• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIRI DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM

2.1 Nilai-Nilai Berpikir Positif

2.1.1 Pengertian Nilai dan Berpikir Positif

Nilai merupakan tema baru dalam filsafat: aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul yang pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19 (Frondizi, 2001: 1). Menurut Riseri Frondizi, nilai itu merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda; benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup setiap bentuk empiris, nilai adalah kualitas a priori (Frondizi, 2001: 1).

Menurut Langeveld (tth: 196) dalam bahasa sehari-hari kata kita ―barang sesuatu mempunyai nilai‖. Barang sesuatu yang dimaksudkan di sini dapat disebut barang nilai. Dengan demikian, mempunyai nilai itu adalah soal penghargaan, maka nilai adalah dihargai (Mustansyir dan Munir, 2002: 26).

Sehubungan dengan itu, S.Praja (2003: 59) dengan singkat mengatakan, nilai artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Pada umumnya orang mengatakan bahwa nilai sesuatu benda melekat dan bukan di luar benda. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa nilai ada di luar benda

Nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (yakni manusia yang meyakini). Sedangkan pengertian nilai menurut J.R. Fraenkel sebagaimana dikutip Toha (1996: 60) adalah a value is an

idea a concept about what some one thinks is important in life.

Pengertian ini menunjukkan bahwa hubungan antara subjek dengan objek memiliki arti penting dalam kehidupan objek. Sebagai contoh segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari pada segenggam emas. Sebab garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan atau mati, sedangkan emas semata-mata untuk perhiasan. Sedangkan bagi masyarakat kota, sekarung garam tidak berarti dibandingkan dengan segenggam emas, sebab emas lebih penting bagi orang kota.

Gazalba sebagaimana dikutip Toha (1996: 60) mengartikan nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.

Pengertian tersebut menunjukkan adanya hubungan antar subjek penilaian dengan objek, sehingga adanya perbedaan nilai antara garam dengan emas. Tuhan itu tidak bernilai bila tidak ada subjek yang memberi nilai, Tuhan menjadi berarti setelah ada makhluk yang membutuhkan. Ketika Tuhan sendirian, maka ia hanya berarti bagi

diri-Nya sendiri. Garam menjadi berarti seolah ada manusia yang membutuhkan rasa asin. Emas menjadi berarti setelah ada manusia yang mencari perhiasan.

Namun demikian nilai-nilai semata-mata terletak kepada subjek pemberi nilai, tetapi di dalam sesuatu tersebut mengandung hal yang bersifat esensial yang menjadikan sesuatu itu bernilai. Tuhan mengandung semata sifat kesempurnaan yang tiada taranya dari segenap makhluk apapun di jagat raya ini; garam mengandung zat asin yang dibutuhkan manusia; dan emas mengandung sesuatu yang tidak akan berkarat. Apabila unsur yang bersifat esensial ini tidak ada, maka manusia juga tidak akan memberikan harga terhadap sesuatu tersebut.

Menurut Louis O. Kattsof (1986: 333) nilai diartikan sebagai berikut:

1. Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-mata subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti yang terletak pada esensi objek itu.

2. Nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada dalam kenyataan maupun pikiran dapat memperoleh nilai jika suatu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang memiliki kepentingan. Pengertian ini hampir sama dengan pengertian antara garam dan emas tersebut di atas.

3. Sesuai dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil dari pemberian nilai, nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan.

4. Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah ada sejak semula, terdapat dalam setiap kenyataan namun tidak bereksistensi, nilai itu bersifat objektif dan tetap.

Dari pengertian tersebut, menurut Chabib Toha, nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan

manusia. Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan peningkatan daya tangkap dan pemaknaan manusia sendiri.

Hakekat kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk perdamaian, perdamaian hidup merupakan esensi kehidupan manusia. Esensi itu tidak hilang walaupun kenyataannya banyak bangsa yang berperang. Nilai perdamaian semakin tinggi selama manusia mampu memberikan makna terhadap perdamaian, dan nilai perdamaian juga berkembang sesuai dengan daya tangkap manusia tentang hakekat perdamaian.

Nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan, yang menyebabkan terdapat bermacam-macam nilai, antara lain:

a. Dilihat dari segi kebutuhan hidup manusia, nilai menurut Abraham Maslaw dapat dikelompokkan menjadi:

1. Nilai biologis, 2. Nilai keamanan. 3. Cinta kasih 4. Harga diri

5. Nilai jati diri (Toha, 1996: 62-63).

Kelima nilai tersebut berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Dari kebutuhan yang paling sederhana, yakni kebutuhan akan tuntutan fisik biologis, keamanan, cinta kasih, harga diri dan yang terakhir kebutuhan jati diri.

Apabila kebutuhan dikaitkan dengan tata-nilai agama, akan menimbulkan penafsiran yang keliru. Apakah untuk menemukan jati diri sebagai orang muslim dan mukmin yang baik itu baru dapat terwujud setelah kebutuhan yang lebih rendah tercukupi lebih dahulu? Misalnya makan cukup, tidak ada yang merongrong dalam beragama, dicintai dan dihormati kemudian orang itu baru dapat beriman dengan baik, tentunya tidak. Nilai keimanan dan ketaqwaan tidak tergantung pada kondisi ekonomi maupun sosial budaya, tidak terpengaruh oleh dimensi ruang dan waktu.

b. Dilihat dari Kemampuan jiwa manusia untuk menangkap dan mengembangkan, nilai dapat dibedakan menjadi dua yakni:

1. Nilai yang statik, seperti kognisi, emosi, dan psikomotor.

2. Nilai yang bersifat dinamis, seperti motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, motivasi berkuasa (Muhadjir, 1990: 133). c. Pendekatan proses budaya sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah

Sigit, nilai dapat dikelompokkan dalam tujuh jenis yakni: 1. Nilai ilmu pengetahuan

2. Nilai ekonomi 3. Nilai keindahan 4. Nilai politik 5. Nilai keagamaan 6. Nilai kekeluargaan dan

7. Nilai kejasmanian (Muhadjir, 1990: 133).

Pembagian nilai-nilai ini dari segi ruang lingkup hidup manusia sudah memadai sebab mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, karena itu nilai ini juga mencakup

nilai-nilai ilahiyah (ke-Tuhanan) dan nilai-nilai insaniyah

(kemanusiaan).

d. Pembagian nilai didasarkan atas sifat nilai itu dapat dibagi ke dalam 1. nilai-nilai subjektif

2. nilai-nilai objektif rasional,

3. nilai-nilai objektif metafisik (Kattsof, 1986: 331).

Nilai subjektif adalah nilai yang merupakan reaksi subjek terhadap objek, hal ini sangat tergantung kepada masing-masing pengalaman subjek tersebut. Nilai subjektif rasional (logis) yakni nilai-nilai yang merupakan esensi dari objek secara logis yang dapat diketahui melalui akal sehat. Seperti nilai kemerdekaan, setiap orang memiliki hak untuk merdeka, nilai kesehatan, nilai keselamatan badan dan jiwa, nilai perdamaian dan sebagainya. Sedangkan nilai yang bersifat objektif metafisik yakni nilai-nilai yang ternyata mampu menyusun kenyataan objektif, seperti nilai-nilai agama. e. Nilai bila dilihat dari sumbernya terdapat:

1. nilai illahiyah (ubudiyah dan muamalah)

2. nilai insaniyah. Nilai ilahiyah adalah nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah), sedangkan nilai insaniyah adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh manusia pula.

f. Dilihat dari segi ruang lingkup dan keberlakuannya nilai dapat dibagi menjadi:

1. nilai-nilai universal

2. nilai lokal (Muhadjir, 1990: 34). Tidak tentu semua nilai-nilai agama itu universal, demikian pula ada nilai-nilai-nilai-nilai insaniyah yang bersifat universal. Dari segi keberlakuan masanya dapat dibagi menjadi (1) nilai-nilai abadi, (2) nilai pasang surut dan (3) nilai temporal.

g. Ditinjau dari segi hakekatnya nilai dapat dibagi menjadi: 1. nilai hakiki (root values)

2. nilai instrumental (Muhadjir, 1990: 34). Nilai-nilai yang hakiki itu bersifat universal dan abadi, sedangkan nilai-nilai instrumental dapat bersifat lokal, pasang-surut, dan temporal.

Perbedaan macam-macam nilai ini mengakibatkan perbedaan dalam menentukan tujuan pengembangan diri, perbedaan strategi yang akan dikembangkan dalam berpikir positif, perbedaan metoda dan teknik dalam berpikir positif. Di samping perbedaan nilai tersebut di atas yang ditinjau dari sudut objek, lapangan, sumber dan kualitas/serta masa keberlakuannya, nilai dapat berbeda dari segi tata strukturnya. Tentu hal ini lebih ditentukan dari segi sumber, sifat dan hakekat nilai itu.

Adapun pengertian berpikir positif sebagai berikut: berpikir berarti meletakkan hubungan antarbagian pengetahuan yang diperoleh

manusia. Yang dimaksud pengetahuan di sini mencakup segala konsep, gagasan, dan pengertian yang telah dimiliki atau diperoleh manusia oleh manusia (Soemanto, 2006: 31). Dalam berpikir terlibat semua proses yang disebut sensasi, persepsi dan memori (Rakhmat, 2009: 67).

Berpikir berhubungan dengan masalah akal, dalam al-Qur‘an terdapat 49 kata yang muncul secara variatif dari kata dasar ‘aql. Yaitu

‘aqala sekali, ta’qilun 24 kali, na’qilu sekali, ya’qiluha sekali, dan ya’qilun 22 kali (Bâqy, 1981: 468-469). Pandangan yang sama

dikemukakan Qardhawi (2004: 19), materi aql dalam al-Qur'an terulang 49 kali. Kecuali satu, semuanya datang dalam bentuk fi'il mudhâri', terutama materi yang bersambung dengan wawu jama'ah seperti bentuk

ta'qilun atau ya'qilun.

Menurut Shihab (2003: 294-295), kata 'aql (akal) tidak ditemukan dalam Al-Quran, yang ada adalah bentuk kata kerja—masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran menggunakannya bagi "sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata

'aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:

a. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya:

"Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang alim (berpengetahuan)".

b. Dorongan moral, seperti firman-Nya,

"... dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak atau tersembunyi, dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu. memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya".

c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah Bagaimanapun kata ‗aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir (Nasution, 2005: 7).

Berangkat dari uraian di atas, menurut El-Bahdal (2010: 41): Pikiran/berpikir positif adalah potensi dasar yang mendorong

manusia untuk berbuat dan bekerja dengan menginvestasikan seluruh kemampuan kemanusiaannya. Berpikir positif akan membuat hidup seseorang menjadi lebih baik. Itulah pikiran yang membantu seseorang dalam mengembangkan akal, perasaan, dan perilakunya menjadi lebih baik. Itulah pikiran yang dapat menyingkap kekuatan tersembunyi pada manusia dan mengubah kehidupannya menjadi lebih berkualitas (El-Bahdal, 2010: 41).

Sebaliknya pikiran/berpikir negatif adalah sekumpulan pikiran salah yang menghambat langkah kita menuju kondisi yang lebih baik dan membuat perilaku kita tidak terarah. Pikiran negatif membuat kita

menjadi manusia-manusia yang tidak mampu: tidak mampu karena lemah atau tidak mampu karena merasa tidak berhak untuk sukses (El-Bahdal, 2010: 42).

Menurut Abduh (2010: 1) berpikir positif adalah

Menggunakan kinerja otak kita untuk memikirkan hal-hal yang positif. Langkah ini tak ubahnya seperti "meng-install otak dengan file-file dan program-program yang positif. Ketika ini sudah menjadi sebuah kebiasaan maka dengan sendirinya otak akan menyuguhkan perintah, ide, dan renungan-renungan positif atas segala sendi kehidupan yang kita jalani.

Dalam kitab al-Khawaathir (mind) karya Syaikh Mutawalli Sya'rawi disebutkan bahwa pikiran adalah keistimewaan yang dipakai manusia untuk memilih sesuatu dari beberapa alternatif dan menentukan pilihan pada hal yang menguntungkan masa depan diri dan keluarganya. Dalam buku What People Think Will be Acquired, James Alien menulis bahwa adanya pemikiran pada manusia membuatnya mampu menentukan pilihan dalam hidup. Dalam ilmu psikologi sosial, para ilmuwan sepakat bahwa kemampuan berpikir yang ada pada manusia telah menjadikannya sebagai makhluk paling spesial. Kemampuan itu sebagai pembeda antara manusia dengan binatang, tumbuhan, dan benda mati. Kemampuan berpikir pula yang membuat seseorang bisa membedakan mana yang berguna atau merugikan dirinya, mana yang halal dan mana yang haram, dan mana yang mungkin dicapai dan mana pula yang tak mungkin diraihnya. Dengan adanya pikiran, manusia

mampu memilih hal yang sesuai dengan dirinya dan memungkinkan baginya untuk diraih (Al-Faqi, 2009: 1).

Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan hal-hal positif? Secara teoritis banyak definisi yang bisa diajukan sebagai konsep terkait hal positif. Namun, secara praktis, yang disebut dengan hal positif adalah setiap pemikiran, ide, sikap, tindakan atau perbuatan yang mampu mengarahkan dan mendekatkan diri kepada fitrah kemanusiaan kita yang suci. Melangkah lebih dekat menuju realitas tertinggi (Allah Swt) dengan amalan-amalan yang bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dari sinilah terlihat jelas konsep kebermanfaatan manusia secara positif. Singkatnya, setiap yang bermanfaat merupakan perwujudan dari gerak ide maupun perbuatan positif (Abduh, 2010: 1).

Berpikir positif dengan sendirinya juga mengerdilkan untuk tidak menyebut membunuh potensi keburukan yang ditimbulkan oleh bisikan nafsu jahat manusia yang bisa menjurus pada fasad (kerusakan), baik dalam skala makro maupun mikro.

Apa alasan yang mendasari bahwa berpikir positif sama halnya dengan "mengerdilkan" potensi kejahatan (negativisme) dalam diri maupun jiwa manusia? Hal ini karena menurut beragam kajian tentang kinerja otak manusia, salah satunya dikemukakan oleh Dr. Ibrahim Elfiky, bahwa otak manusia tidak bisa digunakan untuk memikirkan dua hal berlainan pada saat bersamaan. Jika seseorang memikirkan hal-hal

positif maka dengan sendirinya otak akan mengunci "pintu" bagi

masuknya ide atau ; pikiran negatif (Abduh, 2010: 2). Masih dalam pengertian yang seirama, Allah Swt pun jauh-jauh

hari telah memberitahukan kepada manusia bahwa Dia tidak pernah membuat dua ruang dalam satu hati. Artinya, sebagaimana kinerja otak, kinerja hati pun tidak jauh berbeda. Mana yang paling dominan di antara dua hal yang ada maka itulah yang akan menempati relung hati dan lorong otak seseorang.

Oleh karenanya, dalam Islam dikenal sebuah istilah tazkiyatun

nafsi (penyucian diri). Langkah ini dilakukan sebagai titik tolak

seseorang menuju hidup yang suci dan bersih (positif). Segala hal yang negatif dikeluarkan dan dibuang terlebih dahulu sebelum menggantinya dengan yang positif. Mengapa? Karena sesungguhnya kebenaran tidak akan pernah bisa bercampur dengan kejahatan. Allah swt berfirman,

Artinya: Dan katakanlah, kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap dan sesungguhnya yang batil itu telah lenyap. "(QS. Al-Isra' [17]: 81).

Dari ayat tersebut, apa yang bisa dambil sebagai poin terpenting? Yaitu, untuk menghancurkan kebathilan (negativisme), manusia sebenarnya tidak perlu terlalu fokus pada kebatilan itu sendiri karena hanya akan menguras energi. Langkah tepat dan cerdas untuk mengantisipasinya adalah gunakan daya positif luar biasa yang dimiliki. Ingatlah, manusia oleh Allah dianugerahi kekuatan luar biasa yang

konon menurut para pakar, kekuatan itu lebih canggih dari kinerja semesta. Kekuatan apakah yang dimaksud? Jawabnya adalah otak (akal pikiran).

Bagaimana cara menuju pikiran dan hidup yang positif? Rasulullah saw menganjurkan agar seseorang melakukan keburukan, segeralah menggantinya dengan amalan yang baik lalu beristiqamahlah dalam kebaikan tersebut. Beliau saw bersabda, "Dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, mudah-mudahan yang baik itu akan menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak terpuji." (H.R. Tirmidzi)

Berpikir positif juga terkait erat dengan landasan keyakinan yang hendak dibangun sendiri. Siapa yang paling bertanggung jawab dengan model keyakinan (kepercayaan diri) dan persepsi yang dimiliki? Tentunya, diri sendiri. Sebuah pepatah kuno mengatakan bahwa apa yang dipercayai dan diyakini, itulah yang akan menjadi bagian dari kehidupan orang itu di dunia. Orang itupun menikmati buah dari keyakinan yang mula-mula dibangun dari cara berpikir orang tersebut. Jadi, ketika yang diterima adalah "buah" yang jelek, boleh jadi itu terjadi karena selama ini orang tersebut mengembangkan pola pikir negatif tanpa pernah menyadarinya. Begitu pun "buah" yang baik adalah hak bagi mereka yang mengembangkan pola pikir positif (Abduh, 2010: 4). 2.1.2 Ciri-Ciri Orang Berpikir Positif

1. Orang yang berpikir positif mengakui bahwa ada unsur-unsur negatif dalam kehidupan setiap individu. Akan tetapi ia yakin bahwa semua masalah dapat diselesaikan.

2. Orang yang berpikir positif tidak mungkin kalah oleh berbagai kesulitan dan rintangan.

3. Orang yang berpikir positif memiliki jiwa yang kuat dan konsisten. 4. Orang yang berpikir positif percaya pada kemampuan, keterampilan,

dan bakatnya. la tidak pernah meremehkan itu semua.

5. Orang yang berpikir positif selalu membicarakan hal-hal positif dan selalu menginginkan kehidupan yang positif.

6. Orang yang berpikir positif selalu bertawakal pada Allah

7. Orang yang berpikir positif yakin bahwa semua orang memiliki daya kreatif. Akan tetapi, daya kreativitas itu membutuhkan kekuatan yang membangkitkannya hingga menjadi aktual (El-Bahdal, 2010: 53).

Pikiran mampu mempengaruhi mindset (kerangka berpikir) dan membuat seseorang fokus pada satu persoalan tertentu. Bila telah fokus, maka hal itu juga akan menyebabkan perubahan pada perasaan. Selanjutnya perasaan akan menuntut pada perilaku. Pada titik ini mulai terlihat perubahan pada ekspresi wajah yang dilanjutkan dengan gerakan anggota tubuh dan disambut dengan ucapan yang akan keluar dari mulut. Semua itu sebab dasarnya adalah pikiran. Kalau seseorang positif

maka akan akan cenderung gagal. Seberapa besar keyakinan seseorang akan mempengaruhi tingkat keberhasilannya (al-Magety, 2010: 10).

Pemikiran seseorang, terkadang sangat simpel dan tidak membutuhkan waktu serta perhatian khusus selain sebuah program sederhana, namun demikian setidaknya semua itu bersumber dari tujuh arah yang kemudian mengkristal dan membentuk semacam paradigma yang kuat untuk mempengaruhi pola pikir seseorang secara internal maupun eksternal. Tujuh hal tersebut adalah:

1. Kedua orang tua (keluarga) 2. Keluarga dekat

3. Lingkungan sosial 4. Sekolah

5. Teman 6. Media massa

7. Diri sendiri (al-Magety, 2010: 10).

Jadi, seseorang harus mengkondisikan diri dan situasi yang mendukungnya berpikir positif menuju keberhasilan. Kalau ingin sukses, bergaullah dengan orang sukses, dan bukan bergaul dengan orang yang gagal dan pesimis. Tirulah cara berpikir orang yang sukses sekaligus tindakannya. Sejatinya paradigma seseorang memiliki peran yang lebih besar dan kuat dari yang dibayangkan. Pemikiranlah yang menimbulkan pengertian, persepsi, fanatisme, ideologi, dan prinsip. Pemikiran adalah awal penentuan target dan mimpi, sumber akal melakukan eksperimen dan pengetahuan, serta memaknai sesuatu dan menyikapi peristiwa yang membahagiakan dan menyedihkan dalam hidup (al-Magety, 2010: 11).

Contoh keberhasilan Andre Agasi yang bangkit dari keterpurukan dalam prestasi tenis dunia. Dia pernah juara satu dunia, namun kemudian dia melorot karena waktu dan umur. Tetapi, karena dia berpikir positif, membuang pandangan miring orang, termasuk umurnya yang tidak muda, ia berpikir positif bahwa ia bisa kalau mau, lalu fokus, belajar dan berlatih hingga akhirnya kembali menjadi juara dunia lagi ketika telah berusia lewat 30 tahun.

Keberhasilan itu berangkat dari keberaniannya untuk merubah pola pikir dan persepsi sendiri. Pada awalnya persepsi itu memang berada di dalam dirinya, lalu sejalan dengan waktu semakin menguat dan muncul ke permukaan dalam bentuk tindakan nyata secara fisik dan psikis. Bukti keberhasilannya adalah tak lama kemudian dia berhasil masuk lagi dalam rangking sepuluh besar dunia. Keberhasilannya kali ini tidak saja karena dia berhasil menundukkan lawan-lawan mainnya, tetapi dia juga telah muncul sebagai sosok baru, karena dia telah berhasil mengalahkan dorongan negatif dari dalam dan luar dirinya sendiri. 2.1.3 Manfaat Berpikir Positif

Apa yang telah disebutkan oleh para pengarang tentang berfikir positif yang dapat diambil manfaatnya adalah sebagai berikut:

a. Dapat membangkitkan inspirasi yang lebih besar, yaitu rahasia kesempurnaan yang tinggi, memuliakan berbagai amal dengan kemenangan, menumbuhkan keyakinan serta kepercayaan.

b. Berfikir positif dapat mengajak manusia memilih sesuatu yang bernilai dari tujuan masa depan dan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan tujuan.

c. Komitmen pada perubahan positif yang dibangun dan mengalir dalam diri akan mempunyai pengaruh yang bermanfaat bagi kepribadian dan juga membawa dampak (baik) di segenap aktivitas. d. Pemikiran yang positif itu akan mengurangi kesedihan, sebaliknya

akan memperbanyak bahagia, melihat satu sudut peristiwa secara terang sebagai ganti dari memenuhi hidup dengan pemikiran-pemikiran gelap, lebih memilih kesenangan sebagai ganti dari kesedihan, dan langkah pertama untuk meraih semua itu adalah kebaikan yang bersemayam dalam diri.

e. Sesungguhnya akal itu hanya terfokus pada satu fikiran yang menguasainya disetiap waktu, oleh sebab itu apabila seseorang memasukkan dalam akalnya itu fikiran positif maka keluarlah fikiran negatif yang berlawanan. Akal fikiran itu tidak akan pernah terjadi kekosongan oleh karena itu jika seseorang tidak memenuhinya dengan pemikiran positif maka akal orang itu akan dipenuhi dengan pemikiran negatif.

f. Sesungguhnya sesuatu yang positif dalam akal dan perasaan (emosi) mampu membentuk kehidupannya menjadi positif, optimis dan berkemauan, mempunyai kekuatan untuk membela diri/menentang serangan yang ditujukan kepadanya dari syetan-syetan yang