• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagan 2.2 Peran Tiga Sektoral

2. PENGEMBANGAN OBYEK WISATA

Berdasarkan pengertian pengembangan dan obyek wisata diatas, pengembangan obyek wisata dapat diartikan usaha atau cara untuk membuat jadi lebih baik segala sesuatu yang dapat dilihat dan dinikmati oleh manusia sehingga semakin menimbulkan perasaan senang dengan demikian akan menarik wisatawan untuk berkunjung.

Menurut Gamal Suwantoro (1997: 57) menulis mengenai pola kebijakan pengembangan obyek wisata yang meliputi :

1. Prioritas pengembangan obyek

2. Pengembangan pusat-pusat penyebaran kegiatan wisatawan

3. Memungkinkan kegiatan penunjang pengembangan obyek wisata (Argyo Demantoto, 2008 : 30-31)

Dalam pengembangan obyek wisata ini, perlu diperhatikan tentang prasarana pariwisata, sarana wisata, infrastruktur pariwisata dan masyarakat sekitar obyek wisata tersebut.

Setelah melakukan berbagai analisa teori-teori pengembangan pariwisata yang ada dan survey/observasi pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dalam pengembangan pariwisata tirta di Kabupaten Boyolali lebih difokuskan pada pengembangan wisata tirta pada hal keragama jenis Atraksi

wisata air baru, Fasilitas, Infrastruktur, Transportasi, Promosi. Adapun untuk fokus lokasi penelitian nantinya lebih kepada Peran Dinas Pariwisata Kabupaten Boyolali dalam mengembangkan Wisata Tirta, dalam hal ini wisata tirta tersebut diantaranya ; Waduk Cenglik, Waduk Bade, Waduk Kedung Ombo, dan Air terjun Kedungkayang. Untuk itu peneliti akan memfokuskan penelitian pengembangan wisata tirta meliputi, diantaranya ;

Attractions ;Keindahan alam, Iklim dan cuaca, Kebudayaan, Sejarah, Ethnicity atau sifat kesukuan, dan Accessibility yaitu kemampuan atau kemudahan berjalan atau ketempat tertentu.

Dalam hal ini atraksi wisata tirta yang di sajikan kepada pengunjung sebagian besar hanya sebatas pemandangan alam di kawasan wisata sekitar, permainan air, pemancingan dibeberapa obyek wisata tirta seperti di waduk Cengklik, Bade, Kedungombo, Umbul Tlatar dan Pengging. Sedangkan untuk jenis atraksi wisata yang sifatnya sejarah, accebility dan kebudayaan belum dilakukan karena prosesnya bertahap dalam pengembangan wisata

Facility, Seperti fasilitas harus cocok dengan kualitas dan harga penginapan, makanan, dan minuman yang juga cocok dengan kemampuan membayar dari wisatawan yang mengunjungi tempat tersebut.

Fasilitas beberapa obyek wisata tirta yang tersedia kebanyakan baru berupa Arena bermain, Taman, Toko atau warung makanan, minuman di sepanjang kawasan obyek wisata, MCK. Akan tetapi di sebagian obyek wisata Seperti Waduk Cenglik, Kedung ombo dan Waduk Bade kurang diperhatikan, dan baru akan dikembangkan di antaranya ; Fasilatas taman bermain, penataan dan pembangun warung-warung makan dikawasan sekitar obyek wisata, Fasilitas sarana penunjang MCK, Ruang Publik, dan kegiatan dan Event tertentu.

Infrastruktur, yang termasuk infrastruktur penting dalam pariwisata adalah :Sistem pengairan/air, Sumber listrik dan energi (power), Jaringan komunikasi, Sistem pembuangan kotoran/pembuangan air, Jasa-jasa kesehatan, Jalan-jalan/jalan raya.

Hal terpenting yang juga dikembangkan untuk menunjang pariwisata adalah infrastruktur. Adapun beberapa infrastruktur menuju kawasan Obyek wisata Tirta seperti di Waduk Cenglik, bade, Kedungombo, Tlatar, dan pengging juga dikembangkan seperti jalan raya, jaringan telepon, listrik, jasa kesehatan, dan pembuangan kotoran. Akan tetapi infrasturktur di beberapa obyek wisata ada yang belum maksimal pengembanganya seperti di jalan menuju ke Waduk Bade, dan Kedung ombo masih bergelombang dan rusak belum diperbaiki, jaringan listrik yang kurang memadai, jasa kesehatan seperti rumah sakit jauh dari tempat obyek

wisata, kalo pun ada hanyalah puskemas yang buka sampai sore. Untuk keseluruhan untuk sistem pembuangan kotoran/air terlihat belum di bangun secara maksimal di obyek wisata.

Transportation, sarana tersebut meliputi ; Informasi lengkap tentang fasilitas, lokasi terminal, pelayanan pengangkutan lokal di tempat tujuan (destination), Sistem keamanan harus disediakan di terminal untuk mencegah kriminalitas, Suatu sistem standar atau seragam untuk tanda-tanda lalu lintas dan simbol-simbol harus dikembangkan dan dipasang di semua bandara udara, Sistem informasi harus menyediakan data tentang informasi pelayanan pengangkutan lain yang dapat dihubungi diterminal termasuk jadwal dan tarif, Informasi lengkap tentang lokasi, tarif, jadwal, dan rute dan pelayanan pengangkutan lokal dan Peta kota harus tersedia bagi penumpang, dsb.

Saran yang tidak kalah penting adalah sarana transportasi, rata-rata transportasi untuk menuju kawasan wisata air di Kabupaten Boyolali sudah di sediakan sarana trasportasi umum, seperti bus umum, angkot, dan kendaraan tradisional seperti andong. Akan tetapi untuk jumplah kuantitas dari trasportasi umum tersebut belum cukup untuk mempermudah wisatawan menuju obyek wisata, seperti bus, angkot dan andong jumplahnya terbatas dan kurang banyak sehingga seringkali wisatawan yang ingin pergi ke obyek wisata tersebut harus menungu berjam-jam

untuk mendapatkan fasilitas umum tersebut.kebayakan wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil, bus pariwisata, motor. Karena alasan efisiensi dan efektifitas waktu tempuh.

Khusus di obyek wisata Waduk Cenglik dan Kedung ombo belum ada sarana trasportasi umum menuju kawasan tersebut, jadi pengunjung yang pergi ke kawasan tersebut rata-rata menggunakan kendaraan pribadi.

Untuk informasi tentang obyek wisata juga belum banyak tersedia di terminal induk seperti di terminal kota Boyolali, Simo, Karanggede. Hal ini perlu diperhatikan dan di kembangkan untuk memudahkan para pengunjung.

Promotion, meliputi informasi dunia maya berupa website, facebook. Sosialisasi kepada masyarakat dan wisatawan.

Promosi sangat penting dalam upaya pengembangan suatu pariwisata. Untuk sarana Promosi yang dilakukan, setelah peneliti melakukan observasi para penelitian dari fakta lapangan belum maksimal, terlihat dari minimnya papan penujuk dan informasi menuju lokasi obyek wisata, dari Dinas Pariwisata Kabupaten Boyolali juga belum mempunyai website sendiri untuk menunjang pengembangan pariwisata, event kegiatan juga minim sebagai sarana promosi wisata.

Comunication, meliputi Kemampuan bahasa asing pegawai dinas terkait dan penduduk yang terlibat langsung maupun tidak langsung di industry pariwisata.

Dalam pengembangan wisata comunikasi lebih di identikan pada kordinasi dan komunikasi, dalam kaitanya kordinasi dan komunikasi dalah kemampuan para pegawai dinas pariwisata dalam terlibat langsung dan tidak langsung dalam pengembangan pariwisata. Seperti sosialisasi dan kerjasama dengan berbagai pihak yang berperan dan berkaitan dalam pengembangan wisata.

Untuk Dinas Pariwisata Kabupaten Boyolali lebih sering terjun lagsung kelapangan untuk meninjau bagaimana perkembangan obyek wisata tersebut biasanya 1 bulan sekali. Untuk pengelolaan pihak dinas pariwisata bekerja sama dengan beberapa piak seperti ; pihak swasta, karang taruna sekitar kawasan wisata, dinas lingkungan hidup, dsb.

Akan tetapi untuk kordinasi yang sifatnya kerjasama antar dinas kabupaten di Jawa Tengah untuk mengembangkan obyek wisata belum banyak dilakukan, seperti di kordinasi dalam pengembangan kawasan wisata yang berada diantara dua wilayah 2 kabupaten seperti di Waduk Kedung ombo di wilayah perbatasan Kabupaten Boyolali dan Purwodadi

dan Obyek wisata Air terjun Kedungkayang di wilayah perbatasan Kabupaten Boyolali dan Magelang.

Aspek-aspek inilah yang nantinya menjadi fokus dan batasan penelitian yang dilakukan oleh peneliti bagaiman peran Dinas Pariwisata Kabupaten Boyolali dalam mengembangkan wisata tirta terutama ; Waduk Cenglik, Waduk Bade, Waduk Kedung Ombo, dan Air terjun Kedung kayang di Kabupaten Boyolali.

C. PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA

Dalam upaya pengembangan pariwisata diperlukan stategi dan berbagqai pendekatan yang cocok untuk mengembangkan obyek wisata agar optimal, suatu pendekatan ataupun konsep yang diperlukan secara situasi dan kondisi guna terbentuknya suatu pariwisata yang bisa menjadi destinasi unggulan kawasan wisata.

Menurut I Gede Pitana dan I ketut Surya Diarta, (2009 : 134-145), Teknik pengembangan destinasi Pariwisata antara lain :

1. Carrying Capacity

Teknik ini sering digunakan dalam pengembangan destinasi pariwisata dengan model daya dukungan kawasan dengan melihat aspek-aspek :

a. Faktor dari grup pertama yang mempunyai implikasi pemasaran yang melibatkan atau berkaitan dengan wisatawan.

b. Faktor group kedua berkaitan dengan atribut destinasi, seperti kondisi lingkungan dan alam, struktur ekonomi dan pembangunan, struktur social dan organisasi politik, dan level pengembangan pariwisata. (O‟Reilly, 1991 dalam Richardson dan Fluker, 2004 : 306).

Sedangkan Liu (1994) berpendapat dalam teknik carrying capacity ini diaplikasikan dalam destinasi pengembangan destinasi pariwisata yaitu :

a. Physical carrying capacity, yaitu merupakan kemampuan suatu kawasan alam atau destinasi wisata untuk menampung pengunjung atau wisatawan, penduduk asli, aktivitas kegiatan wisata, dan fasilitas penunjang ekowisata.

b. Biological carrying capacity, yaitu konsep ini mereflesikan konsep interaksi destination pariwisata ekosistem flora dan founa.

c. Social atau culture carraying capacity, yaitu mereflesikan dampak pengunjung atau wisatawan pada lifestyle komunitas local.

2. Recreational Carrying Capacity (RCC)

Mengacu pada dampak kunjungan wisatawan.Dampak pengembangan destinasi wisata (baik tipe, lokasi, dan kualitasnya).Pada lingkungan yang

diteliti dan diidentifikasi tingkat kritisnya.Missal mengacu pada jumplah kunjungan wisatawan per hari, perbulan, pertahunnya.

3. Recreational Opportunity Spectrum (ROS)

Merupakan teknik identifikasi karakteristik dari suatu kawasan atau destinasi dengan setting yang berbeda dan memadukanya dengan peluang rekreasi untuk keuntungan terbaik bagi bagi pengguna kawasan atau destinasi dan lingkungan.Misal : kawasan wisata waduk dipadukan dengan wisata olahraga seperti berenang, memancing, dan bersepeda.

4. Limits Accaptable Change (LAC)

LAC, Menolak anggapan bahwa semakin besar pemanfaatan suatu destinasi akan menyebabkan semakin besar dampak yang ditimbulkannya.

5. Visitor Impact Management Model (VIMM)

Model ini beranggapan Carrying capacity tidak menjadi fokus utama tetapi lebih difokuskan pada keterkaitan perencanaan, pengawasan, dan pengambilan keputusan.VIMM menyadari bahwa wisatawan bukan satu-satunya yang menyebabkan dampak dari pada destinasi.

Model ini disusun berdasarkan pengalaman terhadap model lain, tetapi menolak carrying capacity yang spesifik dan pembatasan jumplah kunjungan sebagai kondisi soasial dan ekologi.

7. Visitor Activity Management Program (VAMP)

Merupakan system manajemen yang berusaha mengubahorientasi dari produk kepada orientasi pasar dengan penekanan pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen.

8. Tourism Opportunity Spectrum (TOS)

Merupakan teknik perencanaaan ekowisata yang menanut asumsi bahwa spectrum pengukuran dan penilaian indicator perencanaan yang digunakan haruslah :

a. Dapat diamati dan diukur

b. Secara langsung dapat dikendalikan dibawah manajemen control

c. Terkait langsung dengan prefensi wisatawan dan memengaruhi keputusannya untuk melakukan wisata atau tidak ketempat tersebut.

d. Mempunyai karakteristik dengan kondisi tertentu.

Sedangkan Menurut James J. Spillane (1994: 28-30) terdapat empat pendekatan di dalam pariwisata yang muncul secara kronologis yaitu :

1. Pendekatan Advocasy

Pendekatan ini mendukung pariwisata dan menekankan keuntungan ekonomis dari pariwisata. Potensi pariwisata bisa dipakai untuk mendukung macam-macam kegiatan ekonomis, menciptakan lapangan kerja baru, memperoleh devisa asing yang dibutuhkan bagi pembangunan dan masih banyak lagi.

2. Pendekatan Cautionary

Pendekatan ini menekankan bahwa pariwisata dapat mengakibatkan banyak kerugian (disbenefits) dalam berbagai aspek sosial-ekonomi; seperti timbulnya lapangan kerja musiman dan kasar (rendahan), devisa beralih asing [investor asing], menyebabkan komersialisasi budaya, serta menyebabkan berbagai macam konflik.

3. Pendekatan Adaptancy

Pendekatan Adaptancy menyebutkan agar pengaruh negatif pariwisata dapat dikontrol dengan mencari bentuk lain perkembangan pariwisata dari yang selama ini sudah dikenal secara umum, atau dengan menyesuaikan pariwisata dengan negara atau daerah tujuan wisata. Cara berpikir baru ini berdasarkan pandangan bahwa alam dan budaya dapat digabungkan dalam satu konteks.maka pendektan ini mengusulkan strategi seperti pembangunan pada skala kecil, pariwisata yang terkontrol, pariwisata yang dapat bertahan lama

(sustainable), pariwisata dengan cara menikmati kehidupan masyarakat setempat, dan pariwisata yang terkait dengan ekologi (eco-tourism)

4. Pendekatan Developmental

Pendekatan Developmental atau sering disebut pendekatan Alternatif ini menganggap bahwa pariwisata dapat disesuaikan dengan keadaan masyarakat tuan rumah dan peka akan selera masyarakat tuan rumah tersebut. Dapat dipercaya bahwa perkembangan tersebut sebetulnya mempengaruhi pilihan wisatawan terhadap daerah tujuan wisatanya dan demikian juga cara kehidupan mereka di daerah tujuan wisata atau bentuk alternatif pariwisata ini mempengaruhi jurang pemisah antara hak dan tanggungjawab dari tamu, tuan rumah dan perantaranya.

Menurut peneliti model pendekatan pariwisata yang sesuai dengan keadaan di Kabupaten Boyolali adalah pendekatan Advocasy, sebab pendekatan ini mendukung pariwisata dan menekankan keuntungan ekonomis dari pariwisata.Potensi pariwisata bisa dipakai untuk mendukung macam-macam kegiatan ekonomis, menciptakan lapangan kerja baru, memperoleh devisa asing yang dibutuhkan bagi pembangunan daerah, kesejahteraan masyarakat dan masih banyak lagi.

Selain itu, Model Teknik Recreational Opportunity Spectrum (ROS)Merupakan teknik identifikasi karakteristik dari suatu kawasan atau

destinasi dengan setting yang berbeda dan memadukanya dengan peluang rekreasi untuk keuntungan terbaik bagi bagi pengguna kawasan atau destinasi dan lingkungan.

Misal : kawasan wisata waduk dipadukan dengan wisata olahraga seperti berenang, memancing, dan bersepeda.melihat banyaknya potensi obyek wisata Boyolali khususnya wisata tirta (air) Waduk ini sangat perlu di kembangkan dan dibangun, sebab dengan adanya pariwisata yang maju dan dikenal masyarakat luas akan semakin menjadikan keuntungan tersendiri baik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat. Model Pendekatan Advocasy dan Recreational Opportunity Spectrum (ROS)ini juga sangat cocok diterapkan dinas terkait atau pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi obyek wisata Air [Tirta] di Kabupaten Boyolali.

D. DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF PENGEMBANGAN PARIWISATA

Pengembangan pariwisata ini mempunyai dampak positif maupun dampak negatif, maka diperlukan perencanaan untuk menekan sekecil mungkin dampak negatif yang ditimbulkan.Dr. James J. Spillane (1994: 51-62) menjelaskan mengenai dampak positif dan negatif dari pengembangan pariwisata. Dampak positif, yang diambil dari pengembangan pariwisata meliputi:

1. Penciptaan lapangan kerja, dimana pada umumnya pariwisata merupakan industri padat karya dimana tenaga kerja tidak dapat digantikan dengan modal atau peralatan.

2. Sebagai sumber devisa asing

3. Pariwisata dan distribusi pembangunan spiritual, disini pariwisata secara wajar cenderung mendistribusikan pembangunan dari pusat industri kearah wilayah desa yang belum berkembang, bahkan pariwisata disadari dapat menjadi dasar pembangunan regional. Struktur perekonomian regional sangat penting untuk menyesuaikan dan menentukan dampak ekonomis dari pariwisata

Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dengan adanya pengembangan pariwisata meliputi:

1. Pariwisata dan vulnerability ekonomi, karena di negara kecil dengan perekonomian terbuka, pariwisata menjadi sumber mudah kena serang atau luka (vulnerability), khususnya kalau Negara tersebut sangat tergantung pada satu pasar asing.

2. Banyak kasus kebocoran sangat luas dan besar, khususnya kalau proyek-proyek pariwisata berskala besar dan diluar kapasitas perekonomian, seperti barang-barang impor, biaya promosi keluar negeri, tambahan pengeluaran

untuk warga negara sebagai akibat dari penerimaan dan percontohan dari pariwisata dan lainnya.

3. Polarisasi spasial dari industri pariwisata dimana perusahaan besar mempunyai kemampuan untuk menerima sumber daya modal yang besar dari kelompok besar perbankan atau lembaga keuangan lain, Sedangkan perusahaan kecil harus tergantung dari pinjaman atau subsidi dari pemerintah dan tabungan pribadi. Hal ini menjadi hambatan dimana terjadi konflik aspasial antara perusahaan kecil dan perusahaan besar.

4. Sifat dari pekerjaan dalam industri pariwisata cenderung menerima gaji yang rendah, menjadi pekerjaan musiman, tidak ada serikat buruh.

5. Dampak industri pariwisata terhadap alokasi sumber daya ekonomi industri ini dapat menaikkan harga tanah dimana kenaikan harga tanah dapat menimbulkan kesulitan bagi penghuni daerah tersebut yang tidak bekerja disektor pariwisata yang ingin membangun rumah atau mendirikan bisnis disini.

6. Dampak terhadap lingkungan, bisa berupa polusi air atau udara, kekurangan air, keramaian lalu lintas dan kerusakan dari pemandangan alam yang tradisional.

Menurut Angelina Sondakh, (2010 : 107-108) Adapun beberapa penghambat dalam pengembangan pariwisata antara lain:

1. Belum pulihnya citra keamanan nasional akibat aksi terorisme

2. Belum optimal dan efektifnya pengelolaan pemasaran

3. Belumoptimalnya pengembangan dan pengelolaan destinasi pariwisata

4. Sebagai Negara bahari dan tirta, Wisata tirta dan bahari belum dikembangkan secara optimal

5. Masih lemahnya sinergi regulasi di semua level, baik pusat maupun daerah, yang berdampak pada rendahnya investasi dan pembangunan industri pariwisata.

6. Belum efektifnya pengelolaan informasi pariwisata

7. Belum optimalnya pengembangan wisata domestic

8. Masih lemahnya manajemen kemitraan dan jaringan antar pelaku industry pariwisata dan social ekonomi lainnya.

9. Masih terbatanya jumplah SDM professional dalam industry pariwisata

10.Masih belum memadainya sarana dan prasarana pendukung pengembangan industry pariwisata.