Daerah Istimewa Aceh bagi Aceh tahun 1959 ternyata juga tidak disertai dengan konsistensi dan pemberlakuan undang-undang atau peraturan yang memberikan keleluasaan
bagi Aceh untuk penerapan Syariat Islam. Lebih-lebih setelah orde baru lahir dan kemudian disusul dengan pemberlakuan Undang-undang No 5 Tahun
1974 tentang Pokok Pemerintahan daerah, pemberlakuan Syari’at Islam bahkan status Istimewa bagi Aceh secara tidak langsung dicabut dan tidak belaku lagi. Kondisi yang pasang-surut semacam itu menyebabkan tumbuhnya
tiba maka sejarah yang buruk tersebut tidak ingin terulang lagi bagi
masyarakat Aceh. Karena itu , adanya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001, mengandung arti yang konkrit bahwa umat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam diberi izin untuk merumuskan dan membuat peraturan tentang tata
kehidupan masyarakat yang sejalan dengan Syari’at Islam atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.
Secara keseluruhan berbagai bentuk legislasi khusus tersebut selain memberikan keleluasan bagi Provinsi paling penuh gejolak tersebut untuk mengatur dan mengelola kehidupan secara lebih leluasa sebagai jawaban atas
bermacam-macam masalah yang selama ini menjadi benih dari kekecewaan-kekecewaan masyarakat diwilayah ini, lebih khusus lagi sebagai imbalan
politik yang diberikan oleh pemerintahan Pusat bagi masyarakat di Serambi Mekkah itu untuk mengembangkan kehidupannya yang berbasis otonom yang berbasis pelaksanaan Syari’at Islam yang memang tuntutan politik paling
nyaring sepanjang sejarah sejak awal kemerdekaan yang di tandai dinamika pergolakan didaerah ini.
Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan
pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka
penulis harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus pergi, dan dengan apa (Arikanto, 2002:22)
Berdasarkan penjelasan di latar belakang di atas maka berbagai konflik
kekerasan terjadi di NAD secara berkesinambungan sampai pada saat tahun 2005, setelah perjanjian helsinki antara RI-GAM sehingga melahirkan
Syari’at Islam sebagai solusi politik maka penulis membuat suatu perumusan masalah sebagai berikut : ‘’ Bagaimanakah fungsi penerapan Syari’at Islam sebagai kontrol sosial terhadap tindakan pelanggaran hukum
Islam pada masyarakat desa Leuge kecamatan Peureulak Kota Kabupaten Aceh Timur’’.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1. Mengingat kecamatan Peureulak merupakan daerah yang pertama masuknya islam di nusantara dan daerah basis GAM maka penulis ingin
mengetahui sejauh mana penerapan Syari’at Islam di daerah tersebut
2. Untuk mengetahui fungsi-fungsi penerapan syari’at Islam sebagai fungsi
1.4 MANFAAT PENELITIAN
a). Manfaat teoritis, dapat memberikan sumbangan yang di informasikan kepada studi-studi terkait dengan persoalan tindakan sosial dalam suatu masyarakat khususnya sosiologi hukum
b). Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dan masyarakat kecamatan Peureulak Kota
untuk mengevaluasi pelaksanaan Syari’at Islam dimasa yang akan datang.
c). Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan serta wawasan penulis mengenai Syari’at Islam dan sebagai wadah latihan serta pembentukan pola pikir ilmiah
dan rasional.
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan menggunakan metode survei dimaksudkan karena lebih relevan dalam penggunaan pendekatan kuantitatif namun untuk penyempurnaan data juga digunakan metode kualitatif sebagai pelengkap.
2.2LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini berlokasi di Desa Leuge kecamatan Peureulak Kota
kabupaten Aceh Timur, adapun alasan memilih lokasi ini adalah :
1. Lokasi ini merupakan daerah pertama masuknya islam di Nusantara dan daerah basis konflik GAM-RI
2. Kecamatan Peureulak Kota adalah pusat perkantoran, perbelanjaan dan pendidikan, daerah tersebut merupakan tempat berkumpulnya komunitas
berbagai lapisan masyarakat.
2.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
2.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti. ( Prasetyo, 2005: 119 ) adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini
adalah masyarakat desa Leuge yang dilihat berdasarkan tingkat pendidikan. Kriteria ini ditentukan karena tingkat pendidikan mempengaruhi pemahaman dan pandangan masyarakat terhadap fungsi Syari’at Islam. Populasi dalam
penelitian ini berjumlah 1516 (Sumber data desa Leuge 2009)
Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi sumber data
dari populasi yang diambil dengan cara-cara tertentu ( Nawawi, 199: 144 )
sampel dalam penelitian ini berjumlah 94 orang dengan menggunakan rumus Taro Yamane, sedangkan pengambilan sampel berdasarkan jenis kelamin dan jenjang pendidikan menggunakan teknik acak kelompok (Cluster Random
Sampling). Untuk mengetahui jumlah populasi berdasarkan jenis kelamin dan
jenjang pendidikan dapat dilihat pada Tabel.1
Tabel .1 Distribusi jenis kelamin dan tingkat jenjang pendidikan
Jenis
Sumber : Data statistik kantor kepala desa Leuge 2009.
2.3.2.1 Penarikan Sampel Secara Kuantitatif
Penetapan jumlah total sampel adalah 94 orang dengan menggunakan rumus Taro Yamane, selanjutnya untuk memperoleh sampel berdasarkan jenis
kelamin dan jenjang pendidikan menggunakan teknik penarikan sampel acak kelompok (Cluster Random Sampling)
Berdasarkan data populasi pada Tabel 1. maka untuk menghitung jumlah
sampel digunakan rumus Taro Yamane dengan tingkat kepercayaan 90 %, (Rakhmat, 2002:82) yakni sebagai berikut:
Dari data populasi dengan menggunakan rumus Taro Yamane, maka
jumlah sampel yang di peroleh adalah:
n =
Berdasarkan populasi di atas maka untuk menghitung jumlah sampel digunakan rumus sebagai berikut:
sampel
Populasi seluruhnya = 1516
Sampel tidak tamat SD/sederajat Lk: 86/1516 x 94 = 5
Pr : 94/1516 x 94 = 5 Sampel tamat SD/sederajat Lk: 93/1516 x 94 = 6 Pr : 87/1516 x 94 = 5
Sampel tamat SLTP/sederajat Lk: 165/1516 x94 = 10 Pr : 159/1516 x94 = 10
Sampel tamat SLTA/sederajat Lk: 303/1516 x94 = 19 Pr : 289/1516x94 = 18 Sampel tamat PT/D3 Lk: 135/1516 x94 = 8
Dari rumus tersebut diperoleh jumlah sampel berdasarkan jenis
kelamin dan jenjang pendidikan, jumlah sampel penelitian dari setiap jenis kelamin dan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini:
Tabel .2 Distribusi sampel menurut jenis kelamin dan tingkat jenjang pendidikan
Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Leuge Kecamatan Peureulak Kota yaitu:
1. Laki-laki dan perempuan yang berusia 21-55 tahun, batasan ini dimaksudkan karena pada usia 21 tahun dianggap usia dewasa dan
sedikit banyak telah memahami norma-norma dan nilai-nilai Syari’at Islam yang harus dijalankan.
2. Telah menetap di desa Leuge minimal 5 tahun. Hal ini dimaksudkan
karena responden yang telah menetap minimal selama 5 tahun sedikit banyak telah mengetahui situasi dan kondisi Penerapan syari’at Islam di
Kecamatan Peureulak Kota khususnya di desa Leuge. 2.3.2.2 Informan Dengan Menggunakan Metode Kualitatif
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
Laki-laki dan perempuan yang berusia 21 tahun keatas. Batasan ini
dimaksud karena pada usia 21 tahun keatas seseorang dianggap balihg (mampu membedakan yang haram-halal).
Telah menetap di desa Leuge Kecamatan Peureulak Kota selama penerapan
Syari’at Islam dilaksanakan, sedikit banyak telah mengatahui situasi dan kondisi dari semenjak diterapkan Syari’at Islam sampai sekarang di desa
Leuge Kecamatan Peureulak Kota Kabupaten Aceh Timur.
Maka menurut peneliti yang mewakili dari Wilayatul Hisbah ( Petugas Syari’at Islam ) sebanyak 5 orang, mewakili dari tokoh agama/adat sebanyak
3 orang, mewakili dari tokoh pemuda sebanyak 3 orang, dan mewakili dari tokoh perempuan sebanyak 2 orang,. Jadi jumlah informan seluruhnya yang
mewakili data berjumlah 15 orang.
2.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.4.1Metode Kuantitatif
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dengan metode kuantitatif dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil quesioner, quesioner
mendapatkan jumlah komposisi masyarakat yang beranggapan Syariat
Islam berfungsi sebagai alat kontrol bagi tindakan dan prilaku yang menyimpang di masyarakat.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Data sekunder ini dapat berupa dokumentasi baik berupa buku,
koran, majalah maupun internet yang dapat menunjang tulisan ini dan sebagai data pelengkap, yang berguna untuk mengetahui fungsi penerapan Syari’at Islam sebagai kontrol sosial bagi masyarakat.
2.4.2. Metode Kualitatif 1. Data Primer
a. Wawancara
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan
pula. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara bebas dan mendalam (depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya, yang berfungsi untuk
memperoleh berbagai data atau keterangan yang bersifat informal dan juga mengetahui alasan yang sebenarnya dari informan.
b. Observasi
Merupakan suatu pengamatan dengan cara melibatkan diri secara
pelaksanaan dan penerapan Syari’at Islam sebagai alat kontrol bagi
masyarakat.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Data sekunder ini dapat berupa dokumentasi baik berupa buku,
koran, majalah maupun internet yang dapat menunjang tulisan ini dan sebagai data pelengkap, yang berguna untuk mengetahui fungsi penerapan Syari’at Islam sebagai kontrol sosial bagi masyarakat.
2.5. TEKNIK ANALISIS DATA
2.5.1. Analisa Data Kuantitatif
Analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan di interpretasikan (Masri Singarimbun:1989, hal
263). Untuk analisis data kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan metode statistik deskriptif yaitu pengolahan data yang dilakuakan dengan
Tabel distribusi frekuensi untuk mendapatkan gambaran komposisi masyarakat mengeanai fungsi penerapan Syari’at Islam terhadap masyarakat.
2.5.2 Interpretasi Data Kualitatif
Data kualitatif dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan,
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu ,
wawancara, pengamatan yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, dan dokumen resmi.
Data tersebut dibaca, dipelajari, dan ditelaah, maka langkah
selanjutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan abstraksi, Abstraksi merupakan usaha untuk membuat rangkuman yang inti,
proses, dan pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap dalam fokus penelitian.
2.6 KAJIAN PUSTAKA
Dalam pembahasan kajian pustaka terdapat beberapa penjelasan mengenai pengaruh Islam terhadap masyarakat Aceh, dan fungsi agama, serta pendapat pendapat para ahli tentang Struktural Fungsional dengan menggunakan konsep AGIL
2.6.1 Pengaruh Islam terhadap Masyarakat Aceh
Masuknya Islam ke Aceh pada abad ketujuh atau kedelapan masehi,
banyak sekali mempengaruhi adat istiadat Aceh. Malahan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang berbunyi : Hukom ngon adat lagee
zat ngon sipheut (Hukum dengan adat seperti benda dengan sifatnya, tidak terpisah). Yang dimaksud dengan hukum disini adalah hukum islam yang diajarkan oleh para Ulama. Ini ditunjukkan oleh pepatah lain yang berbunyi:
Adat bak meureuhom, Hukum Bak Syiah ulama (wewenang adat pada Sulthan, Hukum pada ulama Syiah Kuala ) yang dimaksud dengan peutoe Meureuhom ialah Almarhum Sulthan Iskandar Muda.(Ismuha, 1995 : 37).
Demikian besar pengaruh di Aceh, sehingga sapaan waktu dan ucapan waktu berpisah, tidak lagi ucapan yang lain-lain melainkan sudah menjadi
Rahmatullah (Tuan juga selamat beserta rahmat Allah). Bila seseorang menerima pemberian dari orang lain, tidak lagi mengucapakan terima kasih melainkan diganti dengan Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah). Apabila mendengar orang meninggal, segera mengucapakan: Innalillahi Wa Inna
Lillahi Raaji’uun (semua kita milik Allah dan semua kita kembali kepada-Nya).
Tempat umum di tiap-tiap kampung di Aceh khususnya di Peureulak disebut : Meunasah. Berasal dari bahasa Arab, Madrasah yang berarti Tempat belajar membaca Al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran lain. Fungsi lain dari
Meunasah itu adalah sebagai tempat shalat lima waktu untuk kampung itu. Dalam hubungan ini, di atur pula letak madrasah harus berbeda dengan letak
rumah, supaya orang dapat mengetahui mana yang rumah dan mana yang Meunasah dan sekligus juga orang dapat mengetahui kemana arah kiblat kalau akan shalat. Fungsi lain ialah sebagai tempat shalat taraweh dan tempat
membaca Al-Qur’an bersama-sama di bulan puasa, serta tempat kenduri maulud pada bulan mauludan. Juga sebagai tempat menyerahkan zakat fitrah
pada hari Raya Puasa, tempat menyembelih Qurban pada hari raya haji, tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung itu, tempat bermusyawarah dalam segala urusan, dan lainnya.
2.6.2 Fungsi Agama
Menurut Shcarf (1995) sosiologi melihat agama sebagai salah satu dari
institusi sosial, sebagai sub sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial, social intitution. Karena
meskipun tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, posisi
agama dalam suatu masyarakat bersama-sama subsistem lainnya (seperti subsistem ekonomi, politik kebudayaan, dan lain-lain) mendukung terhadap eksitensi masyarakat. Agama tidak dilihat berdasarkan apa dan bagaimana isi
ajaran dan doktrin keyakinan, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam prilaku para pemeluknya dalam
kehidupan sehari-hari.
Perilaku keagamaan sesungguhnya merupakan perilaku yang terdapat dalam alam kenyataan dan karenanya dapat diamati dan diteliti, bila fenomena
sosial berubah maka akan diikuti perubahan fenomena keagamaan, dan sebaliknya keduanya saling berkaitan secara erat (Bellah, 146).
Menurut Sunarto (1993) mengemukakan bahwa agama merupakan istitusi penting yang mengatur kehidupan manusia istilah agama disini merupakan terjemahan dari kata religion, suatu istilah yang ruang lingkupnya
lebih luas dari istilah agama yang digunakan pemerintah RI, yang hanya mencakup agama-agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Kongguchu.
Horton dan Hunt (1991) melihat agama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya yang sifatnya lebih dari perilaku moral. Agama menawarkan suatu
pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak melulu memikirkan
Agama juga seperangkat hukum atau atauran tingkah laku maupun
sikap yang selalu mengacu pada kehendak Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, semua hukum maupun peraturan tersebut pada umumnya diciptakan oleh Tuhan dan sebagian lain oleh manusia tertentu yang mendapatkan
kepercayaan-Nya. Peraturan atau kaidah yang terdapat didalam agama dapat berupa petunjuk-petunjuk, keharusan atau perintah, maupun larangan, yang
semua itu agar ada keselerasan, ketertiban, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lain, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dapat tercapai.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan
kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada
aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat
tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan
sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “ budaya “ pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat
budayanya. “ Adat ngon agama lagei zat ngon sifeut “(Adat dan agama
seperti zat dan sifat). Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron landasan Budaya ideal dalam bentuk narit naja
“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,
Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.
( kekuasaan adat ada pada Sulthan, hukum ada pada ulama Syiah Kuala, peraturan pada sulthan, dan nilainya pada ahli adat)
Pou Teumeureuhom; Simbol pemegang kekuasaan. Syiah Kuala; Simbol hukum syari’at/agama dari ulama. Qanun; Perundang-undangan yang benilai agama dan adat dari badan legeslasi yang terus berkembang. Reusam;
Tatanan protokuler/seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan. Pengembangan nilai-nilai tatanan ini, mengacu kepada sumber asas,
yaitu ” Agama (hukum) ngon Adat, lagei zat ngon Sifeut ”
Mengacu kepada asas narit naja ini maka budaya adat mengandung dua sumber nilai yaitu:
Pertama: nilai adat istiadat, yaitu format seremonial, prilaku ritualitasi, keindahan, seni apresiasi dalam berbagai format upacara dan kreasi
Kedua: nilai normatif/ prilaku tatanan ( hukum adat ), yaitu format materi
aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran.
Mengacu kepada budaya adat Aceh yang sarat dengan nilai-nilai
a. Setia kepada aqidah Islami (hablum minallah)
b. Bersifat universal (tidak ada gap antar agama, antar bangsa dan antar suku)
c. Persatuan dan kesatuan (hablum minan nas)
d. Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong) e. Patuh kepada imam (pemimpin)
f. Cerdas dengan ilmu membaca dan menulis (iqra’ dan kalam/menulis )
Pertumbuhan budaya adat Aceh, andainya menjadi bagian kesetiaan dalam konteks harkat dan martabat identitas keacehan, menghadapi tantangan
sebaran budaya global, maka wujud budaya idealis, akan mudah adaptatis, akselirasasi dan berakumulasi secara kompetitif dan terprogram.
Muatan budaya adat Aceh sebagaimana tersebut diatas, secara teori memenuhi pandangan-pandangan yang dikemukakan antara lain oleh :
a. E.B.Taylor dalam bukunya : Primitive Culture, Boston, 1871, dengan rumusan : Culture or Civilization is that complex whole whitch includes
knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other capabilities, acquired by man as a member of society. (E.M.K.Masinambau, Hukum
dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000, hal.1)
Maksudnya; Budaya adalah suatu peradaban yang mengandung berbagai nilai ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasan dan berbagai kemampuan rekayasa (keterampilan) seseorang sebagai anggota masyarakat3
c. Soejito Sastrodiharjo, dalam topik tulisannya, Hukum Adat dan Realitas Penghidupan, dengan mengangkat dan setuju dengan pandangan Kluckhohn, yang mengatakan :.
Nilai itu merupakan ”a conception of desirable”. Pada nilai ada beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan nilai sekunder. Nilai primer merupakan pegangan hidup bagi suatu masyarakat (abstrak), misalnya: kejujuran, keadilan, keluhuran budi dan lain-lain, sedangkan nilai skunder adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kegunaan, misalnya dasar-dasar menerima keluarga berencana atau untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Nilai skunder muncul sesudah penyaringan nilai primer. Kemajuan yang dicapai oleh Jepang, disebabkan karena orang Jepang mempertahankan nilai-nilai primernya, tetapi mengubah nilai-nilai skundernya (M.Syamsuddin, dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Fak.Hukum UII, Yogyakarta, 1998, hal 113 )
Untuk memelihara tumbuhnya adat istiadat Aceh, ada dua kawasan yang perlu diprogramkan pengembangan apresiasi adat, dimana para tokoh adat (leading) sektor dengan perangkatnya amat berperan di dalamnya, yaitu kawasan Gampong dan kawasan Mukim
(http://www.acehforum.or.id/wujud-budaya-aceh 05/06/2008)
Dalam konteks budaya ideal, aktualisasi produk paket-paket budaya adat, dapat memasuki pasar global, dengan memperhatikan beberapa unsur, sebagai berikut:
1. Berakhlak agamis: kuat aqidah dalam penegakan syiar dan syariat Islam. 2. Berjiwa adatis: Penampilan prilaku yang adatis, dengan norma-norma adat dalam upacara-upacara kekhidmatan, bernilai ekonomi, harkat dan martabat. 3. Bertata Etika: budaya adat yang transparan (bermasyarakat, beraturan, berencana, berorganisasi, bergerak dan rensponsif), dibawah manajemen Keuchik dan perangkatnya.
4. Bertata Estetika. implimentas kreasi, apersiasi dalam format dengan nilai seni keindahan, bersih anggun, menarik (cantik), penuh nilai-nilai martabat yang santun, kebanggaan dan berwibawa.
5. Pengembangan nilai-nilai sejarah: Gedung memorial, monumen Daerah Modal, Monumen Perjuangan, Istimewa, Serambi Mekah, Syariat Islam, musium alat-alat teknologi pertanian tradisional, transportasi, musium perikanan, musium kereta api dan lainnya.
6. Tempat-tempat Rekreasi: Membangun pantai-pantai wisata, restoran, taman rekreasi, salon-salon, yang fasilitas penampilannya bernuansa adat dan Islami
makanan dan pakaian adat. Peranan pengusaha, secara komersial dan terprogram permanen. Membangun taman-taman hiburan untuk penyaluran minat kreasi, hiburan anak-anak yang tetap dan permanen. Taman rekreasi sungai Aceh
8. Membangun maket-maket souvenir Aceh: Memperbanyak kegiatan bisinis bidang jasa melalui toko-toko souvenir, pakaian adat, kue-kue Aceh, barang-barang antik Aceh, barang perhiasan, keramik dan lain-lain.
(http://www.acehforum.or.id/wujud-budaya-aceh 05/06/2008.)
Menurut Parsons (1950-1960) terdapat fungsi-fungsi atau kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap sistem yang hidup demi kelestarian. Dan pokok penting dalam kebutuhan fungsional ini adalah pertama, yang
berhubungan dengan lingkungan. Kedua, yang berhubungan dalam percapaian sasaran atau tujuan serta saran yang perlu untuk mencapai tujuan tersebut.
Berdasarkan premis itu Parsons menciptakan empat kebutuhan fungsional :
1. A- Adaptation ( Adaptasi )
a. Bahwa semua sistem sosial berawal dari hubungan dua orang sampai sistem sosial yang lebih besar dan rumit, harus mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapinya baik itu lingkungan fisik maupun sosial.
b. Harus terdapat suatu penyesuaian dari sistem itu terdapat
tuntutan kenyataan yang keras dan mungkin tak dapat di ubah dari lingkungan.
2. G – Goal Attaiment ( Percapaian Tujuan )
Persyaratan ini sama sekali tidak sulit untuk dimengerti. Setiap orang dalam tindakannya selalu mempunyai tujuan tertentu. Namun demikian, bukan tujuan individu yang dipentingkan disisi, melainkan
tujuan bersama antara mereka yang termasuk dalam sistem interaksi itu.
3. I- Integration ( Ingrasi )
Agar suatu sistem sosial dapat berfungsi secara efektif, maka diperlukan adanya tingkatan solidaritas diantara individu-individu
terlibat. Masalah integrasi merujuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang mampu menghasilkan solidaritas dan
kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan di pertahankan.
4. L – Latent Pattern Maintenance ( Pemeliharaan Pola-Pola Yang Laten )
Latent berarti tersembunyi, atau yang tidak kelihatan, Pattern berarti Pola, sedangkan Maintenance berarti Pemeliharaan. Permasalahan
yang mendasar yang berhubungan dengan persyaratan ini adalah menjawab pertanyaan berikut : kalau sistem sosial itu menghadapi kemungkinan bahaya perpecahan karena anggotanya berjalan keluar
dari rel, apa yang harus dibuat oleh sistem itu ? jawaban atas pertanyaan ini adalah bagaimana pola sistem ini mempertahankan diri
dari kehancuran dan pola ini tidak kelihatan. ( Latent )
suatu cara yang agak teratur. Menurut seperangkat peraturan dan nilai yang di
anut oleh sebagian besar masyarakat tersebut, masyarakat di pandang sebagai suatu sistem yang stabil dan suatu sistem kerja yang selaras dan seimbang ( Paul Horton, 1984:23 ).
Parsons yakin bahwa metodelogi yang paling memadai adalah metodelogi ‘’ Fungsionalisme Struktural ‘’, menurutnya teori yang tepat
adalah mengenai proses dinamis tidak ada, tetapi memang terdapat kemungkinan untuk menganalisis regularitas dalam terjadinya pelbagai relasi, yang bisa dianggap sebagai “ struktur’’ gagasan mengenai fungsi berguna agar
kita terus mengamati apa yang disumbangkan oleh sesuatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis, atau tepatnya apa fungsi yang dijalankan
dalam sistem itu. Ia menyayangkan bahwa ia disebut sebagai ‘’ seorang funsionalis struktural ‘’, sebab ia bermaksud tetap memisahkan fungsi, yang merupakan istilah penjelas, dari pasangan deskriptifnya, yakni struktur dan
proses.
Sebagaimana Teori Struktural Fungsional dalam konsep AGIL yang di
kemukakan oleh Talcott Parsons mengenai Integrasi (Integration), maka posisi agama sangatlah berfungsi dalam menguatkan struktur dalam masyarakat dimana agama sangat berperan dan doktrin untuk selalu berbuat
baik dan berhubungan sesama insan. Untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, maka dengan demikian adanya peraturan nilai-nilai agama dan
dan merealisasikan nilai-nilai agama secara bersama-sama. Disinilah
masyarakat terintegrasi sebagaimana yang di kemukakan oleh Talcott Parsons.
2.7 DEFINISI OPERASIONAL
Definisi Operasional dimaksudkan untuk mempermudah pengertian terhadap fenomena yang ada sehingga dapat menjadi panduan bagi peneliti
untuk menindak lanjutin fenomena tersebut. Beberapa konsep penting yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia dan keseluruhan bangunan dari peraturan dalam agama Islam baik lewat syari’at, fikih, dan
pengembangannya seperti fatwa, qanun, qiyasah dan lain-lain.
2. Syari’at Islam ialah seperangkat peraturan atau tutunan ajaran islam tentang kehidupan, yaitu ‘’susunan, peraturan dan ketentuan yang di
Syari’atkan oleh Tuhan dengan lengkap atau pokoknya saja, supaya manusia mempergunakannya dalam mengatur hubungan dengan Tuhan,
hubungan dengan saudara seagama, hubungan dengan saudaranya sesama manusia serta dengan alam besar dan kehidupan.
3. Qanun: Peraturan pemerintah daerah Nanggro Aceh Darussalam yang di
Hidupkan kembali setelah hilang beberapa Tahun lamanya
4. Kontrol Sosial Merupakan semua proses yang ditempuh dan sarana yang
penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran norma sosial oleh individu
warga masyarakat.
5. Pengendalian sosial (social Kontrol) adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang membangkang
yaitu dengan membujuk, memperolok-olok, mendesas-desuskan, mempermalukan dan mengucilkan, atau pun dipaksa untuk menyesuaikan
diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok
6. Meunasah adalah suatu tempat yang digunakan masyarakat gampoeng yang mempunyai banyak fungsi diantara lain sebagai tempat
melaksanakan shalat lima waktu, mendamaikan orang bersengketa, tempat pengajian, melaksanakan acara rapat, dll.
7. Gampong adalah Kesatuan masyarakat hukum yang merupakan
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
8. Wilayatul Hisbah (Polisi Syari’at Islam) adalah pemberi ingat dan
badan pengawas yaitu bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syari’at Islam dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar
(Perda, 2006: 179)
9. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun 2003) 10.Khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila
dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran, dan daya
11. Maisir (Perjudian) adalah kegiatan dan atau perbuatan yang bersifat
taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran (Qanun 13/03,ps 1 angka 20)
12.Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang
mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan (Qanun 14/03,ps 1 angka 20).
13.Berbusana Islami adalah suatu kewajiban bagi umat muslim untuk menutup aurat (bagian anggota badan) yang haram di perlihatkan kepada orang lain (yang bukan muhrim)
14.Shalat Jum’at adalah suatu kewajiban bagi laki-laki dewasa yang dilaksanakan pada setiap hari jum’at dengan berjama’ah.
15.Hukuman/Sanksi adalah suatu tindakan yang di berikan kepada si pelanggar qanun, dalam bentuk peringatan, penjara, cambuk, denda uang dengan tujuan masyarakat dapat memetuhi qanun.
BAB III
DESKRIPTIF LOKASI
3.1 Penerapan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
Penerapan Syari’at Islam di Nanggoe Aceh Darussalam (NAD) secara Formal dalam istitusi pemerintah dengan terbitnya Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Pemberlakuan syari’at Islam
di NAD bahkan telah di isyaratkan sejak tahun 1999, pada masa pemerintahan Presiden B.j.Habibie, dengan diberlakukannya UU-RI (Undang-Undang
Republik Indonesia) nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi daerah Istimewa Aceh yang mengandung unsur pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya.
Pemberlakuan Syari’at Islam di NAD bahkan semakin konkrit dan tersistem dengan keluarnya UU-RI Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus, sekaligus mengubah Provinsi daerah Istimewa Aceh Menjadi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan Perda Nomor 5 tahun 2000 pasal 5 ayat (2) dinyatakan
bahwa pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Meliputi aspek yang luas yaitu Aqidah, Ibadah, muamalah, Akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiyah, Baitul
Mal, Kemasyarakatan, Syi’ar Islam, pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan mawaris.
Dengan landasan konstitusional UU Nomor 44 tersebut dan UU Nomor
Syari’ah, Penerapan Syari’at Islam Diatur secara lebih operasional melalui
Peraturan daerah (Perda) atau Qanun Serta peratura lainnya (Keputusan, Surat, dan Instruksi Gubernur NAD) dalam sejumlah aspek Syari’at Islam.
Sejumlah perda atau qanun telah diterapkan yaitu tentang ketentuan
Pokok Pelaksanaan Syari’at Islam, Pembentukan Majlis Permusyawaratan Ulama, dan penyelengaraan kehidupan Adat. Sedangkan qanun yang
dihasilkan ialah tentang tentang peradilan Syari’at Islam; Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam; Larangan Miuman Khamar dan sejenisnya, Larangan Maisir (Perjudian), tentang Khalwat
(perbuatan mesum), dan disusul berbagai draf qanun lainnya seperti pemanfaatn dan pembayaran Diyat, Tugas dan fungsi jaksa dalam pelaksanaan
Syari’at Islam, Pengololaan zakat, dan Penyelenggaraan aktifitas masjid.
Secara keseluruhan pelaksanaan atau penerapan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam itu menyangkut aspek-aspek penyelenggaraan
kehidupan adat dan kebudayaan sebagai alat kontrol bagi masyarakat yang diintegrasikan dengan Syari’at Islam (Perda No.7/Th.2000 dan Qanun No.
12/Th. 2004); bidang aqidah, ibadah, dan Syi’ar Islam (qanun No. 11/Th,2000); Larangan minum khamar (arak, minuman keras) dan sejenisnya (Qanun .12/Th. 2003); Larangan maisir atau perjudian (qanun No.13/Th.
2003); Laranagn khalwat atau mesum (Qanun No. 14/Th. 2003); Pengololaan zakat (Qanun No. 7/Th. 2004. Dan surat Gubernur
No.4451.12/1227370/2002); pembudayaan kemakmuran masjid dan meunasah (Intruksi Gubernur No. 05/INSTR/2000); keharusan membaca Alqur’an dan
pegawai/karyawan di lingkunagn pemerintahan (Intruksi Gubernur
02/INSTR/2002); Laranagn judi, buntut, taruhan, dan sejenisnya (Intruksi Gubernur No.05/INSTR/2002); dan pelaksanaan shalat berjamaah dilingkungan kantor/Instansi/badan/lembaga/dinas pemerintahan (Intruksi
Gubernur No. 06/INSTR/2002).
Peraturan daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 tahun 2000
tentang pelaksanaan Syari’at Islam BAB 1 ketentuan umum Pasal 1.dalam peraturan ini yang dimaksud dengan.
1. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia dan
pembantu-pembantunya;
2. Daerah adalah Propinsi Daerah Istimewa Aceh;
3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat-perangkat daerah otonom yang lain sebagai Badan eksekutif daerah;
4. Gubernur adalah Gubernur Daerah Istimewa Aceh;
5. MPU adalah Majelis permusyawaratan Ulama Propinsi Daerah
Istimewa Aceh:
6. Syari’at Islam adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan;
7. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di propinsi Daerah Istimewa Aceh.
BAB II Tujuan dan Fungsi
1. Ketentuan tentang Pelaksanaan Syari’at Islam yang diatur dalam
Peraturan Daerah ini, bertujuan untuk mengisi di bidang Agama, dengan menerapkan Syari’at Islam
2. Keberadaan Agama lain diluar agama Islam tetap diakuai didaerah
ini, dan pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
3. Ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam peraturan Daerah ini, berfungsi sebagai pedoman dasar dalam menerapkan pokok-pokok syari’at Islam di daerah.
3.1.1 Wilayah Peradilan Islam
Dalam sejarah Islam dikenal beberapa bentuk lembaga peradilan yang
khas dengan kopetensi yang berbeda. Dalam hal ini ada 4 (empat) macam wilayah peradilan Islam (Ash-Shiddieqy, t,th;38)
3.1.2 Wilayah al-Tahkim
Yaitu apabila dua pihak atau lebih memilih seseorang yang dianggap mampu dan adil untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan
melandaskan pada hukum Syara’ dalam hal ini tahkim hanya boleh dilakukan dalam soal sengketa harta dan hukum keluarga. Dan tidak boleh menyangkut dengan hukum pidana.
3.1.3 Wilayah al-Qadha’
Adalah lembaga peradilan sesungguhya, yang berwenang menyelesaikan
Pengadilan agama hanyalah berwenang memeriksa dan memutuskan serta
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang bergama Islam; Perkawinan, Kewarisan, wasiat, dan hibah Waqaf sedeqah. Ketentuan ini lahir berdasarkan Undang-Udang Nomor 7 tahun 1989 tenttangPeradilan
Agama (pasal 49).
3.1.4 Wilayah al-Mazhlim
Ini adalah semacam lembaga peradilan yang khusus dan agak mirip dengan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Al Mawardi (th; 2008) ada sepuluh macam perkara yang diperiksa oleh lembaga ini yaitu :
1. Pengaduan oleh rakyat terhadap penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat/penguasa
2. Kecurangan petugas zakat dan Baital-mal
3. Pengawasan terhadap perlakuan para pejabat (al-wulah) terhadap rakyat
4. Pengaduan para pegawai dan tentara misalnya menyangkut tentang ‘penyunatan’ atau kelambatan gaji
5. Pengaduan oleh rakyat tentan perampasan harta (al-ghushub) oleh para penguasa (al-ghushub sulthaniyyah)atau oleh orang-orang kuat.
6. Pengawasan harta wasaf
7. Melaksanakan putusan lembaga peradilan yang tidak sanggup dijalankan karena pihak yang kalah adalah orang kuat dan
8. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang menyangkut
kepentingan umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh muhtasib (petugas hisbah)
9. Menjaga pelaksanaan ibadah yang penting (al-ibadah al-zhahirah)
seperti shalat jum’at, Idul Fitri, dan haji
10.Mengawasi penyelesaiaan perkara-perkara yang menjadi sengketa
antara dua belah pihak agartetapdijalankan dengan benar.
3.1.5 Wilayah Al-Hisbah
Ini adalah suatu lembaga yang bertugas menegakkan amar ma’ruf (apabila
jelas-jelas ditinggalakan (shahara tarkuhu) dan mencegah kemungkaran apabila jelas-jelas dilakukan (zhahara Fi’luhu). Kewenangan lembaga ini
meliputi hal-hal yang berkenaan dengan ketertiban umum, kesusilaan (al-adab), dan sebagian tindak pidana ringan yang menghendaki penyelesaian segera. Tujuan adanya lembaga ini adalah untuk menjaga ketertiban umum
serta memelihara keutamaan moral dan adab dalam masyarakat.
Di dalam Qanun Aceh Timur tahun 2008 tentang Satuan Polisi
Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Pasal 48 disebutkan bahwa :
Tugas pokok dan fungsi kewenangan satuan Polisi Pamong Praja dan wilayatul Hisbah mempunyai tugas memelihara dan menyelenggarakan
ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan daerah (Qanun), Pertauran Bupati, Keputusan Bupati, melakukan sosialisasi, pengawasan,
3.2. Sejarah Berdirinya Desa Leuge
Desa Leuge Kecamatan Peureulak adalah suatu desa yang berdampingan dengan ibukota Kecamatan Peureulak kabupaten Aceh Timur Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Nama Leuge diambil dari nama pohon kayu yang bernama Leuge dengan istilah lain biasa juga disebut pohon yang memuakkan. Kemuakan ini
membawa sifat kepada penduduk aslinya yang umumnya keras-keras dan payah dilembutkan.
Semasa penjajahan Belanda desa ini sudah ada, tetapi hanya dihuni oleh 7
sampai 10 kepala keluarga.
Pada prinsipnya desa Leuge terbagi ata 2 ( Dua ) bahagian yang
melintang dengan jalan PNKA, dulunya dijuluki dengan : lorong Leuge Cot, dan Lorong Leuge Station.
Pada bahagian lorong Leuge Cot, dihuni oleh penduduk asli suku
Aceh, yang mata pencaharian sebagai petani dan nelayan, sedangkan pada lorong Leuge Station dihuni oleh pendatang-pendatang dari luar daerah dan
bermata pencaharian sebagai buruh, pegawai, pedagang.
Daerah Leuge Station dikenal juga dengan nama Kuta Baro yaitu Tempat didirikan Mesjid Jamik Peureulak Mesjid kebanggan masyarakat
Peureulak yang sekarang sedang direnovasi.
Berdirinya desa Leuge memang sudah lama akan tetapi pembinaannya baru
sesudah Orde baru. Adapun nama-nama kepala desa yang pernah memimpin desa leuge adalah sebagai berikut:
1. M.Sa’at menjabat sebagai kepala desa sampai tahun 1927.
3. Abd.Latif, dari tahun 1952-1969
4. Usman Amin, dari tahun 1969-1970
5. Abd Latif tepulih lagi sebagai kepala desa 1970-1971 6. M.Usman Yacop dari tahun 1971-2007
7. M. Usman AB, dari tahun 2007 sampai dengan sekarang.
3.3. Karakteristik Desa Leuge 3.3.1. Keadaan Alam
Desa Leuge Terletak di Kecamatan Peureulak Kota kabupaten Aceh
Timur dengan luas wilayah desanya Lebar 1500 M. Panjang 5000 M. Terletak diantara 25 ˚- 323˚ lintang Utara dan 981˚ - 120˚ bujur timur.
Suhu disepanjang tahun ini menampakkan perubahan jauh berbeda yaitu berkisar 25˚-27˚ C. Desa ini terdiri dari 5 dusun yaitu dusun Mesjid, dusun kuta, dusun Pande, dusun Cot, dan dusun Blang. Batas wilayah desa
Leuge adalah sebagai berikut:
- Sebelah utara: berbatasan dengan desa Pasir Putih
- Sebelah selatan: berbatasan dengan sungai Leuge dan Desa Keumuneng
- Sebelah barat: berbatasan dengan Desa Kedai Peureulak.
- Sebelah timur: berbatasan dengan laut Selat Malaka 3.3.2 Letak Desa terhadap pusat-pusat fasilitas/kota :
3.4. Komposisi dan Karakteristik Penduduk Desa Leuge
3.4.1 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk desa leuge Kecamatan Peureulak kota kabupaten Aceh Timur 1516 Jiwa. Berdasarkan jenis kelamin laki-laki berjumlah 782
jiwa, sedangkan perempuan 784 jiwa. Untuk lebih jelas jumlah penduduk menurut jenis kelamin didesa Leuge dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel. 3 Komposisi Penduduk berdasarkan jenis kelamin No. Jenis Kelamin Frekuensi (F) Persentase (%)
1 Laki-laki 782 51,58
2 Perempuan 734 48,41
Jumlah 1516 100
Sumber : Data statistik kantor kepala desa Leuge 2009.
Dari Tabel 3 diatas, jumlah penduduk di desa Leuge berdasarkan jenis kelamin laki-laki dengan perempuan tidak jauh berbeda, dapat dikatakan
bahwa jumlah penduduk didesa Leuge berdasarkan jenis kelamin hampir seimbang. Dari 1516 jumlah penduduk didesa Leuge terdapat 345 KK.
3.4.2. Pekerjaan
Jenis pekerjaan penduduk desa Leuge pada umumnya bertani dan nelayan, sedangkan berdagang dan pegawai negeri sipil sedikit. Untuk lebih
jelas dapat dilihat berdasarkan pesentase pada Tabel 4 berikut:
Tabel. 4. Komposisi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan No Jenis Pekerjaan Frekuensi (F) Persentase %
1 Petani 528 34,82
2 Nelayan 468 30,87
3 Pedagang 293 19,32
4 PNS/TNI/POLRI 106 6,99
5 Lain-Lain 121 7,98
Jumlah 1516 100
Dari Tabel 4 diatas, maka persentase tertinggi dari jenis pekerjaan
didesa Leuge adalah bertani sebanyak 528 orang (35%), dari jumah penduduk desa Leuge saat sekarang ini.
3.4.3. Komposisi penduduk berdasarkan usia
Adapun Jumlah penduduk desa Leuge Kecamatan Peureulak Kota yaitu 1516 jiwa dengan rincian 782 jiwa laki-laki dan 734 perempuan,
sedangkan jumlah duduk berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel. 5. Komposisi penduduk berdasarkan usia
No. Kelompok Umur (Thn)
Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa)
Dari Tabel 5, dapat diketahui bahwa kelompok umur 0-5 tahun jenis kelamin pria dan wanita berjumlah 149 jiwa atau (9,82 %), kelompok umur
6-10 berjumlah 263 jiwa atau (17,34 %), kelompok umur 11-20 berjumlah 357 jiwa atau (23,54 %), kelompok umur 21-30 berjumlah 236 jiwa atau (15,66 %), kelompok umur 31-40 berjumlah 186 jiwa atau (15,66 %),
kelompok umur 41-50 berjumlah 175 jiwa atau (11,54 %), kelompok umur 51-60 berjumlah 99 jiwa atau (6,53 %), dan kelompok umur 61 tahun keatas