• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI BIMBINGAN PENGEMBANGAN DIRI DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

SKRIPSI

untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)

AHMAD MUSTHOFA NIM: 61111011

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO

SEMARANG

(2)

ii Hal : Persetujuan Naskah

Usulan Skripsi

Kepada

Yth. Bapak Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang

Assalamualaikum Wr. Wb.

Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudara:

Nama : Ahmad Musthofa NIM : 61111011

Jurusan : DAKWAH /BPI

Judul Skripsi : PEMIKIRAN NORMAN VINCENT PEALE DALAM BUKUTHE POWER OF POSITIVE

THINKING DAN RELEVANSIYA TERHADAP

NILAI-NILAI BIMBINGAN PENGEMBANGAN DIRI DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

Dengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, Juni 2011 Pembimbing,

Bidang Substansi Materi, Bidang Metodologi & Tatatulis,

Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd Abdul Sattar, S Ag. M.Ag. NIP. 19680113 199403 2001 NIP. 19730814 199803 1001

(3)

iii

OF POSITIVE THINKING DAN RELEVANSIYA TERHADAP

NILAI-NILAI BIMBINGAN PENGEMBANGAN DIRI DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

Disusun oleh AHMAD MUSTHOFA

NIM: 61111011

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal: 1 Juli 2011

dan dinyatakan telah lulus memenuhi sarat

Susunan Dewan Penguji

Ketua Dewan Penguji/

Dekan/Pembantu Dekan Anggota Penguji,

Drs. H.Nurbini, M.S.I Dr. H. Abu Rokhmad, M.Ag NIP. 19680918 199303 1 004 NIP. 19760407 200112 1 003

Sekretaris Dewan Penguji/ Pembimbing,

Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd Safrodin, M.Ag

(4)

iv

sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka

Semarang, 30 Mei 2011 Tanda tangan,

AHMAD MUSTHOFA NIM: 61111011

(5)

v

Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Ar-ra’du: 11).

(6)

vi

makhluk manusia, maka tiada puji dan puja yang patut dipersembahkan melainkan hanya kepada Allah SWT.

 Bapak dan ibuku tercinta, terimakasih atas kasih sayang dan perhatian serta doanya sehingga dapat sukses dalam hidup ini.

 Kakakku semoga menjadi anak yang sholeh

 Temen-temen yang tak dapat kusebutkan satu persatu seperjuangan dalam meraih cita dan asa.

(7)

vii

sebagai kesadaran individu untuk memberikan pendapat, pandangan atau penilaian mengenai kesadaran dirinya sendiri. Manusia dalam berpikir bisa dipilah menjadi dua, positif dan negatif. Permasalahannya yaitu bagaimana nilai-nilai bimbingan pengembangan diri dalam buku The Power of Positive

Thinking karangan Norman Vincent Peale? Bagaimana bentuk kesesuaian

nilai-nilai pengembangan diri dalam buku The Power of Positive Thinking karangan Norman Vincent Peale dan relevansiya terhadap nilai-nilai Bimbingan dan Konseling Islam?

Pada dasarnya penelitian ini banyak menggunakan data kepustakaan. Jenis penelitian ini merupakan penelitian literer sehinga termasuk penelitian kualitatif karena data-data yang disajikan berupa pernyataan-pernyataan tentang nilai-nilai bimbingan dan konseling Islam dan nilai-nilai bimbingan pengembangan diri.

Hasil pembahasan menunjukkan bahwa (1) Menurut Peale untuk mencapai kebahagiaan hidup adalah dengan berpikir positif. Untuk mengembangkan diri menuju berpikir positif, maka langkah-langkahnya sebagai berikut: percaya pada diri sendiri, pikiran harus damai, karena pikiran yang damai dapat memberi kekuatan, memilih energi konstan, mencoba kekuatan doa, menciptakan kebahagiaan diri sendiri, stop menggerutu dan cerewet. Nilai pengembangan diri dalam buku Peale sangat memberikan kontribusi yang sangat besar untuk mewujudkan pengembangan diri yang positif dengan petunjuk-petunjuk praktis yang diajarkan dari kisah-kisah yang diangkat. Dengan kata lain semakin tinggi positive thinking seseorang maka semakin berkualitas kehidupan seseorang dalam mencapai kebahagiaan.

(2) Nilai-nilai pengembangan diri dalam buku The Power of Positive

Thinking karangan Norman Vincent Peale sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, teryata mempunyai relevansi yang cukup besar terhadap BKI. Dari uraian Peale dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan kepercayaan diri maka seseorang 1) harus selalu berdo'a; 2) memiliki keyakinan religius. Jika konsep Peale dihubungkan dengan ajaran Islam berarti a) berdo'a; b) beriman; c) bertauhid, d) tawakkal dan e) salat. Hal ini berarti konsep Peale tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan dalam ajaran Islam, konsep Peale sudah lebih dahulu ada dan diatur dalam al-qur'an dan hadits. Oleh karena itu, bila dilihat dari perspektif bimbingan konseling Islam, maka konsep Peale dapat dijadikan materi bimbingan dan konseling Islam. Alasannya karena konsep Peale sangat relevan dengan nilai-nilai tujuan bimbingan konseling Islam yaitu membantu individu sebagai klien yang belum atau sudah terkena masalah menjadi manusia seutuhnya dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, tujuan akhir bimbingan dan konseling Islam adalah membantu klien, yakni orang yang dibimbing agar mencapai kebahagiaan hidup yang senantiasa didambakan oleh setiap muslim.

(8)

viii

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang yang senantiasa telah menganugerahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul ” PEMIKIRAN NORMAN VINCENT PEALE DALAM BUKUTHE POWER OF POSITIVE THINKING DAN RELEVANSIYA TERHADAP NILAI-NILAI BIMBINGAN PENGEMBANGAN DIRI DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM”. Karya skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) bidang jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti jejak perjuangannya.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan dan dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi penulis dengan baik. Oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Rektor IAIN Walisongo, yang telah memimpin lembaga tersebut dengan baik

2. Bapak Dr. Muhammad Sulthon, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.

3. Ibu Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd selaku dosen pembimbing I dan Bapak Abdul Sattar, S Ag. M.Ag selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan membimbing dengan keikhlasan dan kebijaksanaannya meluangkan waktu, waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan-pengarahan hingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Ibu Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd selaku dosen wali yang telah berkenan membimbing dan mengarahkan hingga terselesaikannya skripsi ini.

(9)

ix

baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

6. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang serta pengelola perpustakaan Fakultas Dakwah yang telah memberikan pelayanan kepustakaan dengan baik. 7. Ayahanda dan Ibunda yang tercinta, adinda.

8. Temen-temenku mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, khususnya kepada mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Terutama ditujukan kepada teman-temanku di jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan yang ideal dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Semarang, 30 Mei 2011 Penulis

(10)

x

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAKSI ... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN DAFTAR ISI ... x

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... …1

1.2. Perumusan Masalah ... …7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... …7

1.4. Tinjauan Pustaka ... …8

1.5. Pendekatan dan Metode Penelitian ... ..11

1.6. Sistematika Penulisan Skripsi ... ..14

BAB II: NILAI-NILAI MANFAAT BERPIKIR POSITIF, BIMBINGAN PENGEMBANGAN DIRI, DAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM 2.1. Nilai-Nilai Manfaat Berpikir Positif ... 16

2.1.1. Pengertian Nilai dan Berpikir Positif ... 16

2.1.2. Ciri-Ciri Orang Berpikir Positif ... 28

2.1.3. Nilai-Nilai Manfaat Berpikir Positif ... 31

2.2. Bimbingan Pengembangan Diri ... 35

2.2.1. Pengertian Bimbingan ... 35

2.2.2. Pengembangan Diri ... 36

2.2.3. Macam-Macam Pengembangan Diri ... 38

2.3. Bimbingan dan Konseling Islam ... 47

2.3.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam ... 47

(11)

xi

Islam ... 55

BAB III: PENGEMBANGAN DIRI DALAM BUKU THE POWER OF POSITIVE THINKING KARANGAN NORMAN VINCENT PEALE 3.1. Biografi Norman Vincent Peale ... 57

3.2. Konsep Norman Vincent Peale dalam Buku The Power of Positive Thinking ... 60

3.2.1. Percaya Pada Diri Sendiri ... 60

3.2.2. Pikiran Damai Memberi Kekuatan ... 69

3.2.3. Memilih Energi Konstan ... 78

3.2.4. Mencoba Kekuatan Doa ... 80

3.2.5. Menciptakan Kebahagiaan Diri Sendiri ... 82

3.2.6. Stop Menggerutu dan Cerewet ... 84

BAB IV: ANALISIS BIMBINGAN KONSELING ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI BIMBINGAN PENGEMBANGAN DIRI DALAM BUKU THE POWER OF POSITIVE THINKING KARANGAN NORMAN VINCENT PEALE SEBAGAI NILAI-NILAI ISLAM 4.1. Nilai-Nilai Bimbingan Diri dalam buku The Power of Positive Thinking Karangan Norman Vincent Peale ... 87

4.2. Bentuk Kesesuaian Nilai-Nilai Pengembangan Diri dalam buku The Power of Positive Thinking karangan Norman Vincent Peale dengan nilai-nilai Bimbingan dan Konseling Islam ... 103 BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 114 5.2. Saran-Saran ... 115 5.3. Penutup ... 116 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP

(12)

1 1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan objek kajian yang selalu menarik untuk dikaji. Pengkajian dan penelitian tentang manusia, sejak zaman klasik hingga sekarang belum selesai. Ketertarikan para ahli untuk meneliti manusia, karena manusia adalah makhluk Allah Swt yang memiliki keunggulan ketimbang makhluk lain (Solihin, 2005: 99). Manusia juga sebagai makhluk yang berakal, yang dapat berfikir dan dapat menyadari dirinya (Patty, dkk, 1882: 146).

Konsep manusia dalam dimensi tertentu merupakan hal yang penting. Konsep tersebut dirasakan penting karena ia termasuk pandangan manusiawi yang senantiasa dicari, yakni suatu pandangan makhluk unik yang sejak kehadirannya di muka bumi hakikatnya tidak pernah tuntas (Soebahar, 2000: 1). Manusia diberi akal yang menurut Syukur (2004: 152) "… Akal merupakan instrumen pokok bagi seseorang, yang menjadi dasar pijakan perkembangannya…"

Berdasarkan keterangan tersebut, manusia dengan akal dan segenap potensinya dapat mengembangkan diri. Sungguh benarlah firman Allah yang berbunyi:

(...

Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Ar-ra’du: 11).

(13)

Dengan demikian manusia mampu mengembangkan dirinya untuk lebih baik, dari pikiran negatif menuju pikiran yang positif serta dari sikap yang buruk ke sikap yang baik. Jadi manusia dapat memberikan bentuk pada kapasitas dan potensinya. Berbeda halnya dengan paham jabariyah bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena itu paham ini menganggap bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa (Nasution, 1986: 31).

Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustasi yang dialami dalam dirinya (Agustiani, 2006:146). Menyesuaikan diri berarti mampu mengadakan kompromi atau persesuaian antara yang diinginkannya dengan kenyataan (Finkelor, 2004:29).

Manusia mencoba untuk mengatasi kekurangannya dengan bekerja keras dan upaya mengembangkan kekurangan yang ada padanya atau dengan menjelaskan pada orang lain kekurangan-kekurangan pada dirinya dengan maksud dapat membantu mencegah dan memecahkan masalah yang ada. Sebagaimana metode yang ditawarkan Peale (2010: 22) “Carilah seorang konselor yang bisa membantu dan memahami mengapa seseorang berbuat seperti yang yang dilakukan”.

Pada perubahan diri ini juga selalu mengandung unsur pengembangan diri. Perubahan diri dan pengembangan diri ini menjadi unsur-unsur utama

(14)

bagi eksistensi hidup (Kartono, 2005: 142). Pada proses ini memang ada usaha pengarahan pada diri. Dalam usaha untuk mengembangkan dirinya manusia itu menyadari kekurangan-kekurangan dan keterbatasan kemampuanya. Ia belajar mengenali diri sendiri sebagai makhluk yang serba kurang, banyak melakukan kesalahan dan dosa. Orang yang sehat dan berkembang dengan baik dapat menerima adanya kelemahan-kelemahan manusiawi. Manusia tidak dapat lepas dari kesalahan, itulah sebabnya mereka mempunyai pensil yang ujungya juga dipasang karet penghapus (Brady, 1991:94). Karena kesadaran dan ketulusan itulah maka timbul rasa penyerahan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta kasih dan pasrah diri pada Ilahi itu merupakan usaha pokok dari manusia menuju pada kesempurnaan. Nilai-nilai spritual dan renungan-renungan tentang hakekat abadi atau Ilahi itu memberikan kekuatan dan stabilitas pada manusia, memberikan energi dan daya tahan untuk berkembang. (Kartono, 2005:143).

Perkembangan manusia berjalan secara bertahap melalui berbagai fase perkembangan. Dalam setiap tahap perkembangan ditandai dengan bentuk kehidupan tertentu yang berbeda dengan tahap sebelum dan sesudahnya. (Azhari, 2004:172). Manusia yang memiliki dua unsur pokok yaitu jasmani dan rohani, dapat diketahui antara lain firman Allah sebagi berikut:

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada

malaikat,”Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepada roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu

(15)

bersujud kepadanya” (Q.S. Shadd, 38:71-72) (Depag RI, 1996: 741).

Manusia dianugrahkan Allah kemampuan rohaniah yang kadarnya jauh lebih tinggi dibandingkan makhluk-makhluk lainya. Kemampuan-kemampuan rohaniah yang dimiliki manusia banyak disebut dalam Al-Qur’an dan Hadis diantaranya: akal, hati nurani, penglihatan dan pendengaran. (Faqih, 2001:7).

Secara kodrati manusia merupakan wujud yang khas, yang memiliki pribadi (individu) sendiri, atau memiliki eksitensinya sendiri. (Faqih, 2001: 9). Di dalam Al-Qur’an dijelaskan:

Artinya: Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuranya”. (Q.S.Al Qamar, 54: 49) (Depag RI, 1996: 883). Segala sesuatu yang diciptakan Allah itu mempunyai kadar atau ukuran, dalam arti kadar atau ukuran masing-masing.

Bagi kebanyakan orang pengembangan diri masih merupakan kata yang abstrak. Apa itu cuma sekedar pemberian motivasi ketika seseorang sedang down atau perubahan untuk menjadi lebih baik dari sebelumya. Dari sekian banyak pengertian yang sering terdengar mengenai pengembangan diri, rupanya pengembangan diri dimulai dari pengetahuan tentang, siapa? Apa yang dimau dan tujuan? Apa yang dimiliki untuk mencapai tujuan itu? Tiga hal ini menjadi peta dasar untuk pengembangan diri. Apabila seseorang sudah mengenal diri sendiri, maka tidak mengabaikan faktor-faktor dalam hidup yang menurut pendapatnya sangat penting, melainkan berupaya sungguh-sungguh untuk menyesuaikan diri dengan faktor-faktor itu (Finkelor, 2004:29).

(16)

Menurut Peale (2010:246) bahwa salah satu fakta paling penting dan kuat mengenai diri sendiri dinyatakan oleh William James seorang filosof berkebangsaan Amerika, bahwa manusia mampu mengubah hidup dengan mengubah pikiran mereka. Apa yang dipikirkan begitulah jadinya. Jadi singkirkan semua pikiran usang, isi benak dengan pikiran kreatif yang baru dan segar yang bersumber pada keyakinan, kasih dan kebaikan. Dengan proses ini seseorang dapat membentuk kembali hidupnya.

Untuk mencapai apa yang dikehendaki seseorang maka ia harus tahu siapa dirinya dan apa yang dimiliki untuk mencapai tujuan itu. Dari sana seseorang bisa menyiapkan diri dengan belajar, berusaha, bekerja dan berdoa untuk menciptakan kebahagian diri. Berkelilinglah dan katakan segalanya tidak berjalan lancar dan memuaskan, maka seseorang tidak akan bahagia, dan katakanlah segala sesuatunya berjalan dengan lancar maka orang itu akan bahagia (Peale, 2010: 88).

Pengembangan diri merupakan topik yang luas karena di dalamnya ada manajemen waktu, personal goal setting, creative thinking, positive thinking,

motivation dan problem solving. Tetapi seseorang selalu kembali pada tiga hal

di atas (yaitu dari mana, siapa dirinya, dan mau kemana) karena pengembangan diri merupakan proses yang harus terjadi di dalam diri sendiri, bukan orang lain. Artinya orang menciptakan kondisi baru diluar dengan melakukan perubahan di dalam diri sendiri.(htt://www.pengembangan diri.com/blogs/15/pengembangan diri dimulai dari mana).

(17)

Pada umumnya, manusia kalah oleh permasalahan kehidupan mereka sendiri. Mereka menjalani hari-hari dengan amarah terhadap apa yang mereka anggap “nasib buruk” yang diberikan oleh kehidupan. (Peale, 2010:ix). Memang yang dinamakan nasib buruk dalam hidup ini kemungkinan ada, tetapi yang namanya semangat dan cara-cara mengendalikan bahkan menentukan nasib itu juga ada. Sebagaimana yang disarankan oleh Peale agar setiap orang selalu percaya diri, berfikir positif dengan mengisi pikiran tentang kehadiran, dukungan, dan bantuan Tuhan, maka akan menemukan kekuatan untuk mengubah cara berfikirnya (Peale, 2010:12). Sayangya, kebanyakan orang membiarkan diri dikalahkan oleh masalah dan kesulitan hidup oleh cara berfikirya sendiri, padahal hal tersebut sama sekali tidak perlu terjadi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: “Aku menurut (mengikuti) persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, Aku bersamanya manakala dia mengingat-Ku” (Imam Muslim, tth: IV: 62).

Maksudnya adalah jika persepsi manusia kepada Allah itu baik maka Allah pun akan menjadikan baik yaitu sesuai dengan persepsi manusia itu sendiri, maka begitulah yang berlaku baginya, begitu pula jika dia berprasangka buruk terhadap-Nya, maka begitulah yang berlaku baginya. Jadi,

positive thinking lah dalam menjalani hidup ini. Dengan belajar memanfaatkan

doa yang besar, karena Tuhan akan menilai seseorang sesuai dengan besar doa yang dipanjatkan. Jika semakin besar masalah, semakin besar doa yang dilakukan (Peale, 2010:9).

(18)

Yang menarik dari pemikiran Peale adalah pertama, meskipun ia beragama Nasrani namun pemikirannya banyak kesesuaian dengan ajaran agama; kedua, pendekatan yang digunakan Peale memiliki metode ilmiah karena disusun secara metodologis, sistematis dan logis. Ketiga, pemikirannya mudah dipahami oleh pembaca karena ilustrasi yang dikembangkan sesuai dengan fenomena yang terjadi.

Untuk mendapatkan hasil yang terbaik serta mendapatkan ridha-Nya, bimbingan atau nasehat yang telah dipaparkan diatas semuanya bernilai positif dan bernuansa agamis, termasuk nilai-nilai yang disarankan Peale. Dari hal di atas itulah penulis tertarik untuk mengkaji “Pemikiran Norman Vincent Peale

dalam Buku The Power of Positive Thinking dan Relevansiya terhadap Nilai-Nilai Bimbingan Pengembangan Diri dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling Islam"

1.2. Perumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana nilai-nilai bimbingan pengembangan diri dalam buku The

Power of Positive Thinking karangan Norman Vincent Peale?

1.2.2. Bagaimana bentuk kesesuaian nilai-nilai pengembangan diri dalam buku

The Power of Positive Thinking karangan Norman Vincent Peale dan

relevansinya terhadap nilai-nilai Bimbingan dan Konseling Islam? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(19)

1. Untuk mengetahui nilai-nilai bimbingan pengembangan diri dalam buku The Power of Positive Thinking karangan Norman Vincent Peale.

2. Untuk mengetahui bentuk kesesuaian nilai-nilai pengembangan diri dalam buku The Power of Positive Thinking karangan Norman Vincent Peale dan relevansinya terhadap nilai-nilai Bimbingan dan Konseling Islam.

1.3.2. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Diharapkan hasil penelitian bisa memperluas khazanah keilmuan dan sumbangan pemikiran yakni wawasan mengenai nilai-nilai bimbingan pengembangan diri yang disarankan oleh Norman Vincent Peale dalam bukuya The Power of Positive Thingking, dalam rangka meningkatkan peran dan fungsi bimbingan dan konseling Islam. 2. Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pemahaman tentang nilai-nilai bimbingan pengembangan diri yang ditawarkan oleh Norman Vincent Peale dalam bukuya The Power of Positive Thingking dengan nilai-nilai Bimbingan dan Konseling Islam.

1.4. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa masalah yang akan diteliti bukanlah sama sekali belum pernah ditulis atau diteliti sebelumnya. Pada dasarnya urgensi tinjauan pustaka adalah sebagai bahan atau

(20)

kritik terhadap penelitian yang ada, baik mengenai kelebihan maupun kekurangannya, sekaligus sebagai bahan komparatif terhadap kajian yang terdahulu. Untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil temuan yang membahas permasalahan yang sama atau hampir sama dari seseorang, baik dalam bentuk skripsi, buku dan dalam bentuk tulisan yang lainnya, maka penulis akan memaparkan beberapa bentuk tulisan yang sudah ada. Beberapa bentuk tulisan atau hasil penelitian yang peneliti paparkan sebagai berikut :

Pertama, penelitian yang disusun oleh Soraya Sithi Lathifah Nurhamida (2008) berjudul: Konsep Prophetic Intelligence (Kecerdasan

Kenabian) Menurut Hamdani Bakran Adz-Dzakiey Hubungannya dengan Bimbingan dan Konseling Islam. Pada intinya hasil penelitian menunjukkan

bahwa menurut Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, untuk membangun kesehatan ruhani sebagai dasar Prophetic Intelligence sebagai berikut: a. proses penyadaran diri; b. proses penyucian diri; c. proses pengembangan kesehatan ruhani yang dirinci dalam bentuk pemahaman terhadap ilmu tauhid, membiasakan zikir, membiasakan membaca Al-Qur'an dan menjalankan lima rukun Islam serta membiasakan salat malam.

Konsep Adz-Dzakiey dapat dijadikan materi BKI. Alasannya karena konsep Adz-Dzakiey sangat relevan dengan tujuan, asas-asas bimbingan konseling Islam. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sedang penulis susun karena titik berat pembahasannya adalah tentang cara hidup untuk bisa meniru perilaku Nabi Muhammad Saw, sedangkan penelitian yang sedang penulis susun membahas upaya untuk berpikir positif secara universal.

(21)

Kedua, Pemikiran al-Ghazali tentang “Riyadhah al-Nafs (Studi

Analisis Bimbingan dan Konseling Islam)” yang ditulis oleh Hatta Abdul

Malik (2002), di dalamnya ia mengungkapkan konsep Riyadhah al-Nafs sebagai pembiasaan dalam perbuatan-perbuatan baik sehingga dapat membentuk watak yang diwarnai oleh pikiran seorang sufi. Al-Ghazali menekankan adanya segi batiniyyah yang baru ada dalam sikap pelaksanaan rukun Islam, sebab dengan adanya unsur-unsur batiniyah tersebut, rukun Islam dapat dijadikan terapi ataupun menjadi bersih dari tipuan, belenggu dan dengki, hati menjadi ikhlas dengan semua yang ditakdirkan Allah, juga meliputi cara memperoleh akhlak yang baik, cara-cara untuk mengenali cacat dan kekurangan diri. Perbedaannya, penelitian ini menggunakan titik berat pendekatan tasawuf, sedangkan penelitian yang penulis susun menggunakan titik berat pendekatan bimbingan dan konseling Islam.

Ketiga, Oktaful Gofur (2006:V) dengan judul, “Konsep Aktualisasi

Diri Abraham Maslow dan Korelasinya dalam Membentuk Kepribadian (Analisis Bimbingan Konseling Islam)”. Dalam skripsi ini membahas tentang

pendapat Maslow bahwa kebutuhan manusia terbagi atas lima hal yang tersusun secara piramida yang berguna untuk membentuk kepribadian manusia, di antara kebutuhan itu adalah: kebutuhan fa’ali, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri, hampir semua manusia menurut Maslow mampu memenuhi kebutuhan fa’ali, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan diri, tetapi tidak semua manusia dapat memenuhi

(22)

kebutuhan akan aktualisasi diri. Hal ini tentu saja akan menghambat pembentukan kepribadian individu tersebut, apabila kebutuhan ini terhambat dapat mengalami penyimpangan-penyimpangan kepribadian. Aktualisai diri tidak dapat tercapai oleh semua orang dikarenakana biasanya individu tersebut mengalami ketakutan, keraguan yang berasal dari dalam dirinya, bisa juga akibat dari kebutuhan rasa aman yang kuat dari dalam individu sendiri. Perbedaannya, penelitian ini fokus bahasanya pada kebutuhan manusia pengaruhnya terhadap kepribadian tanpa mengulas upaya untuk berpikir positif seperti dalam penelitian yang sedang penulis susun.

Berdasarkan telaah pustaka di atas, maka penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian yang peneliti susun saat ini, karena penelitian saat ini fokus kajiannya adalah bimbingan dan konseling Islam relevansinya dengan nilai-nilai bimbingan pengembangan diri dalam buku The Power of Positive

Tinking karangan Norman Vincent Peale.

1.5. Pendekatan dan Metode Penelitian 1.5.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini banyak menggunakan data kepustakaan. Jenis penelitian ini merupakan penelitian literer sehinga termasuk penelitian kualitatif karena data-data yang disajikan berupa pernyataan-pernyataan tentang nilai-nilai bimbingan dan konseling Islam dan nilai-nilai bimbingan pengembangan diri.

Menurut Bogdan dan Taylor (1975: 4) "qualitative

(23)

descriptive data, people's own written or spoken words and observable behavior" (metodologi kualitatif adalah sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati). Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi, karena pengetahuan tentang jiwa manusia mutlak diperlukan. Melalui pendekatan ini dapat diketahui kondisi psikologis cara berpikir manusia dalam konteksnya dengan nilai-nilai bimbingan pengembangan diri menurut Peale terhadap nilai-nilai bimbingan dan konseling Islam.

1.5.2. Sumber Data

Data penelitian ini adalah buku The Power of Positive Tinking

Karangan Norman Vincent Peale. Untuk memperoleh data yang

diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data kepustakaan (library research) yaitu penelitian langsung terhadap buku-buku/referensi yang ada untuk memperoleh data teoritis yang dibahas. Sumber data dalam penelitian adalah dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2006:129). Menurut sumbernya, data penelitian digolongkan sebagai data primer dan data sekunder (Azwar, 1998:91). a. Data primer

Data primer adalah alat pengambilan data dari subjek penelitian sebagai suber informasi yang dicari (Azwar, 1998:91) yaitu sumber yang diperoleh langsung dari sumber utama karya

(24)

Norman Vincent Peale yakni: “The Power of Positive

Thinking”Yogyakarta: Cintabuku, 2010.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah sumber data yang dijadikan data pelengkap dan pendukung data primer atau data dari tangan kedua (Surakhmad, 1990:163), yang diambil dari buku-buku yang memiliki relevansi langsung dengan materi yang akan diteliti misalnya, Bilif Abduh, S.S., The Power of Positive Thinking, for

Islamic Happy Life. 2010, Jakarta: PT Suara Buku; Abu Nayla

al-Magety. 2010. Metode Terapi Positif Thinking. Yogyakarta: Moncer Publisher.

1.5.3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengertian letterlijk, kata "metode" berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari meta yang berarti "melalui", dan hodos yang berarti "jalan". Jadi, metode berarti "jalan yang dilalui" (Arifin, 2009: 89). Dalam penulisan skripsi ini, metode pengumpulan data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan mengunakan studi dokumenter yaitu sebuah teknik pengumpulan data melalui kepustakaan dan menelaah tentang niai-nilai bimbingan konseling Islam terhadap nilai-nilai bimbingan pengembangan diri menurut Peale.

Pengumpulan data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah library research, yaitu mendayagunakan sumber

(25)

informasi yang terdapat diperpustakaan dan informasi yang lainnya. (Singarimbun dan Efendi, 1982:45). Metode ini digunakan menelaah literatur yang berkaitan dengan pembahasan skripsi. Hasil telaah tersebut dijadikan sebagai bahan refrensi dalam mengkaji data (buku) yang diperoleh baik dari data primer maupun sekunder.

1.5.4. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah mengolah atau menganalisis data. Dalam mengolah data metode yang digunakan adalah interpretasi artinya menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan untuk mencapai tujuan pokok Untuk hal itu, maka penulis merumuskan, mengumpulkan dan memproses data serta membuat analisis dan interpretasi (Singarimbun dan Effendi, 1982:213).

Dalam analisis ini metode yang digunakan adalah deskriptif dan intrepretasi. Deskripsi yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian, berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan sebagaimana adanya. Data yang sudah terkumpul dan direpresentasikan harus disertai dengan penafsiran (Nawawi dan Martini, 1996: 73-74). Sedangkan interpretasi yaitu menyelami isi buku untuk setepat mungkin mampu mengungkap arti dan makna uraian yang disajikan (Baker, 1990:69). Analisis interpretasi di sini digunakan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam buku Peale.

(26)

15

DIRI DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM

2.1 Nilai-Nilai Berpikir Positif

2.1.1 Pengertian Nilai dan Berpikir Positif

Nilai merupakan tema baru dalam filsafat: aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul yang pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19 (Frondizi, 2001: 1). Menurut Riseri Frondizi, nilai itu merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda; benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup setiap bentuk empiris, nilai adalah kualitas a priori (Frondizi, 2001: 1).

Menurut Langeveld (tth: 196) dalam bahasa sehari-hari kata kita ―barang sesuatu mempunyai nilai‖. Barang sesuatu yang dimaksudkan di sini dapat disebut barang nilai. Dengan demikian, mempunyai nilai itu adalah soal penghargaan, maka nilai adalah dihargai (Mustansyir dan Munir, 2002: 26).

Sehubungan dengan itu, S.Praja (2003: 59) dengan singkat mengatakan, nilai artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Pada umumnya orang mengatakan bahwa nilai sesuatu benda melekat dan bukan di luar benda. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa nilai ada di luar benda

(27)

Nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (yakni manusia yang meyakini). Sedangkan pengertian nilai menurut J.R. Fraenkel sebagaimana dikutip Toha (1996: 60) adalah a value is an

idea a concept about what some one thinks is important in life.

Pengertian ini menunjukkan bahwa hubungan antara subjek dengan objek memiliki arti penting dalam kehidupan objek. Sebagai contoh segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari pada segenggam emas. Sebab garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan atau mati, sedangkan emas semata-mata untuk perhiasan. Sedangkan bagi masyarakat kota, sekarung garam tidak berarti dibandingkan dengan segenggam emas, sebab emas lebih penting bagi orang kota.

Gazalba sebagaimana dikutip Toha (1996: 60) mengartikan nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.

Pengertian tersebut menunjukkan adanya hubungan antar subjek penilaian dengan objek, sehingga adanya perbedaan nilai antara garam dengan emas. Tuhan itu tidak bernilai bila tidak ada subjek yang memberi nilai, Tuhan menjadi berarti setelah ada makhluk yang membutuhkan. Ketika Tuhan sendirian, maka ia hanya berarti bagi

(28)

diri-Nya sendiri. Garam menjadi berarti seolah ada manusia yang membutuhkan rasa asin. Emas menjadi berarti setelah ada manusia yang mencari perhiasan.

Namun demikian nilai-nilai semata-mata terletak kepada subjek pemberi nilai, tetapi di dalam sesuatu tersebut mengandung hal yang bersifat esensial yang menjadikan sesuatu itu bernilai. Tuhan mengandung semata sifat kesempurnaan yang tiada taranya dari segenap makhluk apapun di jagat raya ini; garam mengandung zat asin yang dibutuhkan manusia; dan emas mengandung sesuatu yang tidak akan berkarat. Apabila unsur yang bersifat esensial ini tidak ada, maka manusia juga tidak akan memberikan harga terhadap sesuatu tersebut.

Menurut Louis O. Kattsof (1986: 333) nilai diartikan sebagai berikut:

1. Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-mata subjektif, melainkan ada tolok ukur yang pasti yang terletak pada esensi objek itu.

2. Nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada dalam kenyataan maupun pikiran dapat memperoleh nilai jika suatu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang memiliki kepentingan. Pengertian ini hampir sama dengan pengertian antara garam dan emas tersebut di atas.

3. Sesuai dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil dari pemberian nilai, nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan.

4. Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah ada sejak semula, terdapat dalam setiap kenyataan namun tidak bereksistensi, nilai itu bersifat objektif dan tetap.

Dari pengertian tersebut, menurut Chabib Toha, nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan

(29)

manusia. Esensi belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan peningkatan daya tangkap dan pemaknaan manusia sendiri.

Hakekat kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk perdamaian, perdamaian hidup merupakan esensi kehidupan manusia. Esensi itu tidak hilang walaupun kenyataannya banyak bangsa yang berperang. Nilai perdamaian semakin tinggi selama manusia mampu memberikan makna terhadap perdamaian, dan nilai perdamaian juga berkembang sesuai dengan daya tangkap manusia tentang hakekat perdamaian.

Nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandangan, yang menyebabkan terdapat bermacam-macam nilai, antara lain:

a. Dilihat dari segi kebutuhan hidup manusia, nilai menurut Abraham Maslaw dapat dikelompokkan menjadi:

1. Nilai biologis, 2. Nilai keamanan. 3. Cinta kasih 4. Harga diri

5. Nilai jati diri (Toha, 1996: 62-63).

Kelima nilai tersebut berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Dari kebutuhan yang paling sederhana, yakni kebutuhan akan tuntutan fisik biologis, keamanan, cinta kasih, harga diri dan yang terakhir kebutuhan jati diri.

(30)

Apabila kebutuhan dikaitkan dengan tata-nilai agama, akan menimbulkan penafsiran yang keliru. Apakah untuk menemukan jati diri sebagai orang muslim dan mukmin yang baik itu baru dapat terwujud setelah kebutuhan yang lebih rendah tercukupi lebih dahulu? Misalnya makan cukup, tidak ada yang merongrong dalam beragama, dicintai dan dihormati kemudian orang itu baru dapat beriman dengan baik, tentunya tidak. Nilai keimanan dan ketaqwaan tidak tergantung pada kondisi ekonomi maupun sosial budaya, tidak terpengaruh oleh dimensi ruang dan waktu.

b. Dilihat dari Kemampuan jiwa manusia untuk menangkap dan mengembangkan, nilai dapat dibedakan menjadi dua yakni:

1. Nilai yang statik, seperti kognisi, emosi, dan psikomotor.

2. Nilai yang bersifat dinamis, seperti motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, motivasi berkuasa (Muhadjir, 1990: 133). c. Pendekatan proses budaya sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah

Sigit, nilai dapat dikelompokkan dalam tujuh jenis yakni: 1. Nilai ilmu pengetahuan

2. Nilai ekonomi 3. Nilai keindahan 4. Nilai politik 5. Nilai keagamaan 6. Nilai kekeluargaan dan

7. Nilai kejasmanian (Muhadjir, 1990: 133).

Pembagian nilai-nilai ini dari segi ruang lingkup hidup manusia sudah memadai sebab mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, karena itu nilai ini juga mencakup

(31)

nilai-nilai ilahiyah (ke-Tuhanan) dan nilai-nilai insaniyah

(kemanusiaan).

d. Pembagian nilai didasarkan atas sifat nilai itu dapat dibagi ke dalam 1. nilai-nilai subjektif

2. nilai-nilai objektif rasional,

3. nilai-nilai objektif metafisik (Kattsof, 1986: 331).

Nilai subjektif adalah nilai yang merupakan reaksi subjek terhadap objek, hal ini sangat tergantung kepada masing-masing pengalaman subjek tersebut. Nilai subjektif rasional (logis) yakni nilai-nilai yang merupakan esensi dari objek secara logis yang dapat diketahui melalui akal sehat. Seperti nilai kemerdekaan, setiap orang memiliki hak untuk merdeka, nilai kesehatan, nilai keselamatan badan dan jiwa, nilai perdamaian dan sebagainya. Sedangkan nilai yang bersifat objektif metafisik yakni nilai-nilai yang ternyata mampu menyusun kenyataan objektif, seperti nilai-nilai agama. e. Nilai bila dilihat dari sumbernya terdapat:

1. nilai illahiyah (ubudiyah dan muamalah)

2. nilai insaniyah. Nilai ilahiyah adalah nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah), sedangkan nilai insaniyah adalah nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh manusia pula.

(32)

f. Dilihat dari segi ruang lingkup dan keberlakuannya nilai dapat dibagi menjadi:

1. nilai-nilai universal

2. nilai lokal (Muhadjir, 1990: 34). Tidak tentu semua nilai-nilai agama itu universal, demikian pula ada nilai-nilai-nilai-nilai insaniyah yang bersifat universal. Dari segi keberlakuan masanya dapat dibagi menjadi (1) nilai-nilai abadi, (2) nilai pasang surut dan (3) nilai temporal.

g. Ditinjau dari segi hakekatnya nilai dapat dibagi menjadi: 1. nilai hakiki (root values)

2. nilai instrumental (Muhadjir, 1990: 34). Nilai-nilai yang hakiki itu bersifat universal dan abadi, sedangkan nilai-nilai instrumental dapat bersifat lokal, pasang-surut, dan temporal.

Perbedaan macam-macam nilai ini mengakibatkan perbedaan dalam menentukan tujuan pengembangan diri, perbedaan strategi yang akan dikembangkan dalam berpikir positif, perbedaan metoda dan teknik dalam berpikir positif. Di samping perbedaan nilai tersebut di atas yang ditinjau dari sudut objek, lapangan, sumber dan kualitas/serta masa keberlakuannya, nilai dapat berbeda dari segi tata strukturnya. Tentu hal ini lebih ditentukan dari segi sumber, sifat dan hakekat nilai itu.

Adapun pengertian berpikir positif sebagai berikut: berpikir berarti meletakkan hubungan antarbagian pengetahuan yang diperoleh

(33)

manusia. Yang dimaksud pengetahuan di sini mencakup segala konsep, gagasan, dan pengertian yang telah dimiliki atau diperoleh manusia oleh manusia (Soemanto, 2006: 31). Dalam berpikir terlibat semua proses yang disebut sensasi, persepsi dan memori (Rakhmat, 2009: 67).

Berpikir berhubungan dengan masalah akal, dalam al-Qur‘an terdapat 49 kata yang muncul secara variatif dari kata dasar ‘aql. Yaitu

‘aqala sekali, ta’qilun 24 kali, na’qilu sekali, ya’qiluha sekali, dan ya’qilun 22 kali (Bâqy, 1981: 468-469). Pandangan yang sama

dikemukakan Qardhawi (2004: 19), materi aql dalam al-Qur'an terulang 49 kali. Kecuali satu, semuanya datang dalam bentuk fi'il mudhâri', terutama materi yang bersambung dengan wawu jama'ah seperti bentuk

ta'qilun atau ya'qilun.

Menurut Shihab (2003: 294-295), kata 'aql (akal) tidak ditemukan dalam Al-Quran, yang ada adalah bentuk kata kerja—masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran menggunakannya bagi "sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata

'aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:

a. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya:

(34)

"Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang alim (berpengetahuan)".

b. Dorongan moral, seperti firman-Nya,

"... dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak atau tersembunyi, dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu. memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya".

c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah Bagaimanapun kata ‗aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir (Nasution, 2005: 7).

Berangkat dari uraian di atas, menurut El-Bahdal (2010: 41): Pikiran/berpikir positif adalah potensi dasar yang mendorong

manusia untuk berbuat dan bekerja dengan menginvestasikan seluruh kemampuan kemanusiaannya. Berpikir positif akan membuat hidup seseorang menjadi lebih baik. Itulah pikiran yang membantu seseorang dalam mengembangkan akal, perasaan, dan perilakunya menjadi lebih baik. Itulah pikiran yang dapat menyingkap kekuatan tersembunyi pada manusia dan mengubah kehidupannya menjadi lebih berkualitas (El-Bahdal, 2010: 41).

Sebaliknya pikiran/berpikir negatif adalah sekumpulan pikiran salah yang menghambat langkah kita menuju kondisi yang lebih baik dan membuat perilaku kita tidak terarah. Pikiran negatif membuat kita

(35)

menjadi manusia-manusia yang tidak mampu: tidak mampu karena lemah atau tidak mampu karena merasa tidak berhak untuk sukses (El-Bahdal, 2010: 42).

Menurut Abduh (2010: 1) berpikir positif adalah

Menggunakan kinerja otak kita untuk memikirkan hal-hal yang positif. Langkah ini tak ubahnya seperti "meng-install otak dengan file-file dan program-program yang positif. Ketika ini sudah menjadi sebuah kebiasaan maka dengan sendirinya otak akan menyuguhkan perintah, ide, dan renungan-renungan positif atas segala sendi kehidupan yang kita jalani.

Dalam kitab al-Khawaathir (mind) karya Syaikh Mutawalli Sya'rawi disebutkan bahwa pikiran adalah keistimewaan yang dipakai manusia untuk memilih sesuatu dari beberapa alternatif dan menentukan pilihan pada hal yang menguntungkan masa depan diri dan keluarganya. Dalam buku What People Think Will be Acquired, James Alien menulis bahwa adanya pemikiran pada manusia membuatnya mampu menentukan pilihan dalam hidup. Dalam ilmu psikologi sosial, para ilmuwan sepakat bahwa kemampuan berpikir yang ada pada manusia telah menjadikannya sebagai makhluk paling spesial. Kemampuan itu sebagai pembeda antara manusia dengan binatang, tumbuhan, dan benda mati. Kemampuan berpikir pula yang membuat seseorang bisa membedakan mana yang berguna atau merugikan dirinya, mana yang halal dan mana yang haram, dan mana yang mungkin dicapai dan mana pula yang tak mungkin diraihnya. Dengan adanya pikiran, manusia

(36)

mampu memilih hal yang sesuai dengan dirinya dan memungkinkan baginya untuk diraih (Al-Faqi, 2009: 1).

Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan hal-hal positif? Secara teoritis banyak definisi yang bisa diajukan sebagai konsep terkait hal positif. Namun, secara praktis, yang disebut dengan hal positif adalah setiap pemikiran, ide, sikap, tindakan atau perbuatan yang mampu mengarahkan dan mendekatkan diri kepada fitrah kemanusiaan kita yang suci. Melangkah lebih dekat menuju realitas tertinggi (Allah Swt) dengan amalan-amalan yang bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dari sinilah terlihat jelas konsep kebermanfaatan manusia secara positif. Singkatnya, setiap yang bermanfaat merupakan perwujudan dari gerak ide maupun perbuatan positif (Abduh, 2010: 1).

Berpikir positif dengan sendirinya juga mengerdilkan untuk tidak menyebut membunuh potensi keburukan yang ditimbulkan oleh bisikan nafsu jahat manusia yang bisa menjurus pada fasad (kerusakan), baik dalam skala makro maupun mikro.

Apa alasan yang mendasari bahwa berpikir positif sama halnya dengan "mengerdilkan" potensi kejahatan (negativisme) dalam diri maupun jiwa manusia? Hal ini karena menurut beragam kajian tentang kinerja otak manusia, salah satunya dikemukakan oleh Dr. Ibrahim Elfiky, bahwa otak manusia tidak bisa digunakan untuk memikirkan dua hal berlainan pada saat bersamaan. Jika seseorang memikirkan hal-hal

(37)

positif maka dengan sendirinya otak akan mengunci "pintu" bagi

masuknya ide atau ; pikiran negatif (Abduh, 2010: 2). Masih dalam pengertian yang seirama, Allah Swt pun jauh-jauh

hari telah memberitahukan kepada manusia bahwa Dia tidak pernah membuat dua ruang dalam satu hati. Artinya, sebagaimana kinerja otak, kinerja hati pun tidak jauh berbeda. Mana yang paling dominan di antara dua hal yang ada maka itulah yang akan menempati relung hati dan lorong otak seseorang.

Oleh karenanya, dalam Islam dikenal sebuah istilah tazkiyatun

nafsi (penyucian diri). Langkah ini dilakukan sebagai titik tolak

seseorang menuju hidup yang suci dan bersih (positif). Segala hal yang negatif dikeluarkan dan dibuang terlebih dahulu sebelum menggantinya dengan yang positif. Mengapa? Karena sesungguhnya kebenaran tidak akan pernah bisa bercampur dengan kejahatan. Allah swt berfirman,

Artinya: Dan katakanlah, kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap dan sesungguhnya yang batil itu telah lenyap. "(QS. Al-Isra' [17]: 81).

Dari ayat tersebut, apa yang bisa dambil sebagai poin terpenting? Yaitu, untuk menghancurkan kebathilan (negativisme), manusia sebenarnya tidak perlu terlalu fokus pada kebatilan itu sendiri karena hanya akan menguras energi. Langkah tepat dan cerdas untuk mengantisipasinya adalah gunakan daya positif luar biasa yang dimiliki. Ingatlah, manusia oleh Allah dianugerahi kekuatan luar biasa yang

(38)

konon menurut para pakar, kekuatan itu lebih canggih dari kinerja semesta. Kekuatan apakah yang dimaksud? Jawabnya adalah otak (akal pikiran).

Bagaimana cara menuju pikiran dan hidup yang positif? Rasulullah saw menganjurkan agar seseorang melakukan keburukan, segeralah menggantinya dengan amalan yang baik lalu beristiqamahlah dalam kebaikan tersebut. Beliau saw bersabda, "Dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, mudah-mudahan yang baik itu akan menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak terpuji." (H.R. Tirmidzi)

Berpikir positif juga terkait erat dengan landasan keyakinan yang hendak dibangun sendiri. Siapa yang paling bertanggung jawab dengan model keyakinan (kepercayaan diri) dan persepsi yang dimiliki? Tentunya, diri sendiri. Sebuah pepatah kuno mengatakan bahwa apa yang dipercayai dan diyakini, itulah yang akan menjadi bagian dari kehidupan orang itu di dunia. Orang itupun menikmati buah dari keyakinan yang mula-mula dibangun dari cara berpikir orang tersebut. Jadi, ketika yang diterima adalah "buah" yang jelek, boleh jadi itu terjadi karena selama ini orang tersebut mengembangkan pola pikir negatif tanpa pernah menyadarinya. Begitu pun "buah" yang baik adalah hak bagi mereka yang mengembangkan pola pikir positif (Abduh, 2010: 4). 2.1.2 Ciri-Ciri Orang Berpikir Positif

(39)

1. Orang yang berpikir positif mengakui bahwa ada unsur-unsur negatif dalam kehidupan setiap individu. Akan tetapi ia yakin bahwa semua masalah dapat diselesaikan.

2. Orang yang berpikir positif tidak mungkin kalah oleh berbagai kesulitan dan rintangan.

3. Orang yang berpikir positif memiliki jiwa yang kuat dan konsisten. 4. Orang yang berpikir positif percaya pada kemampuan, keterampilan,

dan bakatnya. la tidak pernah meremehkan itu semua.

5. Orang yang berpikir positif selalu membicarakan hal-hal positif dan selalu menginginkan kehidupan yang positif.

6. Orang yang berpikir positif selalu bertawakal pada Allah

7. Orang yang berpikir positif yakin bahwa semua orang memiliki daya kreatif. Akan tetapi, daya kreativitas itu membutuhkan kekuatan yang membangkitkannya hingga menjadi aktual (El-Bahdal, 2010: 53).

Pikiran mampu mempengaruhi mindset (kerangka berpikir) dan membuat seseorang fokus pada satu persoalan tertentu. Bila telah fokus, maka hal itu juga akan menyebabkan perubahan pada perasaan. Selanjutnya perasaan akan menuntut pada perilaku. Pada titik ini mulai terlihat perubahan pada ekspresi wajah yang dilanjutkan dengan gerakan anggota tubuh dan disambut dengan ucapan yang akan keluar dari mulut. Semua itu sebab dasarnya adalah pikiran. Kalau seseorang positif

(40)

maka akan akan cenderung gagal. Seberapa besar keyakinan seseorang akan mempengaruhi tingkat keberhasilannya (al-Magety, 2010: 10).

Pemikiran seseorang, terkadang sangat simpel dan tidak membutuhkan waktu serta perhatian khusus selain sebuah program sederhana, namun demikian setidaknya semua itu bersumber dari tujuh arah yang kemudian mengkristal dan membentuk semacam paradigma yang kuat untuk mempengaruhi pola pikir seseorang secara internal maupun eksternal. Tujuh hal tersebut adalah:

1. Kedua orang tua (keluarga) 2. Keluarga dekat

3. Lingkungan sosial 4. Sekolah

5. Teman 6. Media massa

7. Diri sendiri (al-Magety, 2010: 10).

Jadi, seseorang harus mengkondisikan diri dan situasi yang mendukungnya berpikir positif menuju keberhasilan. Kalau ingin sukses, bergaullah dengan orang sukses, dan bukan bergaul dengan orang yang gagal dan pesimis. Tirulah cara berpikir orang yang sukses sekaligus tindakannya. Sejatinya paradigma seseorang memiliki peran yang lebih besar dan kuat dari yang dibayangkan. Pemikiranlah yang menimbulkan pengertian, persepsi, fanatisme, ideologi, dan prinsip. Pemikiran adalah awal penentuan target dan mimpi, sumber akal melakukan eksperimen dan pengetahuan, serta memaknai sesuatu dan menyikapi peristiwa yang membahagiakan dan menyedihkan dalam hidup (al-Magety, 2010: 11).

(41)

Contoh keberhasilan Andre Agasi yang bangkit dari keterpurukan dalam prestasi tenis dunia. Dia pernah juara satu dunia, namun kemudian dia melorot karena waktu dan umur. Tetapi, karena dia berpikir positif, membuang pandangan miring orang, termasuk umurnya yang tidak muda, ia berpikir positif bahwa ia bisa kalau mau, lalu fokus, belajar dan berlatih hingga akhirnya kembali menjadi juara dunia lagi ketika telah berusia lewat 30 tahun.

Keberhasilan itu berangkat dari keberaniannya untuk merubah pola pikir dan persepsi sendiri. Pada awalnya persepsi itu memang berada di dalam dirinya, lalu sejalan dengan waktu semakin menguat dan muncul ke permukaan dalam bentuk tindakan nyata secara fisik dan psikis. Bukti keberhasilannya adalah tak lama kemudian dia berhasil masuk lagi dalam rangking sepuluh besar dunia. Keberhasilannya kali ini tidak saja karena dia berhasil menundukkan lawan-lawan mainnya, tetapi dia juga telah muncul sebagai sosok baru, karena dia telah berhasil mengalahkan dorongan negatif dari dalam dan luar dirinya sendiri. 2.1.3 Manfaat Berpikir Positif

Apa yang telah disebutkan oleh para pengarang tentang berfikir positif yang dapat diambil manfaatnya adalah sebagai berikut:

a. Dapat membangkitkan inspirasi yang lebih besar, yaitu rahasia kesempurnaan yang tinggi, memuliakan berbagai amal dengan kemenangan, menumbuhkan keyakinan serta kepercayaan.

(42)

b. Berfikir positif dapat mengajak manusia memilih sesuatu yang bernilai dari tujuan masa depan dan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan tujuan.

c. Komitmen pada perubahan positif yang dibangun dan mengalir dalam diri akan mempunyai pengaruh yang bermanfaat bagi kepribadian dan juga membawa dampak (baik) di segenap aktivitas. d. Pemikiran yang positif itu akan mengurangi kesedihan, sebaliknya

akan memperbanyak bahagia, melihat satu sudut peristiwa secara terang sebagai ganti dari memenuhi hidup dengan pemikiran-pemikiran gelap, lebih memilih kesenangan sebagai ganti dari kesedihan, dan langkah pertama untuk meraih semua itu adalah kebaikan yang bersemayam dalam diri.

e. Sesungguhnya akal itu hanya terfokus pada satu fikiran yang menguasainya disetiap waktu, oleh sebab itu apabila seseorang memasukkan dalam akalnya itu fikiran positif maka keluarlah fikiran negatif yang berlawanan. Akal fikiran itu tidak akan pernah terjadi kekosongan oleh karena itu jika seseorang tidak memenuhinya dengan pemikiran positif maka akal orang itu akan dipenuhi dengan pemikiran negatif.

f. Sesungguhnya sesuatu yang positif dalam akal dan perasaan (emosi) mampu membentuk kehidupannya menjadi positif, optimis dan berkemauan, mempunyai kekuatan untuk membela diri/menentang serangan yang ditujukan kepadanya dari syetan-syetan yang

(43)

berbentuk jin dan manusia, dan yang lebih besar daripada keduanya yaitu menentang bisikan-bisikan hati.

g. Manakala seseorang berfikir secara positif hal itu membuat daya tarik kepada orang lain untuk berpijak pada sesuatu yang positif, begitu pula sebaliknya manakala berfikir secara negatif hal itu membuat daya tarik kepada orang itu untuk berpijak pada sesuatu yang negatif.

h. Seseorang yang mampu berfikir positif dan menjadikan keyakinan itu pada dirinya, maka dia akan melihat sekelilingnya dengan pandangan yang optimis dan dia sanggup melupakan (hal negatif) yang terjadi disekelilingnya, dan memancarkan kekuatan untuk mencapai tujuannya.

i. Fikiran positif membentuk sesuatu yang bernilai dan bermanfaat, yaitu selalu berfikir membangun dan melahirkan sesuatu yang baru, memunculkan tunas-tunas yang saling bersentuhan dan perbuatan amal yang menjadikan sesuatu itu dapat berfungsi, yang tujuannya adalah berbuat dan membangun.

j. Tentu saja fikiran positif itu tidak dapat secara langsung dengan sendirinya merubah kehidupan menuju arah yang lebih baik, karena terdapat faktor penting bagi manusia untuk menerapkan berbagai strategi atau taktik, disertai dengan latihan secara berangsur-angsur untuk merubah tatacara berfikirnya, yang dia rasakan dengannya,

(44)

dan juga merubah apa yang diperbuatnya setiap hari yang menjadi, kebiasaan perilakunya.

k. Oleh karena itu fikiran positif adalah praktek dan tindakan (action), di mana hakikatnya ia bukan merupakan puncak tujuan, tapi hanya sarana (alat) (Ar-Raqib, 2010: 25-28).

Menurut el-Bantanie (2010: vii-viii), kekuatan berpikir positif dapat membebaskan diri dari pengaruh setan, menyehatkan tubuh, menumbuhkan ketenangan jiwa, mendatangkan kebahagiaan, melancarkan pencapaian kesuksesan dan berpikir positif meningkatkan kepercayaan diri.

Berfikir positif membuka mata hati setiap insan, menjadikan seseorang tabah terhadap cobaan, selalu berprasangka baik adalah tuntutan Tuhan, kepada semua manusia yang memiliki keimanan, tiada manusia yang tidak pernah berdosa, tiada makhluk yang hidup tanpa rasa duka. Berfikirlah positif demi menghibur jiwa, karena hidup akan terus berjalan tanpa tanya. Senantiasa berprasangka baik memberikan kekuatan Sehingga segala kesedihan akan hilang dalam fikiran. Begitulah sang kuasa mengatur gelombang kehidupan yang hanya mampu di baca oleh orang yang beriman. Berfikir positif membawa berbagai kebahagiaan yang tidak akan terlupakan saat tertimpa cobaan. Jangan pernah menyerah demi menggapai kesuksesan karna kesuksesan membutuhkan kerja keras dan kesabaran. Selalu ber-husnudzon, atau

(45)

2.2 Bimbingan Pengembangan Diri 2.2.1 Pengertian Bimbingan

Bimbingan dapat diartikan secara umum sebagai suatu bantuan atau tuntunan. Namun menurut Jumhur dan Surya (1975: 25 ) bahwa untuk sampai kepada pengertian yang sebenarnya harus diingat bahwa tidak setiap bantuan atau tuntunan dapat diartikan sebagai guidance (bimbingan). Atas dasar itu, berbagai batasan tentang bimbingan dapat ditemui dalam buku-buku kepustakaan. Aneka macam batasan ini disebabkan oleh perbedaan filsafat yang mendasari penulisan buku itu. Sering pula perbedaan itu terjadi karena para penulis buku itu tidak sama berat penekanannya pada aspek kemanusiaan tertentu yang menjadi pusat perhatian pembahasan mereka masing-masing (Jumhur dan Surya, 1975: 25 ).

Walaupun demikian, pada umumnya terdapat kesesuaian dalam batasan-batasan itu. Kesesuaiannya ialah bimbingan (1) bukan pemberian arah atau pengaturan kegiatan orang lain, (2) bukan pemaksaan pandangan seseorang kepada orang lain, (3) bukan pengambilan keputusan bagi orang lain, dan (4) bukan pemikulan beban orang lain. Bukan empat hal yang baru disebutkan ini, melainkan kebalikannya. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan oleh orang yang berwewenang dan terlatih baik kepada perseorangan dari segala umur untuk (1) mengatur kegiatannya sendiri, (2) mengembangkan pandangannya sendiri, (3) mengambil keputusannya sendiri, dan (4)

(46)

menanggung bebannya sendiri. Demikianlah antara lain yang dikemukakan oleh Grow sebagaimana dikutip Wijaya (1988: 88).

Menurut Natawidjaja (1972: 11) bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara terus-menerus (continue) supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian dia dapat mengecap kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat umumnya.

Menurut Walgito (1989: 4), ―Bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu dalam menghadapi atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya‖

Dengan memperhatikan rumusan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan merupakan pemberian bantuan yang diberikan kepada individu guna mengatasi berbagai kesukaran di dalam kehidupannya, agar individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya. 2.2.2 Pengembangan Diri

Pengembangan (development) adalah fungsi operasional kedua dari manajemen personalia (Hasibuan, 2001: 67). Menurut Hasibuan (2001: 68) pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan

(47)

kemampuan teknis, teoritis, konseptual dan moral seseorang sesuai dengan kebutuhan melalui pendidikan dan latihan. Dapat dikatakan juga, pengembangan adalah sebagai proses, cara perbuatan mengembangkan (Depdiknas, 2003:116). Pengembangan diri merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian diri manusia yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, seperti: kegiatan belajar, dan

pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler

(http:/techonly13.wordpress.com/2009/07/04/pengertianpengembangan-diri/)

Maksud pengembangan dalam penelitian ini yaitu kegiatan untuk melakukan suatu aktifitas atau tugas yang dilaksanakan untuk menyempurnakan diri seseorang agar lebih baik, selalu berfikir positif dalam hidupnya. Mendekatkan diri pada sang pencipta untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kata pengembangan diri ada hubungannya dengan kata "konsep diri". Pengertian konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri sendiri (persepsi diri). Persepsi ini menurut Brooks seperti yang dikutip oleh Jalaluddin (1996: 99) dapat bersifat social, fisik dan psikologis yang diperoleh dari pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Dalam pengertian konsep diri, ada beberapa definisi para ahli dalam menyampaikan dan memberi penjelasan antara lain sebagai berikut:

(48)

a. Safarino sebagaimana dikutip Muntholi'ah (2002: 27) berpendapat bahwa konsep diri adalah pemikiran seseorang tentang ciri khas dirinya yang meliputi ciri-ciri fisik, jenis kelamin, kecenderungan tingkah laku, watak emosional dan cita-cita.

b. William D Broke yang dikutip Rakhmat (1996: 99) ‖thos physical,

social, and psychological perceptions of our selves that we have derived from experiences and our interaction with other ―Konsep

diri merupakan pandangan tentang diri kita yang berupa fisik, sosial dan psikologis yang di peroleh dari pengalaman berinteraksi dengan orang lain‖.

c. Paul S. Centi (1993: 9) konsep diri (self concept) tidak lain adalah gagasan tentang diri sendiri.

d. Sartain berpendapat bahwa, konsep diri adalah sebagai pandangan perasaan tentang diri sendiri yang meliputi semua penghayatan, sikap dan perasaan, baik yang dirasakan ataupun tidak (1999: 125).

Memperhatikan semua rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan diri adalah proses, cara perbuatan mengembangkan sebagai kesadaran individu untuk memberikan pendapat, pandangan atau penilaian mengenai kesadaran dirinya sendiri.

2.2.3 Macam-Macam Pengembangan Diri

Sudah banyak para ahli yang mengemukakan metode pengembangan diri dengan menggunakan berbagai pendekatan, di antaranya melalui pendekatan tasawuf dan konsep kecerdasan, khususnya kecerdasan intelektual atau sering disebut dengan istilah IQ (Intelligence Quotient) yang sempat dimitoskan sebagai satu-satunya kriteria kecerdasan manusia.

(49)

Sir Francis Gallon, ilmuwan yang memelopori studi IQ dalam karyanya Heredity Genius (1869), yang kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan Simon. IQ pada umumnya mengukur kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memory), daya nalar (reasorang), perbendaharaan kata, dan pemecahan masalah (vocabulary

and problem solving). Mitos ini dipatahkan oleh Daniel Goleman yang

memperkenalkan kecerdasan emosional atau disingkat EQ (Emotional

Quotient) dalam bukunya Working with Emotional Intelligence (1999)

dengan menunjukkan bukti empiris dari penelitiannya bahwa orang-orang yang IQ-nya tinggi, tidak terjamin hidupnya akan sukses. Sebaliknya, orang yang memiliki EQ, banyak yang menempati posisi kunci di dunia eksekutif. Asumsi ini diperkuat oleh Dannah Zohar, sarjana fisika dan filsafat di MIT (Massachusetts Institute of

Technology), yang memelopori munculnya kecerdasan spiritual atau SQ

(Spiritual Quotient) dalam bukunya Spiritual Intellegence —The

Ultimate Intellegence (2000).

Di Indonesia, Ary Ginanjar menulis sebuah buku yang berusaha meramu ketiga model kecerdasan tersebut dengan berangkat dari rukun Islam dan rukun Iman, maka lahirlah ESQ (Emotional Spiritual

Quotient). Sedangkan KH. Toto Tasmara, seorang dai sufistik sekaligus

pendiri Labmend (Laboratory for Management & Mental Development), menggagas kecerdasan ruhaniah (Transcendental Intelligence) yang bertumpu pada ajaran cinta (mahabbah), yaitu cinta sebagai keinginan

(50)

untuk memberi dan tidak memiliki pamrih untuk memperoleh imbalan. Toto Tasmara menegaskan bahwa cinta bukan komoditas, tetapi sebuah kepedulian yang sangat kuat terhadap moral dan kemanusiaan (Adz Dzakiey, 2005: xiv).

Melengkapi model-model kecerdasan di atas, KH. Hamdani BDz, seorang praktisi yang menangani pendidikan, pelatihan, dan konseling spiritual di Yogyakarta, mengenalkan kecerdasan kenabian atau kecerdasan profetik {Prophetic lntelligence) dalam bukunya. Tentunya, istilah ini memiliki pengertian dan keunikan tersendiri yang menjadikannya berbeda dan memiliki signifikansi tersendiri dari model kecerdasan lainnya. Kecerdasan profetik bertumpu pada nurani yang bersih dari penyakit-penyakit ruhaniah, seperti syirik, kufur, nifaq, dan fasik. Dalam kondisi nurani yang sehat itulah Allah Swt. menurunkan rasa percaya, yakin, dan takut kepada-Nya. Dari rasa itulah lahir kekuatan dan keinginan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan perubahan-perubahan yang lebih positif, lebih baik, dan lebih benar. Pribadi yang sehat rukun adalah pribadi yang ruhaninya telah berfungsi secara baik di dalam diri hingga dapat memberikan pengaruh positif terhadap seluruh aktivitas mental, spiritual, dan fisik (Adz Dzakiey, 2005: xiv).

Menurut Adz-Dzakiey, untuk membangun kesehatan ruhani sebagai dasar prophetic intelligence dan sebagai pengembangan diri sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Semua hasil rekam medik MDCT scan thorax pasien dengan diagnosa kanker paru tipe non small cell lung cancer (NSCLC) minimal stadium 3A non- operable yang masuk kriteria

Sedangkan untuk penelitian yang kedua yang dilakukan oleh Nawangsari persamaannya terletak pada model pembelajaran dan variabel motivasi belajar namun pada

“Dalam kehidupan sekarang yg modern, masyarakat kita Indonesia sekarang telah beralih dari resep obat dokter ke resep obat tradisional yang herbal dan aman untuk

Adanya Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam menyebabkan terbentuknya dua kepemimpinan yang berakibat pada terjadinya dualisme kewenangan dalam pelayanan

Beberapa perilaku guru yang tidak sesuai dengan budaya madrasah yaitu Guru tidak disiplin masuk mengajar, guru tidak menguasai dan menyiapkan materi mengajar,

TINGKAT CAPAIAN KINERJA TAHUN 2020 INDIKATOR KEGIATAN TARGET REALISASI KINERJA PADA TRIWULAN.. REALISASI KINERJA PADA TRIWULAN REALISASI CAPAIAN KINERJA

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan kompetensi pengetahuan Matematika kelompok siswa yang

Fenomena ini menunjukkan bahwa material komposisi penyusun film plastik biodegradable bersifat hidrofilik/suka air, misalnya ethanol 70 %, air suling dan gliserol, semuanya dapat