• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM

C. Sengketa Yang Terjadi Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga

Pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat para pihak harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau iktikad baik, namun dalam kenyataannya perjanjian yang dilaksanakan sering sering kali dilanggar sehingga menyebabkan sengketa antara para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

Yang dimaksud dengan sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasan kepada pihak kedua, apabila pihak kedua tidak menanggapi dan memuaskan pihak pertama, serta menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang dinamakan sengketa. Akan tetapi, dalam konteks hukum, khusunya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan.60

Dalam pelaksanaan perjanjian jual beli tenaga listrik sering terjadi sengketa antara PT. PLN (Persero) ULP Panyabungan dengan pelanggan, sengketa yang sering terjadi dalam perjanjian jual beli tenaga listrik ini adalah wanprestasi antara lain:

1. Terdapatnya sambungan langsung dari sumber listrik/tiang listrik tanpa adanya alat pembatas dan pengukur (APP), hal ini merupakan penyambungan langsung tenaga listrik dari tiang/jaringan listrik PT. PLN

60 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 12

langsung ke dalam instalasi rumah/bangunan yang untuk dipergunakan sendiri maupun untuk kepentingan umum karena tidak memiliki izin dari pihak PLN. Penyambungan langsung ini tidaklah dibenarkan dikarenakan hal tersebut dapat memicu kebakaran, korslet yang diakibatkan muatan listrik yang masuk ke dalam bangunan tidak dapat dibatasi dan menyebabkan kelebihan beban, dan menyebabkan kerugian terhadap pihak PT. PLN (Persero) dikarenakan listrik yang digunakan tersebut tidak diketahui berapa jumlah pemakaiannya dan tidak terdaftar diserver PT.

PLN.

2. Sengaja merusak segel PT. PLN dan merubah alat pengukur dan pembatas yang dipasang oleh PT. PLN, hal ini sering terjadi dikarenakan pelanggan menginginkan daya yang lebih besar dengan pembayaran yang lebih kecil, pelanggan akan mengganti alat pembatas dan pengukur (APP) milik PT.

PLN dengan membeli alat pembatas yang baru dengan kapasitas yang lebih besar di toko elektronik terdekat tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada pihak PT. PLN. Kegiatan tersebut telah melanggar point 6 yang tertera didalam surat perjanjian jual beli tenaga listrik yang mana salah satu kewajiban pihak kedua adalah menjaga instalasi milik pihak pertama yang berada dipersil pihak kedua dan segera melapor apabila ada kelainan. Selain melakukan wanprestasi dalam kegiatan ini pihak kedua juga membahayakan dikarena pihak kedua memasang alat pengukur dan pembatas tidak sesuai dengan standar keselamatan dan kelayakan dari PLN, sehingga sering menyebabkan alat pembatas dan pengkur mengalami panas yang berlebih dan terbakar.

56

3. Memperlambat putaran KWH meter, kegiatan ini juga sangat sering dilakukan oleh pelanggan, pelanggan memperlambat pemutaran KWH meter dengan cara memodifikasi KWH meter, sehingga pemutaran KWH meter menjadi lambat, walau dalam kegiatan ini tidak berakibat fatal bagi keselamatan, namun kegiatan ini sangat merugikan pihak PT. PLN.

4. Menunggak dalam pembayaran tagihan listrik setiap bulannya, dimana pelanggan tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang tertuang didalam point 6 pihak kedua berkewajiban membayar tagihan listrik setiap bulannya kepada pihak pertama, nyatanya permasalahan ini merupakan permasalahan yang paling sering terjadi antara PT. PLN dan pelanggan, dimana pelanggan sering tidak tepat waktu untuk membayar tagihan listrik setiap bulannya, bahkan sering mengalami keterlambatan hingga 2-3 bulan lamanya.

Adapun yang menjadi Faktor penyebab terjadinya wanprestasi atau sengketa antara para pihak yang melakukan perjanjian jual beli tenaga listrik adalah:

1. Faktor ekonomi, dimana faktor ekonomi merupakan faktor utama yang mempengaruhi pelanggan lalai terhadap kewajibannya, karena keadaan ekonomi setiap pelanggan berbeda-beda.

2. Jauhnya loket pembayaran listrik dari lokasi/tempat tinggal pelanggan, faktor ini merupakan salah satu penyebab dimana pelanggan telat untuk melakukan pembayar listrik setiap bulannya, karena banyak pelanggan yang ber asumsi bahwa, biaya menuju loket terdekat sudah sepadan dengan biaya listrik selama sebulan sehingga pelanggan membiarkan

listriknya menunggak, ketika pihak PLN mendatangi tempat tinggalnya, disaat itu jugalah pelanggan akan melakukan pembayaran listriknya.

3. Faktor kesengajaan61

Namun wanprestasi tidak hanya dilakukan oleh pelanggan, pihak PT. PLN (Persero) terkadang juga melakukan sesuatu kelalaian seperti kesalahan dalam pencatatan KWH meter pelanggan atau tidak mencatat KWH meter pelanggan, hal tersebut terjadi dikarenakan pada saat petugas PT. PLN ingin melakukan pencatatan KWH meter ada beberapa kendala yang sering terjadi misalnya, ada rumah/bangunan pelanggan yang memiliki pagar dan dikunci oleh pelanggan, sementara pelanggan tidak ada dilokasi/dirumah, hal tersebut yang menyebabkan petugas akan menyesuaikan KWH meter pelanggan dari bulan sebelumnya hal tersebut mengakibatkan pembayaran menjadi lebih murah atau bahkan menjadi lebih mahal.

Dikarenakan adanya suatu sengketa yang terjadi antara para pihak, dapat mengakibatkan berakhirnya perjanjian jual beli tenaga listrik tersebut.

Berakhirnya perjanjian jual beli tenaga listrik tersebut biasanya terjadi pemutusan kontrak/perjanjian secara sepihak maupun kesepakatan dari kedua belah pihak.

Pemutusan kontrak secara sepihak merupakan salah satu cara mengakhiri kontrak yang dibuat oleh para pihak. Artinya pihak kreditur menghentikan berlakunya kontrak yang dibuat dengan pihak kreditur, walaupun jangka waktunya belum berakhir. Ini disebabkan debitur tidak melaksanakan prestasi sebagaimana mestinya.62

61 Hasil Wawancara dengan PT. PLN

62 Salim H.S, Op. Cit., hlm. 178

58

Pemutusan kontrak secara sepihak ini sering terjadi dalam perjanjian jual beli tenaga listrik, yang mana PT. PLN memutuskan perikatan dengan pelanggan/konsumen, dikarenakan pelanggan tersebut tidak melaksanakan prestasi sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya, PT. PLN akan melakukan pemutusan kontrak secara sepihak dengan pelanggan ketika pelanggan melakukan penunggakan bayaran listrik selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, sebelum melakukan pemutusan kontrak/perjanjian, pihak PT. PLN akan menghubungi dan memberikan peringatan serta teguran untuk segera membayar tagihan listrik yang menunggak selama 3 (tiga) bulan, apabila hal tersebut tidak diindahkan oleh pelanggan tersebut, maka petugas PT. PLN akan memutus aliran listrik ke rumah/bangunan pelanggan dan membawa alat pengukur dan pembatas milik PT. PLN yang terpasang didalam bangunan pelanggan tersebut, dan biaya tagihan listrik yang belum dibayarkan oleh pelanggan selama 3 (tiga) bulan, akan menjadi piutang ragu-ragu (PRR), pelanggan dan PT. PLN akan menandatangani berkas berita acara pemutusan sambungan aliran arus listrik, dengan penandatanganan itu maka perjanjian jual beli tenaga listrik antara PT. PLN dengan pelanggan dinyatakan sudah tidak ada lagi, dan uang jaminan langganan yang diberikan pada saat perjanjian dianggap hangus. Apabila pelanggan ingin melakukan penyambungan listrik kedalam bangunan yang sama atau berbeda selama bangunan tersebut atas nama pelanggan yang bersangkutan, pelanggan wajib membayar tunggakan sebelumnya berserta dengan dendanya, apabila sudah membayar tunggakan dan denda maka pelanggan harus menlakukan pendaftaran/permohonan ulang perjanjian jual beli tenaga listrik.

Sedangakan yang dimaksud dengan pembatalan perjanjian berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak adalah dimana kedua belah pihak telah sepakat untuk mengakhiri perjanjian yang mengikat antara mereka, dimana salah satu pihak dapat meminta kepada pihak lainnya untuk mengakhiri perjanjian tersebut dan pihak lainnya akan menyetujuinya, dalam perjanjian jual beli tenaga listrik, hal ini sering terjadi yang mana pelanggan melapor ke pihak PT. PLN untuk melakukan pemutusan aliran listrik terhadap bangunan/rumah pelanggan. Dimana yang menjadi alasan utama pelanggan untuk mengakhiri perjanjian jual beli tenaga listrik ini adalah, pertama pelanggan tidak sanggup untuk melakukan pembayaran tagihan listrik setiap bulannya dikarenakan faktor ekonomi, kedua pelanggan bangunan pelanggan mengalami sengketa dengan pihak lain, misalnya ada bangunan yang dibangun diatas tanah garapan dimana bangunan tersebut harus dihancurkan dari atas tanah garapan tersebut, sehingga pelanggan harus melapor ke pihak PT. PLN untuk dilakukan pemutusan aliran arus listrik terhadap bangunan tersebut. PT. PLN akan menyetujui permohonan pemutusan aliran arus listrik terhadap bangunan/rumah tersebut, apabila ada tagihan atau denda yang masih terbeban atasnya maka pihak pelanggan diwajibkan untuk membayar tagihan atau denda tersebut, dan pelanggan harus membawa dan menunjukkan berita acara pemasangan dan bukti pembayaran uang jaminan langganan (UJL), jika semua berkas sudah lengkap dan tidak ada denda dan tagihan maka uang jaminan langganan yang diberikan kepada pihak PT. PLN pada saat perjanjian akan dikembalikan seutuhnya. Dan pelanggan menandatangani berita acara pemutusan dan saat itu juga perjanjian diantara kedua belah pihak telah dinyatakan berakhir.

60

Pembatalan perjanjian jual beli tenaga listrik ini juga diatur didalam surat perjanjian jual beli tenaga listrik point 14 yang berbunyi “perjanjian ini dapat berakhir karena, a) kesepakatan para pihak, b) terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam perjanjian ini, c) adanya ketentuan pemerintah dan atau putusan pengadilan dan d) adanya keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Apabila terjadi pengakhiran perjanjian, maka pihak kedua tetap harus melunasi seluruh kewajiban berkaitan dengan perjanjian ini dan para pihak sepakat tidak memberlakukan ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”.

BAB IV

BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA YANG TERJADI DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA

LISTRIK ANTARA PT. PLN (PERSERO) ULP PANYABUNGAN DEGAN PELANGGAN

A. Pengertian Penyelesaian Sengketa

Yang dimaksud dengan penyelesain sengketa adalah suatu penyelesaian perkara yang dilakukan antara salah satu pihak dengan pihak yang lainnya.

Beberapa pakar berpendapat yakni.

Menurut Gary Goodpaster dalam “tinjauan terhadap penyelesaian sengketa”

dalam buku Arbitrase di Indonesia, setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesempatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik.63

Menurut Priyatna Abdurrasyid alternatif penyelesaian sengketa adalah sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternative atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/Arbitrase (negosiasi dan mediasi) agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut.

63 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 36

62

Menurut H. Hartono Maridjono, SH Arbitrase atau APS adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Para pihak memilih arbitrase antara lain karena mereka menganggap penyelesaian sengketa dapat diselesaikan dengan cepat dan tidak terbuka untuk umum, suatu yang selalu dijaga oleh kalangan bisnis.

B. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa

Bentuk penyelesaian sengketa terbagi atas 2 (dua) macam yaitu, melalui pengadilan dan melalui alternatif penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh pengadilan, putusannya bersifat mengikat.

Sedangkan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif pilihan penyelesaian sengketa).

Apabila mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi menjadi lima cara, yaitu: 64

1. Konsultasi

Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupaka pihak konsultan.

64 Salim H.S, Op. Cit., hlm. 140

Dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Menurut Frans Hendra Winata, konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapat kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.65

2. Negosiasi

Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling sederhana dan murah. Walaupun demikian, sering juga pihak-pihak yang bersengketa mengalamami kegagalan dalam bernegosiasi karena tidak menguasai teknik bernegosiasi yang baik. Secara umum teknik negosiasi dapat dibagi menjadi: teknik negosiasi kompetitif, teknik negosiasi keras dan teknik yang bertumpu pada kepentingan (interest based).66 Tahapan-tahapan dalam proses negosiasi meliputi:

a) Tahap persiapan

b) Tahap tawaran awal (opening gambit) c) Tahap pemberian konsesi, dan

d) Tahap akhir permainan (end play)

Kelebihan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak yang bersengketa sendiri yang akan menyelesaikan sengketa tersebut.

Dengan demikian pihak yang bersengketa dapat mengontrol jalannya proses penyelesaian sengketa yang diharapkan.

65 Frans Hendra Winata, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrasi Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 7

66 Nurnaningsih Amriani, Op. Cit., hlm. 24

64

3. Mediasi

Mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengoordinasikan aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar, bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi.67 Kemampuan seorang mediator sangat menentukan keberhasilan proses mediasi, mediator akan membimbing para pihak untuk melakukan negosiasi sampai mendapat kesepakatan antara kedua belah pihak. Mediasi juga dapat berhasil jika para phak mempunyai posisi tawar menawar yang setara dan mereka masih menghargai hubungan baik antara mereka dimasa depan. Keunggulan mediasi sebagai gerakan ADR (Alternative Dispute Resolution) modern adalah:

a. Voluntary, keputusan untuk bermediasi diserahkan kepada kesepakatan para pihak, sehingga dapat dicapai suatu putusan yang benar-benar merupakan kehendak dari para pihak.

b. Informal/fleksibel, tidak seperti dalam proses litigasi (pemanggilan saksi, pembuktian, replik, duplik dan sebagainya) proses mediasi sangat fleksibel. Kalau perlu para pihak dengan bantuan mediator dapat mendesain sendiri prosedur bermediasi.

c. Interest Based, dalam bermediasi tidak dicari siapa yang benar atau salah, tetapi lebih untuk menjaga kepentingan masing-masing pihak.

67 Ibid., hlm. 28

d. Future Looking, karena lebih menjaga kepentingan masing-masing pihak, mediasi lebih menekankan untuk menjaga hubungan para pihak yang bersengketa kedepan, tidak berorientasi ke masa lalu.

e. Parties Oriented, dengan prosedur yang informal, maka para pihak yang berkepentingan dapat secara aktif mengontrol proses mediasi dan pengambilan penyelesaian tanpa terlalu bergantung kepada pengacara.

f. Parties Control, penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan keputusan dari masing-masing pihak, mediator tidak dapat memaksakan untuk mencapai kesepakatan. Pengacara tidak dapat mengulur-ulur waktu atau memanfaatkan ketidaktahuan klien dalam hal beracara di pengadilan.

4. Konsiliasi

Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini konsiliator berwenang menyusun dan merumuskan penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator menjadi resolution.

Kesepakatan ini juga bersifat final dan mengikat para pihak.68 Apabila yang bersangkutan tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi. Hal ini yang menyebabkan istilah konsiliasi kadang sering diartikan mediasi. Penggunaan fasilitator pihak ketiga, secara aktif maupun tidak aktif duduk di antara piihak-pihak yang bersengketa dan membantu mereka untuk membuat persetujuan. Salah satu perbedaan antara mediasi dan konsiliasi adalah berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh pihak

68 Ibid., hlm. 34

66

ketiga kepada pihak yang bersengketa, sedangkan mediator dalam mediasi hanya membimbing para pihak yang bersengketa menuju suatu kesepakatan.

5. Penilaian para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis sesuai dengan bidang keahliannya.

Secara umum keuntungan yang sering muncul dalam penggunaan ADR (Alternative Dispute Resolution) sebagai penyelesaian sengketa adalah: 69

1. Sifat kesukarelaan dalam proses: para pihak percaya bahwa ADR memberikan jalan keluar yang potensial untuk menyelesaikan masalah dengan lebih baik daripada melakukannya dengan prosedur yang sudah tersedia, seperti misalnya prosedur litigasi dan prosedur lainnya yang melibatkan para pembuat keputusan dari pihak ketiga.

2. Prosedur yang cepat: karena prosedur ADR bersifat kurang formal, pihak-pihak terlibat mampu menegosiasikan syarat-syarat penggunaannya.

3. Keputusan nonjudisial: wewenang untuk membuat keputusan dipertahankan oleh pihak-pihak yang terlibat dari pada didelegasikan kepada pembuat putusan dari pihak ketiga.

4. Kontrol oleh manejer yang paling tahu tentang kebutuhan organisasi:

prosedur ADR menempatkan keputusan ditangan orang-orang yang mempunyai posisi baik untuk menafsirkan tujuan-tujuan jangka panjang dan jangka pendek dari organisasi yang terlibat dan dampak-dampak positif dan negatif dari setiap pilihan penyelesaian masalah tertentu.

69 Ibid., hlm. 48

5. Prosedur rahasia (confidental): prosedur-prosedur ADR dapat memberikan jaminan kerahasiaan yang sama besarnya bagi setiap pihak yang terlibat, seperti yang sering kali ditemukan dalam konferensi penyelesaian masalah.

6. Fleksibilitas yang lebih besar dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah: prosedur ADR menyediakan satu kesempatan bagi para pembuat keputusan kunci dari setiap pihak, untuk menyiasati penyelesaian-penyelesaian yang dapat secara lebih baik mempertemukan kepentingan-kepentingan mereka dari pada menjalankan penyelesaian yang dilakukan oleh pihak ketiga.

7. Hemat waktu: dengan kelambatan yang cukup berarti dalam menunggu kepastian tanggal persidangan, prosedur ADR menawarkan kesempatan-kesempatan yang lebih untuk menyelesaikan sengketa tanpa harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melakukan litigasi.

8. Hemat biaya: prosedur ADR biasanya tidak semahal litigasi.

9. Perlindungan dan pemeliharaan hubungan kerja: cara-cara penyelesaian sengketa ADR yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang dinegosiasikan yang memerhatikan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak terlibat.

10. Tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan: pihak-pihak yang telah mencapai kesepakatan pada umumnya cenderung untuk mengikuti dan memenuhi syarat-syarat kesepakatan ketika sebuah kesepakatan telah ditentukan oleh pengambil keputusan pihak ketiga. Faktor ini membantu

68

para peserta dalam prosedur ADR, untuk menghindari litigasi ulang yang mahal.

11. Kesepakatan-kesepakatan yang lebih baik dari pada sekedar kompromi atau hasil yang diperoleh dari cara penyelesaian kalah/menang: cara penyelesaian sengketa yang dirundingkan melalui negosiasi berwawasan kepentingan, pada umumnya lebih memuaskan semu pihak yang mengkompromikan keputusan mereka dimana para pihak yang terlibat saling berbagi keuntungan dan kerugian.

12. Keputusan yang bertahan sepanjang waktu: penyelesaian sengketa dengan prosedur ADR cenderung untuk bertahan sepanjang waktu.

Sedangkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan biasa dilakukan dengan Litigasi dan Arbitrase, yang dimaksud dengan Litigasi adalah proses penyelesaian sengketa di pengadilan, semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan pihak yang satu menang dan pihak yang lain kalah.70

Penggunaan sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangannya dalam menyelesaikan suatu sengketa. Keuntungannya yaitu.71

1. Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan menjamin ketentraman sosial.

2. Litigasi sangat baik sekali untuk menemukan berbagai kesalahan dan masalah dalam posisi pihak lawan.

70 Ibid., hlm. 35

71 Salim H.S, Op. Cit., hlm. 141

3. Litigasi memberikan suatu standar bagi prosesur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan.

4. Litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk menyelesaikan sengketa pribadi.

5. Dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam undang-undang secara eksplisit maupun implisit. Namun litigasi juga memiliki beberapa kekurangan yaitu:

1. Memaksa para pihak dalam posisi yang ekstrem.

2. Memerlukan pembelaan (advocasy) atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi putusan.

3. Litigasi benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara apakah persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrem dan seringkali marginal.

4. Menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan

5. Fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, para pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka yang sebenarnya.

6. Litigasi tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan para pihak yang bersengketa.

70

7. Litigasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris, yaitu sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan alternatif penyelesaian.

Proses litigasi menyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan.

Sedangkan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase adalah dimana para pihak melalui klausul yang disepakati dalam perjanjian, menundukkan diri (submission) menyerahkan penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian kepada pihak ketiga yang netral dan bertindak sebagai arbiter. Proses penyelesaian dilakukan didalam wadah arbital tribunal (majelis arbitrase).72

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat seara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Namun demikian suatu putusan arbitrase baru dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri (Pasal 59 ayat (1) dan (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999). Arbitrase berbeda dengan mediasi (konsiliasi). Perbedaan pokoknya terletak pada fungsi dan kewenangan pihak

Namun demikian suatu putusan arbitrase baru dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri (Pasal 59 ayat (1) dan (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999). Arbitrase berbeda dengan mediasi (konsiliasi). Perbedaan pokoknya terletak pada fungsi dan kewenangan pihak