• Tidak ada hasil yang ditemukan

THINKING KARANGAN NORMAN VINCENT PEALE

3.2. Konsep Norman Vincent Peale tentang Berpikir Positif dalam Buku The

3.2.1 Percaya Pada Diri Sendiri

Menurut Peale percayalah pada diri sendiri dan pada kemampuan yang dimiliki. Tanpa adanya kepercayaan diri, maka tidak akan bisa berhasil atau bahagia. Sebaliknya, dengan adanya kepercayaan diri yang kuat, bisa berhasil. Perasaan rendah diri sangat mengganggu terwujudnya keinginan, namun adanya kepercayaan diri bisa menghasilkan perwujudan diri dan pencapaian yang berhasil. Karena pentingnya sikap mental ini, maka menurut Peale karyanya ini akan membantu pembaca untuk percaya pada diri sendiri dan membangkitkan semua kekuatan batin. Sungguh mengejutkan sekali jika seseorang sadar betapa banyak orang merasa sedih dan menderita hanya karena penyakit yang disebut inferiority complex (perasaan rendah diri). Tidak perlu menderita karenanya karena masalah ini bisa diatasi jika seseorang menerapkan langkah-langkah yang tepat dan

orang bisa mengembangkan kepercayaan diri secara kreatif (Peale, 2010: 1).

Peale bercerita pengalamannya, sesaat setelah bicara di hadapan sekelompok pengusaha di sebuah auditorium sebuah kota dan bersalaman dengan beberapa orang, seorang lelaki menghampiri Peale dan bertanya, "Boleh saya bicara dengan Anda? Saya ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting bagi saya?" Peale memintanya untuk menunggu hingga semua orang pergi. Kami kemudian pergi ke belakang panggung dan duduk. "Di kota ini tutur orang itu ia sedang menangani sebuah transaksi bisnis paling penting dalam hidupnya," katanya. "Jika berhasil, keberhasilan ini sangat berarti baginya. Jika gagal, kariernya akan tamat." Peale menyarankan dia untuk bersikap sedikit rileks. Peale bilang tak ada yang begitu menentukan. Jika transaksi bisnisnya berhasil, itu bagus. Jika gagal, anda masih punya hari esok. "Saya tidak PD (percaya diri), katanya kesal. "Saya tidak punya kepercayaan dan benar-benar tidak percaya kalau saya mampu mengatasinya. Saya merasa kecil dan depresi. Bahkan, saya merasa seolah nyaris tenggelam. Inilah saya di usia 40 tahun. Mengapa selama hidup, saya merasa tersiksa oleh perasaan inferior, tidak PD, ragu-ragu? Saya berusaha mendengarkan ceramah Anda Peale soal kekuatan atau mukjizat berpikir positif. Saya ingin menanyakan cara saya mendapatkan rasa percaya diri. Peale mengatakan pada orang itu, "Ada 2 langkah yang harus anda ambil.

Pertama, anda perlu tahu mengapa anda merasa tak berdaya. Ini perlu

analisis sekaligus perlu waktu yang banyak. Kita harus menganalisis penyakit kehidupan emosional kita seperti seorang dokter membuat analisis untuk mencari sesuatu yang secara fisik keliru. Ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, apalagi dalam perbincangan singkat malam ini. Mungkin juga perlu pengobatan untuk mendapatkan penyelesaian yang permanen. Namun, agar anda bisa keluar dari masalah yang sekarang ini, saya (kata Peale) akan berikan anda sebuah resep jitu yang ampuh jika anda menjalankannya (Peale, 2010: 2).

"Saat Anda pulang nanti, saya ingin Anda ulangi beberapa kata yang nanti akan saya berikan kepada Anda. Ucapkan beberapa kali kata-kata tersebut sebelum Anda tidur. Saat Anda bangun, ucapkan kembali kata-kata tersebut sebanyak tiga kali sebelum turun dari ranjang. Kemudian saat Anda dalam perjalanan untuk menangani transaksi penting itu, ucapkan kembali kata-kata itu sebanyak tiga kali. Lakukanlah seyakin-yakinnya. Nantinya, anda akan mendapat kekuatan dan kemampuan mengatasi masalah tersebut. Jika anda mau, kita bisa mulai menganalisis masalah anda, namun apapun yang kita dapatkan nantinya, resep tersebut bisa menjadi faktor penentu dalam penyembuhan anda"(Peale, 2010: 3)

Berikut resep jitu tersebut, ''Segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. la tidak mengetahui kata-kata tersebut. Saya pun (kata Peale) menuliskannya di atas sehelai

kertas dan memintanya membaca keras-keras. "Ikuti resep ini, saya yakin segala sesuatunya akan berjalan lancar." la kemudian berdiri, diam sejenak, dan berkata dengan berat, "Baik, Pak." Saya melihatnya berusaha tegak untuk kemudian pergi menembus gelapnya malam. la terlihat sedih. Namun dari caranya berjalan, saya (kata Peale) melihat perasaan PD sudah mulai merasuki dirinya. Beberapa waktu setelah peristiwa itu, ia memberitahu bahwa resep jitu yang ia terima itu memberinya keajaiban. la juga menambahkan, "Sungguh luar biasanya perkataan dalam Alkitab itu karena ia mampu memberikan manfaat bagi seseorang" (Peale, 2010: 3)

Orang ini kemudian mempelajari penyebab perasaan inferiornya. Hasilnya, penyebab perasaan inferior tersebut ia singkirkan_dengan melakukan konseling ilmiah dan penerapan keyakinan religius. la mendapat petunjuk bagaimana cara mempunyai keyakinan. la juga menerima beberapa petunjuk khusus yang harus ia ikuti. la kemudian berangsur-angsur mendapatkan kembali kepercayaan dirinya secara mantap. la tidak pernah berhenti mengungkapkan perasaan kagumnya karena segala sesuatunya sekarang mengarah padanya, bukan sebaliknya. Kepribadiannya memanfaatkan sikap positif, bukan negatif, sehingga karenanya ia bukannya menolak keberhasilan, melainkan menarik keberhasilan kepadanya. Dia sekarang punya kepercayaan yang otentik terhadap kekuatannya sendiri (Peale, 2010: 4).

Menurut Peale ada berbagai macam penyebab perasaan inferior, di antaranya berawal ketika seseorang masih kanak-kanak. Seorang eksekutif bercerita kepada saya (kata Peale) tentang seorang pemuda yang ia harapkan mampu berkembang di dalam perusahaannya. Katanya, "awalnya saya ingin mengangkatnya menjadi asisten administrasi saya, namun pemuda ini ternyata tidak dapat dipercaya menyimpan rahasia yang sangat penting sekali. la punya semua kualifikasi. Namun, ia terlalu banyak bicara, sehingga tanpa sadar ia membocorkan persoalan yang sangat rahasia dan penting."

Dari analisis yang saya lakukan (kata Peale) sikap "banyak bicara" ini dikarenakan pemuda ini mempunyai perasaan inferior. Untuk menyembunyikannya, ia berusaha memamerkan pengetahuan yang dimilikinya. la banyak bergaul dengan orang kaya, orang-orang kuliahan di perguruan tinggi dan menjadi anggota sebuah klub. Pemuda ini sesungguhnya besar di lingkungan yang miskin. la tidak pernah kuliah dan tidak pernah menjadi anggota sebuah klub mana pun. Oleh karenanya, ia merasa lebih rendah jika dibandingkan latar belakang dan tingkat sosial rekan-rekannya. Untuk itu di depan sahabat-sahabatnya ia berusaha mengangkat harga dirinya. Pikiran bawah sadarnya yang selalu berusaha menyeimbangkannya, memberinya sarana untuk mengangkat perasaan egonya (Peale, 2010: 5).

la seringkali menemani atasannya menghadiri rapat. Di situ ia bertemu banyak tokoh terkemuka. la juga banyak mendengar pembicaraan yang rahasia dan sangat penting. Namun, karena ia ingin membuat para sahabatnya mengaguminya, ia terlalu banyak mengungkapkan "informasi rahasia tersebut". la ingin mengangkat harga dirinya dan memuaskan keinginannya untuk diakui. Ketika pimpinan perusahaan itu mengetahui penyebab kepribadian pemuda itu, ia menunjukkan beberapa peluang bisnis cocok untuk pemuda ini. Pimpinan perusahaan ini juga menjelaskan bagaimana perasaan inferioritasnya menyebabkan dirinya tidak dapat dipercaya menyimpan informasi rahasia. Pemahaman terhadap diri sendiri dibarengi pelaksanaan teknik keyakinan dan doa secara bersungguh-sungguh, menjadikan dirinya aset berharga bagi perusahaannya dan akhirnya kekuatan sejatinya pun muncul (Peale, 2010: 5).

Peale memberikan gambaran bagaimana seorang anak merasakan inferiority complex dan contoh yang ia alami sendiri. Sewaktu masih kecil (kata Peale) tubuh saya sangat kurus. Saya punya banyak energi sehingga bergabung dalam sebuah tim atletik. Saya sehat dan kuat, tetapi kurus. Masalah inilah yang mengganggu saya karena saya tidak ingin kurus, saya ingin gemuk. Saya mendapat sebutan "si kurus" meski saya tidak mau dipanggil "si kurus." Saya ingin dipanggil "si gemuk". Saya ingin sekali menjadi kuat, kokoh, dan gemuk. Saya minum banyak minyak ikan, susu, makan es krim lapis

coklat, makan kue dan pastel, tetapi itu semua tidak banyak berpengaruh. Saya tetap kurus. Setiap malam saya tidak bisa tidur karena memikirkan masalah itu. Saya terus berusaha untuk bisa gemuk. Akhirnya menginjak usia tiga puluhan, saya benar-benar menjadi gemuk. Berat badan saya bertambah. Saya pun sadar karena saya terlalu gemuk. Saya menderita sekali sehingga terpaksa mengurangi berat badan sebesar empat puluh pon agar tubuh saya kembali pada ukuran yang normal (Peale, 2010: 6).

Contoh kedua saya (kata Peale) adalah anak seorang pendeta. Saya terus diingatkan soal itu. Orang lain sepertinya boleh melakukan apa saja. Namun, saat saya melakukan suatu hal kecil ada yang bilang, "Kamu ini anak pendeta." Akhirnya, saya tidak mau jadi anak pendeta, karena menjadi seorang anak pendeta orang berharap saya bersikap manis dan lembut. Saya ingin orang menganggap saya orang yang keras. Jadi, tidak heran jika seorang anak pendeta punya reputasi sebagai anak sulit, karena mereka berontak menentang keharusan membawa nama gereja setiap saat. Akhirnya, saya berjanji pada diri sendiri bahwa satu hal yang tidak akan pernah saya lakukan adalah menjadi pendeta (Peale, 2010: 6).

Saya (kata Peale) berasal dari keluarga yang setiap anggotanya terbiasa tampil di depan umum, sekaligus menjadi seorang pembicara di atas panggung. Inilah yang paling tidak saya inginkan. Keluarga saya dulu sering memaksa saya berdiri di muka umum untuk berpidato.

Ini membuat saya sangat takut. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu, tetapi perasaan tersebut kadang-kadang masih saya alami ketika saya berdiri di atas di panggung. Saya harus memanfaatkan semua daya untuk membangkitkan rasa PD akan kekuatan yang diberikan Tuhan kepada saya. Saya kemudian menemukan solusinya dalam sebuah metode sederhana yang diajarkan Alkitab. Metode ini ilmiah, masuk akal dan dapat menyembuhkan semua orang dari rasa tak-mengenakkan yang muncul karena perasaan rendah diri. Pemakaian metode ini bisa membuat seseorang menemukan kekuatan sekaligus membangkitkannya yang selama ini terhalang (Peale, 2010: 7).

Hal seperti inilah yang sebagian menjadi sumber perasaan rendah diri (inferiority complex) yang menghalangi kekuatan kepribadian.1 Ini bisa dibilang kekerasan emosional yang dilakukan

1

Kepribadian (Suryabrata, 1988: 1) merupakan terjemahan dari personality (Inggris),

persoonlijkheid (Belanda); personnalita (Prancis); personlichkeit (Jerman); personalita (Itali);

dan personalidad (Spanyol) (Mujib, 2006: 17). Akar kata masing-masing sebutan itu berasal dari kata Latin "persona" yang berarti ―kedok‖ atau "topeng", yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Hal itu dilakukan karena terdapat ciri-ciri yang khas yang hanya dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang kurang baik. Misalnya untuk membawakan kepribadian yang angkara murka, serakah dan sebagainya sering ditopengkan dengan gambar raksasa, sedangkan untuk perilaku yang baik, budiluhur, suka menolong, berani berkorban dan sebagainya ditopengkan dengan seorang ksatria, dan sebagainya (Sujanto, Lubis, dan Hadi, 2004: 10). Dengan demikian ―topeng‖ yang dimaksud tersebut yaitu topeng yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara. Atau juga dari kata Latin "personare" yang berarti to sound through (suara tembus). Dalam bahasa Arab kontemporer, kepribadian ekuivalen dengan istilah syakhshiyyah. Term syakhshiyyah bukan satu-satunya term yang dipergunakan untuk menunjukkan makna personality. Ronald Alan Nicholson sebagaimana dikutip Abdul Mujib misalnya, menyebut dua istilah yang menjadi sinonimnya, yaitu al-huwiyyah dan al-dzatiyyah. Sementara dalam leksikologi bahasa Arab, dikenal juga istilah nafsiyyah yang berasal dari kata nafs, istilah aniyyah (ada yang menyebut iniyyah) dari kata "ana", dan istilah khuluqiyyah atau akhlaq. Istilah yang terakhir ini (akhlak) lebih banyak ditemukan di dalam literatur Islam klasik (Mujib, 2006: 18).

Adapun kata personality berasal dari kata "person" yang secara bahasa memiliki arti: (1) an individual human being (sosok manusia sebagai individu); (2) a common individual (individu secara umum); (3) a living human body (orang yang hidup); (4) self (pribadi); (5)

terhadap diri sendiri semasa kecil, pun juga konsekuensi atas kondisi tertentu, atau juga merupakan sesuatu yang kita lakukan terhadap diri sendiri. Masalah ini muncul dari masa lalu di sela-sela kepribadian kita (Peale, 2010: 7).

Dari uraian Peal dapat disimpulkan bahwa untuk membangun kepercayaan diri maka harus memiliki keyakinan religius yang jika dihubungkan dengan ajaran Islam berarti beriman dan bertauhid

personal existence or identity (eksistensi atau identitas pribadi); dan (6) distinctive personal

character (kekhususan karakter individu). Atau personality: (1) Existence as a person

(eksistensi sebagai orang); (2) The assemblage of qualities, physical, mental, and moral, that

set one apart from others (kumpulan dari kualitas, phisik, mental, dan moral, yang

menetapkan satu terlepas dari orang yang lain); (3) Distinctive individuality, as, he is a man of

strong personality (Ciri khas yang membedakan, sebab ia adalah suatu orang berprinsip

kepribadian yang kuat); (4) A too intimate or offensive remark about a person, as, don't

indulge in personalities (Seorang teman karib atau komentar yang menyerang tentang

seseorang, jangan menurut kesenangan diri kepribadian) (Teall and Taylor, 1958: 722). Sedangkan dalam bahasa Arab, pengertian etimologis kepribadian dapat dilihat dari pengertian term-term padanannya, seperti huwiyah, aniyyah, dzatiyyah, nafsiyyah,

khuluqiyyah, dan syakhshiyyah sendiri. Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan

makna dengan kata syakhsiyyah, tetapi memiliki keunikan tersendiri.

Pengertian kepribadian dari sudut terminologi memiliki banyak definisi, karena hal itu berkaitan dengan konsep-konsep empiris dan filosofis tertentu yang merupakan bagian dari teori kepribadian. Konsep-konsep empiris dan filosofis di sini meliputi dasar-dasar pemikiran mengenai wawasan, landasan, fungsi-fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan metodologi yang dipakai perumus. Oleh sebab itu, tidak satu pun definisi yang subtantif kepribadian dapat diberlakukan secara umum, sebab masing-masing definisi dilatarbelakangi oleh konsep-konsep empiris dan filosofis yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, tidak berkelebihan jika Gordon W Allport (1897 – 1967) dalam studi kepustakaannya menemukan sejumlah 50 definisi mengenai kepribadian yang berbeda-beda yang digolongkan ke dalam sejumlah kategori (Hall dan Lindzey, 1993: 24). Dengan meminjam definisi Allport, kepribadian secara sederhana dapat dirumuskan dengan definisi "what a man really is" (manusia sebagaimana adanya). Maksudnya, manusia sebagaimana sunnah atau kodratnya, yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Akan tetapi definisi itu oleh Allport dianggap terlalu singkat untuk dapat digunakan, maka sampailah ia pada definisi yang lebih terkenal berikut ini:

Kepribadian adalah organisasi yang dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psiko-fisik yang menentukan cara penyesuaian diri yang khas (unik) dari individu tersebut terhadap lingkungannya (Hall dan Lindzey, 1993: 24).

Kata dinamis menunjukkan bahwa kepribadian bisa berubah-ubah, dan antar berbagai komponen kepribadian (yaitu sistem-sistem psikofisik) terdapat hubungan yang erat. Hubungan-hubungan itu terorganisir sedemikian rupa sehingga secara bersama-sama mempengaruhi pola perilakunya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Definisi yang luas dapat berpijak pada struktur kepribadian, yaitu integrasi sistem kalbu, akal, dan hawa nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku." Definisi ini sebagai bandingan dengan definisi yang dikemukakan oleh para psikolog Psikoanalitik seperti Sigmund Freud dan Carl Gustav Jung (Chaplin, 1981:.362).