• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetrasi Belanda di Asahan

Dalam dokumen Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1865-1942. (Halaman 52-58)

BAB II KEADAAN PELABUHAN TANJUNG BALAI ASAHAN SEBELUM

3.1 Penetrasi Belanda di Asahan

Tractaat Siak pada tanggal 01 Februari 1858 merupakan titik awal penetrasi Belanda di Pantai Timur Sumatera yang salah satu isinya adalah Kesultanan Siak beserta daerah-daerah jajahannya merupakan bagian dari Pemerintah Hindia Belanda. Daerah-daerah jajahan Kesultanan Siak adalah kerajaan-kerajaan Melayu yang ada di Sumatera Timur termasuk Kesultanan Asahan. Atas dasar inilah alasan Belanda

mengirimkan utusannya ke Sumatera Timur untuk meredam gejolak-gejolak yang

terjadi di daerah-daerah taklukan Kesultanan Siak.40

1. Beberapa raja-raja di Sumatera Timur bersedia di bawah kekuasaan

Belanda dan meminta perlindungan Belanda.

Pada tahun 1858, Asisten Residen Belanda di Siak Arnold, sudah menemui Tengku Pangeran Indra Diraja Langkat yang menyatakan bahwa ia bersedia di bawah kekuasaan Belanda dan meminta perlindungan. Belanda akhirnya mengirimkan utusannya seorang pribumi keturunan dari Raja Pagaruyung Sultan Alam Bagagarshah cabang Sungai Tarap bernama Raja Burhanudin. Bulan Mei 1858 berangkatlah utusan tersebut dari Batavia dan menyimpulkan hasil kunjungannya itu dengan menyatakan bahwa:

2. Hanya Sultan Asahan yang menyatakan menolak berada di bawah

kekuasaan Belanda. Bahkan Asahan telah bersatu dengan Serdang, Batubara dan Kualuh Leidong untuk menentang setiap keputusan- keputusan Belanda, Sultan Asahan pada waktu itu adalah Sultan

Ahmadsyah.41

Raja Burhanuddin juga melaporkan bahwa ia memang diterima dengan hormat di Asahan, tetapi Sultan Asahan menaruh curiga dan di sekitar Istana Asahan sudah diperkuat dengan pertahanan seperti membuat benteng-benteng lengkap

40

Tengku Luckman Sinar Basarshah, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: Tanpa Penerbit, 2007, hlm. 184.

41

dengan meriam-meriam berat di tepi sungai dan di dalam sungai ditanam ranjau-

ranjau sehingga kapal utusan tersebut tidak dapat masuk.42

1. Sultan Asahan tidak menaruh kepercayaan terhadap Netscher sebagai

wakil Pemerintah Hindia Belandayang berdaulat atas Asahan melalui Siak.

Setelah menerima laporan dari Raja Burhanuddin, maka pada tanggal 02 Agustus 1862 Residen Netscher berangkat dari Bengkalis untuk melakukan penandatanganan kontrak secara paksa. Turut dalam kapal itu para pembesar- pembesar Siak yang bertujuan untuk meyakinkan bahwa kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur yang berada di bawah kedaulatan Siak mau menandatangani kontrak. Pertama-tama rombongan masuk ke Panai, Bilah, dan Kota Pinang, kemudian perjalanan dilanjutkan ke Serdang, Deli, dan Langkat. Netscher dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Asahan, ketika sampai di Asahan, rombongan melihat kapal-kapal yang berlabuh dan beberapa rumah di Tanjung Balai mengibarkan bendera Inggris. Netscher lalu mengundang Sultan Asahan untuk naik ke kapal, namun ditolak oleh Sultan Asahan dan jika ingin bertemu dipersilahkan turun ke darat. Netscher kemudian membalas berita dengan poin-poin sebagai berikut:

2. Sultan Asahan hanya diperbolehkan berdagang dengan Belanda dan

tidak dengan yang lainnya.

42

3. Netscher bertanya siapakah yang memberi hak atas pengibaran bendera Inggris.

4. Dan, Sultan harus memberi penjelasan ini di Bengkalis dalam tempo 2

bulan.43

Akhirnya, Netscher gagal menemui Sultan Asahan dan kembali ke Bengkalis. Ultimatum yang diberikan Netscher kepada Sultan Asahan tidak di hiraukan, Asahan tetap saja berdagang dengan Aceh dan Pemerintah Inggris di Semenanjung Malaya. Sikap ini membuat Netscher berang dan mengirim surat kepada Sultan Asahan tertanggal 23 Mei 1863 yang meminta penjelasan terhadap armada Aceh yang dipimpin oleh Raja Muda Cut Latief Meureudue. Melalui surat itu Netscher juga mengancam kepada Sultan Asahan yang isinya “akan binasa jika

mereka bersikap bermusuhan dengan Belanda”.44

Sultan Asahan kemudian membalas surat Netscher yang mempertanyakan mengapa Belanda begitu ambisius kepada Asahan, Sultan juga menyatakan bahwa orang Aceh maupun dari Semenanjung Malaya sejak dahulu sudah berdagang dengan Asahan dan Sultan tidak mungkin memutusan hubungan dagang begitu saja dengan

mereka karena selama ini sangat menguntungkan bagi Asahan.45

43

Ibid., hlm. 187-189. Lihat juga Anthony Reid, The Contest For North Sumatra: Atjeh, The Netherlands, and Britain 1858-1898, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969, hlm. 25-51.

44

Ibid., hlm. 194.

45

Pada tanggal 03 Agustus 1863, karena menerima berita dan balasan yang kurang memuaskan, Netscher kemudian berangkat dengan kapal-kapal “Appeldoorn” dan “Dassoon” diiringi pasukan tentara sebanyak 60 orang. Di tengah jalan, utusan Netscher Raja Burhanuddin menemui Sultan Asahan dan mendesak agas sultan menemui residen di atas kapal, lalu Sultan Asahan menolak. Raja Burhanuddin kemudian kembali dan melaporkan bahwa Sultan Asahan menyambut dirinya dengan cara yang tidak baik serta saudara Sultan Asahan, Tengku Pangeran telah menghina dirinya dan dia juga melaporkan bahwa di Tanjung Balai masih berkibar bendera

Inggris dan pertahanan telah disiapkan.46

Usaha untuk menaklukkan Asahan oleh Netscher gagal untuk yang kedua kalinya, Netscher kemudian meminta kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia melakukan ekspedisi. Usulan ini kemudian diterima dan disetujui dengan

Besluit Gubernur Jenderal No. 1 tanggal 25-8-1865 dinamai dengan: “Expeditie

Tegen Serdang en Asahan”ekspedisi ini dipimpin oleh Kapten van Ress dan Majoor

van Heemskerck dengan didampingi Netscher.47

Pada tanggal 18 September 1865, pasukan Belanda di bawah pimpinan Lettu K.F.R. Andrau menyerang Tanjung Balai, karena ultimatum yang diberikan diacuhkan oleh Sultan Asahan. Penyerangan ini membuat sultan beserta pembesar- pembesar mengosongkan kota dan mundur ke daerah pedalaman dan pada 19 September 1865, Yang Dipertuan Muda Asahan tertangkap oleh Belanda. Kemudian

46

Loc. cit.

47

pada 20 September 1865, Sirantau berhasil direbut Belanda tetapi Sultan beserta rombongannya berhasil melarikan diri. Akhirnya, Belanda memakzulkan Sultan Ahmadsyah dari tahta Kesultanan Asahan dan menyerahkan takhta kepada Yang Dipertuan Muda Asahan. Kemudian, pasukan Belanda meninggalkan Asahan dan meninggalkan seorang kontelir A.C. van Den Bor dengan seorang sersan dan 12

pasukan KNIL.48

48

Ibid., hlm. 198-199.

Meskipun demikian Belanda belum puas, karena masih sering terjadi perlawanan oleh Sultan Ahmadsyah yang mengungsi ke pedalaman. Di Tanjung Balai sendiri terus dilakukan perlawanan di bawah tanah yang membuat Belanda merasa tidak aman. Yang Dipertuan Muda memberikan grasi kepada Sultan Ahmadsyah beserta keluarganya dan rombongannya boleh memasuki Tanjung Balai tetapi hanya sebagai rakyat biasa. Tawaran grasi tidak dihiraukan, perlawanan masih diteruskan oleh Pak Netek yaitu salah seorang raja di hulu Asahan. Perlawanan demi perlawanan terus dilakukan dan Belanda pun terus meningkatkan perlawanan terhadap rombongan Sultan Ahmadsyah menyerah. Belanda kemudian membuangnya ke Batavia, namun karena dianggap tidak aman Sultan Ahmadsyah dan adik-adiknya dibuang ke Ambon. Dengan berakhirnya perlawanan di Asahan, maka secara utuh Asahan dapat dikuasai oleh Belanda. Sektor-sektor yang selama ini dikelola oleh sultan berpindah ke Belanda termasuk pengelolaan perdagangan, pelabuhan dan lainnya.

Dalam dokumen Pelabuhan Tanjung Balai Asahan 1865-1942. (Halaman 52-58)

Dokumen terkait