STUDI TEOLOGI ISLAM Pendahuluan.
STUDI TASAWUF
B. Pengertian Istilah Istilah Kunci a Tasawuf/Suf
Secara etimologi didapati beberapa defenisi tasawuf:
1. Asal kata "ﺔﻔﺼﻟا ﻞھا" yang berarti sekelompok orang yang dimasa Rasulullah berdiam di serambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan dirinya untuk mengabdi kepada Allah swt, mereka mempunyai sifat
teguh dalam pendirian, taqwa, wara’, zuhud, dan tekun beribadah”154
2. Berasal dari kata “ء ﺎ ﻔ ﺻ “ ini berbentuk fiil mabni majhul sehingga menjadi isim mu’allak dengan huruf ى yang berarti sebagai orang-orang yang bersih.155
3. Berasal dari kata “ ٌﻒ َﺻ “ yang dinisbahkan kepada orang yang ketika
salat berada disaf yang paling depan
4. Ada yang mengatakan ini dinisbahkan kepada orang-orang bani Shuffah. 5. Ada juga yang mengatakan kata tasawuf berasal dari bahasa Grik “ﻰ ﻓ ﻮ ﺳ “
istilah ini disamakan dengan makna “ﺔ ﻤ ﻜ ﺣ ” yang berarti
kebijaksanaan"156.
Sedangkan tasawuf menurut istilah cukup banyak kita jumpai dari berbagai literatur dan bahkan hampir setiap tokoh sufi memiliki pengertian yang berbeda dengan tokoh lainnya.
Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
154Abd al Qadir As Sindi,At Tasawuf fi Mizani al bahsi wa tahqiq, Maktabah Ibn al Qayyim, Madinah
Nabawiyah, 1990, h. 32
155Rosihan Anwar & Mukhtar Solihin,Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004, h. 9 156Chrill Glesse,Ensklipedi Islam, Hasmar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, h. 75
1. Muhammad al-Jurairy:“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak
yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”157
2. Al-Junaid al-Baghdady memberika beberapa defenisi yang
berpariasi: “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama denganNya.” Disisi lain beliau mengatakan “Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama
Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.” Beliau juga mengatakan “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.” “Tasawuf
adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.” “Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang disertai sama’, dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.” “Kaum Sufi seperti bumi yang diinjak oleh orang saleh
maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.” “Jika engkau
melihat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya,
maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
3. Al-Husain bin Manshur al-Hallaj: “Sufi adalah kesendirianku dengan
Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa
pun.”
4. Abu Hamzah Al-Baghdady: “Tanda Sufi yang benar adalah dia
menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah
mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi.”
5. Amr bin Utsman Al-Makky: “Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”
6. Mohammad bin Ali al-Qashshab: “Tasawuf adalah akhlak mulia,
dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”
7. Samnun: “Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”
8. Ruwaim bin Ahmad: “Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendakiNya.”
Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri
dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”
9. Ma’ruf Al-Karkhy: “Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat
dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
10.Hamdun al-Qashshsar: “Bersahabatlah dengan para Sufi, karena
mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mermaafkan perbuatan- perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu
besar karena mengerjakan kebaikan itu.”
11.Al-Kharraz: “Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami
kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia- rahasia yang lebih dekat dihatinya, ingatlah, menangislah kalian
karena kami.”
12.Sahl bin Abdullah: “Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
13.Ahmad an-Nuury: “Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak
punya, dan peduli orang lain ketika ada.”
14.Muhammad bin Ali Kattany: “Tasawuf adalah akhlak yang baik,
barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia
melebihimu dalam Tasawuf.”
15.Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary: “Tasawuf adalah tinggal di
pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir. Tasawuf adalah
16.Abu Bakr asy-Syibly: “Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt.
tanpa hasrat. Sufi terpisah dari manusia, dan bersambung dengan
Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, “Dan Aku telah memilihmu untuk DiriKu” (Thoha: 41) dan
memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman
kepadanya, “Engkau tak akan bisa melihatKu.” “Para Sufi adalah
anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.” “Tasawuf adalah kilat yang menyala, dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.” “Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa
mereka.
17. Al-Jurairy: “Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri
dan berpegang pada adab.”
18.Al-Muzayyin: “Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
19.Askar an-Nakhsyaby: “Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”
20.Dzun Nuun Al-Mishry: “Kaum Sufi adalah mereka yang
mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang
diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”
Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.
“Diantara hal-hal penting yang perlu kita pahami dalam konteks ini adalah bahwa esensinya, agama adalah moral, yakni moral seorang hamba kepada tuhannya, antara dia dengan dirinya sendiri, antara dia dengan keluarganya, dan dia dengan anggota-anggota masyarakatnya”.158
b. Tariqat/Suluk
Menurut etimologi, tariqat berasal dari kata ﺔﻘﯾﺮط yang berarti jalan,
perjalanan hidup, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu”159
Kata yang sama dengannya adalah ﻚ ﻠ ﺳ jalan. Dan orang yang berjalan mengikuti tarekat adalah salik.
Menurut istilah suatu “Aliran atau gerakan yang tumbuh dalam masyarkat islam dan kehormatan yang diberikan kepada pemimpin- pemimpinnya”.160
Tariqat sebagai sebuah gerakan yang terorganisasi memang jelas sekali bersifat kemasyarakatan, dan karena itu akan tepat sekali kalau didekati dengan ilmu-ilmu sosial. Pola hubungan guru-murid, hubungan guru dengan para elit yang kaya atau mereka yang memegang kekuasaan, sangatlah menarik untuk ditelaah dan dikaji. Karena tariqat adalah gerakan keagamaan, maka ia melampaui batas-batas teritorial sebuah negara, dan karena itu pola hubungan guru-murid dalam tariqat tidak jarang bersifat internasional. Ilmuwan sosial juga tertarik untuk melihat pola hubungan antara satu tariqat dengan tariqat-tariqat lainnya, baik dalam bentuk kerjasama ataupun persaingan dan konflik. Keterlibatan para elit politik dalam kegiatan-kegiatan tariqat atau sebaliknya, keterlibatan elit tariqat dalam politik, merupakan fenomena yang lazim pula. Teori-teori sosial seperti teori pola hubungan patron-klien, kelas sosial, elit sosial dan massa rakyat, hingga teori-teori seputar ekonomi dan politik, dapat digunakan untuk melihat fenomena tasawuf.
Menurut Barmawi umari “tharekat ialah jalan atau sistem yang
ditempuh untuk menuju keridoan Allah semata-mata”.
“tariqat ialah jalan atau petunuk dalam melakukan sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan dikerjakan oleh sahabat-sahabat nabi, tabiin-tabiin sambung menyambung, rantai berantai
sampai kepada masa kita”.161
159Louis Makluf,
Al-Munjid fi al-lughat al A’lam, Dar al Masyri, Beirut, 1986, h. 465
160Kamil Karta Praja,Aliran Kebatinan dan kepercayaan di Indonesia, Yayasan Masagung, jakarta, 1985, h. 41 161Ahmad Khatib,Thariqat Naqsabandiyah, Islamiyah, Medan, 1978,h. 13