• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PENERIMAAN SOSIAL TERHADAP KEBERADAAN SISWA DIFABEL DI MAN MAGUWOHARJO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINGKAT PENERIMAAN SOSIAL TERHADAP KEBERADAAN SISWA DIFABEL DI MAN MAGUWOHARJO."

Copied!
293
0
0

Teks penuh

(1)

i

TINGKAT PENERIMAAN SOSIAL TERHADAP KEBERADAAN SISWA DIFABEL DI MAN MAGUWOHARJO

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Fenny Brilian Arsanti NIM 11104244041

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu

sendiri yang merubah apa-apa yang ada pada diri mereka”.

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Tugas akhir skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Bapak dan ibuku

2. Program Studi Bimbingan dan Konseling yang kubanggakan

(7)

vii

TINGKAT PENERIMAAN SOSIAL TERHADAP KEBERADAAN SISWA DIFABEL DI MAN MAGUWOHARJO

Oleh

Fenny Brilian Arsanti NIM 11104244041

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: (1) tingkat penerimaan sosial terhadap keberadaan siswa difabel, dan (2) variasi penerimaan sosial terhadap siswa difabel di MAN Maguwoharjo.

Penelitian ini menggunakan pendekatan mix method dengan jenis penelitian survey. Data tentang penerimaan sosial dikumpulkan dengan menggunakan angket terbuka. Subjek penelitian yaitu siswa kelas X dan XI MAN Maguwoharjo yang berjumlah70 siswa. Uji validitas instrumen menggunakan validitas isi dengan expert judgement dan uji validitas item menggunakan teknik indeks daya beda item dengan batas minimal sebesar 0,25. Reliabilitas instrumen diukur dengan alpha cronbach dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,909. Teknik analisis data kualitatif menggunakan pengkategorian dengan empat kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah, dan sangat rendah. Teknik analisis data kualitatif menggunakan langkah interactive model.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 7,1% siswa MAN Maguwoharjo terkategori tingkat penerimaan sosial sangat tinggi, 35,7% siswa MAN Maguwoharjo terkategori tingkat penerimaan sosial tinggi, 45,7% siswa MAN Maguwoharjo terkategori tingkat penerimaan sosial rendah, dan 7,1% siswa MAN Maguwoharjo terkategori tingkat penerimaan sosial sangat rendah. Dari data kualitatif disimpulkan bahwa pada umumnya siswa MAN Maguwoharjo tidak menerima apabila siswa difabel memiliki perilaku, sikap, atau kepribadian yang negatif, tetapi menerima ketunaan fisik siswa difabel.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala

rahmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Tingkat Penerimaan Sosial terhadap Keberadaan Siswa Difabel di

MAN Maguwoharjo” dengan baik. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari

dukungan dan bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah berkenan memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Prodi BK UNY.

2. Dekan Fakultas Ilmu PendidikanUniversitas Negeri Yogyakarta yang telah

memberikan izin untuk melakukan penelitian.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan

persetujuan untuk melakukan penelitian.

4. Bapak Dr. Muh. Farozin, M.Pd selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, arahan,

dan motivasi pada penulis selama penyusunan skripsi ini.

5. Bapak A. Ariyadi Warsito, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang

telah membantu dalam kegiatan akademik selama masa perkuliahan.

6. Kepala Sekolah MAN Maguwoharjo yang telah memberikan izin untuk

melakukan penelitian.

7. Siswa MAN Maguwoharjo yang telah bekerjasama dengan baik selama

(9)
(10)

x

2. Faktor-faktor Penerimaan Sosial ... 17

3. Penerimaan dan penolakan Penerimaan Sosial ... 22

B. Pendidikan Inklusi 1. Pengertian Pendidikan Inklusi ... 26

(11)

xi

3. Fungsi Pendidikan Inklusi ... 34

4. Pengertian Difabel ... 38

5. Macam-macam Difabel ... 42

6. Karakteristik Remaja ... 62

C. Penerimaan Sosial dalam Konsep BK 1. Pengertian BK ... 66

2. Tujuan BK ... 69

3. Bidang Layanan BK ... 73

4. Penerimaan Sosial dalam Konsep BK ... 77

5. Penerimaan Sosial terhadap Siswa Difabel ... 79

D. Kerangka Berpikir ... 80

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian 1. Lokasi Penelitian ... 96

2. Waktu Penelitan ... 96

3. Data Subjek Penelitian ... 97

B. Deskripsi Aspek yang Diteliti ... 97

C. Deskripsi Hasil Penelitian Kuantitatif ... 98

D. Deskripsi Hasil Penelitian Kualitatif ... 100

(12)

xii

F. Keterbatasan ... 177

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 178

B. Saran ... 179

DAFTAR PUSTAKA ... 180

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Klasifikasi Tunagrahita ... 53

Tabel 2. Kisi-Kisi Angket Penerimaan Sosial ... 90

Tabel 3. Rangkuman Item Gugur dan Item Valid ... 92

Tabel 4. Rincian Kegiatan Penelitian ... 96

Tabel 5. Hasil penghitungan penerimaan sosial ... 98

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa

kanak-kanak menuju dewasa. Masa peralihan tersebut ditandai dengan adanya

perubahan dari beberapa aspek dalam diri seseorang, yaitu fisik, psikis dan

psikososial (Agoes Dariyo, 2004:13). Rentang usia remaja yaitu antara usia

12/13 tahun-21 tahun. Pada masa remaja mereka akan mengalami krisis

pencarian identitas (search for self-identity) agar dapat menjadi dewasa.

Thornburg (Agoes Dariyo, 2004: 14) menggolongkan remaja menjadi

tiga tahapan, yaitu remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17

tahun), dan remaja akhir (usia 18-21 tahun). Pada masa remaja awal hingga

tengah umumnya individu memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah

yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).

Kemudian, pada masa remaja akhir biasanya individu mulai memasuki dunia

perguruan tinggi ataupun bekerja. Pada masa remaja mereka banyak

menghabiskan waktu mereka di sekolah. Remaja di sekolah tidak hanya

menjalani pendidikan formal yang menyangkut dengan pelajaran, namun

remaja juga mendapatkan pelajaran dan pengalaman lain yang didapat di luar

kelas, misalnya hubungan sosial dengan lingkungan sekolah/ sosialnya yaitu

dengan sesama peserta didik maupun dengan guru.

Siswa sebagai remaja memiliki tugas yang harus dilalui oleh setiap

(16)

Tugas-2

tugas perkembangan tersebut sangat penting untuk dilaksanakan oleh setiap

individu yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan kepribadiannya.

Individu yang berhasil dalam melaksanakan tugas perkembangan akan

merasa percaya diri, berharga, timbulnya perasaan berharga dan optimis

dalam menghadapi masa depannya. Sebaliknya, individu yang gagal dalam

melaksakan tugas perkembangannya akan merasa tidak mampu, gagal, putus

asa, rendah diri dan pesimis dalam menghadapi masa depannya.

Seorang siswa memiliki pencapaian yang tinggi apabila ia memiliki

penyesuaian sosial yang baik. Kemampuan untuk menyesuaikan aspek sosial

secara baik yaitu dapat memahami orang lain dengan baik. Kemampuan ini

membantu siswa untuk menerima orang lain sebagai individu yang unik, baik

menyangkut fisik, sifat-sifat pribadi, pandangan dan lain sebagainya.

Pemahaman yang baik tersebut mendorong siswa untuk menjalin hubungan

sosial dengan sesama siswa dengan lebih akrab (Edi Purwanta, 2002: 4).

Siswa yang bersekolah tidak hanya siswa dengan keadaan fisik

maupun mental yang normal saja, namun siswa dengan kebutuhan khusus pun

memiliki kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan formal di

sekolah. Anak dengan kebutuhan khusus (disabilities/ difabel) merupakan

anak yang memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak

normal umumnya, yaitu pada kondisi fisik, mental maupun karakteristik

perilaku sosialnya. Selain itu dapat juga diartikan sebagai anak yang berbeda

(17)

3

Anak yang dikategorikan sebagai difabel sesuai dengan pengertian di

atas yaitu anak yang memiliki kelainan dalam aspek fisik meliputi kelainan

pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan indra pendengaran (tunarungu),

kelainan kemampuan bicara (tunawicara), dan kelainan fungsi anggota tubuh

(tunadaksa). Selain itu, anak yang memiliki kelainan dalam aspek mental

meliputi anak dengan kemampuan mental yang lebih (supernormal) yang

dikenal dengan anak yang berbakat, dan anak yang memiliki kemampuan

mental sangat rendah (subnormal) yang dikenal dengan anak tunagrahita.

Anak dengan kelainan dalam aspek sosial memiliki kesulitan dalam

penyesuaian perilaku terhadap lingkungan sekitar, atau disebut dengan anak

tunalaras.

Mohammad Efendi (2006: 18) mengemukakan bahwa penyesuaian

sosial bagi anak dengan disabilitas merupakan sesuatu yang tidak mudah

untuk dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh ketunaan yang dialami tidak

lepas dari kesulitan yang mengikutinya. Penyesuaian pada anak dengan

kebutuhan khusus ini lebih sulit dikarenakan kelainan yang dapat dipandang

sebagai suatu ketunaan yang kurang menguntungkan, baik dari penilaian

masyarakat atau lingkungan maupun dari penyandang kebutuhan khusus itu

sendiri.

Problematika dalam meilihat anak dengan kebutuhan khusus di

masyarakat adalah implikasi sosial pada keluarbiasaan yang cenderung

negatif. Masyarakat pada umumnya menganggap anak dengan kebutuhan

(18)

4

mampu untuk mandiri dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga mereka

perlu untuk dibantu dan menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat (Ellah

Siti Chalidah, 2005: 17).

Anak luar biasa tidak hanya menempuh pendidikan dalam Sekolah

Luar Biasa (SLB) saja, namun juga dapat mengikuti pendidikan dalam

sekolah reguler. Sesuai dengan Amanat hak atas pendidikan bagi anak

penyandang kelainan atau ketuaan yang ditetapkan dalam Undang-undang

No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan

bahwa: “Pendidikan Khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan

bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, dan atau

memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Ketetapan dalam Undang

-undang No. 20 tahun 2003 tersebut sangat penting bagi anak berkelainan

bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan

pendidikan dengan anak normal lainnya.

Pendidikan inklusi merupakan perwujudan dari pendekatan inklusi

yang diupayakan untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak luar

biasa secara integral dan manusiawi (Edi Purwanta, 2002: 3). Menurut Staub

dan Peck (Edi Purwanta, 2002: 3) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi

adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang dan dan berat

secara penuh dalam kelas biasa. Menurut pengertian di atas maka dapat

disimpulkan bahwa dalam pendidikan inklusi menempatkan anak luar biasa

(19)

5

Salamanca (Sue Stubbs, 2002: 37) menyatakan bahwa pendidikan

inklusi merupakan perkembangan pelayanan pendidikan bagi anak

berkebutuhan khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusi,

selama memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar

bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin

ada pada mereka.

Dalam pendidikan inklusi tersebut anak dengan kebutuhan khusus

berada dalam kelas yang sama dengan anak normal lainnya. Salah satu tujuan

utama pendidikan inklusi adalah mendidik anak dengan kebutuhan khusus

akibat kecatatan yang dimilikinya di kelas reguler bersama-sama dengan

anak-anak lain yang normal (non cacat), dengan dukungan yang sesuai

dengan kebutuhannya, baik dalam lingkungan sekolah maupun di dalam

lingkungan keluarganya.

Salah satu alasan dari pendidikan inklusi ini adalah anak dengan

kebutuhan khusus akan memiliki hasil yang lebih baik secara akademik

maupun sosial apabila mereka ada dalam setting kebersamaan. Kemudian,

anak dengan kebutuhan khusus juga belajar untuk hidup dengan lebih mandiri

apabila mengikuti pendidikan bersama dengan anak normal lain yang sebaya

dengannya, bukan dengan berada dalam sekolah khusus (Edi Purwanta, 2002:

4).

Dampak yang diharapkan dari adanya pendidikan inklusi ini adalah

siswa lain dapat belajar dan mengenal tentang orang-orang yang berbeda

(20)

6

kondisi yang berbeda, baik dari cara belajar, fisik, dan emosional melalui

berbagai pengalaman yang didapatkan dari sekolah inklusi. Selanjutnya,

dampak lain yang dirasakan dari pendidikan inklusi adalah pandangan negatif

dari pendidik ataupun siswa lain mulai berubah. Mereka yang sudah mulai

bergaul anak dengan kebutuhan khusus mulai menerima dan mengenal

mereka sebagai anggota kelas yang berharga.

Dalam pendidikan inklusi ini, anak dengan kebutuhan khusus

memerlukan penerimaan dari kelompoknya. Penerimaan dari kelompok

sangat penting bagi mereka, namun anak dengan kebutuhan khusus memiliki

hambatan dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Hal tersebut dapat

disebabkan karena kekurangan yang dimiliki maupun dikarenakan lingkungan

yang masih kurang menerima kehadiran mereka dalam kelompok.

Penerimaan yang kurang tersebut dapat disebabkan oleh stigma yang negatif

atas perbedaan yang dimiliki, selain itu belum dipahaminya kebutuhan anak

luar biasa.

Penerimaan sosial yang positif dapat memudahkan seseorang dalam

pembentukan tingkah laku sosial yang diinginkan, reinforcement atau

modelling dan pelatihan secara langsung dapat meningkatkan keterampilan

sosial. Pemilihan seseorang atau teman untuk aktivitas tertentu di dalam

kelompok dimana orang tersebut menjadi anggota juga disebut sebagai

penerimaan sosial. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai indeks keberhasilan

(21)

7

derajat rasa suka dari anggota kelompok lain untuk bekerja sama dalam

kelompok.

Sangat penting bagi seorang remaja untuk diterima oleh teman sebaya

dalam kelompok sosialnya. Penolakan dari teman sebaya dalam kelompok

sosialnya akan berpengaruh sangat besar bagi seorang remaja, hal tersebut

akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial pada remaja itu sendiri. Apabila

seorang remaja mengalami penolakan sosial dari kelompoknya akan

menyebabkan remaja tersebut kesulitan dalam bersosialisasi sehingga

menyebabkan interaksi sosial remaja tersebut menjadi sempit. Hal tersebut

akan menyebabkan remaja tersebut menjadi pribadi yang tertutup, terutama

apabila hal tersebut terjadi pada remaja dengan kebutuhan khusus akan

menyebabkan remaja kurang percaya diri terlebih dengan kebutuhan khusus

yang dimilikinya.

Kartini Kartono (2011: 46) menyatakan perasaan bahagia dan

kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan oleh individu

yang sosiopatik itu secara kualitatif bergantung pada sikap pribadinya

terhadap Aku sendiri. Hal tersebut dipengaruhi oleh penerimaan sosial yang

positif dari kelompok. Pendefinisian diri seseorang dipengaruhi oleh

perimbangan antara pendifinisan sosial atau penentuan sosial dengan

pendefinisian diri sendiri. Jadi, penerimaan diri seseorang tersebut

dipengaruhi juga oleh penerimaan sosial dari kelompok sosial atau

(22)

8

Remaja yang memiliki penerimaan diri yang positif akan merasa lebih

puas dan bahagia terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya apabila seorang remaja

merasa ditolak oleh kelompok sosial atau masyarakat, ia akan merasa tidak

bahagia dan kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal tersebut

akan berdampak pada konflik sosial antar teman sebaya di sekolah. Salah satu

faktor yang dapat menyebabkan konflik sosial yang diakibatkan oleh

penolakan sosial misalnya perbedaan fisik atas adanya anak dengan

kebutuhan khusus yang berada dalam kelas yang sama dengan peserta didik

normal yang lainnya.

Pada penelusuran awal yang dilakukan oleh peneliti pada hari Senin

tanggal 23 Februari 2015 pada beberapa peserta didik di MAN Maguwoharjo

dan dengan Bapak Nuryadi selaku waka kurikulum di MAN Maguwoharjo

yaitu bahwa selama ini tidak pernah terjadi konflik antara siswa yang normal

dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Beberapa siswa kelas XII

menyampaikan bahwa mereka menerima dengan baik adanya difabel di MAN

Maguwoharjo tersebut karena mereka memiliki keunikan sendiri.

Kemudian pada observasi kedua yang dilaksanakan pada hari Rabu

tanggal 25 Februari 2015 pada Ibu Nur selaku guru BK di MAN

Maguwoharjo didapatkan data bahwa terdapat delapan peserta didik dengan

kebutuhan khusus di MAN Maguwoharjo. Siswa dengan kebutuhan khusus

tersebut terbagi pada jenjang kelas X, XI dan XII. Pada kelas X hanya

terdapat satu siswa dengan kebutuhan khusus, yaitu tunanetra. Pada kelas XI

(23)

9

kondisi tunadaksa dan empat siswa dengan kondisi tunanetra. Sedangkan

pada kelas XII terdapat dua siswa dengan kondisi low vision dan tunanetra.

Menurut penuturan dari guru BK, siswa dengan kebutuhan khusus

diberi perhatian khusus oleh guru di kelas. Difabel pun dibantu oleh peserta

didik lain di kelasnya. Pada siswa kelas XI dan XII, siswa dengan kebutuhan

khusus dibantu oleh teman yang memang sudah dekat dengannya. Namun

pada siswa kelas X dijadwal oleh wali kelas yang bersangkutan. Hal tersebut

dikarenakan siswa dengan kondisi yang normal belum bisa beradaptasi

dengan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Siswa tersebut masih

merasa asing dengan siswa yang berkebutuhan khusus. Sehingga mereka

belum dapat dengan sukarela untuk membantu siswa dengan kebutuhan

khusus. Hal tersebut yang menyebabkan guru wali kelas memberi pengertian

kepada mereka tentang siswa dengan kebutuhan khusus dan menjadwal

mereka untuk memberikan bantuan saat pelajaran.

Peserta didik dengan kebutuhan khusus memiliki Guru Pendamping

Khusus (GPK) untuk memberikan bantuan kepada mereka apabila memiliki

masalah terkait dengan ketunaannya. GPK tersebut merupakan guru dari

Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun apabila difabel memiliki masalah terkait

dengan pribadi, sosial, belajar atau karir biasanya mendatangi guru BK untuk

meminta bantuan. Pada saat ujian, siswa dengan kebutuhan khusus tersebut

didampingi oleh dua guru, salah satu guru membacakan soal sedangkan guru

lainnya menuliskan jawaban, untuk jawaban essaysiswa dengan kebutuhan

(24)

10

Dari penelusuran awal di atas pada sekolah inklusi di Yogyakarta,

dapat diketahui bahwa di dalam kenyataan pada awalnya tidak mudah bagi

siswa untuk menerima dengan baik adanya difabel pada kelas mereka. Siswa

yang baru mengenal difabel pada umumnya masih takut untuk beradaptasi

dengan mereka karena ketunaan yang dimiliki. Untuk itu diperlukan

pengalaman yang cukup untuk dapat menerima difabel sebagai anggota kelas

seperti siswa normal yang lainnya.

Dapat diketahui bahwa terdapat permasalahan kurangnya penerimaan

sosial oleh siswa terutama pada siswa kelas X terhadap siswa difabel di MAN

Maguwoharjo. Padahal idealnya sesama siswa sebaiknya siswa memiliki

penerimaan sosial yang tinggi, dengan penerimaan sosial yang tinggi siswa

dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kelompok teman sebaya di

dalam sekolah, terutama bagi siswa difabel yang memiliki kekurangan pada

fisiknya. Apabila siswa memiliki penerimaan sosial yang tinggi dari teman

sebayanya dan dapat menyesuaikan diri dengan baik maka akan lebih mudah

dalam melaksanakan kegiatan akademik dan non akademik di sekolah.

Perkembangan remaja masih rentan terhadap berbagai masalah. Hal

tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui penerimaan sosial terhadap

keberadaan difabel pada siswa lain di sekolah inklusi. Alasan peneliti untuk

melakukan penelitian di MAN Maguwoharjo adalah sekolah tersebut

merupakan madrasah aliyah inklusi pertama di Indonesia. Terdapat delapan

anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di MAN Maguwoharjo pada

(25)

11

tunanetra, low vision, tunagrahita dan tunadaksa. Dengan adanya anak

berkebutuhan khusus di sekolah tersebut secara tidak langsung akan

mempengaruhi kehidupan sosial di sekolah, salah satu diantaranya yaitu

penerimaan sosial terhadap difabel.

Berdasarkan pengamatan dan teori di atas maka dapat diambil

kesimpulan bahwa lingkungan sosial terutama sekolah dapat memberikan

pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan remaja. Penerimaan

sosial yang positif oleh teman sebaya terhadap difabel di sekolah dapat

memberikan pengaruh yang positif pula terhadap penerimaan diri remaja.

Tetapi pada kenyataan di lapangan belum semua siswa memiliki penerimaan

sosial yang tinggi terhadap siswa difabel di MAN Maguwoharjo, hal tersebut

menunjukkan kesenjangan antara harapan ideal dan keadaan di

lapangan.Penerimaan sosial yang kurang baik oleh teman sebaya terhadap

difabel di sekolah akan mempengaruhi penerimaan diri pada remaja yang

negatif. Maka dari itu menarik untuk diteliti untuk dilakukan penelitian

mengenai penerimaan sosial terhadap difabel pada siswa di sekolah inklusi.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

masalah-masalah yang dapat diidentifikasi antara lain:

1. Masyarakat pada umumnya masih menganggap siswa difabel

(26)

12

2. Tidak mudah bagi siswa normal untuk menerima secara

terbuka adanya difabel dalam sekolah inklusi.

3. Adanya variasi tentang penerimaan sosial di sekolah inklusi.

4. Perkembangan remaja terhambat akibat dari kurangnya

penerimaan sosial dari lingkungan.

5. Akibat dari penerimaan sosial yang buruk, siswa difabel

memiliki penerimaan diri yang rendah.

C. Batasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah

dikemukakan di atas permasalahan permasalahan sosial sangat kompleks,

oleh karena itu maka pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu tingkat

penerimaan sosial terhadap keberadaan difabel pada siswa di sekolah inklusi.

Penelitian dibatasi pada tingkat penerimaan sosial siswa terhadap obyek yang

diteliti, obyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa difabel yang

berada di dalam pendidikan inklusi.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang dipaparkan di atas, maka

rumusan masalah penelitian adalah:Bagaimana tingkat penerimaan sosial

(27)

13

E. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan tingkat penerimaan sosial

terhadap keberadaan difabel pada siswa di MAN Maguwoharjo.

F. Manfaat

Adapun manfaat penelitian adalah:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian terhadap penerimaan sosial terhadap

keberadaan difabel pada siswa diharapkan dapat memberikan

kontribusi terhadap pengembangan ilmu bidang Bimbingan dan

Konseling sosial terutama pada penerimaan sosial terhadap

keberadaan siswa difabel.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling

Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi Guru

Bimbingan dan Konseling dalam memberikan layanan

informasi dan konseling mengenai pentingnya penerimaan

sosial bagi remaja.

b. Bagi Kepala Sekolah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan

dalam pengambilan kebijakan untuk penerimaan sosial

(28)

14

pendidikan inklusi selanjutnya. Salah satu alasan dari

pendidikan inklusi ini adalah anak dengan kebutuhan

khusus akan memiliki hasil yang lebih baik secara

akademik maupun sosial apabila mereka ada dalam setting

kebersamaan. Kemudian, anak dengan kebutuhan khusus

juga belajar untuk hidup dengan lebih mandiri apabila

mengikuti pendidikan bersama dengan anak normal lain

yang sebaya dengannya, bukan dengan berada dalam

sekolah khusus.

c. Bagi Siswa

Siswa memahami dan memiliki pengetahuan mengenai

pentingnya penerimaan sosial terhadap teman sebaya di

(29)

15

BAB II KAJIAN TEORI

A. Penerimaan Sosial

1. Pengertian Penerimaan Sosial

Hurlock (1978: 293) mengemukakan bahwa penerimaan sosial

berarti dipilih oleh teman dalam kelompok untuk suatu aktivitas

dimana seseorang menjadi anggota. Hal tersebut menjadi indeks

keberhasilan yang dipakai untuk berperan dalam kelompok sosial dan

menunjukkan derajat rasa suka dari anggota kelompok yang lain untuk

bekerja atau bermain dengannya.

Hurlock juga mengartikan bahwa penerimaan sosial sebagai

suatu keadaan dimana keberadaan orang tersebut ditanggapi secara

positif oleh orang lain dalam suatu hubungan yang dekat dan hangat

dalam suatu kelompok. Dalam penyesuaian sosial, kemampuan untuk

memahami status seseorang dalam kelompok merupakan suatu hal

yang penting. Penyesuaian sosial yang baik akan mempengaruhi

bagaimana seseorang akan berperilaku dalam situasi sosial. Sehingga,

anak dengan penerimaan sosial yang baik dan memahami bahwa ia

diterima akan memiliki penyesuaian sosial yang baik pula.

Penerimaan sosial menurut Hurlock tersebut dapat ditegaskan

bahwa seseorang tersebut diterima dan ditanggapi secara positif oleh

kelompoknya, dengan begitu sesorang sengan penerimaan sosial yang

(30)

16

Hal tersebut menjadi indeks dalam keberhasilan dalam perannya di

kelompok sosialnya, berarti orang tersebut disukai oleh anggota

kelompoknya. Seorang yang diterima dan memahmi bahwa ia

diterima oleh kelompoknya akan memiliki penyesuaian yang baik

pula.

Menurut Berk (Dady Aji Prawiro Sutarjo, 2014: 21)

penerimaan sosial merupakan kemampuan seseorang sehingga ia

dihormati oleh anggota yang kelompok lainnya sebagai partner sosial

yang berguna. Leary (Septalia Meta Karina& Suryanto, 2012: 3)

menyatakan bahwa penerimaan sosial berarti adanya sinyal dari orang

lain yang ingin menyertakan seseorang untuk tergabung dalam suatu

relasi atau kelompok sosial. Leary juga menyatakan bahwa

penerimaan sosial terjadi pada kontinum yang berkisar dari

menoleransi kehadiran orang lain hingga secara aktif menginginkan

seseorang untuk dijadikan partner dalam suatu hubungan.

Berk dan Leary menekankan penerimaan sosial sebagai

diterimanya seseorang untuk menjadi partner sosial yang aktif dalam

kelompoknya. Penerimaan sosial menjadi sinyal bahwa anggota

kelompok lain menghormati dan menginginkan orang tersebut untuk

bergabung dalam kelompok sosialnya.

Miller (Septalia Meta Karina & Suryanto, 2012: 3) hubungan

interpersonal ditandai oleh penerimaan sosial yang dilihat sebagai

(31)

17

Sedangkan menurut Chaplin (Kamus Lengkap Psikologi, 1995)

mengemukakan penerimaan sosial sebagai pengakuan dan

penghargaan terhadap nilai-nilai individu. Individu yang mendapatkan

penerimaan sosial akan merasa mendapatkan pengakuan dan

penghargaan dari individu lain maupun dari kelompok secara utuh.

Miller menyatakan penerimaan sosial sebagai aspek dasar atau

fundamental dalam hidup manusia, hal tersebut didukung oleh

Chaplin bahwa individu dengan penerimaan sosial yang baik akan

merasa diakui dan dihargai oleh kelompok sosialnya, pengakuan dan

penghargaan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan

sosial seseorang.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat ditegaskan bahwa

penerimaan sosial didefinisikan sebagai diterima dan diakuinya

individu di dalam suatu kelompok sosial, individu tersebut dipandang

secar positif oleh anggota kelompok. Sehingga individu tersebut dapat

berperan aktif dalam kelompok sosialnya, dan dapat menyesuaikan

diri dengan baik terhadap kelompok tersebut.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Sosial

Rika Eka Izzaty dkk (2008: 138) penerimaan sosial (social

acceptance) dalam kelompok remaja sangat tergantung pada beberapa

(32)

18

partisipasi sosial, (d) perasaan humor yang dimiliki, (e) keterampilan

berbicara, dan (f) kecerdasan.

Sementara itu menurut Hurlock dalam Rita Eka Izzaty (2008:

142) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan sosial remaja

yaitu:

a. Kesan pertama yang menyenangkan, kesan pertama

tersebut dilihat dari penampilan yang menarik perhatian, sikap yang tenang dan gembira.

b. Memiliki reputasi yang baik sebagai orang yang sportif dan menyenangkan.

c. Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan yang dimiliki oleh teman-teman sebaya.

d. Perilaku sosial yang ditandai oleh beberapa hal yaitu kerjasama, tanggung jawab, panjang akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana dan berlaku sopan.

e. Matang dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti peraturan kelompok.

f. Memiliki sifat kepribadian yang menimbulkan

penyesuaian sosial yang baik seperti misalnya sifat-sifat yang jujur, setia serta tidak mementingkan diri sendiri dan terbuka.

g. Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lainnya dalam kelompoknya, serta memiliki hubungan dengan anggota-anggota keluarga yang baik.

h. Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga akan mempermudah hubungan dan partisipasi dalam berbagai kegiatan dalam kelompok.

Berdasarkan pendapat terssebut, faktor-faktor penerimaan

sosial yang dikemukakan oleh Rita Eka Izzaty dkk di atas yaitu

terdapat enam faktor utama untuk seseorang dapat diterima dalam

kelompok sosialnya. Faktor paling penting yang pertama kali dilihat

oleh seseorang adalah kesan pertama, kesan pertama yang baik dapat

(33)

19

menarik juga penting bagi seseorang untuk diterima dalam kelompok

sosial, namun hal tersenut juga didukung oleh partisipasi sosial,

perasaan humor yang dimiliki dan keterampilan berbicara yang paling.

Hal-hal tersebut sangat penting bagi seseorang untuk berinteraksi

dalam suatu kelompok, interaksi yang baik akan menimbulkan

penerimaan sosial yang positif. Selain itu, kecerdasan juga dianggap

penting untuk seseorang dapat diterima dalam sebuah kelompok.

Hurlock menambahkan dua faktor yang juga penting bagi seseorang

untuk diterima dalam kelompok sosial, yaitu status ekonomi dan

tempat tinggal.

Hurlock (1978: 296) menyatakan beberapa hal yang

menyebabkan seseorang diterima oleh kelompoknya memiliki

beberapa ciri tertentu yang bersifat universal, yaitu:

a. Bersifat ramah dan kooperatif, mereka dapat menyesuaikan diri tanpa menimbulkan kekacauan, mengikuti peraturan, menerima dengan senang apa yang terjadi, dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain.

b. Mengutamakan orang lain (tidak egosentris), mereka

mengutamakan orang lain dan tidak membangun egonya sendiri untuk melambungkannya.

c. Bersikap sebagaimana adanya, maksudnya tidak menyesuaikan

diri secara berlebihan, tetapi menyesuaikan diri terhadap pola kelompok secara luas, dengan mematuhi peraturan, kebiasaan dan adat istiadatnya.

Berdasarkan pendapat tersebut, Hurlock menyatakan beberapa

faktor yang mempengaruhi seseorang untuk diterima dalam kelompok

sosial adalah memiliki sikap yang ramah dan kooperatif, seseorang

(34)

20

akan memiliki penerimaan sosial yang baik pula. Faktor lain yang

mempengaruhi adalah individu yang tidak egosentris dan bersikap

sebagaimana adanya, dengan beberapa faktor di atas maka seseorang

dapat diterima secara positif oleh orang lain atau anggota kelompok

sosial.

W.A Gerungan (Psikologi Sosial, 2004: 39) menyebutkan

beberapa faktor yang mendasari seseorang diterima oleh kelompoknya

adalah, (a) faktor sugesti dan (b) faktor empati, lebih lanjut dapat

dikaji sebagai berikut:

a. Faktor Sugesti

Sugesti merupakan keadaan individu atau kelompok, baik

datangnya dari diri sendiri maupun orang lain, yang pada

umumnya diterima tanpa adanya daya tarik. Sugesti merupakan

suatu proses dimana seorang individu menerima suatu cara

penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang

lain tanpa kritik terlebih dahulu, dan dikatakan pula seseorang

memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang lalu

diterima oleh orang lain di luarnya.

b. Faktor Simpati

Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap

orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis, melainkan

berdasarkan penilaian perasaan, bahkan orang dapat tiba-tiba

(35)

21

sendirinya, dan tertariknya itu bukan karena salah satu ciri

tertentu, melainkan karena keseluruhan cara-cara bertingkah

laku orang tersebut.

Terdapat dua faktor yang mendasari seseorang untuk diterima

oleh kelompoknya menurut W.A Gerungan, yaitu faktor sugesti dan

faktor simpati. Faktor sugesti dimaksudkan sebagai individu diterima

oleh orang lain atau kelompok tanpa adanya kritik maupun daya tarik

sebelumnya, namun seseorang diterima secara apa adanya berdasarkan

sugesti oleh seseorang. Faktor simpati merupakan sikap seseorang

yang tertarik kepada individu yang didasarkan pada perasaan

tertariknya pada orang lain karena keseluruhan cara-cara bertingkah

laku orang tersebut.

Leary (Dady Aji Prawiro Sutarjo, 2014: 23) mengusulkan

beberapa faktor utama yang mempengaruhi seseorang mendapatkan

faktor-faktor sosial, yaitu meliputi kompetensi sosial, penampilan

fisik, pelanggaran aturan interaksi antar individu, dan sejauh mana

individu tersebut membosankan atau tidak menarik sebagai mitra

dalam interaksi sosial.

Faktor utama yang mempengaruhi seseorang untuk diterima

oleh kelompok sosialnya menurut Leary adalah kompetensi sosial,

penampilan fisik yang ada pada orang tersebut, patuh atau tidaknya

(36)

22

Dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi

seseorang untuk diterima dalam kelompok sosial adalah kesan

pertama, memiliki reputasi yang baik, penampilan diri yang menarik,

perilaku sosial yang baik, matang dalam pengendalian emosi, status

ekonomi, dan tempat tinggal yang dekat.

3. Penerimaan dan Penolakan Sosial terhadap Difabel

Jenis penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan oleh seseorang

akan dipengaruhi oleh tingkat penerimaan yang diberikan oleh teman

sebaya kepada mereka. Oleh karena itu, dampak dari penerimaan sosial

cukup besar. Indeks keberhasilan sosial dipengaruhi oleh tingginya nilai

seseorang diterima oleh orang tua, guru ataupun teman sebayanya.

Sehingga, seseorang akan menggunakan indeks keberhasilan tersebut

sebagai sudut pandang apakah ia berhasil atau gagal dalam kelompok

sosialnya. Hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap konsep diri

seseorang.

Menurut Hurlock (1978: 297) terdapat beberapa dampak apabila

seseorang diterima oleh kelompok sosialnya, yaitu:

a. Memiliki konsep diri yang positif.

b. Anak yang diterima dengan baik akan memiliki peluang yang lebih banyak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok teman sebaya. c. Secara sosial, anak yang diterima akan memiliki kecakapan sosial yang

lebih baik karena lebih sering mempelajari keterampilan sosial dalam kelompok.

(37)

23

Berdasarkan pendapat Hurlock di atas dapat ditegaskan bahwa

dampak yang diperoleh apabila seorang individu diterima oleh kelompok

sosialnya yaitu memiliki konsep diri yang positif, seseorang dengan

penerimaan sosial yang baik dapat memiliki peluang yang lebih banyak

untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok teman sebayanya, selain itu

seseorang dengan penerimaan sosial yang tinggi akan memiliki kecapakan

sosial yang tinggi, karena dengan penerimaan sosial yang tinggi seseorang

dapat melatih keterampilan sosial dalam kelompoknya, sehingga dapat

menjalin persahabatan dengan kelompok teman sebaya dengan lebih baik.

Sedangkan, dampak yang terjadi pada anak yang mengalami

penolakan oleh kelompok sosialnya yaitu:

a. Mendapatkan efek yang buruk pada konsep diri mereka.

b. Kurang aktif dalam kelompok dikarenakan memiliki peluang yang sedikit dalam kegiatan kelompok teman sebaya.

c. Kecakapan sosial yang dimiliki lebih rendah sebagai akibat dari kurangnya mempelajari keterampilan sosial dalam kelompok.

Dapat ditegaskan dari pendapat Hurlock di atas seseorang yang

mengalami penolakan sosial dari kelompok sosialnya dapat berpengaruh

terhadap konsep diri yang buruk terhadap individu tersebut. Seseorang

yang mengalami penolakan sosial biasanya kurang aktif dalam kelompok

teman sebayanya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kecakapan sosial

yang rendah karena tidak mempelajari keterampilan sosial dalam

kelompok sosialnya.

Santrock (2003: 219) mengemukakan beberapa hal akibat dari

(38)

24

cenderung mudah stress, frustasi dan sedih. Isolasi dari teman sebaya dan

ketidakmampuan seorang remaja untuk masuk dalam suatu kelompok

sosial akan mengakibatkan hal-hal negatif terkait dengan berbagai bentuk

masalah dan masalah seperti kenakalan dan depresi. Selain itu, penolakan

dapat menimbulkan rasa kesepian serta timbulnya rasa permusuhan.

Selanjutnya, penolakan dan pengabaian tersebut berhubungan dengan

kesehatan mental individu dan masalah kriminal.

Sullivan (Santrock, 2011: 403) menyatakan disamping peranan orang

tua, peranan teman sebaya dalam perkembangan pada remaja sangat

penting. Setiap individu memiliki kebutuhan sosial dasar, seperti

kebutuhan akan kelembutan (kelekatan yang aman), teman bermain,

penerimaan sosial, keintiman, dan lain lain. Kebutuhan-kebutuhan tersebut

sangat penting untuk terpenuhi, dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut

dapat menentukan kesejahteraan emosional seseorang. Apabila

penerimaan sosial seorang remaja tidak terpenuhi, maka ia akan

mengalami rasa penghargaan terhadap diri yang rendah.

Berdasarkan pendapat tersebut, Hurlock (1990: 298) menambahkan

beberapa manfaat dari diterimanya seseorang dalam kelompok sosial.

Penerimaan sosial dari anggota dan kelompok akan berpengaruh positif

dalam perkembangan sosial seseorang, manfaat tersebut yaitu:

a. Merasa senang dan aman.

b. Mengembangkan konsep diri yang positif, dikarenakan diterima atau diakuinya ia oleh orang lain.

(39)

25

d. Secara mental mereka bebas untuk mengalihkan perhatian mereka keluar, dan untuk menaruh minat pada orang atau sesuatu di luar diri mereka.

e. Menyesuaikan diri terhadap harapan kelompok, serta tidak

mencemooh tradisi sosial.

Berdasarkan pendapat di atas, Hurlock berpendapat bahwa apabila

seseorang mengalami penerimaan sosial dalam kelompok sosialnya maka

seseorang tersebut akan merasa lebih senang dan bahagia, sehingga dapat

mempengaruhi konsep diri yang positif pada orang tersebut. Seseorang

dengan penerimaan sosial yang baik juga lebih cakap dalam menjalin

hubungan dengan kelompok teman sebayanya, dikarenakan memiliki

kesempatan yang lebih banyak berlatih dalam kelompok sosialnya.

Sehingga individu tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik

dalam kelompok sosialnya.

Yudrik Jahja (2011: 49) menyatakan penerimaan sosial selama masa

remaja dapat menambahkan gengsi dari kelompok besar yang

diidentifikasikannya, penerimaan sosial pada kelompok remaja tergantung

pada sekumpulan sifat dan pola perilaku pada remaja.

Dari pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa penerimaan

sosial bagi remaja atau individu sangat penting. Dengan diterima atau

diakuinya seseorang oleh anggota atau kelompok sosialnya maka akan

berdampak positif pada dirinya, seperti memiliki konsep diri yang positif,

dapat lebih aktif/ berperan dalam kelompok, memiliki kecakapan sosial

yang lebih baik, merasa senag dan aman serta dapat menyesuaikan diri

(40)

26

diabaikan oleh anggota dan kelompok sosialnya maka ia akan berpengaruh

pada konsep diri yang negatif, kurang aktif dalam kelompok, kecakapan

sosialnya rendah, lebih stress dan depresi, serta berdampak pada hal-hal

yang negatif seperti kenakalan atau permusuhan.

B. Pendidikan Inklusi

1. Pengertian Pendidikan Inklusi

Mohammad Takdir Ilahi (2013: 24) menyatakan bahwa pendidikan

inklusi merupakan sebuah konsep dalam pendidikan yang menampung

anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus maupun memiliki

kesulitan dalam membaca dan menulis. Pendidikan inklusi menjamin

akses dan kualitas anak sesuai dengan tingkat kemampuan yang

dimiliki serta menjamin kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan

baik. Konsep dari pendidikan ini mencerminkan pendidikan untuk

semua anak tanpa terkecuali, baik anak dengan kebutuhan khusus

maupun anak yang tidak memiliki kemampuan dalam finansial.

Direktorat PSLB (2004) mendefinisikan pendidikan inklusif di

Indonesia sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan

anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di

sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah

(41)

27

prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan

dengan kebutuhan individu peserta didik.

Hildegun Oslen (Tarmansyah, 2007: 82) menyatakan bahwa

pendidikan inklusi berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak

tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional,

linguistik maupun kondisi yang lainnya. Termasuk di dalamnya anak

dengan kebutuhan khusus/ penyandang cacat dan anak berbakat serta

anak dengan kemampuan finansial yang kurang mencukupi seperti

anak jalanan dan lain sebagainya.

Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007: 82) mengemukakan

pendidikan inklusi merupakan penempatan anak berkelainan ringan,

sedang, dan penuh di kelas. Hal tersebut menunjukkan kelas reguler

sebagai kelas yang relevan untuk belajar bagi anak yang berkelainan,

apapun jenis kelainannya.

Freiberg (Tarmansyah, 2007: 82) mengemukakan dalam

pendidikan inklusi anak-anak dengan kebutuhan khusus dididik

bersama dengan anak-anak normal yang lainnya, hal tersebut

diharapkan dapat mengoptimalkan potensi yang mereka miliki.

Landasan dari konsep tersebut adalah kenyataan bahwa di dalam

masyarakat terdapat anak-anak normal dan anak-anak dengan

kebutuhan khusus, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagai

(42)

28

Pendidikan inklusi ini memandang bahwa semua anak memiliki

hak yang sama dalam memperoleh pendidikan tanpa memandang

kondisi fisik, intelektual, sosio-emosional, linguistik yang mencakup

anak dengan kebutuhan khusus dan anak berbakat, anak jalanan dan

lain sebagainya.

Pendidikan inklusi dapat diartikan sebagai pendidikan yang

memberikan layanan terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan

untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Kesempatan belajar

yang sama tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang normal

saja, namun juga bagi anak dengan kebutuhan khusus yang dididik

secara bersama-sama dalam kelas reguler.

Di dalam pendidikan inklusi ini, semua anak memiliki akses yang

sama pada seluruh sumber-sumber belajar serta sarana yang tersedia.

Maka dari itu, sekolah reguler dalam orientasi pendidikan inklusi

merupakan alat yang efektif untuk memerangi sikap diskriminatif,

menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang

inklusif dan mencapai “pendidikan bagi semua” (education for all).

Sehingga dapat mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh

semua anak tanpa terkecuali.

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan konsep

pendidikan dimana semua anak, baik anak normal maupun anak

berkebutuhan khusus serta anak dengan kemampuan finansial yang

(43)

29

sumber-sumber dan sarana pendidikan yang sama. Mereka ada di

dalam satu kelas yang sama, mendapatkan pendidikan untuk

mengoptimalkan potensi yang dimiliki.

Perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia mengalami

perkembangan peningkatan yang cukup pesat. Tetapi dampak dari

pendidikan inklusi belum dirasakan sepenuhya oleh anak didik yang

memiliki kebutuhan khusus, sehingga membutuhkan pelayanan yang

lebih intensif dari pihak-pihak terkait yang ikut serta menentukan masa

depan mereka nantinya (Muhammad Takdir Ilahi, 2013: 52-55).

Keberadaan lembaga-lembaga sekolah yang menampung anak

dengan kebutuhan khusus atau yang disebut juga dengan different

ability (difabel) menjadi sangat penting keberadaannya untuk

menopang aktivitas belajar mereka agar semakin berkembang menjadi

anak yang lebih mandiri dan terampil. Selama ini anak dengan

kebutuhan khusus disediakan fasilitas pendidikan khusus yang

disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan

Sekolah Luar Biasa (SLB).

Perkembangan pendidikan inklusi di Indonesia sudah menunjukkan

peningkatan yang cukup baik, tetapi masih perlu membutuhkan

penanganan yang serius dari pemerintah. Pada saat ini peran lembaga

pendidikan sangat menunjang pertumbuhan anak dalam memperoleh

pendidikan serta cara bergaul dengan orang lain. Selain itu, lembaga

(44)

30

pengetahuan, namun juga sebagai lembaga yang dapat memberi

keterampilan yang diharapkan dapat bermanfaat di dalam masyarakat.

Perkembangan pendidikan inklusif dapat dilihat dari beberapa sekolah

yang telah dibuka bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Sistem

pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan siswa menjadi salah

satu keunggulan dari sekolah inklusif. Keberadaan sekolah inklusif

penting untuk mengembangkan potensi dan keterampilan peserta

didiknya, baik yang berkebutuhan khsusus maupun normal, sekolah

inklusif dapat juga sebagai tempat untuk melatih agar dapat hidup

dengan mandiri dan tidak selalu bergantung pada bantuan orang lain.

2. Tujuan Pendidikan Inklusi

Tujuan dari pendidikan inklusi adalah pendidikan yang ditujukan

pada semua kelompok yang termaginalisasi, tetapi praktik dan

kebijakan inklusi anak penyandang cacat telah menjadi katalisator

utama untuk mengembangkan pendidikan inklusif yang efektif,

fleksibel, dan tanggap terhadap keanekaragaman gaya dan kecepatan

belajar.

Sujarwanto (Mohammad Takdir Ilahi, 2013: 39) mengemukakan

beberapa hal yang perlu dicermati lebih lanjut mengenai tujuan

pendidikan inklusi, yaitu:

a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua

(45)

31

memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai

keanekaragaman, selain itu juga tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Berdasarkan pendapat Sujarwanto di atas, tujuan dalam pendidikan

inklusi yaitu mewujudkan penyelenggaraan pendidikan tanpa

diskriminasi yang menghargai keanekaragaman yang dimiliki oleh

siswa. Pendidikan inklusi memiliki tujuan memberikan kesempatan

yang seluas-luasnya kepada seluruh siswa untuk mendapatkan

pendidikan yang bermutu, termasuk di dalamnya siswa dengan

kebutuhan khusus.

UNESCO (Tarmansyah, 2007: 111) mengemukakan tujuan praktis

yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusi yang meliputi beberapa

hal, yaitu: tujuan yang dapat dirasakan langsung oleh anak, oleh guru,

oleh orang tua dan masyarakat. Tujuan yang dapat dicapai oleh anak

dalam mengikuti kegiatan belajar dalam setting inklusi adalah:

a. Berkembangnya kepercayaan diri pada anak, merasa bangga pada

dirinya sendiri atas prestasi yang diperolehnya.

b. Anak dapat belajar secara mandiri dengan mencoba memahami dan menerapkan pelajaran yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan mereka.

c. Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama dengan teman-temannya serta guru-guru yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat.

d. Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut, sehingga secara keseluruhan anak menjadi kreatif dalam pembelajaran.

Berdasarkan pendapat di atas, tujuan yang dapat dicapai

(46)

32

kepercayan diri siswa karena dalam setting pendidikan inklusi siswa

dapat belajar secara mandiri di sekolah dan dapat berinteraksi secara

aktif dengan teman dan guru di lingkungan sekolahnya. Dengan

pendidikan inklusi juga siswa dapat menghargai adanya perbedaan

dengan orang lain.

Tujuan yang dapat dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanaan

pendidikan inklusif antara lain:

a. Guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar

dalam setting inklusif.

b. Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik

yang memiliki latar belakang beragam.

c. Mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan

layanan kepada semua anak.

d. Bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat, dan anak dalam situasi yang beragam.

e. Mempunyai peluang untuk menggali dan mengembangkan

serta mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat secara pro aktif, kreatif dan kritis.

Dari pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa tujuan dari

pendidikan inklusi yang dapat dicapai oleh guru di sekolah adalah

dapat memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dalam

setting inklusif, dapat lebih terampil dan mampu mengatasi berbagai

tantangan dalam memberikan layanan kepada semua siswa, serta

memiliki peluang yang lebih untuk mengembangkan gagasan baru

dalam memberikan pengajaran dalam setting inklusif.

Tujuan yang akan dicapai bagi orang tua antara lain:

(47)

33

baik di rumah, dengan menggunakan teknik yang digunakan guru di sekolah.

b. Mereka secara pribadi terlibat, dan akan merasakan

keberadaannya menjadi lebih penting dalam membantu anak untuk belajar.

c. Orang tua akan merasa dihargai, mereka merasa dirinya sebagai mitra sejajar dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya.

d. Orang tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang ada di sekolah, menerima pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masing-masing individu anak.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa tujuan dari

pendidikan inklusif yang dapat dicapai oleh orang tua adalah orang tua

dapat belajar lebih banyak dalam mendidik anak dengan kebutuhan

khusus, dengan pendidikan inklusi orang tua akan merasa lebih

dihargai karena merasa dirinya sebagai mitra yang sejajar dalam

memberikan kesempatan belajar kepada anaknya. Orang tua juga akan

mengetahui bahwa anaknya mendapatkan pendidikan yang berkualitas

sesuai dengan kemampuan masing-masing individu anak.

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam

pelaksanaan pendidikan inklusif antara lain adalah:

a. Masyarakat akan merasakan suatu kebanggaan karena banyak anak mengikuti pendidikan di sekolah yang ada di lingkungannya. Masyarakat dapat melihat bahwa masalah yang menyebabkan penyimpangan sosial yang menjadi penyakit masyarakat akan dikurangi dengan adanya layanan pendidikan untuk semua.

(48)

34

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa tujuan yang

dapat dicapai oleh masyarakat dalam pendidikan inklusi ialah semua

anak yang ada di dalam lingkungan masyarakat dapat menjadi sumber

daya yang potensial, karena semua anak di lingkungan masyarakat

dapat mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat ditegaskan

tujuan dari pendidikan inklusi adalah peserta didik berkebutuhan

khusus dalam sekolah inklusi dapat belajar lebih mandiri dalam

kehidupan sehari-harinya, dapat belajar bersosialisasi dengan

anak-anak normal lainnya di kelas, serta dapat menyesuaikan diri

berinteraksi secara aktif dengan teman-teman sebayanya. Selain itu,

bagi anak-anak lainnya dan guru serta masyarakat dapat memahami

perbedaan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus.

3. Fungsi Pendidikan Inklusi

Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007: 131) mengidentifikasikan

beberapa kelebihan dalam penerapan pendidikan inklusi yaitu:

a. Berkurangnya rasa takut akan perbedaan individual dan semakin besarnya rasa percaya dan peduli pada anak berkebutuhan khusus. b. Peningkatan konsep diri (self concept) baik pada anak berkebutuhan

khusus, maupun pada anak normal lainnya. Hal ini disebabkan oleh pergaulan anak berkebutuhan khusus dan anak normal yang terjadi sehingga menjadikan keduanya saling bertoleransi.

c. Pertumbuhan kognisi sosial yang makin berkembang pada anak

berkebutuhan khusus dan anak normal. Mereka dapat saling membantu antara satu sama lain, sehingga akan mendorong pertumbuhan sikap sosial, yang selanjutnya akan menumbuhkan kognisi sosial.

(49)

35

khusus dan anak normal tidak saling curiga dan merasa saling membutuhkan.

e. Persahabatan erat dan akan saling membutuhkan di antara anak berkebutuhan khusus dan anak normal. Mereka merasa saling membutuhkan untuk sharing dalam berbagai hal.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa fungsi dari

pendidikan inklusi ialah dapat mengurangi rasa takut akibat dari perbedaan

individual dan dapat meningkatkan rasa percaya diri bagi anak

berkebutuhan khusus. Dengan setting pendidikan inklusif siswa

berkebutuhan khusus dan siswa normal dapat bergaul dan menjalin

persahabatan, sehingga dapat meningkatkan konsep diri baik pada siswa

berkebutuhan khusus maupun siswa normal. Apabila siswa berkebutuhan

khusus dan siswa normal menjalin persabatan maka dapat menumbuhkan

kognisi sosial dan prinsip-prinsip pribadi yang lebih baik.

Mohamad Sugiarmin (2009: 11) menyatakan beberapa keuntungan

dari program pendidikan inklusi, yaitu:

a. Bagi anak berkebutuhan khusus

1) Anak dengan kebutuhan khusus akan terhindar dari label negatif. 2) Anak berkebutuhan khusus akan memiliki kepercayaan diri yang

lebih.

3) Anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan untuk

menyesuaikan diri.

4) Anak memiliki kesiapan untuk menghadapi dunia nyata. b. Bagi anak tanpa kebutuhan khusus

1) Anak-anak mempelajari mengenai keterbatasan tertentu. 2) Mengetahui adanya keterbatasan atau keunikan temannya. 3) Memiliki kepedulian terhadap keterbatasan temannya.

4) Mereka dapat mengembangkan keterampilan sosial.

5) Berempati terhadap permasalahan temannya.

6) Dapat membantu temannya yang memiliki kesulitan.

c. Bagi guru

(50)

36

2) Guru dapat mengenali peta kekuatan dan kelemahan peserta didiknya.

3) Menambah kompetensi guru.

4) Guru dapat lebih kreatif dan terampil dalam mengajar dan mendidik.

d. Bagi keluarga

1) Mengingkatkan penghargaan keluarga terhadap anak dengan

kebutuhan khusus.

2) Orang tua senang apabila anaknya yang dengan kebutuhan khusus berada di kelas yang sama dengan anak-anak lainnya tanpa adanya diskriminasi.

3) Orang tua lebih senang karena anaknya memiliki keterampilan sosial yang lebih baik.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan

inklusi dapat memberikan keuntungan bagi anak berkebutuhan khusus,

anak tanpa berkebutuhan khusus, guru dan keluarga. Fungsi pendidikan

inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus ialah dapat mendapatkan

kesempatan untuk menyesuaikan diri dan dapat meningkatkan

kepercayaan diri. Dampak positif bagi siswa normal ialah dapat

mempelajari perbedaan atau keterbatasan yang dimiliki oleh temannya, hal

tersebut dapat berdampak siswa normal dapat memiliki kepedulian yang

lebih tinggi dan dapat mengembangkan keterampilan sosial serta

empatinya terhadap orang lain. Dampak positif bagi guru ialah dapat

meningkatkan wawasan guru mengenai perbedaan pada karakter

masing-masing siswa dan menambah kompetensi bagi guru tersebut. Dampak

positif bagi keluarga yaitu dapat meningkatkan penghargaan bagi anak

berkebutuhan khusus.

Rasche & Bronson (Lay Kekeh Marthan, 2007: 188)

(51)

37 a. Bagi anak berkebutuhan khusus

1) Anak akan merasa menjadi bagian dari masyarakat pada umumya.

2) Anak memperoleh lebih banyak sumber untuk belajar dan tumbuh.

3) Memungkinkan anak untuk memiliki kesempatan dalam menjalin persahabatan dengan anak pada umumnya.

4) Harga diri anak berkebutuhan khusus meningkat.

5) Anak memiliki kesempatan untuk belajar bersama dengan teman sebaya lainnya.

b. Bagi pihak sekolah

1) Sekolah memiliki pengalaman untuk mengelola berbagai

perbedaan dalam satu kelas.

2) Dapat mengembangkan apresiasi bahwa setiap individu memiliki keunikan serta kemampuan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.

3) Meningkatkan kepekaan terhadap kekurangan atau keterbatasan yang dimiliki oleh orang lain.

4) Meningkatkan kemampuan untuk menolong serta mengajar semua

anak dalam kelas.

5) Meningkatkan rasa empati terhadap keterbatasan anak. c. Bagi guru

1) Membantu guru untuk lebih menghargai perbedaan yang dimiliki pada setiap anak.

2) Guru dapat mengakui bahwa anak dengan kebutuhan khusus juga memiliki kemampuan seperti anak normal lainnya.

3) Guru merasa lebih tertantang untuk menciptakan metode-metode baru dalam pembelajaran.

4) Mengembangakan kerjasama antar guru untuk memecahkan

permasalahan dalam pembelajaran.

5) Meredam kejenuhan guru dalam mengajar.

d. Bagi masyarakat

1) Meningkatkan kesetaraan sosial di dalam masyarakat.

2) Mengajarkan kerjasama kepada masyarakat.

3) Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan antar

anggota masyarakat.

4) Meningkatkan kedamaian dalam masyarakat.

5) Mengajarkan kepada setiap anggota masyarakat tentang proses demokrasi.

Dari pendapat Rasche dan Bronson di atas dapat ditegaskan bahwa

fungsi pendidikan inklusi dapat berdampak pada siswa berkebutuhan

khusus, pihak sekolah, guru dan masyarakat. Bagi anak berkebutuhan

(52)

38

yang lebih banyak dan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk bergaul

dengan teman sebayanya. Bagi pihak sekolah dan guru dapat berdampak

pada memiliki pengalaman yang lebih luas untuk mengelola perbedaan

siswa dalam satu kelas serta dapat meningkatkan kemampuan dalam

mengajar semua anak dalam satu kelas. Bagi masyarakat dampak yang

diperoleh yaitu dapat membangun rasa saling mendukung dan

membutuhkan antar anggota masyarakat.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa fungsi dari

pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus dan anak nomal adalah

dapat meningkatkan konsep diri, hal ini disebabkan oleh pergaulan antara

anak berkebutuhan khusus dan anak normal terjadi sehingga keduanya

saling bertoleransi. Mereka dapat membantu satu sama lain, sehingga

dapat mendorong pertumbuhan sikap sosial yang nantinya akan

menumbuhkan ognisi sosial. Selain itu dapat menghargai adanya

perbedaan. Bagi sekolah dan guru, pendidikan inklusi dapat memberikan

pengalaman dalam mendidik anak-anak yang berbeda dalam satu kelas

yang sama.

4. Pengertian Different Ability (Difabel)

Different Ability (difabel) atau anak dengan kebutuhan khusus

dimaknai sebagai anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus sementara

maupun permanen, sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan

(53)

39

dimiliki (Mohammad Takdir Ilahi, 2013: 138). Mereka disebut dengan anak

berkebutuhan khusus dikarenakan anak-anak tersebut memiliki kelainan atau

keberbedaan dengan anak normal pada umumnya. Dengan kata lain, anak

berkebutuhan khusus diartikan sebagai anak yang membutuhkan pendidikan

yang disesuaikan dengan segala hambatan belajar serta kebutuhan

masing-masing individu.

Anak berkebutuhan khusus atau dapat disebut dengan difabel menurut

Mohammdad Takdir Ilahi merupakan anak yang memiliki kelainan tertentu

dengan anak normal pada umumnya sehingga mereka membutuhkan layanan

pendidikan yang lebih intens, layanan pendidikan tersebut disesuaikan

dengan hambatan belajar yang dimiliki oleh masing-masing anak dengan

kebutuhan khusus. Anak dengan kebutuhan khusus tersebut dapat memiliki

kelainan yang bersifat sementara maupun permanen.

Samuel A. Kirk (Edi Purwanta, 2012: 53) mengemukakan anak dengan

kebutuhan khusus merupakan anak yang menyimpang atau berbeda dengan

anak normal (average child) terkait dengan karakteristik mental, fisik ataupun

sosial, sehingga mereka membutuhkan modifikasi dalam pelaksanaan

persekolahan atau layanan sesuai dengan kekhususannya dengan tujuan

mereka dapat berkembang sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Difabel

atau anak dengan kebutuhan khusus dimaknai dengan anak-anak yang

menyandang ketunaan, selain itu dapat juga anak yang potensial atau berbakat

(54)

40

Samuel A. Kirk mengemukakan anak berkebutuhan khusus sebagai

anak yang menyimpang atau berbeda dengan anak normal yang lainnya,

kelainan tersebut dapat berupa kelainan pada mental, fisik maupun sosial.

Kelainan yang dimiliki tersebut membutuhkan layanan yang sesuai dengan

kebutuhan khusus yang dimiliki, tujuan dari pemberian layanan yang sesuai

adalah dapat mengoptimalkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki.

Mulyono menambahkan anak berkebutuhan khusus tidak hanya anak yang

menyandang ketunaan tertentu, tetapi juga termasuk di dalamnya anak yang

potensial atau berbakat.

Anak berkebutuhan khusus (children with special needs) menurut

Dedy Kustawan (2012: 23) adalah mereka yang karena suatu hal tertentu

(baik yang berkebutuhan permanen ataupun yang berkebutuhan khusus

temporer) membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, hal tersebut

ditujukan agar potensinya dapat berkembang secara optimal. Anak

berkebutuhan khusus memiliki hambatan dalam belajar dan hambatan

perkembangan (barier to learning and development).

Anak berkebutuhan khusus menurut Dedy Kustawan adalah anak yang

membutuhkan layanan pendidikan khusus dikarenakan mereka memiliki

kelainan tertentu yang dapat bersifat permanen ataupun temporer. Sama

dengan Samuel A. Kirk, tujuan dari pendidikan khusus tersebut adalah agar

anak berkebutuhan khusus yang memiliki hambatan dalam belajar dan

berkembang dapat mengoptimalkan dan mengembangkan potensi yang

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Tunagrahita
Tabel 2. Kisi-kisi Angket Penerimaan Sosial
Tabel 3. Rangkuman Item Gugur dan Item Valid
Tabel 4. Rincian Kegiatan Penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

UJM Ketua Jurusan Sekretaris Jur Subag Akademik Ka Ur Adm Akad Jur Kep. PJMK Kepala Laboratorium Urusan Pengelolaan PBM Urusan Evaluasi Hasil Belajar Urusan

[r]

Konverter DC-DC adalah rangkaian elektronika daya untuk mengubah suatu masukan tegangan DC menjadi keluaran tegangan DC yang nilai tegangannya bisa lebih besar atau lebih

Dana wakaf yang dihasilkan dari pengelolaan dana kontribusi yang dibayarkan peserta asuransi pada Generali akan disalurkan pada lembaga Dompet Dhuafa. Persentase dana wakaf

Pendidikan agama Islam di berbagai sekolah di Indonesia, belum berjalan seperti yang diharapkan, karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini menolak Ho dan menerima Ha yang artinya terdapat pengaruh antara iklan dan sales promotion KFC

Dapat dilakukan pengembangan perangkat lunak sistem, dengan cara menambah kemampuan analisis data hasil pengukuran untuk keperluan prediksi kecepatan dan arah angin