• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBONGKAR TANDA-TANDA PADA IKLAN POLITIK PARTAI GERINDRA (Studi Semiotik Pada Iklan Partai Gerindra Versi Garuda)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MEMBONGKAR TANDA-TANDA PADA IKLAN POLITIK PARTAI GERINDRA (Studi Semiotik Pada Iklan Partai Gerindra Versi Garuda)"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Semiotik Pada Iklan Partai Gerindra Versi Garuda)

SKRIPSI

Oleh :

AWANG DHARMAWAN NIM: 06220284

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

 

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Awang Dharmawan

NIM : 06220284

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul Skripsi : Membongkar Tanda-Tanda pada Iklan Politik Partai Gerindra (Studi Semiotik pada Iklan Partai Gerindra Versi Garuda)

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Nurudin, M. Si Dr. Wahyudi Winaryo, M. Si

Mengetahui,

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Awang Dharmawan

NIM : 06220284

Konsentrasi : Public Relation

Judul Skripsi : Membongkar Tanda-Tanda pada Iklan Politik Partai Gerindra (Studi Semiotik pada Iklan Partai Gerindra Versi Garuda)

Telah dinyatakan dipertahankan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

dan dinyatakan LULUS

Pada hari : Sabtu

Tanggal : 17 Januari 2011 Tempat : Ruang 611

Mengesahkan, Dekan FISIP UMM

Dr. Wahyudi, M.Si

Dewan Penguji:

1. Sugeng Winarno, MA 1.

2. Roziana Febrianita, S.Sos 2.

3. Nurudin, M.Si 3.

(4)

 

PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Awang Dharmawan

Tempat, tanggal lahir : Bangkalan, 05 Juli 1988 Nomor Induk Mahasiswa : 06220284

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Menyatakan bahwa karya ilmiah (skripsi) dengan judul:

MEMBONGKAR TANDA-TANDA PADA IKLAN POLITIK PARTAI GERINDRA (Studi Semiotik pada Iklan Partai Gerindra Versi Garuda)

adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya dengan benar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 22 Januari 2011 Yang menyatakan,

(5)

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

1. Nama : Awang Dharmawan

2. NIM : 06220284

3. Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 4. Jurusan : Ilmu Komunikasi

5. Konsentrasi : Public Relation

6. Judul Skripsi : Membongkar Tanda-Tanda pada Iklan Politik Partai Gerindra (Studi Semiotik pada Iklan Partai Gerindra Versi Garuda)

7. Pembimbing : 1. Nurudin, M.Si

2. Dr. Wahyudi Winaryo, M. Si

8. Kronologi Bimbingan

Tanggal Paraf Pembimbing

Paraf Pembimbing

Keterangan

Pembimbing I Pembimbing II

23 April 2010 Acc. Judul

5 Agustus 2010 Acc. Proposal

9 Agustus 2010 Seminar Proposal

18 September 2010 Acc. BAB II

11 Januari 2011 Acc. BAB III,IV

Malang, 13 Januari 2011

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(6)

 

LEMBAR PERSEMBAHAN

Skripsi ini adalah penghargaan untuk mereka yang selalu

melimpahkan ketulusan cinta disetiap untaian do’a dan usaha :

Oranng Tuaku yang terhormat,

Zes Effendi dan Erma Yani Dwi Kuryanti

Kakak dan adikku tersayang

Mbak Fenny, Mas Zaman, Didiet, Vira “pettel”

Adindaku terkasih,

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, Segala puja milik Allah SWT, Dialah puncak puji yang Maha segalanya. Berkat karunia-Nya yang sangat besar, sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi yang berada di hadapan pembaca saat ini. Limpahan salam dan shalawat untuk qudwah tercinta Rasulullah SAW, beserta semua yang ikhlas berada dalam titian jalan rintisan beliau. Dan sungguh hanya beliaulah acuan semangat dan amaliah kita dalam kehidupan dunia.

Karya tulis akhir ini, dilaksanakan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program sarjana ilmu komunikasi di Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Universitas Muhammadiyah Malang. Teriring rasa hormat, peneliti ucapkan terimakasih kepada orang-orang terdekat yang telah memberikan inspirasi dan bimbingan, sehingga karya tulis akhir ini bisa dinikmati oleh para pembaca. Adapun pihak yang disebut peneliti antara lain, yaitu:

1. Bapak Dr. Muhadjir Effendy, M. AP, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Nurudin, M.Si, selaku pembimbing pertama yang memberikan kritik dan saran konstruktif selama pengerjaan penelitian ini, meskipun ditengah kesibukannya sebagai sekretaris jurusan ilmu komunikasi.

(8)

 

4. Bang Astar Hadi sebagai senior sekaligus inspirator, yang telah setia menjadi partner diskusi selama “diwarkop” dan memberikan ilmunya mengenai semiotika sosial Leeuwen, sehingga peneliti bisa terus terpacu menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan metode ilmiah.

5. Mas Jamsari “Zam-zam”, yang telah meluangkan waktunya untuk diskusi seputar semiotik dan menemani peneliti untuk bersama-sama aktif di berbagai forum diskusi multicultural studies and social sciences.

6. Cecep Zakarias El Bilad, yang telah banyak membantu peneliti dalam menterjemahkan buku Leeuwen kedalam bahasa Indonesia, sehingga penulis lebih cepat memahami teori semiotika sosial disourse langsung dari sumber literatur aslinya.

7. Kawan-kawan HMI ISIP-UMM: Idat, Yasin, Zouhud, Samsul, Hasim, Mukrom, Jejen, Anhar, Kid, Agus, Faruk, Fian dan semua kader-kader tangguh lainnya. Berkat kalian yang lintas generasi, manfaat dapur intelektual komisariat sangat dirasakan bagi peneliti.

8. Sahabat-sahabat peneliti di kelas, yang selalu setia memberikan informasi dan support, Erwin, Ihsan, Ella, Ita, Shopi, Pia, dan Vela.

9. Forum Madhzab Djaeng dan Rumah Baca Cerdas (Mr. Nazarudin Malik), setiap peneliti berada di lingkup forum tersebut, selalu ada ilmu dan dunia baru yang mewarnai pemikiran peneliti.

(9)

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna, untuk itu

kritik dan saran peneliti harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan dari karya

tulis ini. Peneliti juga berharap, semoga karya tulis ini dapat berguna bagi kita

semua, khususnya dalam kajian Ilmu Komunikasi Politik, Amien.

Malang, 22 Januari 2011

(10)

  DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... ….... LEMBAR PENGESAHAN ... …… SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ... ... BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI ... ... ABSTRAKSI ... …… HALAMAN PERSEMBAHAN ... …… KATA PENGANTAR ... ……

F.1. Konsepsi Komunikasi Politik……… F.2. Semiotika Sebagai Analisis Tanda………

(11)

F.3. Iklan Sebagai Semiotika Politik……… F.4. Iklan dan Televisi dalam Komunikasi Politik Modern………. F.5. Informasi dan Citra Sebagian dari Pemasaran Politik………..

G. METODE PENELITIAN……….

G.1. Tipe Penelitian……….. G.2. Dasar Penelitian……… G.3. Ruang Lingkup dan Fokus Penelitian………... G.4. Unit Analisis Penelitian……… G.5. Sumber dan Cara Memperoleh Data……… G.6. Teknik Analisa Data……….

28 BAB II GAMBARAN OBJEK PENELITIAN

A. JATI DIRI PARTAI GERINDRA………... B. VISI DAN MISI PARTAI GERINDRA………..

C. TUJUAN PARTAI GERINDRA……….

D. FUNGSI PARTAI GERINDRA………..

E. TUGAS PARTAI GERINDRA………

F. STRUKTUR KEPENGURUSAN PARTAI GERINDRA………..

G. MAKNA LAMBANG PARTAI GERINDRA……….

H. POKOK PERJUANGAN PARTAI GERINDRA DI BIDANG POLITIK……….. I. POKOK PERJUANGAN PARTAI GERINDRA DI BIDANG

PERTANIAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN……….. J. IKLAN PARTAI GERINDRA VERSI GARUDA………..

45

A. DISCOURSE DALAM IKLAN GERINDRA VERSI GARUDA.. A.1. Diskursus Ketokohan Prabowo dalam Iklan………

(12)

 

B. DISKURSUS “KEBENARAN” POLITIK GERINDRA………… B.1. Membongkar Tanda-Tanda Waktu Masa Lalu……… B.2. Membongkar Tanda-Tanda Waktu Masa Kini……… B.3. Membongkar Tanda-Tanda Waktu Masa Depan……….

73 76 84 95 BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN………

B. SARAN………

B.1. Saran Akademis……… B.2. Saran Praktis……….

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 :Contoh media tanda panah tipe flowchart………... 43

Tabel 2.1 :Struktur Kepengurusan Partai Gerindra 2008-2013……… 50

Tabel 2.2 :Daftar Judul Iklan Partai Gerindra……….. 58

Tabel 3.1 :Pemetaan Tokoh Prabowo……….. 69

Tabel 3.2 :Pemetaan Praktik-praktik Sosial Pada Iklan Gerindra Versi Garuda……… 74

Tabel 3.3 :Pemetaan Kondisi Kesejahteraan Perkotaan dan Pedesaan………. 89

(14)

 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 :Lambang Partai Gerindra……… 52

Gambar 3.1 :Iklan Gerindra Scene 1……… 69

Gambar 3.2 :Iklan Gerindra Scene 9……… 77

Gambar 3.3 :Iklan Gerindra Scene 12………..………… 81

Gambar 3.4 :Iklan Gerindra Scene 4……… 83

Gambar 3.5 :Iklan Gerindra Scene 15..……… 84

Gambar 3.6 :Iklan Gerindra Scene 17……….. 87

Gambar 3.7 :Iklan Gerindra Scene 19……….. 87

Gambar 3.8 :Iklan Gerindra Scene 20……….. 89

Gambar 3.9 :Iklan Gerindra Scene 21.………. 89

Gambar 3.10 :Iklan Gerindra Scene 24………. 95

Gambar 3.11 :Iklan Gerindra Scene 25………. 95

Gambar 3.12 :Iklan Gerindra Scene 26………. 98

Gambar 3.13 :Iklan Gerindra Scene 27………. 98

Gambar 3.14 :Iklan Gerindra Scene 28………. 102

Gambar 3.15 :Iklan Gerindra Scene 29………. 102

(15)

DAFTAR BAGAN

(16)

 

DAFTAR PUSTAKA

Literatur Buku:

Akhmad Danial, 2009. Iklan Politik TV, Yogyakarta:LKIS

Alex Sobur, 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya , 2006. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Rosda

Asep Saifullah, 2008. Komunikasi Politik Indonesia, Bandung: Rosda

Dan Nimmo, 1989 .Komunikasi Politik Komunikator, Pesan, Media. Bandung:Remaja Karya

, 1993. Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek. Bandung: Rosda John Fiske, 2006. Cultural and Communication Studies. Yogyakrta: Jalasutra Judith Williamson, 2007. Decoding Advertisements. Yogyakarta: Jalasutra

Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma

Leeweun, T.2005. Introducing Social Semiotics. New York: Rouledge. Lexy J. Moleong, 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda

Mon Lee dan Carla Johnson, 2007. Prinsip-Prinsip Periklanan Dalam Perspektif Global. Jakarta: Kencana

Muhammad Al Fayyadl, 2005, Derrida, Yogyakarta:LKIS

Pawito, 2009. Komunikasi Politik Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra

ST. Sunardi, 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal

Tim Riset Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK), 2007. Negara Kesejahteraan dan Globalisasi. Jakarta: Universitas Paramadina

Tommy Christomy, Untung Yuwono, 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia

Roland Barthes, 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Yogyakarta: Jalasutra

(17)

Yasraf Amir Piliang, 2006. Dunia yang Dilipat Tamasya melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra

, 2003. Hipersemiotika: Tafsir Culture Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra

 

Literatur Artikel Koran dan Internet:

Analisis Efektivitas Iklan, 2005. Available from url:

http://digilib.unsri.ac.id/download/Jurnal%20MM%20Vol%203%20No%206%20Artikel% 203%20YudiFarlola [viewed: 23 Juni 2010] 

Belanja Iklan Gerindra Rp 46,7 miliar Available from url:

http://www.mediaindonesia.com/webtorial/20090511_electiononline/?ar_id=MjM 3OQ== [viewed: 10 Juli 2010]

Iklan Demokrat & Gerindra Paling Disukai. Available from url:

http://politik.vivanews.com/news/read/42344-iklandemokratgerindrapalingdisukai

[viewed: 10 Juli 2010]

Koran Kompas. Kemiskinan Kian Merisaukan. Edisi 12 Juli 2010.halaman 1, yang bersumber dari Badan Pusat Statistik

Manifesto Perjuangan Partai Gerindra. Available from url:

<moharifwidarto.googlepages.com/ManifestoPerjuanganPartaiGERINDRA.pdf>

[viewed: 10 Juli 2010]

Profil Partai Gerindra. Available from url:

< http://suarapartai.com/2010/06/profil-gerindra/> [viewed: 10 Juli 2010]

Video Iklan Partai Gerindra Versi Garuda. Available from url:

www.youtube.come/ watch?v=GL4DfMVNps&feature=related,,

(18)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak tumbangnya kekuasaan orde baru pada 21 Mei 1998, hampir semua komponen bangsa memberikan perhatian yang serius pada perbaikan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap wacana politik nasional pun hampir identik dengan tema demokratisasi. Alasannya cukup sederhana, karena proses politik selama kurang lebih tiga puluh dua tahun hampir tidak melihatkan suasana demokratis. Kekuasaan yang dinilai cenderung otoriter telah memenjara masyarakat pada politik yang seba terbatas. Istilah politik seolah-olah hanya bisa dibaca dalam kamus kekuasaan, dan tidak pada lembaran kehidupan masyarakat pada umumnya. Tidak ada aktivitas politik dalam kehidupan masyarakat kecuali hanya ikut terlibat sesaat sebagai pemilih “pasif” pada pesta Pemilihan Umum untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk pada kelembagaan legislatif.1

Sejalan dengan sikap politik yang pragmatis tersebut, politik Indonesia sampai saat ini masih dihadapkan dengan tantangan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Indonesia yang identik sebagai negeri elok yang kaya akan sumber daya alam, tapi tidak ada kejelasan kemana arah pembangunannya. Tanah subur dengan lembah-lembah yang kaya, hamparan sawah yang luas, perut bumi mengandung air mineral yang melimpah, lautan yang menyimpan jutaan spesies ikan di dalamnya, belum mampu menjadi roda perekonomian untuk mengantarkan kepada perubahan masyarakat yang sejahtera. Berdasarkan data Kompas yang       

1

Asep Saifullah, Komunikasi Politik Indonesia, Bandung: Rosda, 2008, hlm 1.

(19)

menyajikan data penduduk miskin di Indonesia per Maret 2009 menunjukkan bahwa penduduk miskin di Indonesia jumlahnya mencapai 32,53 juta orang dengan rincian perbandingan 11,91 juta orang berasal dari perkotaan dan 20,62 juta orang dari pedesaan.2 Ini membuktikan pengelolaan sumber daya alam belum sepenuhnya optimal dinikmati masyarakat.

Masa depan politik seharusnya berani memberikan ruang terbuka bagi masyarakat untuk memiliki dan mengolah sumber daya alamnya. Sehingga ironi negeri yang kaya akan sumber daya alam, namun tidak mampu menyejahterakan kehidupan rakyat dapat terbantahkan. Dengan demikian, dalam konteks hubungan Negara dan rakyat, proses pengelolaan sumber daya alam yang ada membutuhkan political will pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab pembangunan melalui proses komunikasi politik yang jujur di antara komponen-komponen sosial.

Asep Saefullah menyatakan bahwa, komunikasi politik akan menyalurkan energi-energi kehidupan politik secara timbal balik, baik dari pemerintah kepada masyarakat maupun sebaliknya.3 Komunikasi politik dan demokrasi merupakan dua hal yang memang tidak dapat dipisahkan, karena komunikasi politik memiliki dua fungsi sebagai alat dalam proses demokrasi dan juga komunikasi politik menjadi identitas demokrasi dari berlakunya sistem politik yang dianut Indonesia saat ini.

Mewujudkan cita-cita Indonesia yang sejahtera dengan kehidupan yang adil dan makmur melalui sistem politik demokrasi yang berlangsung, membutuhkan media dalam aktivitas komunikasi politiknya. Dan dalam

      

2

Data diambil dari Koran Kompas tanggal 12 Juli 2010 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik

3

(20)

 

perkembangan konteks politik modern, media massa tidak hanya menjadi bagian integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik. Media massa dapat menjadi transformasi kebijakan, control social-politik, tuntutan masyarakat dan upaya membangun opini public. Lebih-lebih, dewasa ini, media massa bahkan melakukan “kolaborasi” politik melalui iklan kampanye politik untuk membuka jalan baru bagi tokoh atau partai politik dalam meraih keputusan-keputusan masyarakat pada saat pemilihan umum (pemilu).

Menurut Dye dan Zeigler, dalam Pawito menjelaskan bahwa, “mengidentifikasi fungsi politis media massa ada hal lima pokok yang dapat dicermati, yaitu: fungsi pemberitaan, interpretasi, sosialisasi, persuasi, dan fungsi pengagendaan isu.”4 Memiliki lima fungsi tersebut, media massa memiliki peran signifikan dalam merepresentasikan figur partai politik yang memiliki kredibilitas bagi masyarakat. Atas permintaan partai politik misalnya, media massa menayangkan iklan kampanye untuk mencari atau meningkatkan dukungan. Persuasi disampaikan lebih dilatar belakangi oleh kepentingan pihak pembuat iklan. Gagasan, informasi, dan image yang disampaikan melalui media massa dalam konteks persuasi khususnya dalam aktivitas kampanye dimaksudkan untuk meningkatkan popularitas dan dukungan publik terhadap partai atau kandidat tertentu.

Iklan kampanye politik sebagai bentukan budaya kontemporer tersebut, pada dasarnya lahir dari liberalisasi politik dan liberalisasi ekonomi yang berkembang di Indonesia. Lahirnya liberalisasi politik dan liberalisasi ekonomi dapat berimbas terhadap model kampaye partai politik dalam momen pesta       

4

(21)

demokrasi atau Pemilu (pemilihan umum). Model kampanye yang menumpukan pengemasan imagery dalam media iklan, daripada kekuatan mesin politik lama yang masih bergantung kepada koalisi partai. Pada perkembangannya, demokrasi di tanah air, menurut Deddy N. Hidayat sebagaimana dikutip Akhmad Danial bahwa, gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia dan sejumlah negara lain telah menciptakan pasar bagi para electioneer atau konsultan kampanye profesional dari Amerika untuk melakukan ekspansi global dan mengekspor jasa konsultasi strategi, taktik, dan teknik pemenangan Pemilu.5

Realita penerapan model komunikasi persuasi seperti itulah yang terjadi di Indonesia dalam pemilihan umum 2009. Gerindra yang notabene sebagai partai kecil yang baru pertama kali ikut dalam pesta demokrasi pemilihan umum (pemilu) 2009, mampu menorehkan prestasi menakjubkan dengan capaian jumlah suara pemilih 4.646.406 atau 4,46 % dari jumlah seluruh pemilih. Jumlah yang mampu mengangkat partai Gerindra berada dalam jajaran peringkat delapan terbaik dan sebagai partai baru yang mendulang angka pemilih terbanyak dibandingkan partai-partai baru lainnya yang kemudian juga mengantarkan Gerindra sebagai partai yang lolos electoral trasehold pada pemilihan umum 2009.

Iklan kampanye politik partai Gerindra versi “garuda” merupakan sarana persuasi yang mampu menjangkau banyak pemilih, dengan waktu yang sangat cepat. Hal yang hampir -untuk tidak mengatakan pasti— mustahil untuk mendapatkan jumlah suara sebanyak itu, dipandang dari sisi waktu yang sempit bagi tim sukses kampanye partai Gerindra untuk mendatangi target pemilih       

5

(22)

 

mereka secara langsung atau “door to door”. Penggunaan transmitter media massa televisi adalah cara yang sangat memungkinkan untuk mengenalkan partai Gerindra dengan target pemilih melalui iklan kampanye politik. Tayangan iklan dengan kombinasi tanda-tanda di setiap tampilannya sangat identik, sehingga mempersepsikan partai Gerindra mudah diingat oleh masyarakat pemilih. Setidaknya, sampai tingkat tertentu, publik menjadikan informasi yang diperoleh dari media massa melalui iklan versi “garuda”, sebagai rujukan pemahaman untuk mencitrakan partai Gerindra sebagai partai yang kredibel bagi rakyat Indonesia. Informasi media kemudian membentuk persepsi, pendapat, sikap dan akhirnya tindakan publik untuk memilih Gerindra pada pemilu legislatif 2009.

Hal ini tidak lain adalah suatu bentuk kerja pengolahan dunia tanda untuk menghasilkan citra yang, menurut Yasraf Amir Piliang menunjukkan bahwa, kebudayaan kontemporer dibentuk oleh hutan rimba-rimba tanda dan citraan yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi, apakah itu citraan film, iklan, televisi, internet, atau produk konsumer.6

Lebih dalam lagi kita mengamati, dalam setiap iklan terdapat tanda-tanda yang melampui (beyond) realitas kehidupan sesungguhnya. Pada konteks ini, sebuah iklan, disamping bisa “menghadirkan” realitas, lebih jauh juga mengandung unsur dusta didalamnya. Menjadi sebuah keniscayaan jika kemudian iklan Gerindra versi Garuda mengandung tanda-tanda dusta tersebut.

Muhammad Al-Fayyadl menyatakan bahwa, sebuah teks selalu memiliki wajah ganda. Ketika kita berpikir mengenai sebuah makna dan menarik kesimpulan dari makna tersebut, sering kali di saat itulah teks menorehkan makna       

6

(23)

lain yang berbeda dari makna yang telah kita ambil. Makna itu sering kali tidak terpikirkan karena mungkin merupakan sekunder yang tidak dikehendaki oleh pengarang. Akan tetapi, keberadaan makna itu sudah membuktikan bahwa pemahaman kita terhadap sebuah teks tidak pernah tunggal dan menyimpan potensi penafsiran baru yang kerap kali tidak terduga. Penampakan sebuah teks tidak sedatar penampang permukaannya. Pengertian-pengertian teks juga tidak sebatas pada pemaknaan denotatif yang ingin menangkap makna tersurat, tapi juga pemaknaan konotatif yang tak tersurat, atau logika yang dengan sengaja disembunyikan di balik teks.7

Menonton iklan Gerindra versi Garuda melalui transmiter televisi, sebenarnya kita sedang melihat upaya keras tim sukses partai gerindra merelasikan iklan politiknya sebagai sebuah realitas kedua. Bangunan realitas kedua tersebut ditopang dengan aspek-aspek komunikasi audio visual, relasi-relasi sosial, dan kultural yang berperan membangun pencitraan partai gerindra.

Tim sukses gerindra mengemas pencitraan partainya, lewat citraan audio visual dengan menekankan pesan verbal yang bertemakan pengelolaan sumber daya alam yang berbasis kerakyatan, kesejahteraan, patriotisme, pendidikan dan masa depan yang cerah bagi rakyat Indonesia. Semuanya itu, sebatas janji politik yang terlihat indah dan menetramkan hati calon pemilih, tetapi realitasnya sulit untuk direalisasikan di kehidupan nyata.

Secara teoritis, proses pencitraan iklan Gerindra versi Garuda mengajak para pemilih untuk untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan politik ideal. Tapi harapan tersebut bisa saja tidak terwujud, karena yang kita       

7

(24)

 

saksikan iring-iringan kematian iklan politik. Kematian iklan gerindra versi Garuda ditandai dengan larutnya partai ini kedalam perlombaan audio visual dalam upaya tebar pesona demi menarik simpati massa belaka. Untuk itu partai berlambang kepala garuda ini memanfaatkan kedahsyatan media iklan guna mengakomodasikan pencitraan dirinya karena meyakini kedahsyatan mitos media iklan.

Dengan deskripsi diatas, maka peneliti beranggapan bahwa membongkar makna iklan politik dalam media massa merupakan suatu fenomena yang sangat menarik untuk diteliti. Karena hingga hari ini, banyak kalangan yang lebih mengedepankan pokok kajian mengenai pengaruh iklan politik daripada membongkar subtansi atau makna pesan yang terbingkai dalam janji politik iklan. Dengan demikian, tidak cukup menjelaskan makna atas tanda semata, akan tetapi, perlu adanya pembahasan dan analisis secara mendalam mengenai bagaimana memahami tanda-tanda iklan politik melalui politik seperti iklan Gerindra versi Garuda itu secara lebih kritis. Sebab, publik sebagai pemilih yang memiliki pemahaman terahadap iklan-iklan kampanye politik yang selalu muncul dalam momen mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) seringkali berseberangan secara diametral dengan kenyataan setelah proses politik/kebijakan itu dijalankan. Karena sejatinya, jika dilihat dari perspektif sistem tanda, teks iklan, kemungkinan menyembunyikan petanda sebenarnya. Dan, semiotika sebagai ilmu tanda merupakan pendekatan sekaligus teori yang tepat dalam menganalisis permasalahan penelitian.

(25)

banyak berkiprah dalam kancah politik dalam negeri namun, tergolong dalam delapan partai yang lolos electoral treshold. Gerindra menjadi partai rising star pada Pemilu 2009, karena partai Gerindra mampu meraih jumlah suara pemilih yang cukup signifikan, yakni 4.646.406 suara atau 4,46 % dari jumlah seluruh pemilih. Angka jumlah pemilih yang tinggi tersebut, juga ditunjang dengan anggaran strategi kampanye iklan politik yang sangat tinggi. Bahkan berdasarkan penelitian AC Nielsen selama periode 1 Oktober 2008 sampai dengan 2 Februari 2009, menempatkan Gerindra sebagai urutan pertama dalam belanja iklan politik. Adapun menurut AC Nielsen, daftar empat partai dengan belanja iklan paling mahal diantaranya, Partai Gerindra menggelontorkan dana iklan sejumlah Rp 46,7 miliar, partai Demokrat menghabiskan dana sejumlah Rp 36,1 miliar, partai Golkar menghabiskan uang sejumlah 18,873 miliar, dan Partai Keadilan Sejahtera dengan jumlah Rp 4,8 miliar.8

Berdasarkan data-data diatas, dapat digambarkan bahwa Partai Gerindra, yang peneliti angkat sebagai objek penelitian ini merupakan partai baru yang “berani” sebagai kompetitor pemilu 2009. Berikutnya muncul pertanyaan, bagaimana memahami realitas yang dikonstruksi Gerindra kedalam iklan sebagai sebuah “kebenaran”? dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka peneliti mengangkat judul Membongkar Tanda-tanda Pada Iklan Politik Partai Gerindra (Studi Semiotik Pada Iklan Gerindra Versi Garuda).

       8

(26)

 

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana memahami “kebenaran” politik iklan partai Gerinda versi Garuda, dalam konteks discourse ?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Melacak dan membongkar tanda-tanda penokohan Prabowo dalam iklan Gerindra versi Garuda pada momen Pemilu 2009.

2. Memahami tanda-tanda iklan Gerindra versi Garuda sebagai sebuah diskursus “kebenaran” politik partai Gerindra.

D. KEGUNAAN PENELITIAN 1. Kegunaan Akademis

a) Menambah kajian kritis terhadap wacana komunikasi politik modern melalui media televisi, khususnya mengenai bagaimana media massa merekonstruksi realitas iklan kampanye politik.

b) Memberikan pengetahuan tentang bagaimana mendekonstruksi janji-janji politik yang manipulatif yang terbungkus dalam dunia iklan.

2. Kegunaan Metodologis

(27)

3. Kegunaan Praktis

a) Memberikan pengetahuan kepada pembaca (khalayak) mengenai makna dibalik simbol-simbol iklan politik dalam media media massa, khususnya iklan televisi.

b) Menjadi kajian yang perlu ditinjau ulang bagi konsultan iklan politik, agar senantiasa mengacu pada isu dan program partai yang bersangkutan, dalam memproduksi iklan yang berkualitas.

E. DEFINISI KONSEPTUAL

Definisi tanda (sign) menurut Eco9, di definisikan sebagai sesuatu yang dasar konvensi sosial—yang terbangun sebelumnya—yang dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Ferdinand de Saussure dalam Alex Sobur10 (2006:46), mengartikan tanda menjadi dua bagian, yakni tanda yang dihasilkan oleh aspek material (signifier), dan aspek mental yang ditunjuukan oleh aspek material (signified).

Sedangkan pengertian periklanan secara komperhensif menurut Mon Lee dan Carla Johnson11, adalah komunikasi komersil dan nonpersonal tentang sebuah organisasi dan produk-produknya yang ditransmisikan ke suatu khalayak target melaui media bersifat massal seperti televisi, radio, koran, majalah, direct mail (pengeposan langsung), reklame ruang, atau kendaraan umum. Sedangakan       

9 

Alex Sobur, 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.hlm 95. 

10 

Alex Sobur, 2006. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Rosda, hlm 46.  

11

(28)

 

penegertian iklan menurut Yudi Farlola12, adalah suatu bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara non personal yang dibayar oleh sponsor tertentu. Dari definisi mengenai iklan tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa iklan memiliki:

a) Daya jangkau khalayak yang luas

b) Bersifat komersil dan inisiator non personal c) Berada dalam kajian media massa

Dengan demikian, iklan dalam penelitian ini—sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang penelitian—dipandang sebagai sesuatu yang persuasif, yaitu berkenaan dengan menarik khalayak untuk memiliki frame yang di harapkan oleh pesan iklan.

Kemudian yang dimaksud komunikasi politik tidak hanya dengan menggabungkan dua definisi, komunikasi dan politik saja. Komunikasi politik memiliki konsep tersendiri, meskipun secara sederhana merupakan gabungan dari dua konsep istilah tersebut. Menurut Rush dan Althof dalam Asep Saifullah, menjelaskan, bahwa komunikasi politik—transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dengan sistem politik; dan proses sosialisasi, partisipasi, serta rekrutmen politik bergantung pada komunikasi.13

Dari proses tersebut diatas, bisa di jelaskan yang dimaksud sosialisasi politik adalah proses yang membuat individu dapat mengenali sistem politik yang       

12 

Analisis efektivitas iklan, 2005. Available from url: 

http://digilib.unsri.ac.id/download/Jurnal%20MM%20Vol%203%20No%206%20Artikel%203%20Y udiFarlola [viewed: 23 Juni 2010]  

13 

(29)

berlaku pada negaranya. Sedangkan partisipasi politik adalah keterilbatan individu dalam sistem politik, dan rekrutmen politik adalah proses yang mana individu menjamin atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu posisi politik tertentu. Dengan demikian, maka komunikasi politik dengan iklan sebagai salurannya akan mentransformasikan pesan kepada khalayak. Kedudukan iklan sebagai teks yang mengandung permainan tanda-tanda inilah, kemudian menarik perhatian peneliti untuk menelitinya lebih dalam.

F. TINJAUAN PUSTAKA F.1 Konsepsi Komunikasi Politik

Rush dan Althof menganalisa komunikasi politik memainkan peranan yang sangat penting di dalam suatu sistem politik. Sebab sistem politik sendiri tidak dapat beroperasi dengan baik tanpa adanya dukungan massa, yang sikap dan perilaku politiknya digerakkan oleh kekuatan-kekuatan pesan yang tersosialisasi melakukan kegiatan komunikasi politik. Sehingga aktivitas komunikasi politik juga dapat mempengaruhi kualitas interaksi antara masyarakat dan penguasa. Komunikasi politik merupakan elemen yang dinamis, dan menjadi bagian yang menentukan dari proses-proses komunikasi politik itu sendiri (sosialisasi, partisipasi, rekrutmen politik).

Sejalan dengan Rush dan Althof, komunikasi politik menurut McQuail dalam Pawito (2009:2) bahwa “cesses of information (including facts, opinions, beliefs, etc) transmision, exchange and search engaged in by participants in the

(30)

 

seterusnya, pertukaran dan pencarian tentang itu semua yang dilakukan oleh para partisipan dalam konteks kegiatan politik yang lebih bersifat melembaga). Benang merah dari pengertian tersebut mengandung hal, tentang komunikasi politik menandai keberadaan aktualisasi lembaga-lembaga politik, komunikasi politik merupakan fungsi dari sistem politik, dan komunikasi politik berlangsung dalam suatu sistem politik.14

Dalam pengertian diatas, juga menggambarkan jika komunikasi politik dan sistem politik merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Komunikasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari, dan dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku pada suatu negara. Semisal, UU penyiaran oleh pers disuatu negara, mengikuti sistem politik yang berlaku pada negara tersebut. Pada saat yang sama, komunikasi politik juga dapat memelihara dan mewariskan sistem politik. Misalnya, aksi-aksi protes dari masyarakat luas yang kemudian memperoleh dukungan dari media massa, yang berperan sebagai “kaca pembesar” atas protes tersebut, sehingga memaksa pemerintah menggagalkan suatu kebijakan atau bahkan mengakibatkan perubahan politik yang besar termasuk tumbangnya suatu rezim.

Dalam setiap realitas kehidupan politik pasti terjadi komunikasi politik. Komunikasi ini tidak hanya tampil dalam bentuk aksi-aksi protes menuntut hak yang terampas ataupun menyuarakan aspirasi. Komunikasi politik juga memiliki bentuk melalui media massa, yang pada situasi normal melakukan liputan terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dan kemudian menginformasikan kepada publik dengan frame-frame tertentu. Masyarakat maupun kalangan elit politik       

14

(31)

seperti pemerintah, memperoleh informasi dari media massa mengenai perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat, peristiwa-peristiwa, atau isu-isu penting, setidaknya sampai tingkat tertentu. Kemudian dari sini muncullah berbagai pendapat, penilaian, persepsi, dan sikap mengenai peristiwa, sehingga dapat terjadi umpan balik (feed back).

Komunikasi politik merupakan salah satu bentuk dari banyak bentuk komunikasi, baik dari sisi jumlah pelakunya yang relatif sederhana, seperti halnya komunikasi antar personal, maupun juga bisa yang lebih kompleks, seperti komunikasi yang dilakukan sesuatu lembaga (institusional communication). Sama dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi politik juga memiliki unsur-unsur yang berperan penting untuk menyampaikan tujuan politik tertentu. Menurut Asep Saifullah, Ada beberapa unsur penting yang terlibat dalam proses komunikasi politik:

1. Komunikator dalam komunikasi politik (production message). 2. Khalayak komunikasi politik (attribution of meaning).

3. Saluran-saluran komunikasi politik (signal transmission).15

Sejalan dengan Asep Saifullah, sebelumnya Dan Nimmo melalui bukunya yang berjudul “Komunikasi Politik Komunikator, Pesan, dan Media” (1989) juga mengkaji tentang komunikasi politik yang kemudian membaginya kedalam beberapa perspektif, yaitu yang pertama, komunikator politik, yakni bagaimana mengidentifikasi mereka dan apa peran yang mereka mainkan. Selanjutnya yang kedua, Nimmo membawa fokus kajian politik kepada pesan-pesan politik, yaitu

      

15

(32)

 

pada permainan bahasa untuk kepentingan politik. Ketiga, Nimmo membahas media politik, baik yang bersifat interpersonal, organisasional, maupun massa.

Kedua penggiat ilmu komunikasi politik tersebut masih melihat komunikasi politik dalam bentuk yang paling sederhana. Maka berikutnya, Pawito berpandangan bahwa terdapat unsur-unsur yang lebih detail dalam menunjang terjadinya proses komunikasi komunikasi politik. Pawito melengkapi unsur-unsur komunikasi politik, yang terdiri dari lima unsur yaitu: pelibat (aktor atau partisipan), pesan, saluran, situasi atau kontekspengaruh atau efek.16 Bagi Pawito, saluran menjadi komponen penting bagi kompetitor komunikasi politik modern yang memilih media massa dalam menjaring khalayak secara luas.

Dalam sub bab ini kita akan membahas lebih, mengenai unsur-unsur yang menjadi komponen penting dalam proses komunikasi politik, baik itu komunikator, pesan, khalayak, saluran-saluran atau media komunikasi politik. Unsur-unsur inilah yang akan membangun proses komunikasi politik dalam kehidupan sistem sosial. Sehingga, efektivitas hubungan antara komunikator dengan komunikan dapat ditentukan oleh unsur-unsur komunikasi politiknya.

Pertama, Komunikator, dalam komunikasi politik, yaitu pihak yang memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak komunikasi.17 Secara umum, komunikator juga dibedakan berdasarkan individu, lembaga, dan kelompok. Apabila sumber komunikasi itu seorang calon presiden, yang sedang berpidato dalam panggung politik atau seorang rakyat biasa yang sedang menulis surat pembaca dalam surat kabar, maka calon presiden dan rakyat tersebut tergolong

      

16

(33)

sebagai sebagai komunikator individual. Dan apabila yang menjadi komunikator adalah seorang juru bicara yang mewakili pemerintah atau organisasi masyarakat, maka dia dapat dipandang sebagai komunikator kelompok.

Kita dapat bayangkan siapa pun sebenarnya dapat menjadi komunikator politik, baik itu organisasi masyarakat, rakyat, dan pemerintah. Namun, yang membedakannya adalah sifat-sifat dari si komunikatornya itu sendiri. Menurut Doob dalam Dan Nimmo (1989), memahami sifat komunikator politik dapat dipahami beberapa diantaranya saja. Komunikator politik harus diidentifikasi, dan kedudukan mereka di dalam masyarakat harus di tetapkan.18

Dalam Pandangan yang lainnya Dan Nimmo juga menjelaskan, bahwa komunikator politik ini memainkan peran-peran sosial yang utama, terutama dalam proses pembentukan opini publik.19 Juru bicara partai-partai politik atau ribuan rakyat yang berorasi adalah pihak-pihak yang menciptakan opini publik, karena mereka berhasil membuat sejumlah gagasan yang mula-mula ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima.

Unsur yang Kedua, yaitu pesan. Aktivitas komunikasi dapat dikatakan sebagai komunikasi politik, apabila pesan yang saling dipertukarkan diantara partisipan (komunikator—komunikan), setidaknya sampai tingkat tertentu, memiliki signifikansi dengan politik. Karakter dari pesan komunikasi politik senantiasa memiliki keterkaitan dengan wilayah kajian politik. Kata “politik”       

18

 Dan Nimmo sendiri mengidentifikasi tiga sifat komunikator, yakni: 1. politikus yang bertindak sebagai komunikator politik (orang yang bercita-cita untuk memegang jabatan pemerintah. 2. Komunikator profesional dalam politik (biasanya diperankan oleh media massa). 3. Aktivis sebagai komunikator politik (pihak yang semi profesional tapi juga berkecimpung sebagai politikus). Lihat, Dan Nimmo.1989.Komunikasi Politik Komunikator, Pesan, Media. Bandung:Remaja Karya

19 Ibid.,

(34)

 

dalam hal ini memiliki makna luas, yakni menyangkut segala kepentingan penjatahan sumber daya publik. Oleh karena itu, diantara pentingnya komunikasi politik adalah mendefinisikan posisi keseimbangan—atau lebih tepatnya keadilan secara dialogis, melalui pertukaran pesan-pesan secara interaktif antara pemerintah dengan masyarakat dan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.20

Ketiga, saluran-saluran komunikasi politik atau media komunikasi politik. Secara sederhana pengertian saluran komunikasi menurut Dan Nimmo, adalah alat serta sarana yang memudahkan penyampaian pesan.21 Sedangkan lebih lengkap dan analogis Pawito menggambarkan, bahwa saluran komunikasi politik ibaratkan seperti jaringan pembuluh yang harus dipilih oleh serang dokter ketika hendak memasukkan obat atau vaksin ke dalam sistem tubuh seorang pasien. Dalam komunikasi politik kebijakan-kebijakan disebarluaskan kepada publik, tuntutan-tuntan dan aspirasi-aspirasi dirumuskan, kemudian disampaikan, serta pendapat atau sikap-sikap di bentuk dan disuarakan.22

Dalam unsur-unsur komunikasi politik, kedudukan saluran-saluran komunikasi politik dapat berfungsi ganda. Misalnya, organisasi atau institusi, selain berperan sebagai komunikator politik yang sudah di jelaskan sebelumnya, namun dalam posisi kondisi tertentu juga bisa berperan sebagai saluran komunikasi politik. Lembaga pemerintahan yang disatu sisi, berperan sebagai penyampai pesan-pesan, dan di sisi lain, ia juga bisa berperan sebagai saluran

       20 

Pawito, Op. cit.,hlm 9.  21

 Nimmo, Op. cit., hlm 183.

22 

(35)

komunikasi bagi lewatnya informasi yang berasal dari masyarakat. begitu pula dengan oragnisasi masyarakat, partai politik, media massa, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya.

Saluran komunikasi politik juga bisa digunakan dalam momen pemilihan umum. Menurut Fagen dalam Pawito, pada saat proses pemilihan umum, saluran komunikasi politik khusus untuk agregasi dan artikulasi kepentingan sangat berperan penting bagi terbentuknya persepsi untuk menarik suara pemilih.23 Saluran ini bersifat khusus karena di bentuk dan digunakan untuk kepentingan-kepentingan khusus, dan memiliki sifat tidak permanen. Masyarakat dapat mencabut atau menyatakan dukungannya terhadap partai atau elit politik tertentu.

Saluran komunikasi yang juga tidak kalah pentingnya, dalam proses penyampaian pesan-pesan politik saat ini adalah media massa. Secara historis, penelitian media massa dalam perilaku politik, telah cukup memperlihatkan besarnya peran media massa dalam kegiatan komunikasi politik khususnya di Amerika. Mengikuti Dan Nimmo, perkembangan yang terjadi, semakin meluasnya minat rakyat terhadap peran yang dimainkan oleh saluran-saluran komunikasi massa dalam politik. Reputasi politikus seperti Ronald Reagan dan Jimmy Carter di lambungkan figurnya melalui lambing-lambang yang beredar dalam komunikasi massa.24

Media massa meruapkan saluran komunikasi politik yang sangat berperan, karena bisa menjangkau khalayak secara luas. Hampir tidak ada peristiwa yang luput dari liputan media massa. Media massa hadir pada setiap peristiwa penting,

       23 Ibid.,

hlm 11.

24 

(36)

 

mengamati, mencatat dan merekam, kemudian melaporkannya kepada publik dengan frame atau sudut pandang tertentu. Dari sinilah, pengetahuan khalayak atau publik mengenai berbagai macam persoalan politik tumbuh dan meningkat.

Dan yang keempat dan terakhir adalah khalayak atau disebut juga komunikan politik, yaitu peran penerima pesan politik yang sebetulnya hanya bersifat sementara. Sebab, sesuai dengan konsep umum komunikasi, ketika penerima itu memberikan feedback dalam komunikasi politik, atau ketika ia meneruskan pesan-pesan politik itu kepada khalayak yang lain, dalam kesempatan komunikasi yang berbeda, pada saat inilah peran khalayak berubah menjadi sebagai komunikator.25

Untuk lebih dalam mengetahui tentang khalayak, penting untuk mengambil karakteristik khalayak komunikasi politik yang di jelaskan Dan Nimmo26, dengan membedakan menjadi publik atentif, publik berpikiram isu, dan publikideologis. Publik atentif, adalah seluruh warga negara yang dibedakan berdasarkan tingkatnya yang tinggi dalam keterlibatan politik, informasi, perhatian, dan berpikiran kewarganegaraan. Biasanya publik ini berperan sebagai pemuka pendapat atau publik yang sering diminta pendapat, nasehat, dan bimbingan oleh warga negara yang kurang informasi dan kurang keterlibatannya dalam politik. Publik berpikiran isu, adalah orang-orang yang memiliki perhatian besar kepada politik dan memainkan peran yang aktif tanpa mempedulikan mengenai isu apa pun. Dan yang terakhir, publik ideologis, adalah orang yang memiliki sistem kepercayaan yang relatif tertutup, yang nilai-nilainya adalah suka

       25 

Asep saifullah, Op.cit.,hlm 33. 

26 

(37)

dan tak suka diatur oleh penyampai pesan. lebih dari itu, sistem kepercayaan dan nilai anggota publik ideologis itu konsiste. Artinya, mereka menganut kepercayaan dan atau nilai yang secara logis saling melekat, tidak berkontradiksi terhadap satu sama lain.

F.2 Semiotika Sebagai Analisis Tanda

Banyak pakar biasa menyebut semiotika atau semiologi, untuk menjelaskan tentang ilmu tanda. Padahal, sesungguhnya kedua istilah ini, semiotika dan semiologi mengandung pengertian yang sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya. Bagi mereka yang bergabung dalam pemikiran madzhab Pierce, maka biasa menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan pemikiran madzhab Saussure menggunakan kata semiologi.27 Namun pada perkembangannya saat ini, para ahli sudah tidak mau dipusingkan oleh kedua istilah tersebut, karena mereka menganggap keduanya sama saja.

Semiotika yang diperbincangkan sejak era filsafat Yunani, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, semeion yang artinya tanda.28 Secara terminologis, menurut Eco,29 semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pakar lainnya juga memberikan definisi untuk istilah

       27 

Alex Sobur, 2006. Op., cit. hlm 11. 28 

Yasraf Amir Piliang, 2006. Dunia yang Dilipat Tamasya melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.hlm 313.

29 

(38)

 

semiotika atau semiologi. Dalam definisi Saussure30, semiologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya. Sementara istilah semiotika, yang dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh Charles Sanders Peirce31, mengatakan bahwa yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda. Dan menurut Matterlat dalam Pawito32 (2009) menjelaskan—Peirce mengartikan tanda (sign) itu sendiri sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu bagi seseorang dalam suatu hal atau kapasitas. Sedangkan Roland Barthes33 juga mendefinisikan, semiologi adalah ilmu tentang bentuk-bentuk, yang mana intinya ada dalam pertandaan.

Semiotika baru berkembang sejak awal abad ke-20, meskipun pada awal abad ke-18 dan ke-19 sudah banyak ahli teks (khususnya Jerman) yang berusaha mengurai berbagai masalah yang berkaitan dengan tanda. Untuk dapat memahami semiotika, maka perlu diketahui konsep semiotic menurut beberapa tokoh semiotika terkemuka, yaitu para semiotisan seperti Ferdinand de Saussure (1857-1913) di Swiss dan Charles Sanders Peirce (1834-1914) di Amerika Serikat.

Ferdinand de Saussure merupakan perintis linguistik, konsep-konsepnya digunakan sebagai landasan dalam linguistik modern. Dalam hal ini, Saussure34 melihat bahwa sistem bahasa (langue) merupakan kondisi yang harus ada dalam

      

Roland Barthes, 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Yogyakarta: Jalasutra 34 

Yasraf Amir Piliang, 2003. Hipersemiotika: Tafsir Culture Studies atas Matinya Makna. 

(39)

setiap penggunaan tanda secara konkret (parole). Meskipun setiap pengguna bahasa mengacu pada sistem bahasa tersebut, akan tetapi relasi antara langue dan parole bersifat dinamis, yaitu, dapat berubah apabila diuji secara terus-menerus dalam praktik kehidupan sosial.

Saussure juga melakukan pembedaan atas komponen-komponen tanda, yang kemudian pembedaan tersebut dikenal dengan trikotomis. Jadi, menurut Saussure35, tanda selalu mempunyai tiga wajah, yang terdiri dari tanda itu sendiri (sign), aspek material dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material (signifier), dan aspek mental atau konseptua yang ditunjuk oleh aspek material (signified). Pembedaan ini membuat tanda menjadi aktif. Melakukan analisis tentang tanda, orang harus tahu benar mana aspek material dan mana aspek mental. Ketiga aspek ini merupakan aspek-aspek konstitutif suatu tanda—tanpa salah satu komponen, tidak ada tanda dan kita tidak bisa membicarakannya, bahkan tidak bisa membayangkannya.

Trikotomi Saussure mengenai tanda, penanda, dan petanda tersebut pada akhirnya telah mempengaruhi perkembangan semiotik di Eropa, khususnya Eropa Barat (Prancis). Sedikitnya ada tiga aliran yang diturunkan dari teori tanda Saussurian36. Pertama, semiotika komunikasi, yang menekuni tanda sebagai bagian dari proses komunikasi. Tanda dalam semiotika komunikasi hanya dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotik komunikasi hanya

       35 

ST. Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal, hlm 47‐48. 

36 

Tommy Christomy, Untung Yuwono.2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian 

(40)

 

memperhatikan makna denotasi suatu tanda. Piliang37 mengemukakan bahwa semiotika komunikasi mengkaji tanda atau signal dalam konteks komunikasi yang lebih luas, yaitu melibatkan berbagai elemen komunikasi. Menurut Umberto Eco dalam A. Theory of Semiotics38, semiotika komunikasi adalah semiotika yang menekankan aspek produksi tanda (sign production) daripada sistem tanda (sign system). Berarti di sini melihat bagaimana tanda tersebut bisa tercipta dari hubungan antara penanda dan petanda sebelumnya.

Kedua, semiotika konotasi, yaitu semiotik yang mempelajari makna konotatif dari tanda. Semiotika ini di dasarkan pada persepsi bahwa dalam hubungan antara manusia, seringkali tanda yang diberikan oleh seseorang sering dipahami secara berbeda oleh penerimanya. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes (1985), yang menekuni makna kedua dibalik bentuk tertentu. Bertolak dari trikotomi tanda Saussure, Barthes kemudian mengembangkan konsep mengenai penanda dan petanda sebagai suatu proses dua tahap. Tahap pertama (sistem primer) adalah saat tanda diserap pertama kalinya, sedangkan tahap kedua (sistem sekunder) merupakan proses pengembangan makna (konotasi).

Ketiga, semiotika ekspansif—yang sebenarnya merupakan aliran di dalam semiotika konotasi—dengan Julia Kristeva sebagai tokohnya yang paling terkenal. Dalam semiotik ini, pengertian tanda telah kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian produksi arti. Tujuan semiotik ekspansif adalah mengejar ilmu total dan bermimpi menggantikan filsafat.

       37 

Yasaraf Amir Piliang, Op. cit., hlm 266. 

(41)

Berbeda dengan Saussure yang melihat tanda sebagai konsep diadik (dua bagian yang berebeda tetapi saling berkaitan) dan sebagai sebuah struktur (susunan dua komponen yang berkaitan antara satu dengan lainnya dalam suatu bangun), Peirce39 mengidentifikasi relasi “segitiga” antara tanda (representamen), penggunan dan realitas eksternal sebagai suatu keharusan model untuk mengkaji makna. Relasi segitiga tanda itu disebut dengan istilah semiosis, yang terdiri atas objek (sesuatu yang direpresentasikan), representamen (sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain) dan interpretan (interpretasi seseorang tentang tanda).

Peirce berpandangan, tanda (representamen) sebagai bagian tak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretan). Pandangan Peirce tentang tanda sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pertandaan tersebut. Menurut Piliang40, merupakan landasan bagi semiotika komunikasi. Peirce mengatakan bahwa tanda selalu berada dalam proses perubahan tanpa henti, yang disebut sebagai semiosis tak terbatas (unlimited semiosis), yaitu proses rangkaian interpretan tanpa akhir. Ia membagi tanda, menjadi tiga tipe—ikon, indeks, dan simbol.

Ikon menunjukkan kemiripan dengan objeknya.41 Pawito juga menjelaskan, ikon merupakan tanda yang ditentukan cara pemaknaannya karena, sifat-sifat yang menginternal terhadap objek. Hal-hal seperti kemiripan, kesesuaian, tiruan, dan kesan menjadi kata kunci memberikan makna terhadap

       39 

John Fiske, 2006. Cultural and Communication Studies. Yogyakrta: Jalasutra, hlm 63. 

40 

Piliang, Op. cit., hlm 266. 

41 

(42)

 

tanda yang bersifat ikon. 42 Contoh, gambar peta Jawa, merupakan tiruan dari geografis pulau Jawa. Berikutnya, istilah indeks, yaitu menunjuk pada tanda yang cara pemaknaannya lebih ditentukan oleh objek dinamik (keterkaitan yang nyata dengannya). Misalnya, asap memaknainya sebagai api atau kebakaran. Dan tanda yang terakhir menurut Peirce dinamakan simbol, yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Contohnya, palang merah, angka adalah simbol.

Di Amerika Serikat, pengaruhnya tampak dalam psikologi dan psikoanalisis. Sedangkan di Eropa, pengaruhnya terdapat di italia dan Jerman. Salah satu penerusnya adalah Umberto Eco, semiotisan yang yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komperhensif dan kontemporer. Menurut Little John dalam Kaelan43, teori Eco penting karena mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumya dan membawa semiotika secara lebih mendalam. Di jelaskan pula oleh Little John dalam Kaelan44, karya-karya Umberto Eco merupakan sintesis produktif dari hampir semua mazhab semiotika abad ke-20 yang didukung oleh pengetahuan yang luas berupa warisan kajian-kajian klasik tentang tanda.

Berbeda dengan konsep yang lebih statis dari yang diajukan Ferdinand de Saussure tentang tanda serta pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce yang bersifat taksonomis, Eco memastikan diri untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis

       42 

Pawito. Op. cit., hlm 82. 

43 

Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, hlm 216 

(43)

tanda. Eco45 atau hutan tempat jejak bekas pedati atau jejak kaki mengakibatkan sedikit banyak munculnya modifikasi abadi. Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian kepada modifikasi sistem tanda. Hal demikian menjadi dorongan bagi Eco, untuk mengganti konsep tanda dengan kosep fungsi tanda.

Menurut Lechte dalam Sobur46, perspektif Eco tentang tanda bahwa tanda itu tidak hanya mewakili sesuatu yang lain (dengan demikian hanya memiliki arti seperti yang tercentum dalam kamus), namun juga mesti ditafsirkan. Dalam hal ini Eco memiliki pandangan yang sama dengan Peirce mengenai interpretant, yang menghasilkan semiosis tidak terbatas.

Minat utama yang dimiliki oleh Eco, adalah dalam bahasa sebagai tersusun atas langue (dimana kode = tata bahasa, sintaksis, sistem) dan parole (laku bahasa). Disini kode sesuai dengan struktur bahasa. Kode mengaitkan bidang ungkapan bahasa dengan isinya. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai dengan cara ini. Dengan kata lain, kode-s bahasa itu bahasa itu setara dengan organisasi tertentu pada unsure parole. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apa pun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bersifat denotatif (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara garfiah), atau konotatif (bila tampak kode lain—misalnya kode kesopanan—dalam pernyataan yang sama). Hal ini tidak asing lagi bagi karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang

       45  

Kaelan. Op. cit., hlm 218. 

46 

(44)

 

ditemukan dalam teori Saussure, dan disamping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. Ia melakukan hal ini dengan mengembangkan suatu model yang disebutnya “Model Q”—model kode yang meninjau semiosis tak terbatas.47

Menurut Eco48, pada dasarnya fungsi tanda merupakan interaksi antara berbagai norma: “kode memberikan kondisi untuk hubungan timbale balik fungsi-fungsi tanda secara kompleks. Sedangkan, menurut Lechte dalam Kaelan, Eco sendiri membagi unsur-unsur pokok dalam tipologi cara pembentukan tanda yang terdiri dari:

1. Kerja fisik: upaya yang dilakukan untuk membuat tanda

2. Pengenalan: objek atau peristiwa dilihat sebagai suatu ungkapan kandungan tanda, seprti tanda, gejala, atau bukti.

3. Penampilan: suatu objek atau tindakan menjadi contoh jenis objek atau tindakan.

4. Replika: kecenderungan kea rah ratio difficilis secara prinsip, tetapi mengambil bentuk-bentuk kodifikasi melalui pengayaan. Contohnya adalah notasi music, dan tanda-tanda matematika.

5. Penemuan: kasus yang paling jelas dari ratio difficilis. Sebagai yang tidak terlihat oleh kode; menjadi landasan suatu kontinum materi baru. Saat ini, semiotika, telah berkembang menjadi sebuah model atau paradigma dalam bidang keilmuan yang sangat luas, terlebih lagi menciptakan cabang-cabang semiotika khusus, antara lain: semiotika binatang (zoo semiotic), semiotika kedokteran (medical semiotic), semiotika fashion, semiotika seni,

       47 

Sobur. Op. cit., hlm 78. 

(45)

semiotika film, semiotika sastra, semiotika televisi, termasuk pula semiotika desain.49

Penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini, dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila selururuh praktik sosial dapat dinggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda-tanda.50

F.3 Iklan Sebagai Semiotika Politik

Pada perkembangannya, sampai saat ini iklan menjadi bagian dari politik. Iklan politik menurut Mon Lee dan Carla Johnson51 memiliki definisi tersendiri, yaitu Iklan yang menjalankan sebuah fungsi “informasi politik”; dalam arti iklan juga mengomunikasikan informasi yang sering kali digunakan para politisi untuk membujuk khalayak agar memilih mereka. Iklan jenis ini merupakan sebuah bagian penting dari proses politik negara-negara demokrasi. Namun, tidak semua pihak sepakat mengenai hadirnya iklan politik. Banyak pengkritik yang perihatin, bahwa periklanan politik cenderung lebih berfokus pada citra ketimbang isu-isu yang menjadi persoalan di dalam kehidupan masyarakat.

Iklan politik pada dasarnya tidak beda dengan promosi barang atau jasa. Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada sasaran konsumen tertentu. Memang

       49 

Piliang (2003), Op. cit., hlm 255. 

50 

Piliang (2006). Op. cit., hlm 314. 

51

(46)

 

iklan politik lebih rumit, daripada iklan sabun atau obat nyamuk. Jika berhasil, iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan popularitas calon, meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, meyerang pesaing politik, yang pada dasarnya menjaga citra sang calon. Dan biasanya, makin dekat pemilu, makin banyak iklan politik di koran dan televisi. Para elit politik menggunakan media massa sebagai alat yang paling efektif guna memperlihatkan dirinya kepada khalayak luas. Tentunya, bagi tokoh politik yang bayak uang mampu menggunakan segenap sumber dayanya untuk “jual diri” melaui iklan media massa.

Iklan politik memiliki sebuah fungsi, yakni untuk membangun citra politik dalam konteks kondisi-kondisi yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya. Bahkan lebih jelasnya lagi, iklan politik juga bertujuan menjual makna dan ideologi iklan yang sesungguhnya. Dengan perkataan lain, iklan politik harus menterjemahkan berbagai pernyataan yang menyangkut dari keunggulan-keunggulan dunia benda yang kita sampaikan ke konsumen.

Setiap iklan politik selalu memiliki kepentingan politik dari pelaku atau pembuat iklannya. Mengingat iklan politik mempunyai tanda berbentuk bahasa verbal dan visual yang merujuk bahwa teks iklan politik dan penyajian visualnya menciptakan ikon, terutama berfungsi dalam sistem nonkebahasan untuk mendukung peran kebahasaannya. Dengan demikian, maka iklan politik pada hakikatnya bermain dengan tanda dan simbolisasi dalam bahasa semiotika.

(47)

denotasi (hubungan yang langsung memaknai objek) dan kode konotasi (fakta bahwa signifikasi kedua bersandar pada siginfikasi pertama).52 Misalnya saja, iklan partai politik “A” kita golongkan sebagai objek yang akan di analisis semiotika. Iklan partai politik “A”, menayangkan bahasa verbal dan visual yang menjelaskan bagaimana pendidikan yang murah (kita golongkan sebagai denotasi). Ini menjadi akan menjadi konotasi, apabila pada realitanya, banyak generasi yang putus sekolah dan menjadi gelandangan yang tidak dirawat oleh negara.

Dengan konsep semiotika tersebut, Eco kemudian berpikiran semiotika secara prinsipil merupakan disiplin yang mengkaji dan membongkar segala sesuatu yang digunakan untuk berbohong. Melalui analisis semiotika, menemukan bahwa iklan politik kini tidak secara vulgar bertujuan menjual calon atau partaimya. Iklan justru mencitrakan produknya dengan cara yang sangat persuasif, kreatif dan menarik. Alih-alih akan mewujudkan harapan rakyat, iklan politik dilihat dalam perspektif semiotika ternyata lebih kepada menjual mimpi belaka.

Iklan sebagai aktivitas permainan tanda, yang memiliki makna-makna terpendam, sebenarnya membentuk suatu kesadaran palsu. Tanda-tanda yang ada pada iklan politik menggunakan berbagai metafora, dan diartikulasikan melalui berbagai tanda di dalam iklan politik. Tidak ada iklan politik yang secara vulgar langsung meminta agar khalayak memilih mereka dalam pemilu. Kesemuanya menggunakan strategi persuasif dan bermain-main dengan pemaknaan yang sifatnya konotatif. Artinya, calon atau partai politik sebagai inisiator pembuat

       52 

(48)

 

iklan tidak secara sengaja meminta agar khalayak tunduk terhadap pesan-pesan iklan politik.

Menurut Judith53, jadi, periklanan bukanlah—seperti yang mungkin diandaikan secara dangkal—bahasa tunggal, dalam pengertian bahwa sebuah bahasa memiliki bagian-bagian komponen khusus yang dapat dikenali dan kata-katanya sudah ditentukan sebelumnya. Dari pernyataan tersebut, kita dapat menangkap bahwa setiap iklan memiliki bangunan yang berwujud struktur-struktur tanda yang dibentuk dalam wujud iklan, untuk kemudian ditransformasikan kepada publik.

Khalayak pada dasarnya harus dapat memahami apa maksud iklan-iklan dengan cara menyelidiki bagaimana maksud dari iklan politik tersebut. Apa yang dikatakan sebuah iklan politik merupakan semata-mata sebuah klaim demi pencitraan (imagery). Tentu saja, sebenarnya sebagian besar dari iklan politik mana pun merupakan pesan yang memiliki makna dibaliknya. Informasi yang diberikan kepada khalayak seringkali tidak benar, dan kalaupun itu benar khalayak sering kali dibujuk untuk mendukung partai atau calon tersebut.

F.4 Iklan dan Televisi dalam Komunikasi Politik Modern

Salah satu karakter modernisasi kampanye, adalah digunakannya televisi sebagai media utama kampanye. Holtz-Bacha dan Kaid54, menjelaskan, televisi digunakan sebagai kampanye oleh partai politik setidaknya dengan dua cara: Pertama, lewat cara-cara gratis melaui peliputan regular media terhadap kegiatan

       53 

Judith Williamson, 2007. Decoding Advertisements. Yogyakarta: Jalasutra, hlm 3. 

54 

(49)

partai atau kandidat politik. Dalam peliputan gratis seperti itu, berlaku prinsip seleksi jurnalistik dan kriteria produksi yang biasa digunakan oleh para jurnalis dan pengelola televisi. Partai politik tidak bisa mempengaruhi pesan dan durasi liputan televisi tersebut. Kedua, membayar media tersebut karena memasang iklan politik (political advertising). Dalam iklan politik, kandidat atau partai politiklah yang memutuskan bagaimana mereka ditampilkan di hadapan pemilih. Karena itu, dua bentuk penggunaan media televisi itu (free and paid media) kerap juga diistilahkan dengan controlled media dan uncontrolled media. Politisi dan partai bisa mengontrol isi pesan politik yang disampaikan dalam iklan politik, namun tidak mempunyai kontrol terhadap bagaimana media mengemas berita-berita politik di televisi.

Definisi iklan politik televisi menurut Holtz-Bacha dan Kaid dalam Pawito55 (2009:94) bahwa any controlled message communicated through any channel designed to promote the political interest of individuals, parties, groups,

government, or other organizations, (kontrol pesan komunikasi, kepada model saluran promosi kepentingan politik, baik secara individual, partai, kelompok-kelompok, pemerintah dan organisasi lainnya).

Iklan merupakan salah satu kebudayaan paling penting yang mencetak dan merefleksikan kehidupan saat ini. Iklan ada dimana-mana, sebagai bagian tak terelakkan dari kehidupan setiap orang. Dengan menjalani semua media, dan tidak dibatasi pada siapa pun, periklanan membentuk sebuah suprastruktur luas dengan eksistensi yang tampak otonom dan disertai pengaruh besar. Tak terkecuali dalam

      

55

(50)

 

tradisi pemilihan umum, yang tampak di televisi adalah perlombaan iklan antar partai untuk memperoleh dukungan massa.

Televisi sebagai alat saluran komunikasi politik memiliki kedudukan sangat istimewa dalam periode pemilihan. Individu yang sebelumnya jarang mengikuti perkembangan politik, tiba-tiba menonton berita, iklan, atau kegiatan partai politik yang diliput televisi dalam menjelang pemilu, bisa saja merubah individu tersebut, menjadi peka terhadap politik yang ada disekitarnya.

Aspek yang sangat menonjol berkenaan dengan iklan politik dengan media televisi terkait dengan politik, adalah fungsi iklan politik TV dalam kehidupan politik. Sifatnya yang sentral dalam komunikasi politik, iklan politik TV memiliki fungsi penting dan strategis. Iklan Politik TV berperan sebagai media sosialisasi yang diambil untuk dipahami secara kolektif, sehingga menumbuhkan partisipasi produktif antara pemerintah dengan rakyat, dalam membangun tujuan politik yang sama. Selain itu, iklan politik TV juga bisa berfungsi sebagai corong kekuasaan, sebagai media persuasif pada saat kampanye pemilihan umum.

Kampanye pemilihan umum idealnya merupakan proses penyampaian pesan-pesan politik yang salah satu fungsinya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Melalui kampanye, partai-partai politik berusaha meyakinkan massa pemilih dengan mengangkat berbagai agenda yang dinilainya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Karena itu, setiap partai politik selalu berusaha menemukan cara-cara paling efektif untuk merekrut sebanyak-banyaknya massa. Dan, dalam proses rekruitmen tersebut, iklan politik TV adalah di antara alat bantu yang memiliki tingkat efektifitas yang relatif tinggi.56

       56 

(51)

F.5 Informasi dan Citra Bagian dari Pemasaran Politik

Sama halnya dengan konsep komunikasi pemasaran yang berorientasi dalam meraih pelanggan, menurut Pawito57, dalam konteks politik termasuk dalam kampanye pemilihan, konstituen atau pemilih menjadi sasaran dari pesan-pesan yang terkandung didalam pemasaran politik. Tidak lain, hal demikian menimbulkan persaingan yang melibatkan kepentingan berbagai partai politik atau calon yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya, upaya-upaya kampanye dan pemasaran politik terkesan semakin bertumpu pada pemikiran-pemikiran yang lebih bersifat rasional dan ilmiah. Kesan kuat yang dimaksud, bahwa pemasaran politik mengupayakan kombinasi informasi dan citra untuk menciptakan persuasif bagi pemilih.

Sekilas mengenai informasi, yang menarik disini adalah informasi yang dimiliki atau diterima seseorang bisa jadi tidak selalu benar (dalam arti tidak selalu sesuai dengan kenyataan), atau kadangkala informasi saling simpang siur dan berlawanan. Dari sisi ini tampak bahwa informasi merupakan faktor penting dalam konstruksi pengetahuan. Dalam konteks kampanye, informasi biasanya disampaikan oleh kandidat politik dengan tujuan memperoleh dukungan demi pengakuan kekuasaan. Informasi apabila disampaikan untuk kepentingan kampanye biasanya memiliki karakter mengkonstruksi realitas. Kebenaran informasi biasanya dari sisi-sisi tertentu saja yang disampaikan kepeda publik, sementara sisi-sisi lain yang merugikan bagi kandidat calon atau partai politik yang bersangkutan hanya menjadi bagian yang tidak perlu diungkapkan terhadap

       57 

(52)

 

publik. Menurut Pawito58, Informasi dalam kampanye memiliki sejumlah fungsi penting diantaranya:

1. Memberikan dan meningkatkan pengetahuan publik mengenai kepentingan partai atau kandidat

2. Menumbuhkan persepsi-persepsi dan penilaian-penilaian publik mengenai berbagai realitas yang diciptakan oleh partai atau kandidat

3. Memperkuat sikap-sikap publik terhadap partai atau kandidat

4. Meningkatkan dan memperkokoh loyalitas terhadap partai dan kandidat 5. Menggalang kebersamaan di antara sesama pendukung atau simpatisan

partai atau kandidat.

Berikutnya citra menurut Pawito dalam konteks pemilihan, adalah bayangan, kesan, atau gambaran tentang suatu objek terutama partai politik, kandidat, dan pemerintah.59 Citra dapat menentukan cara berpikir dan cara berperilaku seseorang termasuk dalam mengambil keputusan dalam pemilihan. Citra yang positif dapat menjadi bagian yang penting dari tumbuhnya preferensi-preferensi calon pemilih terhadap partai atau kandidat.

Pengolahan citra yang paling tampak dihadapan publik, misalnya saja bisa kita saksikan dalam realitas iklan kampanye. Sebenarnya, logika tujuan iklan kampanye partai politik atau kandidat hampir sama promosi iklan produk barang konsumsi yang setiap hari tayang dilayar kaca televisi. Tujuan utama dari logika tujuan iklan kampanye dan iklan promosi produk, yakni untuk menarik sikap dan perilaku penonton. Citra positif yang ditampikan dalam realitas iklan, biasanya

       58 

Pawito. Op. cit., hlm 260. 

59 

(53)

dalam bentuk objek-objek iklan yang mendukung dengan kepentingan partai atau kandidat.

Kembali menurut Pawito60, upaya-upaya membangun citra dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu;

1. Penonjolan-penonjolan pada kesuksesan atau keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai masa lampau

2. Menumbuhkan asosiasi pemikiran tentang partai atau kandidat dengan kebesaran sejarah dimasa lampau, seperti kejayaan bangsa, pemimpin kharismatis yang pernah ada, dan bentuk-bentuk ekspresi simbolik baik itu kata-kata maupun gambar-gambar

3. Memberikan penonjolan orientasi ke depan, misalnya dengan kecanggihan teknologi dan optimisme kemjuan-kemajuan dimasa akan datang

4. Menghadirkan tokoh-tokoh tertentu demi menumbuhkan dan memperkokoh keyakinan atas kekuatan atau luasnya dukungan.

G. METODE PENELITIAN G.1 Tipe Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini termasuk dalam kategori studi pustaka. Tipe penelitian ini adalah kualitatif-interpretatif. “Penelitian kualitatif merupakan peneltian yang bermaksud untuk memahami dan menafsirkan fenomena yang terjadi, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode yang

       60 

Gambar

Tabel 1.1: Contoh media tanda panah tipe flowchart

Referensi

Dokumen terkait

Bersama ini kami sampaikan dengan hormat bahwa setelah dilakukan evaluasi dokumen penawaran sesuai ketentuan yang berlaku, Perusahaan Saudara ditetapkan sebagai pemenang seleksi

2) lakukan pemadatan untuk lapis 2, lapis 3, lapis 4 dan lapis 5 dengan cara yang sama seperti untuk lapis 1. e) Lepaskan leher sambung, potong kelebihan contoh uji yang

Evaluasi kepeawatan adalah mengkaji respon klien setelah dilakukan intervensi keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan(Deswani, 2009). Penulis

Hal ini dilihat dalam hubungan pada keputusan petani untuk melakukan peremajaan yaitu dapat dikarenakan semakin luas lahan yang dimiliki petani, maka petani akan

Posisi penolong pada tindakan piat antung na'as buatan (*P4) adalah tersebut di bawah ini- kecuali.. &#34;aris bahu penolong seaar dengan sumbu tulang dada

Seperti halnya model Kemp, model lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan produk terkait dengan pembelajaran adalah model Pengembangan Dick &amp;

Between the 1980s and mid-1990s a number of case- control studies were conducted to study the effect of smoking on the onset of Alzheimer’s disease (AD).. Lee (1994) produced a

[r]