• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

4.8. Pengembangan Pariwisata

Karakteristik wilayah Kabupaten Raja Ampat sangat mendukung untuk pengembangan potensi pariwisata karena wilayah ini memiliki keunikan-keunikan tersendiri yang dapat dikembangkan dalam rangka memacu pengembangan pariwisata dimasa sekarang maupun masa mendatang.

Potensi pariwisata sangat banyak namun belum dikelola semuanya karena terbatasnya daya dukung sumberdaya manusia dan dana. Dari berbagai potensi pariwisata tersebut, baru dikelola satu pulau menjadi tempat pariwisata yang biasanya digunakan untuk kegiatan diving (selam) yaitu di Pulau Mansuar dan tempat pengamatan burung cenderawasih di Yenwaupnor.

Ada beberapa kawasan pengembangan pariwisata yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik wilayah Kabupaten Raja Ampat yaitu :

1. Kawasan pengembangan pariwisata kelautan (bahari) 2. Kawasan pengembangan pariwisata pesisir

3. Kawasan pengembangan pariwisata darat

1) Kawasan Pengembangan Pariwisata Kelautan (Bahari)

Berdasarkan survei dan kajian yang pernah dilakukan, pengembangan pariwisata Bahari merupakan kegiatan yang paling sesuai dengan karakteristik alam Raja Ampat. Oleh karena itu pengembangannya perlu diutamakan. Berdasarkan kekayaan terumbu karang dan keanekaragaman hayati lautnya, teridentifikasi 4 kawasan yang berpotensi besar untuk pengembangan kegiatan pariwisata bahari, yaitu (Sumber: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003): (1) Kawasan Pulau Wayag hingga gugusan pulau Kawe di bagian utara Waigeo; (2) Kawasan Pulau Gam, Pulau Kri, Pulau Mansuar dan Pulau Wai;

(3) Kawasan Pulau Ketimkerio, Pulau Wagmab dan Pulau Walib di bagian selatan Misool;

Di kawasan tersebut dapat dikembangkan kegiatan wisata seperti menyelam (diving), sea kayaking, snorking, dan lifeboard, ddsamping kegiatan wisata riset ekologi seperti penelitian keanekaragaman hayati.

Arahan penataan ruang untuk kegiatan pariwisata, secara garis besar telah disiapkan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003. Dalam arahan tersebut kawasan pengembangan pariwisata di Raja Ampat dibagi ke dalam 3 (tiga) zona yakni:

a. Zona Intensif

Zona intensif adalah kawasan yang dirancang untuk dapat menerima kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi, dengan memberikan ruang yang lebih luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung.

b. Zona Semi Intensif

Zona semi intensif adalah kawasan yang dirancang sebagai kawasan untuk menerima kunjungan dengan tujuan kegiatan yang bersifat lebih spesifik, dengan menyediakan ruang yang cukup untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. Kawasan yang diusulkan sebagai zona semi intensif meliputi Pulau Minyamun, Pulau Batang, Pulau Waigeo bagian timur menyambung ke kawasan Pulau Gam, Pulau Kri, Pulau Mansuar dan Pulau Wai, sampai Pulau Batanta bagian ujung timur dan ujung barat serta bersambung di celah sempit Pulau Waigeo bagian tengah.

c. Zona ekstensif

Adalah kawasan yang dirancang hanya untuk menerima kunjungan dalam tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas keanekaragaman hayati dan memiliki kerentanan tinggi. Kawasan yang diusulkan sebagai zona ekstensif meliputi Pulau Misool bagian selatan, Pulau Wayag di bagian utara dan Pulau Kofiau. Zona ini diarahkan khusus untuk kegiatan wisata, dan tidak diperbolehkan adanya pembangunan sarana pariwisata.

Selain pengaturan zonasi, untuk mendukung pengembangan pariwisata bahari di wilayah ini juga dibutuhkan arahan pengembangan infrastruktur pendukung serta pengembangan paket-paket wisata lebih sistematis. Bila dikaitkan dengan kondisi yang ada saat ini, simpul utama kegiatan wisata terdapat di Pulau Mansuar dan Pulau Kri. Hal ini ditunjukan dengan frekuensi wisatawan

mancanegara yang berkunjung dan menetap di kawasan tersebut. Selain telah ada fasilitas akomodasi yang serasi dengan lingkungan alamnya, posisi pulau ini juga strategis untuk dijadikan salah satu basis awal paket wisata di Raja Ampat.

Selanjutnya selain pengembangan infrastruktur, pengembangan kegiatan pariwisata di wilayah ini juga harus didukung dengan kegiatan kerja sama wisata dengan kawasan-kawasan wisata di wilayah lain, baik dalam lingkup Papua, nasional dan terutama lingkup internasional.

2) Kawasan Pengembangan Pariwisata Pesisir

Potensi pesisir di wilayah Raja Ampat sangat banyak karena wilayah ini lebih banyak terdiri dari pulau-pulau dan banyak pulau yang tidak berpenghuni. Kebanyakan pulau-pulau tersebut terdiri dari bagian pesisir yang berpasir putih sehingga menarik bagi pengunjung yang melakukan kegiatan pariwisata.

3) Kawasan Pengembangan Pariwisata Darat

Kegiatan pariwisata darat di Kabupaten Raja Ampat belum dikenal seperti kawasan wisata baharinya. Padahal potensi pariwisata di wilayah darat juga cukup banyak terdapat di beberapa tempat. Sebagian besar cagar alam yang ada di Raja Ampat memiliki flora fauna yang khas. Kekhasan ini bisa menjadi daya tarik wisata kawasan darat di wilayah ini. Namun demikian pengembangan kawasan ini tidak terlepas dari pengembangan kawasan wisata bahari. Beberapa kawasan yang telah menunjukan peluang untuk dijadikan wisata terpadu adalah Pulau Misool terutama di Distrik Misool Timur Selatan, Pulau Waigeo terutama di Teluk Alyui, dan Pulau Kofiau. Dengan mengembangkan keterpaduan antara wisata darat dan bahari diharapkan Raja Ampat dapat benar-benar menjadi kawasan wisata unik yang mampu menarik kunjungan wisatawan internasional, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga berkontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat (Bappeda Raja Ampat, 2004).

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Proses Kebijakan dan Indikator Pemekaran Kabupaten Raja Ampat Dalam pelaksanan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001, yang membuka peluang kepada daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melakukan pemekaran daerah. Bersamaan dengan itu, muncullah aspirasi masyarakat Papua untuk memisahkan diri (merdeka) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak Tahun 1999 sampai tahun 2001, dengan alasan sudah hampir 37 tahun (1963-2000) Papua bergabung dengan NKRI tetapi terus tertinggal di berbagai aspek kehidupan pembangunan. Masyarakat Papua merasa sumberdaya alamnya melimpah namun miskin di atas kekayaan alam tersebut, karena selama pemerintahan sentralistik (orde baru), semua kekayaan alam Papua di bawa ke pusat sedangkan daerah hanya memperoleh sebagian kecil saja. Tuntutan dan kekecewaan masyarakat Papua tersebut, langsung ditanggapi oleh pemerintahan Indonesia Bersatu yang dipimpin Presiden Megawati Soekarno Putri dengan mencari solusi terbaik untuk mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI dengan menerbitkan suatu produk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus). Dengan adanya produk Undang- undang tersebut dan diperkuat dengan UU No.22 Tahun 1999 dan juga PP No.129 Tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, maka pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Provinsi Papua melalui DPRD mengusulkan 14 calon daerah otonom baru di Papua ke pemerintah pusat. Dengan adanya usulan tersebut, maka pada tanggal 11 Desember 2002 pemerintah RI menetapkan 14 kabupaten baru di Tanah Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Mapi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Waropen, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang.

Pembentukan 14 kabupaten baru di Provinsi Papua melalui hak inisiatif DPR yang didasarkan pada hak legislasi DPR dalam membentuk Undang-undang yang salah satunya adalah UU Pembentukan Daerah. DPR mengajukan usulan UU Pembentukan Daerah berdasarkan usulan masyarakat yang disampaikan kepada DPR. Dengan demikian pembentukkan 14 kabupaten baru di Papua termasuk Kabupaten Raja Ampat, alasan politik lebih dominan dibandingkan dengan alasan teknis sebagaimana diamanatkan dalam PP No.129 Tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Hal ini berkaitan dengan belum sepenuhnya disosialisasikannya PP No.129 Tahun 2000 pada Tahun 2001, sehingga belum secara optimal diperketat kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan daerah otonom baru. Di dalam PP No.129 Tahun 2000 yang kemudian diperbaharui dengan PP No.78 Tahun 2007 bahwa kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan harus dilakukan dengan kajian akademik yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Negeri. Namun pembentukan 14 Kabupaten baru di Provinsi Papua tidak dilakukan kajian akademik oleh perguruan tinggi negeri.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat (2008), bahwa pada saat usulan pemekaran Kabupaten Raja Ampat pada Tahun 2001 data indikator dalam PP No.129 Tahun 2000 sebagian besar sudah dipenuhi, namun datanya tidak tersedia untuk peneliti. Dengan tidak adanya data pada Tahun 2001 terkait usulan pembentukan Kabupaten Raja Ampat pada Tahun 2002, maka untuk menilai apakah indikator pemekaran sudah atau belum dipenuhi setelah 3 tahun pemekaran, peneliti menggunakan data BPS (Kabupaten Sorong dan Raja Ampat Dalam Angka) dan sumber data lainnya pada Tahun 2006. Data tersebut dilihat pada Lampiran 3.

Dijelaskan dalam Undang-undang tersebut, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagi pemekaran, khususnya Kabupaten Raja Ampat adalah untuk memacu pembangunan di Provinsi Papua pada umumnya, serta Kabupaten Sorong khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaran pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat, dan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas dan perkembangan kemampuan

ekonomi, potensi daerah, kondisi sosial budaya, kondisi sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lainnya, maka dipandang perlu untuk membentuk Kabupaten Raja Ampat. Pemekaran ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah.

Respon masyarakat Raja Ampat juga sangat tinggi terhadap pembentukan Kabupaten Raja Ampat, hal ini dapat dilihat dari kemauan masyarakat Raja Ampat dalam menantikan terbentuknya kabupaten baru yaitu mengadakan seminar, lobi dan pendekatan dengan pemerintah pusat untuk mendukung terbentuknya Kabupaten Raja Ampat. Dukungan masyarakat juga dibuktikan dengan pemberian cuma-cuma tanah adat seluas 600 hektar untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan di Ibukota Kabupaten Raja Ampat di Waisai, serta pada setiap Ibukota Distrik tanpa diminta ganti rugi tanah. Disamping itu telah dijelaskan bahwa adanya Undang-Undang RI No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Daerah dan Pusat, ikut mendorong respon masyarakat Kabupaten Raja Ampat dalam mendukung pelaksanaan pembangunan.

Indikator pemekaran wilayah berdasarkan PP N0.129 Tahun 2000 serta UU No.32 Tahun 2004 pasal 5 dinyatakan bahwa pembentukan daerah harus memenuhi syarat administrasi, teknis dan fisik wilayah. Syarat administrasi telah dipenuhi Kabupaten Raja Amat dengan adanya persetujuan dari DPRD Kabupaten Sorong dan persetujuan dari DPRD Provinsi Papua dan Gubernur Papua pada tahun 2001 serta adanya rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah dan pertimbangan lainnya. Dalam PP No.129 Tahun 2000 yang kemudian diperbaharui dengan PP No.78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, dijelaskan tata cara pengukuran dan penilaian persyaratan pembentukan daerah sebagai berikut :

1. Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Sorong pada tahun 2006 berjumlah 81.109 jiwa, sedangkan Kabupaten Raja Ampat 32.175 jiwa. Jumlah penduduk kedua kabupaten ini selisih 48.934 jiwa, ini karena Kabupaten Sorong merupakan kabupaten induk yang sudah lama dan juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang sudah maju serta adanya transmigrasi nasional asal Jawa dan Bali yang menetap di sana. Kepadatan penduduk di Raja Ampat 5 jiwa/km2 sedangkan Kabupaten Sorong 4 jiwa/km2. Secara lengkap jumlah, laju dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Lampiran 4.

2. Kemampuan Ekonomi

Pengukuran kemampuan ekonomi untuk Kabupaten Raja Ampat yang dimekarkan pada akhir 2002 dapat didekati dengan menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dengan membandingkan PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonomi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa PDRB perkapita Kabupaten Raja Ampat setelah 3 tahun dimekarkan bernilai Rp.6.574.102,56 juta; sedangkan Kabupaten Sorong bernilai Rp.10.504.664,96 juta. Untuk pertumbuhan ekonomi menunjukan nilai 1,32% untuk Kabupaten Sorong dan 7,85% untuk Kabupaten Raja Ampat. Kemudian kontribusi PDRB non migas untuk Kabupaten Sorong sebesar 0,20% sedangkan kontribusi PDRB non migas untuk Kabupaten Raja Ampat sebesar 0,05%.

3. Kemampuan Keuangan

Kemampuan ekonomi juga bisa didekati dengan Penerimaan Daerah Sendiri (PDS) yang dihitung berdasarkan penerimaan daerah sendiri terhadap jumlah penduduk dan rasio penerimaan daerah sendiri terhadap PDRB. Hasil yang diperoleh menunjukkan rasio penerimaan daerah sendiri terhadap jumlah penduduk Kabupaten Sorong bernilai Rp.6.717.947,34 juta sedangkan Kabupaten Raja Ampat bernilai Rp.12.097.758,08 juta. Untuk rasio PDS terhadap PDRB menunjukkan nilai Rp. 1.840.214,38 juta sedangkan untuk Kabupaten Raja Ampat dan nilai Rp.639.520,38 juta untuk Kabupaten Sorong.

Dari kedua indikator syarat pemekaran wilayah tersebut menunjukkan nilai yang sangat berbeda antara kabupaten induk dan hasil pemekaran dimana Kabupaten Raja Ampat nilainya agak tinggi dari Kabupaten Sorong, yang mengindikasikan pemekaran layak dilakukan untuk Kabupaten Raja Ampat.

4. Potensi Daerah

Indikator potensi daerah menunjukan kemampuan Kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten hasil pemekaran masih belum memiliki potensi daerah yang memadai jika dibandingkan dengan kabupaten induknya. Ini bisa dilihat dari masih sangat minimnya sarana perbankan yang hanya satu unit yaitu Bank Papua Cabang Waisai untuk melayani 32.175 jiwa. Begitu pula dengan sarana dan prasarana ekonomi seperti pertokoan dan pasar yang tersedia masih sangat minim jumlahnya dan dalam skala yang sangat kecil. Dimana hanya terdapat 265 toko, 2 buah pasar permanen, 80 Sekolah Dasar, 16 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 75 fasilitas kesehatan dan 557 Pegawai Negeri Sipil. Ini juah lebih sedikit bila dibandingkan dengan potensi daerah yang dimiliki kabupaten induk Sorong. Namun sarana dan prasarana pemerintah di Kabupaten Raja Ampat sudah tercukupi dengan baik, hal ini bisa dilihat dari tersedianya gedung perkantoran untuk masing-masing dinas dan instansi pemerintahan di ibukota kabupaten di Waisai. Lahan yang tersediapun masih cukup luas dan memungkinkan untuk dibangunnya gedung perkantoran yang baru. Indikator potensi lainnya juga masih menunjukkan jumlah yang sangat terbatas. Hal ini tentu saja bukan kendala bagi daerah yang baru dimekarkan, dengan adanya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi diharapkan ke depan potensi daerah tersebut dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

5. Sosial Budaya dan Sosial Politik

Sosial budaya dan sosial politik masyarakat di Kabupaten Raja Ampat menunjukkan hal yang baik, dengan rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk bernilai 36,36. Kabupaten Sorong telah memiliki sarana peribadatan yang jauh lebih baik dengan nilai 71,01. Fasilitas lapangan olahraga di Raja Ampat hanya bernilai 33,56 dengan jumlah balai pertemuannya sebanyak 14 unit. Ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan Kabupaten Sorong yang jumlah

fasilitas lapangan olahraga dan balai pertemuannya cukup banyak (namun data tidak tersedia). Jumlah organisasi kemasyarakatan di Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong terutama partai politik sampai saat ini ada 34 partai politik peserta pemilu legislatif dan Presiden RI 2009 di kedua wilayah tersebut. Serta adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pelestarian lingkungan hidup di Raja Ampat berjumlah 8 LSM.

6. Luas Daerah

Luas wilayah daratan keseluruhan untuk Kabupaten Sorong adalah 18.170 km2. Sedangkan luas wilayah Kabupaten Raja Ampat secara keseluruhan (daratan dan perairan) adalah 46,106 km2, sedangkan luas wilayah daratannya sendiri adalah 6.084, 50 km2. Keadan topografi pada wilayah Kabupaten Raja Ampat sebagian besar ± 70% merupakan daerah perairan yang memisahkan pulau yang satu dengan pulau yang lainnya, sehingga perbandingan wilayah darat dan laut adalah 1:6, dengan wilayah perairan yang lebih dominan.

7. Pertahanan dan Keamanan

Untuk keamanan dan ketertiban, Kabupaten Raja Ampat maupun Kabupaten Sorong cukup aman dari bentuk gangguan dan ancaman dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Jumlah personil aparat keamanan di Kabupaten Sorong lebih banyak jika dibandingkan dengan Kabupaten Raja Ampat. Kepulauan Raja Ampat memiliki peranan sangat penting sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah luar negeri. Pulau Fani yang terletak diujung paling utara dari rangkaian Kepulauan Raja Ampat, berbatasan langsung dengan Republik Palau, sehingga banyak sekali kapal-kapal nelayan luar negeri yang dapat mencari ikan di perairan Raja Ampat. Hal ini harus diwaspadai oleh personil TNI/Polri untuk menempatkan kapal-kapal patroli yang beroperasi secara rutin di perairan Raja Ampat, sehingga keamanan di wilayah perairan Raja Ampat dan sekitarnya terkendali.

8. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan melihat tiga aspek kehidupan manusia, yaitu usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge) dan standar hidup layak (decent living). Berdasarkan data IPM dan Analisis Situasi Pembangunan Manusia Papua (BPS Papua, 2004), menyatakan bahwa harapan hidup di Kabupaten Raja Ampat adalah 64,4 tahun, melek huruf (butuh huruf) 76,9 tahun, lama sekolah 6,0 tahun, standar layak hidup yaitu rata-rata konsumsi riil yang disesuaikan sebesar Rp.572,8; sehingga rata-rata IPM Kabupaten Raja Ampat adalah 59,8. Sedangkan harapan hidup di Kabupaten Sorong adalah 65,3 tahun, melek huruf (butuh huruf) 89,9 tahun, lama sekolah 6,9 tahun, standar layak hidup yaitu rata-rata konsumsi riil yang disesuaikan sebesar Rp.572,8 sehingga rata-rata IPM Kabupaten Sorong adalah 64,6. Nilai IPM Kabupaten Raja Ampat lebih kecil dari Kabupaten Sorong, kesenjangan ini mungkin disebabkan oleh kondisi geografisnya dan kondisi infrastruktur di bagian pedalaman pulau-pulau di Raja Ampat yang sangat buruk sehingga menciptakan daerah-daerah yang terisolasi. Dengan demikian, maka mengindikasikan pemekaran layak dilakukan untuk Kabupaten Raja Ampat agar mengejar ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan guna meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakatnya.

9. Rentang Kendali

Rentang kendali bisa dilihat dari dari jarak distrik ke pusat pemerintahan (Kabupaten Induk). Rata-rata jarak distrik di Kabupaten Sorong ke pusat pemerintahan bernilai 59,67 km2. Sedangkan rata-rata jarak distrik di Kabupaten Raja Ampat ke pusat pemerintahan bernilai 66,40 km2. Jarak yang sangat jauh ini memungkinkan suatu wilayah tidak bisa terlayani dengan baik, sehingga pertumbuhan ekonomi juga akan sangat lambat karena adanya kendala jarak dan waktu tempuh yang cukup lama. Oleh karena itu, sangat layak apabila wilayah Raja Ampat dimekarkan menjadi Kabupaten baru yaitu Kabupaten Raja Ampat. Lebih jelas tentang hasil perbandingan perhitungan indikator kelayakan pemekaran seperti terlihat pada Lampiran 5.

5.2. Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pertumbuhan dan

Dokumen terkait