• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Different Ability (Difabel)

B. Pendidikan Inklusi

4. Pengertian Different Ability (Difabel)

Different Ability (difabel) atau anak dengan kebutuhan khusus dimaknai sebagai anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus sementara maupun permanen, sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens, kebutuhan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan yang

39

dimiliki (Mohammad Takdir Ilahi, 2013: 138). Mereka disebut dengan anak berkebutuhan khusus dikarenakan anak-anak tersebut memiliki kelainan atau keberbedaan dengan anak normal pada umumnya. Dengan kata lain, anak berkebutuhan khusus diartikan sebagai anak yang membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan segala hambatan belajar serta kebutuhan masing-masing individu.

Anak berkebutuhan khusus atau dapat disebut dengan difabel menurut Mohammdad Takdir Ilahi merupakan anak yang memiliki kelainan tertentu dengan anak normal pada umumnya sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan yang lebih intens, layanan pendidikan tersebut disesuaikan dengan hambatan belajar yang dimiliki oleh masing-masing anak dengan kebutuhan khusus. Anak dengan kebutuhan khusus tersebut dapat memiliki kelainan yang bersifat sementara maupun permanen.

Samuel A. Kirk (Edi Purwanta, 2012: 53) mengemukakan anak dengan kebutuhan khusus merupakan anak yang menyimpang atau berbeda dengan anak normal (average child) terkait dengan karakteristik mental, fisik ataupun sosial, sehingga mereka membutuhkan modifikasi dalam pelaksanaan persekolahan atau layanan sesuai dengan kekhususannya dengan tujuan mereka dapat berkembang sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Difabel atau anak dengan kebutuhan khusus dimaknai dengan anak-anak yang menyandang ketunaan, selain itu dapat juga anak yang potensial atau berbakat (Mulyono, 2003: 26).

40

Samuel A. Kirk mengemukakan anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang menyimpang atau berbeda dengan anak normal yang lainnya, kelainan tersebut dapat berupa kelainan pada mental, fisik maupun sosial. Kelainan yang dimiliki tersebut membutuhkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan khusus yang dimiliki, tujuan dari pemberian layanan yang sesuai adalah dapat mengoptimalkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Mulyono menambahkan anak berkebutuhan khusus tidak hanya anak yang menyandang ketunaan tertentu, tetapi juga termasuk di dalamnya anak yang potensial atau berbakat.

Anak berkebutuhan khusus (children with special needs) menurut Dedy Kustawan (2012: 23) adalah mereka yang karena suatu hal tertentu (baik yang berkebutuhan permanen ataupun yang berkebutuhan khusus temporer) membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, hal tersebut ditujukan agar potensinya dapat berkembang secara optimal. Anak berkebutuhan khusus memiliki hambatan dalam belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and development).

Anak berkebutuhan khusus menurut Dedy Kustawan adalah anak yang membutuhkan layanan pendidikan khusus dikarenakan mereka memiliki kelainan tertentu yang dapat bersifat permanen ataupun temporer. Sama dengan Samuel A. Kirk, tujuan dari pendidikan khusus tersebut adalah agar anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan dalam belajar dan berkembang dapat mengoptimalkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki.

41

Disabled (anak dengan kebutuhan khusus) merujuk kepada seseorang yang mengalami penurunan ataupun gangguan fungsi sebagai akibat dari adanya cacat fisik dan masalah dalam belajar atau penyesuaian sosial. Mega Iswari (2007: 43) menambahkan istilah bagi anak berkebutuhan khusus ditujukan kepada anak dengan kelainan atau memiliki perbedaan dengan anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial ataupun gabungan dari ciri-ciri tersebut dan menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam mencapai perkembangan yang optimal, sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal.

Sesuai dengan pendapat dari beberapa ahli di atas, Mega Iswari juga mendifinisikan anak dengan kebutuhan khusus sebagai anak yang memiliki perbedaan dari segi fisik, mental, sosial atau gabungan dari ciri-ciri tersbeut dari anak-anak normal pada umumnya sehingga mereka memiliki hambatan dalam mencapai perkembangan mereka dengan lebih optimal. Maka dari itu, mereka membutuhkan layanan pendidikan secara khusus.

Pendefinisian makna disability juga dikemukakan oleh J. David Smith (2006: 32) bahwa disability adalah keadaan aktual fisik, mental, dan emosi yang dalam kondisi ketunaan, misalnya orang dengan keadaan tunanetra atau tunarungu, mereka memiliki disability, yaitu ketidakmampuan dimana orang tersebut tidak dapat melihat atau mendengar. J. David Smith mengemukakan anak berkebutuhan khusus (disability) sebagai anak yang memiliki ketunaan pada fisik, mental maupun emosi.

42

Dari beberapa pengertian oleh para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa different ability (difabel) atau anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik fisik, mental maupun sosialnya berbeda dari kebanyakan rata-rata anak pada umumnya, perbedaan tersebut dapat bersifat permanen atau sementara.

5. Macam-macam Difabel a. Tunanetra

1) Pengertian

Sari Rudiyati (2002: 22) mengemukakan tunanetra pada hakekatnya adalah kondisi mata (dria) atau penglihatan yang karena sesuatu hal tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hal tersebut menyebabkan kondisi mata mengalami keterbatasan atau ketidakmampuan dalam melihat. Tunanetra sendiri didefinisikan sebagai keadaan atau kondisi dimana mata mengalami luka atau rusak, sehingga mengakibatkan kurang atau tidak memiliki kemmampuan persepsi penglihatan.

Jadi, anak tunanetra dimaksud sebagai anak yang karena suatu hal mata penglihatannya mengalami luka atau kerusakan, baik struktural maupun fungsional, sehingga penglihatannya mengalami kondisi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

T. Sutjihati Somantri (2006: 65) mengemukakan anak tunanetra sebagai individu yang kedua indera penglihatannya

43

tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang yang awas. Tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi juga mencakup mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar.

Dodo Sudrajat & Lilis Rosida (2013: 9) menyakatan anak tunanetra sebagai anak yang memiliki gangguan atau kurang berfungsinya indera penglihatan mulai dari jarak enam meter untuk melihat sampai tidak dapat melihat cahaya.

2) Klasifikasi

Menurut tingkat fungsi penglihatan, penyandang tunanetra dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Penyandang kurang-lihat (low vision)

Penyandang kurang lihat atau low vision

didefinisikan sebagai orang dengan kondisi penglihatannya yang sudah dikoreksi normal namun tetap tidak berfungsi normal (Sari Rudiyati, 2002: 28). Orang dengan kondisi

low vision ini ketunanetraannya berhubungan dengan kemampuannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam belajar, ia dibantu oleh alat bantu penglihatan, baik yang direkomendasikan oleh dokter maupun bukan (Haenudin, 2013: 10). Media huruf yang digunakan sangat bervariasi,

44

tergantung kepada sisa penglihatan dan alat bantu yang digunakan olehnya. Dodo Sudarajat & Lilis Rosida menambahkan low vision (kurang awas) sebagai seseorang yang mengalami penurunan fungsi penglihatan atau ia memiliki penglihatan yang lemah.

b) Penyandang buta

Sari Rudiyati (2002: 29) menyatakan penyandang buta ini meliputi penyandang buta yang tinggal memiliki kemampuan sumber cahaya, penyandang buta yang tinggal memiliki kemampuan persepsi cahaya, penyandang buta yang hampir tidak atau tidak memiliki kemampuan persepsi cahaya. Haenudin (2013: 10) menyatakan seseorang dikatakan buta apabila ia menggunakan kemampuan perabaan dan pendengarannya sebagai saluran utama dalam belajar. Mereka mungkin saja memiliki sedikit persepsi cahaya, atau mereka sama sekali tidak dapat melihat.

b. Tunarungu dan tunawicara 1) Pengertian

Haenudin (2013: 53) mengemukakan istilah tunarungu sebagai anak yang mengalami kehilangan atau kekurangmampuannya dalam mendengar, sehingga ia mengalami gangguan dalam melaksanakan kehidupannya

45

sehari-hari. Van Uden menyatakan bahwa seseorang dikatakan tuli jika ia kehilangan tingkat 70 ISO dB atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu untuk mendengar. Sedangkan seseorang dikatakan kurang dengar apabila ia kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35dB sampai 69 dB ISO, sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar (ABM).

T. Sutjihati Somantri (2006: 93) mengemukakan tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. Andreas Dwidjosumarto (T. Sutjihati Somantri, 2006: 93) mengemukakan bahwa apabila seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu, ketunarunguan dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang mendengar (low of hearing). Tuli merupakan keadaan dimana seseorang yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi, sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami

46

kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan alat bantu dengar (hearing aids) maupun tanpa menggunakannya.

Tunawicara merupakan suatu kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suara dari bicara normal, sehingga hal tersebut akan mengganggu dan menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi secara lisan dalam lingkungan. Gangguan bicara atau tunawicara merupakan suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dan bunyi bicara ataupun kelancaran bicara.

2) Klasifikasi

Samuel A. Kirk (Haenudin, 2013: 57) menyebutkan klasifikasi anak tunarungu sebagai berikut:

a) 0 dB : menunjukkan pendengaran optimal.

b) 0-28 dB : menunjukkan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal.

c) 27-40 dB : mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya, dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan).

d) 41-45 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara.

e) 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat, masih sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar dengan cara khusus (tergolong tunarungu agak berat). f) 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat

dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan khusus yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar, dan latihan bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat).

47

g) 91 dB ke atas : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara, dan getaran, banyak tergantung pada penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu sangat berat).

Klasifikasi menurut taraf tunarungu menurut Andreas Dwijosumarto (T. Sutjihati Somantri, 2006: 95) adalah:

a) Tingkat I : Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB, penderita tunarungu tingkat I hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.

b) Tingkat II : Kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB, penderita tunarungu tingkat II kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari mereka memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.

c) Tingkat III : Kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB.

d) Tingkat IV : Kehilangan kemapuan mendengar di atas 90 dB.

c. Tunadaksa 1) Pengertian

Mohammad Effendi (2006: 114) menyatakan gambaran seseorang dapat diidentifikasikan sebagai tunadaksa apabila

48

seseorang mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya sebagai akibat dari luka, penyakit atau pertumbuhan yang salah bentuk, akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan. Kelainan fungsi anggota tubuh tersebut merupakan ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya yang disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, sehingga untuk kepentingan pembelajarannya memerlukan layanan secara khusus.

T. Sutjihati Somantri (2006: 121) menyatakan tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu akibat dari gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi tunadaksa dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.

Misbach D. (2012: 15) mendefinisikan tunadaksa sebagai keadaan dimana seseorang atau anak yang memiliki cacat fisik, tubuh, dan cacat orthopedi. Istilah tunadaksa dalam bahasa asing sering disebut sebagai crippled, physically disabled,

physically handicapped, tunadaksa merupakan istilah lain dari cacat tubuh atau tunafisik yaitu berbagai kelainan bentuk tubuh

49

yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan.

Frieda Mangungsong (2011: 25) mengemukakan pengertian anak tunadaksa sebagai anak yang menderita hambatan akibat polio myelitis, akibat kecelakaan, akibat keturunan, cacat sejak lahir, kelayuan otot-otot, akibat peradangan otak, dan kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf/ cerebrum. Sementara hambatan fisik menurut bidang kesehatan adalah anak atau seseorang yang menderita kekurangan yang sifatnya menetap pada alat gerak (tulang, otot, dan sendi) sedemikian rupa sehingga untuk keberhasilan pendidikannya memerlukan perlakuan khusus.

2) Klasifikasi

a) Anak tunadaksa ortopedi

Merupakan anak tunadaksa dengan kelainan, kecacatan, ketunaan tetentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun pada bagian persendian. Penyebab tunadaksa dapat dibawa sejak lahir (congenital) maupun dapat disebabkan penyakit ataupun kecelakaan yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. Contoh kelainan tunadaksa pada kateori ortopedi ini adalah

poliomyelitis, tuberculosis tulang, osteomyelitis, arthritis,

50

pertumbuhan pada anggota maupun anggota badan yang tidak sempurna, cacat punggung, amputasi tangan, lengan, kaki dan lain sebagainya.

b) Anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped)

Merupakan anak tunadaksa yang mengalami kelainan yang diakibatkan oleh gangguan pada susunan saraf di otak. Otak yang berfungsi sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh, sehingga apabila otak mengalami kelainan akan mengakibatkan terjadinya sesuatu pada organisme fisik, emosi atau mental. Luka pada bagian otak tertentu akan memberikan efek pada gangguan dalam perkembangan, yang mungkin akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelaianan dapat dilihat pada anak celebral palsy (CP). Celebral palsy berarti gangguan pada aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsi otak. Klasifikasi tunadaksa menurut Misbach D. (2012: 16) dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:

51

a) Kelainan pada sistem selebral (celebral system disorders) Penggolongan anak tunadaksa dalam kelainan sistem selebral disebabkan pada letak penyeab kelahiran yang terletak di dalam sistem syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syaraf pusat tersebut mengakibatkan bentuk kelainan yang krusial, karena otak dan sumsum tulang belakang merupakan pusat dari aktivitas hidup manusia.

b) Kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus scelatel system)

Klasifikasi anak tunadaksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka disebabkan pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu kaku, tangan serta sendi, dan tulang belakang.

d. Tunagrahita 1) Pengertian

Endang Rochyadi & Zaenal Alimin (2005: 10) mengemukakan istilah tunagrahita (intellectual disability) atau dalam perkembangannya sekarang disebut dengan istilah

developmental disability adalah kesenjangan antara

kemampuan berpikir (mental age) dengan perkembangan usia (kronological age), sehingga anak dengan kondisi tunagrahita tidak berperilaku sesuai dengan umurnya. American

52

Association on Mental Deficiency (AAMD) merumuskan

definisi tunagrahita sebagai kondisi yang menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah serta mengalami hambatan dalam perilaku adaptifnya. Seseorang dapat dikategorikan sebagai tunagrahita apabila ia memiliki kedua hal tersebut. Istilah perilaku adaptif tersebut mengacu kepada kemampuan seseorang memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu.

T. Sutjihati Somantri (2006: 103) mendefinisikan tunagrahita sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Kondisi tersebut adalah kondisi dimana anak memiliki tingkat kecerdasan jauh dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial.

Lee Willerman (Tin Suharmini, 2009: 42) mendefinisikan anak tunagrahita sebagai anak yang memiliki fungsi intelektual di bawah normal, sehingga mengakibatkan gangguan dan keterbelakangan pada perkembangan dan penyesuaian.

2) Klasifikasi

Seseorang dikatakan sebagai tunagrahita apabila kemampuan kecerdasannya menyimpang 2-3 standar deviasi dari kemampuan kecerdasan rata-rata (Endang Rochyadi &

53

Zaenal Alimin, 2005: 11). Klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan skor IQ baik dari tes Standford-Binet maupun David Wechsler adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Tunagrahita Klasifikasi IQ Skala Binet

(SD-15) IQ Skala Wechsler (SD=16) Ringan (mild) 68-52 69-55 Sedang (moderate) 51-36 54-40 Berat (severe) 35-20 39-25 Sangat berat (profound) <19 <24

Dalam klasifikasi pendidikan (educators classify) dikenal dengan istilah mampu didik (educable) bagi anak tunagrahita kategori ringan, mampu latih (trainable) bagi anak tunagrahita kategori sedang, dan mampu rawat (severely and profoundly) bagi anak tinagrahita kategori berat dan sangat berat.

Tunagrahita pada umumnya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yang pengelompokkannya berdasarkan pada taraf intelegensinya (T. Sutjihati Somantri, 2006: 106). Kemampuan anak tunagrahita pada umumnya diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler (WISC), yaitu:

1) Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut juga dengan moron atau debil. Kelompok tunagrahita ringan memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Kelompok ini masih dapat belajar

54

membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, mereka dapat dilatih agar nantinya mereka dapat hidup secara mandiri dan memiliki penghasilan sendiri.

2) Tunagrahita Sedang

Anak tunagrahita sedang disebut juga dengan imbesil. Kelompok anak tunagrahita sedang memiliki IQ 51-36 pada Skala Bienet dan 54-40 pada Skala Weschler (WISC). Kelompok ini dapat dididik untuk mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya, dan sebagainya. Anak tunagrahita sedang tergolong sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik, misalnya belajar menulis, membaca, dan berhitung. Mereka dapat dididik untuk mengurus diri seperti mandi, berpakaian, makan dan minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana seperti menyapu. Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunagrahita sedang memerlukan pengawasan secara terus menerus. Mereka juga dapat bekerja di tempat yang terlindung (sheltered workshop).

3) Tunagrahita Berat

Kelompok anak tunarahita berat disebut juga dengan idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi menjadi anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat

55

(severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka juga memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.

e. Anak lamban belajar (Slow learner) 1) Pengertian

Anak lamban belajar atau slow learner merupakan anak yang memiliki prestasi belajar rendah atau sedikit di bawah rata-rata dari anak pada umumnya, pada salah satu bidang akademik atau seluruh area akademik Nani Triani & Amir (2013: 3).

2) Karakteristik Anak Lamban Belajar (Slow Learner)

Anak dengan kondisi lamban belajar belajar memiliki beberapa karakteristik dalam hal intelegensi, bahasa, emosi, sosial, dan moral. Dari segi intelegensi anak dengan kondisi lamban belajar berada pada kisaran di bawah rata-rata yaitu 70-90 berdasarkan skala WISC. Dari segi bahasa, anak ini mengalami masalah dalam berkomunikasi baik dalam bahasa

56

ekspresif atau menyampaikan ide atau gagasan maupun memahami percakapan orang lain atau bahasa reseptif. Emosi anak dengan keadaan slow learner kurang stabil, mereka cepat marah dan meledak-ledak serta sensitif. Dalam bersosialisasi juga mereka kurang baik, lebih sering pasif dan memiliki teman, bahkan cenderung menarik diri. Sedangkan dilihat dari segi moral biasanya berkembang sesuai dengan kemampuan kognitifnya, sehingga anak-anak slow learner nampak tidak patuh atau melanggar aturan karena mereka sebenarnya tahu mengenai suatu peraturan, tetapi tidak tahu atau paham mengapa peraturan tersebut dibuat.

f. Anak berbakat 1) Pengertian

Martison (Utami Munandar: 1982:7) mendefinisikan anak berbakat sebagai anak-anak yang oleh orang profesional telah diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak-anak berbakat membutuhkan program pendidikan yang berdiferensiasi dan atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun pengemangan diri sendiri. Kemampuan-kemampuan tersebut baik secara

57

potensial maupun yang telah nyata meliputi kemampuan intelektual umum, kemampuan akademik khusus, kemampuan berpikir kreatif, kemampuan memimpin, kemampuan dalam salah satu bidang seni, dan kemampuan psiko-motor (Sunardi, 2008:5). Anak berbakat, selain memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, ia juga menunjukkan kemampuan yang menonjol dalam kecakapan khusus dalam bidang yang berbeda antara anak yang stau dengan anak yang lainnya.

Konsep anak berbakat dari United States Office of Education (USOE) (Tin Suharmini, 2009: 51) adalah anak yang diidentifikasi oleh ahli (orang profesional) bahwa ia memiliki kemampuan yang menonjol dan prestasi yang tinggi, anak berbakat membutuhkan pelayanan dan pendidikan khusus yang terdeferensiasi agar dapat merealisasi kemampuannya.

Rezulli (Tin Suharmini, 2009: 51) mengemukakan untuk mengidentifikasi anak berbakat perlu memperhatikan interaksi dari tiga aspek, yaitu intelegensi (kemampuan di atas rata-rata), kreativitas, dan pengikatan diri atau tanggung jawab terhadap tugas (task commitment).

2) Klasifikasi

Anak berbakat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: a) Genius

58

Genius merupakan anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, Intelligence Quotien (IQ) anak luar biasa berkisar antara 140 sampai 200. Anak berbakat memiliki sifat-sifat seperti daya abstraksinya baik, memiliki banyak ide, sangat kritis, kratif, suka menganalisis dan lain sebagainya.

b) Gifted

Anak yang disebut gifted and talented memiliki tingkat

Intelligence Quotien (IQ) antara 125 sampai 140. Anak tersebut memiliki bakat yang menonjol dalam bidang tertentu, misalnya bidang musik, ahli dalam memimpin dan lain sebagainya. Anak gifted memiliki karakteristik mempunyai perhatian terhadap sains, imajinasinya kuat, senang membaca dan lain sebagainya.

c) Superior

Anak superior memiliki tingkat kecerdasan atau

Intelligence Quotien (IQ) yang berkisar antara 110 sampai 125, sehingga ia memiliki tingkat belajar cukup tinggi. Anak superior memiliki karakteristik dapat berbicara lebih dini, dapat membaca lebih awal, dapat mengerjakan pekerjaan sekolah lebih mudah dan lain sebagainya.

g. Tunalaras 1) Pengertian

59

Tunalaras merupakan individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Eli M Bower mendefinisikan tunalaras sebagai anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, anak dengan kondisi tunalaras akan menunjukkan satu atau beberapa komponen seperti tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.

Smith (Frieda Mangungsong, 2011: 55) menyatakan bahwa istilah tunalaras mengandung pengertian bahwa seseorang yang memperhatikan satu atau lebih kondisi yang sesuai dengan karakteristik dalam rentang waktu yang lama, kondisi tersebut

Dokumen terkait