• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJUAN PUSTAKA

2.4. Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR/ Corporate

2.4.1. Pengertian Konsep

Sebaliknya, dua model lain yaitu model asimetris dua arah dan simetris dua arah sebagaimana digambarkan oleh Grunig yang meliputi model komunikasi dua arah dan khalayaknya yang saling beradaptasi satu sama lainnya. Para ahli komunikasi berpendapat bahwa koorientasi model komunikasi dua arah adalah bertujuan untuk membangun saling beradaptasi. Model asimetris dua arah bertujuan membujuk secara ilmiah (scientific persuasive) dan model simetris dua arah bertujuan untuk membangun saling pengertian (mutual understanding) antara pihak organisasi dengan khalayak.

Model-model komunikasi diatas, dalam komunikasi publik dapat digunakan dengan model yang berbeda untuk tujuan yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda pula secara tepat serta efektif baik tujuan penelitian maupun kegiatan secara praktikal.

2.4. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

2.4.1. Pengertian Konsep

Sebenarnya konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah ada sejak puluhan tahun lalu. Di dasawarsa 90-an, konsep ini makin menguat dan menyita perhatian banyak kalangan. Tetapi apakah sebenarnya tanggung jawab sosial perusahaan itu? Berikut ini beberapa defenisi tentang tanggung jawab sosial perusahaan yang dikutip dalam Majalah Bisnis dan CSR, edisi Oktober, 2007. 1. Komitmen dan kemampuan dunia usaha untuk memberi kepedulian,

melaksanakan kewajiban sosial, membangun kebersamaan, melakukan program/kegiatan kesejahteraan sosial/pembangunan sosial/kesejahteraan masyarakat sebagai wujud kesetiakawanan sosial dan menjaga keseimbangan

ekosistem di sekelilingnya. (Departemen Sosial RI, 2007)

2. Komitmen bisnis yang memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan dan perwakilan mereka, keluarga mereka, baik masyarakat setempat maupun umum, untuk meningkatkan kualitas hidup dengan cara-cara yang bermanfaat baik bagi bisnis itu sendiri maupun pembangunan. (BankDunia)

3. Komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas padaumumya. (World Business Council for Sustainable Development)

4. Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan, yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang. (Pemerintah Kanada)

5. Komitmen dunia usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan memberikan kontribusi untuk peningkatan ekonomi wiring dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarga, komunitas, dan masyarakat secara lebih luas. (Trinidad and Tobacco Bureau Standard)

6. Tanggung jawab perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dan harapan stakeholders sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan lingkungan, di samping ekonomi. (Pertamina, 2004)

7. Secara sukarela mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan ke dalam operasi bisnis keseharian dari suatu perusahaan. (Hasanuddin Rachman, Ketua Komite Tetap Hubungan Industrial KADIN)

8. Komitmen dunia bisnis untuk menyumbang sesuatu bagi kelangsungan pembangunan ekonomi, bekerja sama dengan para karyawan dan keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bagi dunia bisnis dan lingkungan. (Noke Kiroyan, ketua IBL, dalam CSR Conference, Jakarta 7-8 September 2006)

9. Suatu kegiatan yang dilakukan perusahaan sebagai bagian tanggung jawab sosial bagi kepentingan lingkungan di sekitarnya. (Aviliani, Komisaris BRI, dosen, dan peneliti Indef)

10. Kalau perusahaan menyumbang korban bencana alam semata, fidak ikut lebih lanjut dalam penanganan bencana dan sesudahnya, itu filantrofis. Kalau tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan ikut lebih lanjut. Misalnya, selain memberikan beasiswa, perusahaan juga memberdayakan penerima dengan membolehkannya magang di perusahaan dan pada akhirmya membuat dia menjadi mandiri. (Franky Welirang, Wakil Dirut PTIndofood Sukses Makmur Tbk., dalam The Executive Network, 30 Januari 2007).

Definisi tanggung jawab sosial perusahaan boleh saja beragam. Tetapi, dari beragam definisi tersebut, ada satu kesamaan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tak bisa lepas dari kepentingan stakeholder dan stakeholder perusahaan. Mereka adalah pemilik perusahaan, karyawan, masyarakat, negara, dan lingkungan. Konsep inilah yang kemudian diterjemahkan oleh John Elkington sebagai triple bottom line, yaitu Profit, People, dan Planet. Maksudnya, tujuan tanggung jawab

sosial perusahaan harus mampu meningkatkan laba perusahaan (profit), mensejahterakan karyawan dan masyarakat (people), sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan (planet).

Tanggung jawab sosial perusahaan didorong oleh terjadinya kecenderungan pada masyarakat industri yang dapat disingkat dengan fenomena “DEAF” ( yang dalam bahasa inggris berarti tuli) sebuah akronim dari Dehumanisasi, Equalisasi, Aquariumisasi dan Feminisasi (Suharto, 2005)

1. Dehumanisasi industri. Efisiensi dan mekanisasi yang semakin kuat di dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan tersebut maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. “Merger Mania” dan peramping perusahaan telah menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja dan pengangguran, ekspansi dan eksploitasi dunia industri telah melahirkan polusi, kerusakan lingkungan yang hebat.

2. Equalisasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial yang seringkali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan-perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut akuntabilitas (accountability) perusahaan bukan saja dalam proses produksi melainkan pula dalam kaitanya dengan kepedulian perusahaan terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya.

3. Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja kini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu rantai ekonomi dan cenderung mengabaikan hukum, prinsip etis, filantropis tidak

akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup.

4. Feminisasi dunia kerja. Semakin banyak wanita yang bekerja menuntut penyesuaian perusahaan bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja. Melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti pelantaran anak, kenakalan remaja, akibat kurangnya kehadiran ibu-ibu dan tentunya di lingkungan masyarakat. Pelayanan sosial seperti perawatan anak (child care), pendirian fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi anak bisa merupakan kompensasi sosial terhadap isu ini.

Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan semakin diterima secara luas. Namun demikian, sebagai sebuah konsep yang relatif baru, tanggung jawab sosial perusahaan masih tetap kontroversial baik bagi kalangan pebisnis maupun akademik (Saidi dan Abidin, 2004). Kelompok yang menolak mengajukan argumen bahwa perusahaan adalah organisasi pencari laba dan bukan person atau kumpulan orang seperti halnya dalam organisasi sosial. Perusahaan telah membayar pajak kepada negara dan karenanya tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan publik telah diambil alih oleh pemerintah.

Kelompok yang mendukung pendapat bahwa perusahaan tidak dapat dipisahkan oleh para individu yang terlibat di dalamnya. Karenanya perusahaan tidak boleh hanya memikirkan keuntungan finansial bagi perusahaan saja. Melainkan pula harus memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap publik khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan, Alasannya: (Suharto, 2005)

i. Masyarakat adalah sumber dari segala sumberdaya yang dimiliki dan diproduksi oleh perusahaan. Bukankah tanpa masyarakat perusahaan bukan saja tidak akan berarti, melainkan pula tidak akan berfungsi! Tanpa dukungan masyarakat, perusahaan mustahil memiliki pelanggan, pegawai dan sumber-sumber produksi lainnya yang bermanfaat bagi perusahaan.

ii. Meskipun perusahaan telah membayar pajak kepada negara, tidak berarti telah menghilangkan tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan publik. Di negara yang kurang memperhatikan kebijakan sosial (social policy) atau kebijakan kesejahteraan (welfare policy) yang menjamin warganya dengan berbagai pelayanan dan skema jaminan sosial yang merata, manfaat pajak seringkali tidak sampai kepada masyarakat terutama kelompok miskin dan rentan yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat.

Archie B Carrol dalam Wibisono (2007), memberi jastifikasi teoritis dan logis mengapa sebuah perusahaan perlu menerapkan tanggung jawab sosial bagi masyarakat di sekitarnya. Perusahaan tidak berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya. Faktanya, kemampuan perusahaan untuk bersaing dan tetap eksis sangat tergantung pada keadaan lokasi dimana perusahaan itu beroperasi. Oleh karena itu Ia telah mengembangkan suatu piramida tanggung jawab sosial perusahaan yang harus dipahami sebagai suatu kesatuan. Sebab tanggung jawab sosial perusahaan merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom lines, yaitu profit, people dan plannet (3P)

i. Profit. Perusahaan tetap harus berorintasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang

ii. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program tanggung jawab sosial seperti pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal.

iii. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman hayati. Beberapa program tanggung jawab sosial perusahaan yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman, pengambangan pariwisata.

Dokumen terkait