• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI TINJAUAN TEORI

2. Pengertian Dakwah

Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.19

Ada tiga kata yang digunakan al-Qur‟an mengandung arti

dakwah, yaitu da‟wah, tabligh, dan nida‟: kata da‟wah ditemukan dalam al-Qur‟an dalam al-Qr‟an dalam berbagai bentuknya sebanyak 203 kali.

Sementara itu, kata tabligh hanya 64 kali dan nida‟ sebanyak 46 kali.20

18

Soelaiman Yusuf, Slamet Soesanto, Pengantar Pendidikan Sosial (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 38

19

http://id.wikipedia.org, diakses pada 30 Mei 2011 20

Suriani, Manajemen Dakwah dalam kehidupan Pluralis: Upaya Membumikan Nilai-Nilai Kisah Nabi Hud a.s dalam al-Qur‟an (Jakarta: The Media of Social Cultural Communication, 2005) h. 18

Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari fi‟il madhi: ( ) yang berarti ajakan, panggilan, seruan, menjamu.21

Adapun pengertian dakwah menurut terminology, dapat dilihat dalam beberapa pendapat berikut ini:

a. Prof. H.M. Toha Yahya Omar

Dakwah berasal dari bahasa Arab yang artinya ajakan, seruan, panggilan, undangan. Adapun dakwah di dalam Islam dimaksudkan adalah mengajak dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah SWT, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.22

b. Letjend. H. Soedirman, dalam bukunya Problematika Dakwah Islam di Indonesia

Dakwah adalah usaha untuk merealisasikan ajaran Islam di dala kenyataan hidup sehari-hari baik kehidupan seseorang, maupun kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan umat, untuk memperoleh keridhoan Allahh SWT.23

21

Mahmud Yunusamus, Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah /Penafsiran al-Qur‟an, 1973) h. 127.

22

Hasanudin, Manajemen Dakwah (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) h.40. 23

Amrullah Ahmad, dkk, Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah IAIN (Jkarta: IAIN Jakarta, 1972) h. 13-14.

c. Amien Rais

Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami.24

d. H.M.S Nasarudin Latief

Dakwah artinya setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah SWT sesuai dengan garis-garis

aqidah dan syari‟ah serta akhlak islamyah.25

e. Bakhial Khauli

Dakwah adalah suatu proses menghidupkan peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan lain.26

f. Mohammad Natsir

Dakwah adalah usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat, konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini, yang meliputi amar ma‟ruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang

24

Amien Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1996) h.25-26.

25Rafi‟udin dan Maman Abdul Djaliel, Prinsip dan Stratei Dakwah (Bandung: Pustaka Setia, 2001) h. 24.

26

Ghazali Darusasalam, Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah (Malaysia: Nur Niaga SDN, BHD, 1996) h.5.

diperbolehkan akhlak dan bimbingan pengamalannya dalam peri kehidupan bermasyarakat dan peri kehidupan bernegara.27

Dari beberapa pendapat tentang pengertian dakwah yang telah dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dakwah adalah merupakan proses penyelenggaraan suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan sengaja yang berisi cara-cara dan tuntunan-tuntunan, bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia untuk menganut, menyetujui, melaksanakan suatu ideology pendapat-pendapat pekerjaan yang tertentu untuk mengajak manusia kepada ajaran Allah SWT menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. 3. Metode Dalam Dakwah

Dalam berdakwah ada beberapa metode yang dapat digunakan

oleh seorang da‟i. Metode dakwah yang paling popular adalah metode

dakwah yang diterangkan dalam surat an-Nahl ayat 125, yaitu metode dakwah bi al hikmah, mau‟idzoh hasanah dan mujadalah.

1. Bi al-Hikmah

Kata al-Hikmah mempunyai banyak pengertian. Pengertian yang dikemukaka para ahli bahasa maupun pakar al-Qur‟an tidak hana

menyangkut pemaknaan mashadaq (eksistensi)-nya, tetapi juga pemaknaan dalam mafhum (konsep)-nya sehingga pemaknaannya menjadi lebih luas dan bervariasi. Dalam kamus dan beberapa kitab tafsir, kata al-hikmah diartikan; ad‟adl (keadilan), al-hilm (kesabaran dan ketabahan), an-nubuwwah (kenabian), al-„ilm (ilmu pengetahuan), al-Qur‟an falsafah, kebijakan, pemikiran atau pendapat yang baik, al-haq (kebenaran), meletakkan sesuatu pada tempatnya, kebenaran

27

Mohammad Natsir, Fungsi Da‟wah Islam Dalam Rangka Perjuangan, (Jakarta: Media Dakwah, 1979) jilid 1, h.7.

sesuatu, dan mengetahui sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama.28

Penjabaran diatas, sesuai dengan pengertian hikmah yang diuraikan oleh Said bin Ali bin Wahif al-Qathani dalam kitab al-Hikmah wafi al Dakwah Ilallah Ta‟ala, sebagai berikut:29

a. Menurut Bahasa

1) Adil, ilmu, sabar, kenabian, al-Qur‟an dan Injil.

2) Memperbaiki (membuat menjadi baik atau pas) dan terhindar dari kerusakan.

3) Ungkapan untuk mengetahui yang utama dengan ilmu yang utama.

4) Obyek kebenaran (al-haq) yang didapat melalui ilmu dan akal.

5) Pengetahuan atau ma‟rifat, dan seterusnya. b. Menurut Istilah (syar‟i)

1) Valid (tepat) dalam perkataan dan perbuatan.

2) Mengetahui yang benar dan mengamalkannya (ilmu dan pengalaman)

3) Wara‟ dalam Din Allah

4) Meletakkan sesuatu pada temppatnya

5) Menjawab dengan tegas dan tepat, dan seterusnya.

Dalam bahasa komunikasi hikmah menyangkut apa yang disebut frame of reference, field of reference dan field of experience,

28

Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif al-Qur‟an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan

Wawasan (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), h. 163. 29

Said bin Ali bin Wahif al-Qathani, al-Hikmah wafi al Dakwah Ilallah Ta‟ala, penerjemah Masykur Hakim Ibaidillah (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.21-23.

yaitu situasi total yang mempengaruhi sikap terhadap pihak komunikan (obyek dakwah).30

Selain itu beberapa ilmuan Islam juga memberi makna bi al-hikmah, sebagai berikut:

1) Syekh Muhammad Al-Jawi memberi makna bi al-hikmah

dengan hujjah (argumentasi).31

2) Wahbah Al-Juhali memberikan makna bi al-hikmah sebagai perkataan yang elas dengan dalil yang terang, yang dapat mengantarkan pada kebenaran dan menyingkap keraguan.32 3) Al-Zamakhsyari membeeri makna bi al-hikmah sebagai

perkataan yang pasti benar, yakni dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keeraguan datau kesamaran. Kemudian ia juga mengartikan dengan al-Qur‟an, yakni “serulah mereka mengikuti kitab yang memuat al- hikmah.33

Dari pemaknaan al-hikmah tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dakwah bi al-hikmah dakwah yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, kesabaran, keadilan, ketabahan, argumentative, dan filosofis, yang sesuai dengan risalah kenabian (an-nuubuwwah) dan ketentuan-ketentuan di dalam al-Qur‟an (wahyu Allah), dalam rangka

mengungkapkan al-haq (kebenaran, menghilangkan keraguan, dan

30

Toto Tasmono, Komunikasi Dakwah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), hal. 37. 31

Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsir Al-Munir, h.469. 32

Wahbab Al-Juhali, At-Tafsir Al Munir, Juz. 13-14, h. 267. 33

Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif al-Qur‟an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan

memposisikan sesuatu pada tempatnya secara proposional berdasarkan ilmu yang paling utama dan ma‟rifat.

Dakwah bi al-hikmah yang berarti dakwah bijak, mempunyai

makna selalu memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad‟u. hal

ini berarti menggunakan metode yang relevan dan realitas sebagaimana tantangan dan kebutuhan, dengan selalu memperlihatkan kadar pemikiran dan intelektual, suasana psikologis, dan situasi social

kultural mad‟u.34

Dengan demikian dakwah bi al-hikmah yang merupakan metode dakwah bijak, akan selalu memperhatikan kondisi mad‟u

dalam hal:

a. Kadar pemikiran, tingkat pendidikan, dan intelektualitas mad‟u.

b. Keadaan psikologis mad‟u yang menjadi objek dakwah, dan

c. Suasana serta situasi social kultural mad‟u.

Hal ini sejalan dengan penyataan Sayyid Quthub, ia menyatakan bahwa untuk mewujudkan metode dakwah bi al-hikmah

harus memperhatian tiga faktor, yaitu:

34

a. Keadaan dan situasi orang yang didakwahi.

b. Kadar atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar mereka tidak merasakan keberatan dengan beban materi tersebut.

c. Metode penyampaian materi dakwah dengan membuat variasi sedemikian rupa yang sesuai dengan kondisi pada saat itu. 35

Prinsip-prinsip metode dakwah bi al-hikmah ini ditujukan terhadap mad‟u yang kapasitasnya intelektual pemikirannya terkategorikan khawas, cendikiawan, atau ilmuan. 36

Mohammad Natsir dalam bukunya yang berjudul Fiqhud Da‟wah, membagi kata hikmah dalam beberapa segmen berikut ini: 37

a. Mengenal golongan.

b. Kemampuan memilih saat, bila harus bicara, bila harus diam. c. Mengadakan kontak pemikiran dan mecari titik pertemuan,

sebagai tempat bertolak, untuk maju secara sistematis.

d. Tidak melepaskan shibghah (corak kepribadian) dari ajaran yang dibawakan.

e. Memilih dan menyusun kata yang tepat. f. Hikmah dalam cara perpisahan.

g. Uswah hasanah dan lisanul hal. h. Khulasah.

35

Sayyid Quthub, fi dzilal qal-qur‟an jilid VII, Bairut, Ihya‟ At-turas Al-Arabi, t.t, 36

Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan

Wawasan (Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2002), H. 164. 37

Dengan demikian, maka seorang da‟i yang menggunakan

metode dakwah bi al-hikmah dalam menyampaikan dakwahnya akan melakukan dan melaksanakan hal-hal yang tersebut diatas.

2. Mau‟idzoh Hasanah

Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa Mau‟idzoh Hasanah

adalah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik dimana dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau argument-argumen yang memuaskan sehingga pihak audiwnce dapat membenarkan apa yang isampaikan oleh subyek dakwah. 38

Dakwah dengan metode ini ditujukan pada manusia jeni kedua, yaitu keumuman manusia. Manusia yang memiliki kemampuan di bawah manusia jenis pertama. Mereka memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi ragu untuk memilih mengikuti kebenaran yang disampaikan kepada mereka atau justru mengikuti kebatilan yang tumbuh disekelilingnya Muhammad Husai Yusuf mengatakan:

“Mereka membutuhkan pelajaran yang baik (al-maw‟idzah al -hasanah), ucapan yang mengena (qaul baligh), serta penjelasan yang berguna, berupa sugesti (targhib) untuk kebenaran, penjelasan tetang kebaikan mengikuti kebenaran, serta ancaman (tarhib) mengikuti kebatilan, serta penjelasan atas dosa dan nista yang terdapat dalam kebatilan. Begitu pula seterusnya sampai benar-benar jelas kepada mereka jalan yang lurus dan cahaya yang terang, serta dapat mengihilangkan keraguan mereka untuk masuk ke dalam barisan orang-orang mukmin di bawah panji Nabi dan Rasul yang paling

mulia.”39

38

Ali Mustafa Yakub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997) h. 121.

39

Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif al-Qur‟an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan

Dengan demikian menurut Asep Muhiddin, dakwah dengan pendekatan mau‟idzah hasanah ini, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut:40

a. Tutur kata yang lembut sehingga akan terkesan hati. b. Menghndari sikap sinis dan kasar.

c. Tidak menyebut-nyebut kesalahan atau sikap menghakimi orang yang diajak bicara (mukhathab).

Mereka tidak merasa tersinggung atau merasa dirinya dipaksa menerima suatu gagasan atau ide tertentu. Upaya untuk menghindari rasa tersinggung atau paksaan ini tercermin dalam ayat al-Qur‟an surat

Al-Imran ayat 159:

Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu berlaku lmah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati (bersikap) kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”

40

3. Mujadalah

Mujadalah disebut juga sebagai metode tanya-jawab atau juga metode dialog. Metode dakwah yang ketiga ini disebutkan dalam al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 125, yakni wa jadilhum bi al-lati hiya ahsan. Metode ini merupakan upaya dakwah melalui jalan bantahan, diskusi, atau berdebat dengan cara yang terbaik, sopan santun, saling menghargai, dan tidak arogan.41

Dalam hal ini, Syekh Yusuf al-Qardhawi menuturkan bahwa dalam diskusi ada dua metode, yaitu metode yang baik (hasan) dan metode yang lebih baik (ahsan). Al-Qur‟an menggariskan bahwa salah

satu pendekatan dakwah adalah dengan menggunakan metode diskusi yang lebih baik. Diskusi dengan metode ahsan ini adalah dengan menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdiskusi, kemudian dari situ dibahas masalah-masalah perbedaan dari kedua belah pihak, sehingga diharapkan mereka akan mencapai segi-segi persamaan pula.42

Lazimnya lazimnya cara ini digunakan untuk orang-orang yang taraf berpikirnya cukup maju, dan kritis seperti ahl al kitab yang memang telah memiliki bekal keagamaan dari para utusan sebelumnya. Karena itu al-Qur‟an juga telah memberikan perhatian

khusus kepada ahl al Kitab yaitu melarang berdebat (bermujadalah)

dengan mereka

41

Ibid, hal 128 42

Syekh Yusuf al-Qardhawi, Ial Shahwah al Islamiya baina al-Juud wa al-Tatarruf Risalah al Mahakim al-yar‟iyyah wa al Su‟ur al-Diniyah (Qatar, 1402 H), h. 203

kecuali dengan cara terbaik.43 Sebagaimana tertuang dalam

al-Qur‟an surat al-Ankabut ayat 46:

D a n j a n

ganlah kamu sekalian berdebat dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali dengan orang-orang dzalim dari mereka.”

Ayat tersebut menerangkan cara melakukan perdebatan kepada ahli kitab, yakni harus dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin, sopan santtun, dan lemah lembut, kecuali jika mereka telah memperlihatkan keangkuhaan dan kezaliman yang keluar dari batas-batas kewajaran.

Maka penulis menyimpulkan bahwa metode dakwah

mujadalah ini hanya perlu digunakan pada orang-orang tertentu seperti ahli kitab dan orang-orang kafir yang sombong. Namun, ketika seorang da‟I menggunakan metode ini, ia harus tetap mampu menjaga

sikap dan kata-katanya dengan penuh kelemah lembutan dan sopan santun sehingga mereka mampu menerima kebenaran yang disampaikan dengan kesadarannya sendiri tanpa merasa paksaan

43

Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000) cet. Ke. 1. H.49.

apalagi permusuhan. Namun, bagi orang-orang yang benar-benar dzalim metode ini tidak perlu digunakan.

B. Mutu Jamaah