• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V LANGGAN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT

5.2. Pengertian Sistem Langgan

Langgan merupakan suatu istilah bagi seseorang yang meminjamkan modal kepada nelayan yang akan melaut, yang dikenal pada masyarakat desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten. Pinjaman modal yang

87 diberikan pada nelayan biasanya diberikan dengan mudah dan ada “perjanjian”¥ diawal yang akan mengarahkan mekanisme hubungan antara nelayan dengan Langgan tadi. Pinjaman yang diberikan tersebut disertai dengan adanya perjanjian dimana nelayan selain harus mengembalikan modal sejumlah yang sama dengan jumlah modal yang diterima, nelayan juga harus memberikan hasil tangkapannya sebanyak 5% s.d. 10% (bahkan bisa lebih tergantung pada kesepakatan di awal) dari hasil tangkapan yang mereka peroleh saat melaut kepada Langgan. Disamping itu, hasil tangkapan yang diperoleh saat melaut harus dijual pada Langgan yang memberi modal, dengan harga dibawah harga standar yang seharusnya diterima oleh nelayan. Modal yang biasanya diberikan pada nelayan diantaranya adalah perahu, bahan bakar yang dibutuhkan untuk melaut, jaring, modal berupa uang, atau pun modal yang diberikan untuk memperbaiki perahu atau alat tangkap lainnya. Jika nelayan tidak mampu mengembalikan utangnya, maka Langgan biasanya menarik atau menyita barang-barang milik nelayan seharga utang yang di pinjam oleh nelayan.

“Modal nu di pasihken ka nelayan ku Langgan biasanamah mangrupa duit, tapi aya oge nu sanes duit sapertos BBM, jaring, sareng sajabana. Upami nelayan teu tiasa ngalunasan hutangna, biasana barang-barang nelayan ditarik hutang nu nilaina saageng modal nu di tambut nelayan. Misalna pami hutangna saharga parahu, maka parahu nelayan ditarik.), (Modal yang diberikan pada nelayan oleh Langgan biasanya berupa uang, tapi ada juga yang bukan berupa uang seperti Bahan Bakar Minyak, jaring dan sebagainya. Jika nelayan tidak bisa melunasi utangnya, biasanya barang-barang milik nelayan yang nilainya sama dengan utang nelayan, disita sebagai pengganti atau untuk melunasi utangnya pada Langgan. Misalnya, apabila utang nelayan seharga perahu yang dimiliki nelayan, maka perahu tersebut akan disita oleh Langgan sebagai ganti atau untuk melunasi utang nelayan, (Pernyataan DNF, seorang nelayan Kursin).”

             

¥

  Perjanjian ini merupakan perjanjian lisan yang merupakan konsensus masyarakat dan Langgan yang dibuat dimasa lalu dan diakui sampai dengan saat ini sebagai suatu aturan yang mengatur mekanisme dalam Langgan.

88 Jaring yang di pinjamkan sebagai modal pada nelayan untuk menangkap ikan umumnya yaitu jaring rampus dan jaring nilon. Jaring rampus adalah jaring yang dipinjamkan oleh Langgan pada nelayan dimana jaring ini berbahan tipis, berukuran kecil hingga sedang. Jaring rampus tersebut biasanya digunakan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil seperti ikan petek, ikan banyar, dan ikan layur. Sedangkan jaring nilon adalah jaring yang dipinjamkan oleh Langgan pada nelayan dimana jaring ini terbuat dari nilon berbahan tebal dan berukuran besar yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan yang berukuran besar pula seperti ikan hiu dan ikan tongkol. Akan tetapi, di dalam prakteknya nelayan banyak memilih untuk menggunakan jaring rampus dalam menangkap ikan di laut. Hal ini dikarenakan resiko utang nelayan pada Langgan serta keselamatan saat melaut lebih aman dari pada meminjam jaring nilon yang membuat nelayan harus melaut berhari-hari (7 sampai 10 hari). Pertimbangan lainnya adalah, hasil tangkapan dengan jaring rampus hasilnya bisa dinikmati dengan cepat karena tidak membutuhkan waktu berhari-hari untuk menangkap ikan dan jika dibandingkan dengan pendapatan dari jaring nilon, jaring rampus dapat menghasilkan ikan jauh lebih banyak dari pada menggunakan jaring nilon. Hal ini karena ikan besar yang bisa ditangkap dengan jaring nilon biasanya lokasinya jauh dan jumlah ikan besar relatif lebih sedikit dari pada ikan yang ukurannya kecil yang bisa ditangkap oleh jaring rampus. Jenis jaring lainnya antara lain adalah gilnet, jaring keong, jaring kincang, dan sebagainya.

Sistem Langgan yang berkembang pada masyarakat nelayan di desa Muara berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama dan diwariskan secara turun-temurun pada generasi selanjutnya. Para orang tua (nelayan) yang terlibat

89 dalam system Langgan menganggap bahwa anak laki-lakinya yang akan membantu melunasi utang orang tuanya pada Langgan. Sedangkan bagi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, maka anak tertuanyalah yang akan membantu melaunasi utang orang tuanya pada Langgan. Pada saat orang tuanya tidak mampu melunasi atau meninggal dunia, tidak sedikit Langgan yang mewariskan utang tersebut pada keluarga nelayan. Inilah yang menyebabkan Langgan menjadi kuat dan terus berkembang sampai dengan saat ini.

Keputusan untuk meminjam modal pada Langgan dilakukan pada saat nelayan mengalami kekurangan modal atau tidak memiliki modal untuk melaut. Kekurangan modal / tidak adanya modal untuk melaut biasanya terjadi pada saat musim paceklik, dimana pada musim ini nelayan tidak dapat melaut seperti biasanya. Walaupun tetap pergi melaut, maka hasil tangkapannya sangat sedikit dan resiko melaut cukup besar. Jika musim paceklik ini berkepanjangan, maka proses peminjaman pada Langgan ini berlangsung secara terus-menerus. Kemudian pada saat musim paceklik berakhir, ikan kembali banyak dan nelayan dapat kembali melaut seperti biasanya, pada saat itulah nelayan melunasi utang-utangnya pada Langgan dari hasil melaut yang mereka peroleh. Keputusan untuk meminjam modal atau pun untuk kebutuhan lainnya, dianggap sebagai keputusan akhir yang dipilih oleh para nelayan dan merupakan suatu “kebijakan” nelayan yang paling bijaksana untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai nelayan di tempat tersebut. Kondisi seperti ini terus dijaga oleh Langgan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari nelayan.

“ Bicara nelayan desa Muara, maka tidak akan lepas dari pembicaraan masalah Langgan. Ibarat makan buah simalakama, tidak meminjam modal pada Langgan, artinya nelayan tidak bisa melaut karena tidak memiliki modal. Sementara jika minjam modal pada Langgan, maka harus siap

90 dengan bunga yang akan menjerat nelayan dalam utang yang tidak mungkin terbayar. Tapi untuk bertahan hidup, nelayan terpaksa meminjam modal pada Langgan.(pernyataan YGI, seorang pengamat langgan yang bekerja di TPI).”

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Langgan memiliki dua arti sebagai suatu “kearifan lokal” masyarakat yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan di desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten. Arti yang Pertama, dilihat bahwa Langgan adalah individu yang memberikan pinjaman modal untuk melaut pada nelayan di desa Muara. Ini merupakan arti Langgan di awal, sebelum Langgan ini berubah menjadi suatu mekanisme hubungan yang didalamnya terdapat peraturan-peraturan yang menjadi konsensus bersama dan diakui keberadaannya sampai waktu tertentu. Arti ini ada karena sangat tidak mungkin suatu sistem dapat memberikan pinjaman modal dan jika diartikan sebagai individu, maka Langgan tersebut dapat memberikan modal pada nelayan (individu lain) yang membutuhkan modal.

Arti Langgan yang kedua dilihat dari posisi Langgan sebagai suatu mekanisme hubungan. Langgan diartikan sebagai suatu mekanisme hubungan antara nelayan dengan pemberi modal yang bersifat pribadi, diwariskan secara turun-temurun dan merupakan kebijaksanaan lokal yang didalamnya terdapat aturan-aturan khusus / konsensus yang menentukan pola prilaku yang diterapkan oleh nelayan di desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten. Mekanisme peminjaman pada sistem Langgan merupakan suatu cara-cara peminjaman dengan terlebih dahulu disepakati teknik-teknik pembayaran dan              

  Kearifan lokal yang dimaksud adalah kebijaksanaan setempat yang terlahir untuk mengatasi masalah ekonomi masyarakat dan merupakan suatu pilihan yang dianggap tepat serta terbaik dari beberapa pilihan yang ada untuk mengatasi permasalahan tadi.

91 aturan khusus terhadap modal yang dipinjamkan oleh Langgan pada nelayan. Langgan dikatakan sebagai suatu sistem karena di dalamnya selain terdapat adanya orang yang memberi pinjaman (biasanya di sebut Langgan), nelayan yang melakukan pinjaman, aturan-aturan khusus yang mengatur masalah Langgan, juga terdapat individu lain yang juga masih satu kesatuan dalam Langgan yaitu Bakul, Pelele, nelayan, TPI, pemerintah dan masyarakat. Bakul adalah sekelompok orang yang menjual ikan dari Langgan pada konsumen atau pedagang ikan lainnya di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sedangkan Pelele adalah orang yang membeli ikan dari Langgan atau Bakul yang kemudian di jual kembali pada masyarakat di luar TPI. Langgan sebenarnya suatu sistem patron-klien yang hampir sama pada masyarakat nelayan lainnya di Indonesia.

Sebagai kearifan lokal masyarakat nelayan, Langgan memiliki karakteristik seperti halnya pada kearifan lokal pada umumnya. Karakteristik dari Langgan itu sendiri antara lain adalah sebagai berikut :

1. Langgan dalam perkembangannya menjadi suatu lembaga yang melekat pada budaya lokal yang ada dan berkembang pada masyarakat nelayan di desa Muara, kecamatan Wanasala, kabupaten Lebak, Banten.

2. Langgan dengan segala aturan-aturan khusus yang mempengaruhi prilaku masyarakat nelayan memiliki orientasi pada hal-hal praktis yang disesuaikan dengan keadaan pada masyarakat nelayan yang bersangkutan dan bersifat jangka panjang.

3. Langgan dalam proses perkembangannya memiliki ruang dan waktu serta bersifat dinamis atau selalu menyesuaikan terhadap berbagai perubahan yang mungkin mempengaruhi perubahan pada Langgan itu sendiri.

92 Gambar 5.1. Aktivitas di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

Langgan yang ada di desa Muara menempati tingkat yang paling tinggi dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat. Orang-orang yang terlibat dalam Langgan secara umum adalah orang-orang yang memiliki kekayaan dan memiliki kekuasaan di desa tersebut. Sementara urutan kedua setelah Langgan adalah para nelayan pemilik kapal ataupun para Bakul yang bekerja dalam penjualan hasil laut. Para nelayan pemilik kapal tidak semuanya memiliki peralatan melaut yang lengkap atau pun memiliki modal yang cukup untuk melaut. Sehingga tidak sedikit para nelayan pemilik kapal melakukan pinjaman modal pada Langgan. Sedangkan para Bakul, memiliki pekerjaan yang bergantung dari Langgan. Hasil melaut nelayan di jual pada Langgan, dan dari Langgan di jual pada Bakul-Bakul dan Pelele yang ada di TPI. Para Bakul dan Pelele dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan atau tangan kanan dari Langgan dalam penjualan ikan dari nelayan. Sebenarnya, sebelum Langgan membayar hasil tangkapan nelayan, terlebih dahulu Langgan menjual hasil tangkapan tersebut pada Bakul-Bakul atau Pelele. Hasil penjualan tersebut kemudian diserahkan pada nelayan setelah dipotong bunga dan modal oleh Langgan berdasarkan perjanjian di awal dengan Langgan. Sedangkan nelayan sendiri menempati urutan ketiga atau urutan paling

93 rendah dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat. Jika digambarkan, maka bentuknya menyerupai piramida, dimana posisi paling atas yang ditempati oleh Langgan relatif kecil atau sedikit yang menggambarkan Langgan dalam masyarakat jumlahnya sedikit. Sedangkan semakin kebawah, semakin besar menggambarkan bahwa semakin bawah posisi seseorang dalam piramida tersebut maka semakin banyak jumlah orang yang menempatinya sedangkan struktur sosialnya semakin rendah.

Langgan

Bakul, Nelayan pemilik kapal (Taweu)

Nelayan biasa, Tekong, dan Buruh nelayan Gambar 5.2. Stratifikasi sosial komunitas nelayan desa Muara berdasarkan sistem

mata pencaharian di laut.