• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN

(Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun,

Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)

YAYAN SARYANI I34060139

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

ii

ABSTRACT

YAYAN SARYANI. I34060139. LANGGAN FOR FISHERMAN MUARA BINUANGEUN (Study of Local Wisdom In Fisherman Society Muara-Binuangeun, Subdistrict of Lebak, Province of Banten). Supervised by Saharuddin.

Local wisdom that developed in fisherman society at Muara-Binuangeun village have characteristic which adjusted by environmentally society at that place and really be related with society livelihood that is as fisherman. One of developed local wisdom on fisherman society Muara-Binuangeun is Langgan. Langgan is one of local wisdom that gets to form rules or Norms, moral values in which managed mechanism that is carried on at in its to reach prosperous as economic that decided by side one engage in that system. Beside that, Langgan also can be definited as individual who gived capital to fishermen communityfor sailing at Muara-Binuangeun.

Langgan were born from society initiative to solve them economy social problem. Upon happening poverty on society and its implication is society have no capital to go out to sea, at that moment evoked initiative to look for alternative in look for capital loan. Afterwards formed Langgan as initiations from that society. In its developing, as part of society culture, Langgan growing and develope becomes to outgrow as well as culture. Based on it also, therefore Langgan also experiences probability to changed as well as society social life and society culture.

Base studi's result at the field, available three factor that regard change on Langgan. The third Factor that among those are: first, Intervensi Ulama passes through Islam, already prohibits practice Langgan. Second, Intervensi government policy via TPI (Auction place Fishes Out), where is TPI'S existence have revamped policy that at applies by Langgan. Third, Proverty and transfer profession that happening on society, where upon their livelihood as fisherman no longer keeps faith, therefore a lot of society changes over their profession and leave their work as fisherman.

(3)

iii

RINGKASAN

YAYAN SARYANI. I34060139. LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA- BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten) Dibawah bimbingan Saharuddin.

Masyarakat atau komunitas desa yang syarat dengan kebudayaan tradisional dan kearifan lokal yang dimilikinya menjadi objek kajian yang menarik untuk diteliti. Hal inilah yang kemudian menjadi menarik untuk di kaji lebih lanjut, yaitu mengenai bagaimana karakteristik kearifan lokal pada masyarakat nelayan di lokasi penelitian. Selain itu, akan dilihat juga sejauh mana kearifan lokal masyarakat nelayan tersebut dapat berubah serta faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan itu terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari dan mengidentifikasi karakteristik kearifan lokal masyarakat nelayan di wilayah penelitian, sehingga dapat diketahui bagaimana bentuk kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat di tempat tersebut. Selanjutnya, terkait dengan adanya kemungkinan perubahan pada kebudayaan, maka tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui bagaimana kearifan lokal itu berproses dan mengalami perubahan bentuk pada masyarakat nelayan yang bersangkutan. Disamping itu, berdasarkan tujuan kedua di atas, maka tujuan berikutnya adalah untuk mencari dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab perubahan yang mungkin terjadi pada kearifan lokal masyarakat tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data yang diperoleh terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder yang merupakan catatan atau dokumen tentang desa ataupun hal yang berkenaan dengan fokus penelitian diperoleh dari pemerintah desa setempat. Sedangkan data primer diperoleh melalui Wawancara mendalam, Observasi berperan serta, Dokumentasi dan digunakan pula teknik Triangulasi jika ditemukan data yang validitas dan kredibilitasnya diragukan.

Lokasi penelitian bertempat di desa Muara, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, Banten. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja). Sedangkan Waktu penelitian di mulai sejak bulan Januari 2010, sampai bulan April 2010. Dengan subyek penelitian adalah masyarakat nelayan yang tinggal di tempat penelitian dan masyarakat di luar tempat penelitian yang mengetahui banyak tentang aspek yang di teliti.

Kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun ini memiliki karakteristik yang disesuaikan dengan lingkungan masyarakat ditempat tersebut dan sangat berkaitan dengan sistem mata pencaharian masyarakat yaitu sebagai nelayan. Salah satu kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat nelayan Muara-Binuangeun adalah kearifan lokal yang berkaitan dengan sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan yaitu Langgan. Langgan adalah salah satu kearifan lokal yang berbentuk aturan-aturan khusus atau norma-norma, nilai-nilai yang mengatur mekanisme yang dijalankan didalamnya untuk mencapai tujuan kesejahteraan secara ekonomi yang ditetapkan oleh pihak pihak-pihak yang terlibat dalam sistem tersebut. Langgan juga dapat di artikan sebagai individu yang memberikan pinjaman modal pada komunitas nelayan untuk melaut di desa Muara.

(4)

iv Langgan terlahir dari inisiatif masyarakat dalam memecahkan masalah sosial ekonomi mereka. Pada saat kemiskinan terjadi pada masyarakat dan implikasinya adalah masyarakat tidak memiliki modal untuk melaut, pada saat itulah timbul inisiatif untuk mencari alternatif dalam mencari pinjaman modal. Kemudian terbentuklah Langgan sebagai wujud inisasi masyarakat tersebut. Layaknya lembaga pemberi modal lainnya, Langgan yang merupakan lembaga pemberi modal yang sifatnya tradisional, memiliki serangkaian tata aturan atau kesepakatan dalam proses atau mekanisme yang diterapkannya. Di dalam perkembangannya sebagai kebudayaan masyarakat, Langgan tumbuh dan berkembang menjadi besar seperti halnya kebudayaan. Berdasarkan hal ini juga, maka Langgan juga mengalami kemungkinan untuk berubah seperti halnya kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan masyarakat.

Berdasarkan hasil studi di lapangan, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perubahan pada Langgan. Ketiga faktor tersebut diantaranya adalah :

1. Interfensi Ulama melalui Agama Islam, yang telah banyak membatasi bahkan mengharamkan praktek-praktek kearifan lokal yang dijalankan oleh masyarakat. Langgan di pandang sebagai suatu bentuk “riba” karena praktek Langgan ini mengharuskan para nelayan untuk membayar bunga yang sangat besar dari materi yang dipinjam nelayan.

2. Interfensi kebijakan pemerintah melalui TPI (Tempat Pelelangan Ikan), dimana keberadaan TPI, telah merubah sistem atau mekanisme yang diterapkan oleh Langgan. Langgan yang semula menerima langsung hasil tangkapan dari nelayan, dengan adanya TPI kini harus melalui administrasi TPI terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini, TPI telah merubah kebijakan yang di terapkan oleh Langgan.

3. Kemiskinan dan perpindahan profesi yang terjadi pada masyarakat, dimana pada saat mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi menjanjikan, maka banyak masyarakat beralih profesi dan meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Perpindahan profesi ini juga di picu oleh keinginan masyarakat yang besar untuk keluar dari masalah ekonomi. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab perubahan pada Langgan.

(5)

v

LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN

(Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun,

Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)

Oleh : Yayan Saryani

I34060139

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(6)

vi DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Yayan Saryani

NIM : I34060139

Judul Skripsi : LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Saharuddin, MSi NIP. 19641203 199303 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003

(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (STUDI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NELAYAN MUARA-BINUANGEUN, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN) ” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA.

Bogor, ... 2010

Yayan Saryani I34060139

(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Satuni dan Ibu Siti. Penulis dilahirkan di Desa Kandang Sapi, Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 15 Juni 1987.

Pada tahun 1994, penulis diterima sebagai siswa di MI/MA Ibtidaiyah Kandang Sapi Kecamatan Cijaku dan lulus pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2000-2003, penulis menempuh pendidikan di tingkat SMP N 1 Malingping. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA N 1 Malingping dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di kelembagaan mahasiswa DPM I FEMA, sebagai Ketua Komisi Internal dan aktif dibeberapa kepanitiaan di kampus seperti kepanitiaan Kemah Riset (KERIS), Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia dan Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan sebagainya. Di samping itu, penulis juga aktif di beberapa organisasi diluar Kampus, Seperti Lembaga Kemasyarakatan Desa Kandang Sapi, dan pernah tergabung dalam IKBC (Ikatan Keluarga Besar Cimande) di Kabupaten Bogor Cabang Ciherang. Selain kuliah, aktivitas lain yang juga dijalani adalah mengajar ekstrakulikuler di SMA Bina Putra, Kopo.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

 

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Tema yang dipilih dalam skripsi ini ialah Peran kearifan lokal dalam pembangunan masyarakat, dengan judul “LANGGAN BAGI NELAYAN MUARA-BINUANGEUN (Studi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Muara-Binuangeun, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)”. Skripsi ini di buat sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Di dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk membahas kearifan lokal masyarakat nelayan di desa Muara-Binuangeun yaitu Langgan berdasarkan hasil penelitian. Pembahasan dimulai dari bagaimana karakteristik kearifan lokal pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun sampai dengan bagaimanakah kearifan lokal tersebut berproses dan mengalami perubahan dalam masyarakat nelayan di wilayah tersebut. Kemudian, terkait dengan adanya kemungkinan perubahan, bahasan dilanjutkan pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan kearifan lokal di wilayah tersebut.

Melalui skripsi ini, diharapkan akan memberi manfaat untuk pengetahuan dan masukan dalam menentukan kebijakan pembangunan. Melalui skripsi ini juga diharapkan akan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi setiap yang membacanya. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, April 2010

(10)

x

UCAPAN TERIMAKASIH

 

Alhamdulillah, teriring rasa syukur dan terimakasih kepada Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya serta nikmat yang diberikan oleh-Nya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dan Insya Allah memuaskan. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Saharuddin, MSi selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, dan sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen penguji utama. Terimakasih banyak atas arahan, saran dan perbaikan yang telah diberikan untuk memperbaiki skripsi penulis.

3. Ir. Murdianto, MSi selaku dosen penguji perwakilan dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Terimakasih atas koreksi dan saran untuk perbaikan skripsi penulis.

4. Ayah, Bunda dan Keluarga di rumah, yang telah memberikan semangat meskipun dari jauh, dan bantuan materil dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga atas do’anya.

5. Keluarga besar Ma Kayah dan Mang Damiri, yang telah banyak membantu dalam mengumpulkan dan melengkapi data penelitian serta menjadi orang tua peneliti saat di lapangan. Terimakasih atas tempat tinggal dan makanan khas desa Muara.

6. Pak H. Hada, Pak H. Sar’an, Pak Yogi, Mas Kiki, Mas Hardani, Riswan, Rita, Suheni, Rosi, Pak Enjang, Vanny, Erlita, Pak Atmo dan Pak Dany dan seluruh warga desa Muara-Binuangeun yang telah membantu penulis dalam memperoleh data dan melengkapi data penelitian.

(11)

xi 7. Ajat sudrajat, yang selalu mengantar dan mendampingi peneliti saat

dilapangan. Terimakasih juga atas masukan yang diberikan dalam pembuatan skripsi ini.

8. Sahabat saya Azis, Yosa, Cecep, Hendra, Untung, Ogi, Kapten, Adha, Bedhil, Arif, Bayu, Ipung, Andris, Iren,Tia, Dea dan KPM’ers, 43.

9. Pihak lain yang telah ikut berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.

Semoga kita semua dapat meraih kesuksesan di dunia dan bahagia di akhirat. Amin.

(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... ix

UCAPAN TERIMAKASIH ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN...1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan Penelitian ... 5 1.4. Kegunaan Penelitian ... 6   BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL ... 8

2.1. Tinjauan Pustaka ... 8

2.1.1 Masyarakat Nelayan ... 8

2.1.1.1 Sistem Sosial dan Ekonomi Nelayan ... 8

2.1.1.2 Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan ... 15

2.1.1.3 Modal Sosial Masyarakat Nelayan ... 17

2.1.2. Kearifan Lokal ... 20

2.1.2.1 Konsep Kearifan Lokal ... 20

2.1.2.2. Kasus-Kasus Aplikasi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia ... 24

2.1.2.3. Pengelolaan Sumber Daya Perairan melalui Kearifan Lokal Masyarakat ... 33

2.1.2.4. Perubahan Kearifan Lokal dan Faktor-faktor Penyebab Perubahan Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan ... 35

2.2. Kerangka Pemikiran ... 51

2.3. Hipotesis Pengarah ... 52

2.4. Definisi Konseptual ... 52  

(13)

xiii

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ... 55

3.1. Jenis Penelitian ... 55

3.2. Metode Penelitian ... 56

3.3. Penentuan Subyek Penelitian ... 57

3.4. Lokasi dan Waktu ... 58

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 59

3.6. Instrumen Penelitian ... 60

3.7. Teknik Analisis Data ... 61

3.8. Pengujian Kredibilitas Data ... 64

  BAB IV GAMBARAN UMUM DESA MUARA-BINUANGEUN ... 66

4.1. Potensi Umum ... 66

4.1.1. Sekilas Tentang Desa Muara ... 66

4.1.2. Batas Wilayah ... 69

4.1.3. Luas Wilayah ... 69

4.1.4 Pertanian dan Perkebunan Masyarakat ... 70

4.1.5 Peternakan dan Perikanan Masyarakat ... 71

4.1.6. Sumber Daya Air... 73

4.2. Potensi Sumber Daya Manusia ... 73

4.2.1. Jumlah dan Tingkat Pendidikan Masyarakat ... 73

4.2.2. Etnis Penduduk ... 74

4.2.3. Mata Pencaharian Penduduk ... 75

4.3 Potensi Kelembagaan ... 77

4.3.1. Kelembagaan Pemerintahan dan Kemasyarakatan ... 77

4.3.2. Lembaga Ekonomi Masyarakat... 77

4.3.3. Lembaga Pendidikan ... 79

4.3.4. Lembaga Adat ... 79

4.3.5. Lembaga Keamanan Desa ... 79

4.4. Potensi Sarana dan Prasarana ... 80

4.4.1. Sarana Umum ... 80

4.4.2. Sarana Kesehatan ... 81  

(14)

xiv

BAB V LANGGAN SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ... 82

5.1. Sejarah Langgan...82

5.2. Pengertian Sistem Langgan ... 86

5.3. Struktur Organisasi Bisnis dalam Langgan ... 93

5.4. Jenis Langgan Berdasarkan Pengelolaan Hasil Tangkapan Nelayan .... 98

5.4.1. Langgan yang mengelola hasil tangkapan sendiri ... 98

5.4.2. Langgan yang mengelola hasil tangkapan bersama Bakul dan Pelele 99 5.4.3. Langgan yang merangkap Taweu ... 99

5.5. Nelayan dalam Sistem Langgan ... 100

5.6. Peran dan Fungsi Langgan Bagi Nelayan ... 104

5.7. Makna Langgan Bagi Masyarakat Nelayan Desa Muara ... 106

5.8. Langgan : Modal Sosial Dan Kebudayaan Masyarakat ... 111

5.8.1. Langgan Dan Modal Sosial Masyarakat ... 112

5.8.2. Langgan Dan Kebudayaan Masyarakat...116

5.9. Dampak Keberadaan Langgan bagi Masyarakat Desa Muara...117

5.9.1. Dampak Negatif dari Langgan...117

5.9.2. Dampak Positif dari Langgan...119

BAB VI SISTEM LANGGAN DAN PERUBAHANNYA...121

6.1. Mekanisme Sistem Langgan Di Desa Muara-Binuangeun ... 121

6.2. Mekanisme Alur Pemasaran Dalam Langgan ... 124

6.2.1. Alur pemasaran dari Langgan ke Bakul dan Taweu ... 124

6.2.2. Alur pemasaran dari Taweu ke Langgan dan Pelele ... 125

6.2.3. Mekanisme alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele ... 126

6.2.4. Mekanisme alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele .... 126

6.2.5. Alur pemasaran monopoli oleh Langgan ... 127

6.3. Praktek Langgan : Dulu dan Sekarang serta Perubahan yang Menyertainya ... 128

  BAB VII FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN PADA LANGGAN ... 132

7.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Kearifan Lokal (Langgan) Pada Masyarakat Nelayan di Desa Muara-Binuangeun ... 132

(15)

xv

7.1.2. Interfensi kebijakan pemerintah melalui TPI ... 135

7.1.3. Kemiskinan dan perpindahan profesi yang terjadi pada masyarakat 136 7.2. Faktor-faktor Penyebab Nelayan Terlibat Langgan ... 138

7.2.1. Kondisi Alam ... 139

7.2.2. Budaya Masyarakat yang Konsumtif ... 140

7.2.3. Sikap Ketergantungan Nelayan Pada Alam ... 141

7.2.4. Program Pemerintah Yang Tidak Mendukung Nelayan Dan Tidak Tepat Sasaran ... 143

7.2.5. Rendahnya Tingkat Pendidikan Nelayan ... 144

BAB VIII PENUTUP ... 146

8.1. Kesimpulan ... 146

8.2. Rekomendasi ... 149

  DAFTAR PUSTAKA ... 152

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir Di Indonesia Tahun 2002...9 Tabel 2.2. Tata Aturan dan Sanksi dalam Awig-awig di Lombok Barat...32 Tabel 4.1. Data usaha peternakan masyarakat di Desa Muara sampai Tahun

2009...71 Tabel 4.2. Data Jenis Ikan yang dihasilkan oleh masyarakat Di Desa Muara

sampai Tahun 2009...72 Tabel 4.3. Data Tingkat Pendidikan masyarakat di Desa Muara berdasarkan jenis

kelamin sampai Tahun 2009...74 Tabel 4.4. Data etnis masyarakat di Desa Muara berdasarkan jenis kelamin

sampai Tahun 2009...75 Tabel 4.5. Data Mata pencaharian masyarakat di Desa Muara berdasarkan jenis

kelamin sampai Tahun 2009...76 Tabel 4.6. Data Sarana Kesehatan di Desa Muara sampai Tahun 2009...81

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran...51

Gambar 3.1. Komponen dalam analisis data (interactive model) (Sugiyono 2009: 92)...62

Gambar 4.1. Tempat wisata di desa Muara-Binuangeun...68

Gambar 4.2. Usaha pembuatan ikan asin...76

Gambar 5.1. Aktivitas di Tempat Pelelangan Ikan (TPI)...92

Gambar 5.2. Stratifikasi sosial komunitas nelayan Desa Muara berdasarkan sistem mata pencaharian di laut...93

Gambar 5.3. Struktur organisasi bisnis pada Langgan di desa Muara-Binuangeun Lebak Banten. ...95

Gambar 5.4. Jaring Kursin (kiri) dan jaring rampus (kanan)...98

Gambar 5.5. Perahu nelayan yang rusak dan tidak di perbaiki oleh Langgan...103

Gambar 5.6. Nelayan payang yang beraktivitas pada siang hari...104

Gambar 5.7. Kehidupan sosial nelayan...107

Gambar 5.8. Modal sosial masyarakat dalam Langgan...116

Gambar 6.1. Gambar ikan yang di tangkap dengan jaring rampus (Gambar A), dan gambar ikan yang di tangkap dengan jaring nilon (Gambar B)...122

Gambar 6.2. Alur pemasaran dari Langgan ke Bakul dan Taweu...125

Gambar 6.3. Alur pemasaran dari Taweu ke Langgan dan Pelele...126

Gambar 6.4. Mekanisme alur pemasaran dari Taweu ke Bakul dan Pelele...126

Gambar 6.5. Mekanisme alur pemasaran dari Tekong ke Taweu dan Pelele....127

Gambar 6.6. Alur pemasaran monopoli oleh Langgan...128

(18)

xviii Gambar 6.8. Mekanisme sistem Langgan saat ini...131 Gambar 7.1. Mesjid tempat berkumpulnya para ulama ...135 Gambar 7.2. Potret kehidupan masyarakat...137

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Data Narasumber Saat Penelitian...156 Lampiran II. Panduan Pertanyaan...157 Lampiran III. Jadwal Penelitian...161

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kajian tentang masyarakat nelayan pedesaan merupakan salah satu kajian ilmu sosial yang sangat penting. Masyarakat atau komunitas desa yang syarat dengan kebudayaan tradisional dan kearifan lokal yang dimilikinya menjadi objek kajian yang menarik untuk diteliti. Pada prakteknya, kebudayaan lokal termasuk kearifan lokal yang dimiliki masyarakat saat ini mulai ditinggalkan karena berbagai faktor tertentu. Kearifan lokal yang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosialnyalah yang dapat bertahan dan terus mengalami penguatan. Misalnya dalam tata aturan atau kepercayaan masyarakat yang semula banyak dipengaruhi oleh sistem kearifan lokal yang lebih berorientasi pada aspek-aspek ekologi, kini banyak didominasi oleh modernisasi yang seolah-olah memandang tabu kearifan lokal yang ada di masyarakat (Sartini, 2004). Sesuai dengan pernyataan Gadgil dkk, yang dikutip oleh Mitchell (2007: 298), bahwa pengetahuan lokal masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka memiliki peran yang sangat besar dimana pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan pada alam yang merupakan nilai positif untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Kedekatan masyarakat lokal dengan lingkungan inilah kemudian melahirkan suatu pola pemanfaatan sumberdaya melalui “uji coba”, yang kini telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi yang mereka kelola dan manfaatkan tersebut (Mitchell, 2007: 299). Dengan demikian, kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas suatu komunitas saja, tetapi juga berfungsi

(21)

2 sebagai upaya untuk pelestarian lingkungan ekologis suatu komunitas masyarakat. Misalnya pada beberapa komunitas masyarakat nelayan tradisional yang masih menggunakan kearifan lokal mereka dalam menangkap ikan ataupun pada saat melaut.

Kearifan lokal yang sampai saat ini dipraktikan oleh beberapa masyarakat lokal khususnya masyarakat nelayan dibeberapa daerah di Indonesia, mengalami kemunduran dalam pengaplikasiannya. Banyak faktor yang menyebabkan perubahan ini terjadi. Faktor tersebut misalnya adalah masuknya teknologi baru yang kurang memperhatikan keseimbangan lingkungan dalam menangkap ikan. Pada tahap awal, pengaruh teknologi baru dalam menangkap ikan ini dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Akan tetapi, implikasi yang terjadi kemudian adalah kerusakan pada ekosistem perairan di laut akibat over fishing, over exploitation, dan cara penangkapan yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan. Kemudian berpengaruh pada menurunnya pendapatan masyarakat bahkan lebih parah dari sebelum teknologi baru itu masuk. Lebih jauh, hal ini juga akan berimplikasi pada sistem mata pencaharian masyarakat nelayan sekitar. Dimana pada saat laut mulai rusak, pendapatan nelayan tidak menjanjikan lagi, saat itulah nelayan mencari alternatif baru untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara berpindah atau mencari mata pencaharian baru di sektor lain. Misalnya saja kasus yang terjadi di lahan tanah timbul Segara Anakan, Nusakambangan. Nelayan yang terdapat di Nusakambangan kemudian berpindah mata pencaharian pada saat sumber daya perairan yang sebelumnya menjadi tumpuan hidup mereka tidak lagi menjanjikan akibat praktek pemanfaatan Sumber Daya Perairan (SDP) yang tidak memperhatikan aspek-aspek keseimbangan

(22)

3 lingkungan. Mereka mulai membuka tanah timbul Nusakambangan, dan beralih mata pencaharian dari nelayan menjadi petani di lahan tanah timbul Nusakambangan (Khuriyati, 2005).

Hal inilah yang kemudian menjadi menarik untuk di kaji lebih lanjut, yaitu mengenai bagaimana aplikasi kearifan lokal masyarakat nelayan pada lokasi penelitian yaitu desa Muara-Binuangeun, kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, provinsi Banten. Selanjutnya, dengan melihat kasus yang terjadi pada Nelayan Nusakambangan dan dengan melihat kemungkinan perubahan sosial yang mungkin terjadi pada masyarakat, merujuk pendapat Sartini (2004: 114-115) bahwa :

“Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan yang kompleks, maka ia akan mengalami reinforcement secara terus-menerus menjadi yang lebih baik. Oleh karena itu maka kearifan lokal sebagai manifestasi kebudayaan yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia mengalami penguatan secara terus menerus. Tetapi, apakah ia akan tetap menjadi dirinya tanpa perubahan, benturan kebudayaan akan menjawabnya.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka ingin dilihat juga sejauh mana kearifan lokal masyarakat nelayan tersebut dapat berubah serta faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan itu terjadi. Tentu saja terlebih dahulu harus dapat melihat bagaimana kearifan lokal itu berproses dan bagaimana karakteristik dari kearifan lokal itu sendiri. Sehingga kemudian akan dapat dilihat, apakah kearifan lokal tersebut sebagai produk kebudayaan masyarakat mengalami perubahan atau tidak karena kearifan lokal tersebut terus beradaptasi dengan lingkungan. Maksudnya adalah ingin melihat apakah kearifan lokal masyarakat juga ikut

(23)

4 berubah seiring dengan perubahan sosial masyarakat dan adanya benturan kebudayaan pada masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat nelayan merupakan modal sosial masyarakat dalam bentuk suatu kebijakan tradisional ataupun pengetahuan lokal suatu komunitas tertentu. Aplikasi dari kearifan lokal ini akan memberi pedoman bagi masyarakat lokal dalam menjaga dan melestarikan lingkungan ekologinya serta dalam mencari sumber nafkah sehingga menjadi tolok ukur masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Karena itu, identifikasi dari aplikasi kearifan lokal ini dianggap penting untuk mengetahui sejauh mana kearifan lokal dapat bertahan hidup di masyarakat dan sejauh mana kearifan lokal mampu beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi pada masyarakat. Di sisi lain, Sartini (2004: 114) menjelaskan bahwa kearifan lokal sebagai bentuk dari suatu kebudayaan, tentu saja akan mengalami reinforcement secara terus menerus untuk menjadi lebih baik. Akan tetapi, dengan adanya benturan kebudayaan yang dapat menyebabkan perubahan pada kebudayaan, bukan suatu hal yang mustahil jika perubahan kebudayaan ini berimplikasi juga pada perubahan kearifan lokal masyarakat. Hal ini mengingat kearifan lokal merupakan bentuk dari kebudayaan yang berlaku di masyarakat.

Setelah melihat bagaimana aplikasi kearifan lokal atau bagaimana kearifan lokal tersebut berproses dibeberapa daerah di Indonesia, ternyata masing-masing daerah memiliki kesamaan dan perbedaan dalam hal karakteristik kearifan lokalnya. Perbedaan ini bergantung pada dimana kearifan lokal tersebut di

(24)

5 terapkan. Perbedaan ini juga didasarkan atas keadaan wilayah geografis, demografis, sosial ekonomi dan politik yang terjadi dan berkembang pada masyarakat.

Kemudian dengan mengacu pada beberapa hal tersebut, maka masalah-masalah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah :

1. Bagaimana karakteristik kearifan lokal pada masyarakat nelayan di Desa Muara-Binuangeun ?

2. Bagaimanakah kearifan lokal tersebut berproses dan mengalami perubahan dalam masyarakat nelayan di wilayah tersebut ?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal di wilayah tersebut ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka informasi yang akan dicari untuk menjawab rumusan masalah tersebut antara lain adalah bentuk-bentuk kearifan lokal yang terdapat di wilayah penelitian, dan mengidentifikasi perubahan yang mungkin terjadi pada kearifan lokal terkait dengan adanya benturan kebudayaan (dimana kearifan lokal merupakan suatu bentuk kebudayaan). Sehingga pada saat budaya dan kondisi sosial masyarakat mengalami perubahan, maka bukan hal yang tidak mungkin kearifan lokal juga dapat berubah. Untuk mengetahui hal tersebut, maka tujuan dari mengkaji permasalahan di atas adalah :

(25)

6 1. Mencari dan mengidentifikasi karakteristik kearifan lokal masyarakat nelayan di wilayah penelitian, sehingga dapat diketahui bagaimana bentuk kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat di tempat tersebut.

2. Terkait dengan adanya kemungkinan perubahan pada kebudayaan, maka tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui bagaimana kearifan lokal itu berproses dan mengalami perubahan pada masyarakat nelayan yang bersangkutan.

3. Berdasarkan tujuan kedua di atas, maka tujuan berikutnya adalah untuk mencari dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab perubahan yang mungkin terjadi pada kearifan lokal masyarakat, sehingga selanjutnya dapat menentukan bagaimana aksi alternatif dalam melestarikan kearifan lokal masyarakat untuk pembangunan yang berkelanjutan di kemudian hari pada wilayah penelitian khususnya dan wilayah lain pada umumnya (jika karakteristik wilayah lain sama dengan karakteristik tempat penelitian), berdasarkan kearifan lokal masyarakat.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kajian tentang aplikasi kearifan lokal masyarakat desa pesisir dalam kehidupan komunitas nelayan dan kemungkinan adanya perubahan pada kearifan lokal tersebut ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan masyarakat. Dengan demikian, selain akan menjadi sumber pengetahun ataupun informasi, juga di harapkan akan memotivasi masyarakat dalam melestarikan kearifan lokal masyarakat setempat. Adapun kegunaan penelitian ini antara lain adalah :

(26)

7 1. Bagi Peneliti : dapat menganalisis bagaimana aplikasi kearifan lokal di lokasi penelitian yang kemudian dapat mengidentifikasi bagaimana kearifan lokal itu berubah dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan kearifan lokal tersebut.

2. Bagi Akademisi : dapat dijadikan sebagai sumber informasi ataupun referensi bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya. Disamping itu juga, dapat menambah khasana ilmu pengetahuan untuk yang membacanya.

3. Bagi masyarakat : kegunaannya antara lain adalah ; bagi masyarakat nelayan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang kearifan lokal yang mereka miliki sehingga akan timbul semangat dalam melestarikan kearifan lokal yang mereka miliki tersebut jika kearifan lokal tersebut dipandang baik oleh masyarakat. Sementara bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan akan berkontribusi dalam memberikan informasi yang dapat memotivasi masyarakat umum dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal sebagai modal sosial masyarakat untuk pembangunan.

4. Bagi pemerintah : penelitian ini dapat dijadikan informasi yang diharapkan akan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan pembangunan. Dengan demikian, diharapkan kebijakan tersebut akan selaras dan memperhatikan kearifan lokal suatu komunitas terentu di suatu wilayah Di Indonesia.

(27)

8

BAB II

PENDEKATAN KONSEPTUAL

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 Masyarakat Nelayan

2.1.1.1 Sistem Sosial dan Ekonomi Nelayan

Masyarakat nelayan merupakan komunitas masyarakat yang umumnya hidup disekitar pantai dan bermata pencaharian atau mencari nafkah di laut. Kusnadi (2007b: 63), mendefinisikan desa nelayan sebagai suatu desa dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai penangkap ikan di laut. Sementara Satria (2009b: 24), mendefinisikan masyarakat pesisir sebagai :

“Sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir”. Jadi, laut merupakan lahan sekaligus sumber mata pencaharian bagi mereka. Sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia tergolong nelayan tradisional dan buruh nelayan (Kusnadi 2007b: 1). Posisi sebagai nelayan tradisional dan buruh ini membuat mereka menjadi sebagai masyarakat yang memiliki akses terbatas terhadap Sumber Daya Perairan (SDP) dan masih dikendalikan oleh nelayan besar. Misalnya saja nelayan besar yang memakai teknologi baru membuat nelayan tradisional kesulitan dalam menangkap ikan dan buruh nelayan yang bekerja pada nelayan besar, seolah dibuat tidak bisa lepas dari kekuasaan nelayan besar tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah sosial-ekonomi yang sulit diselesaikan oleh para nelayan di Indonesia. Salah satu implikasinya adalah kemiskinan.

(28)

9 Satria (2009b: 25) menggambarkan posisi nelayan di Indonesia dalam sebuah tabel dibawah ini :

Tabel 2.1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir Di Indonesia Tahun 2002.

No. Kondisi Masyarakat Pesisir Jumlah

1. Desa pesisir 8.090 desa

2. Masyarakat pesisir -Nelayan

-Pembudidaya

-Masyarakat pesisir lainnya

16.420.000 jiwa 4.015.320 jiwa 2.671.400 jiwa 9.733.280 jiwa 3. Prosentase yang hidup dibawah garis kemiskinan

(32,14%)

5.254.400 jiwa Sumber : DKP (2007) dalam Satria (2009b: 25).

Di dalam bukunya yang lain, Satria (2009a: 336), menyebutkan bahwa secara sosiologis karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat petani dalam pengelolaan atau dalam memanfaatkan lahan untuk mencari nafkah. Nelayan menghadapi sumber daya yang tidak terkontrol dimana pada saat hasil tangkapan berkurang, maka nelayan tersebut harus mencari lahan baru. Artinya adalah nelayan lebih dipengaruhi oleh kondisi alam dan produktivitas tempat mereka mencari nafkah. Sementara masyarakat petani dapat mengontrol atau berada pada lahan yang terkontrol. Pada saat penghasilan mulai berkurang, petani dapat melakukan usaha peningkatan lahan melalui intensifikasi pertanian, mekanisasi pertanian dan sebagainya dalam satu lahan yang sama.

Secara garis besar, kemiskian pada masyarakat nelayan dapat diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan faktor penyebabnya yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial, ekonomi dan sistem

(29)

10 politik yang tidak kondusif dan selalu berubah-ubah seiring perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan. Kemiskinan kultural lebih banyak disebabkan oleh faktor kebudayaan masyarakat misalnya kemalasan, sifat konsumtif, berfikir fatalistik, dan sebagainya sehingga kondisi masyarakat nelayan cenderung lemah. Sedangkan kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alam yang tidak dapat dikontrol dan sumber daya alam yang terbatas untuk dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan (Satria, 2009: 25). Ketiga jenis kemiskinan ini saling berkaitan satu sama lain. Ketiga jenis kemiskinan ini pulalah yang mengakibatkan “sistem patron-klien” dalam sistem pola nafkah nelayan yang sampai saat ini berkembang dengan baik. Dimana sistem patron-klien ini bukan memberikan kesejahteraan, malah memperburuk keadaan nelayan.

Sedangkan Masyhuri (2000: 8) menyimpulkan bahwa kemiskinan nelayan lebih disebabkan oleh struktur ekonomi nelayan dan bukannya pada sumber daya yang terbatas. Kemiskinan struktural dipahami Masyhuri sebagai suatu kondisi yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosialnya, mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Dengan demikian, permasalahan kemiskinan struktural berkaitan erat dengan pemerataan akses terhadap sumber daya yang tersedia.

Sistem mata pencaharian masyarakat nelayan yang umumnya tertuju pada sektor perikanan laut, memaksa mereka untuk selalu selaras dengan alam. Dimana kondisi ini menyebabkan para nelayan bergantung dan dipengaruhi oleh alam. Karakteristik inilah yang kemudian berimplikasi pada tingkat pendapatan dan resiko yang mungkin bisa terjadi saat penangkapan ikan di laut. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, maka jaringan atau relasi patron-klien yang

(30)

11 sangat kuat, beragam, dan mencakup semua segi ekonomi masyarakat tumbuh dan berkembang dengan baik pada masyarakat nelayan. Relasi patron-klien ini lebih kuat jika dibandingkan dengan masyarakat lain diluar nelayan (Kusnadi, 2007b: 9).

Relasi patron-klien ini merupakan cara terakhir yang dilakukan nelayan pada saat mereka mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Masyhuri dan Nadjib (2000: 12-13), di dalam bukunya mengatakan bahwa terdapat tiga cara yang dilakukan nelayan pada saat mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara yang pertama adalah melalui ”lawuhan” setiap kali melaut. ”Lawuhan” adalah hak nelayan ABK untuk mengambil ikan secukupnya ketika melaut untuk keperluan auk-pauknya sehari-hari. Ikan hasil lawuhan ini biasanya dijual dan hasilnya digunakan untuk keperluannya sehari-hari. Apabila hasil lawuhan ini tidak mencukupi kebutuhan mereka, maka cara yang kedua adalah menjual barang-barang yang mereka miliki, atau istilahnya di sebut ”sangon barat”. Pada musim barat, nelayan biasanya sulit melaut akibat cuaca buruk. Pendapatan yang besar pada awal musim barat merupakan bekal pada musim barat (biasanya disimpan dalam bentuk barang-barang rumah tangga seperti TV atau alat elektronik lainnya). Jika musim barat masih berkepanjangan dan cara kedua tadi tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, maka cara ketiga adalah dengan meminjam uang pada Juragan darat tempat mereka bekerja. Fenomena seperti ini merupakan latar belakang suburnya hubungan patron klien dikalangan masyarakat nelayan antara juragan darat / tengkulak / toke dengan nelayan.

(31)

12 Relasi patron-klien ini juga berkemabang karena sampai dengan saat ini nelayan masih belum menemukan lembaga / institusi yang mampu menjamin dan mampu mengakomodasi kebutuhan sosial-ekonomi nelayan. Satria (2009a), mengutip kembali Legg (1983) dalam Masyhuri (1999), mengungkapkan bahwa hubungan patron-klien secara umum berkaitan dengan :

“ 1. Hubungan diantara pelaku yang menguasai sumber daya tidak sama. 2. Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi

yang mengandung kekerabatan.

3. Hubungan yang didasarkan atas asas saling menguntungkan.”

Beradasarkan hal tersebut di atas, terlihat adanya tingkat penguasaan yang berbeda terhadap sumber daya. Patron (pemilik modal) menguasai sumber daya modal lebih besar dari pada kliennya (nelayan). Tingkat penguasaan sumberdaya yang berbeda ini mengakibatkan posisi tawar nelayan menjadi rendah. Implikasinya adalah timbulnya ketergantungan terhadap para patronnya dalam hal modal untuk usaha sebagai nelayan. Kondisi ini dikelola oleh para patron untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari para kliennya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kemiskinan yang sulit untuk diselesaikan. Tidak ada pilihan bagi nelayan karena akibat adanya kebutuhan yang mendesak sementara tidak ada lembaga yang memiliki fungsi yang lebih baik dari relasi patron-klien, maka jalan satu-satunya adalah menjalin hubungna dengan para pemilik modal atau patronnya. Semula nelayan berharap akan sama-sama menguntungkan, akan tetapi pada kenyataannya, hubungan ini berubah menjadi hubungan yang sifatnya mengeksploitasi nelayan lokal (klien), dan pola hubungan ini sengaja dipelihara oleh patronnya. Hal ini merupakan sisi negatif dari relasi patron-klien. Sedangkan sisi positif relasi patron-klien adalah dengan adanya pola

(32)

13 relasi ini ternyata mampu membawa nelayan keluar dari perangkap keterbelakangan. (Masyuri (1999) dalam Satria (2009a: 339)).

Menurut pandangan nelayan, (perspektif emic), bahwa kuatnya jalinan relasi patron-klien pada masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain selain bergantung pada patronnya sebagai pemilik modal. Ketergantungan ini berawal dari terjadinya musim paceklik yang mengakibatkan hasil tangkapan berkurang atau harus “nombok”. Pada saat itulah patron mulai memberikan pinjaman atau modal pada nelayan yang membutuhkan.1 Pinjaman yang diberikan pada nelayan tidak begitu saja diberikan dengan mudah. Akan tetapi para nelayan harus membuat ikatan pekerjaan dengan patronnya atau adanya kewajiban bagi para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya pada patronnya dengan harga yang relatif lebih rendah dan ditetapkan oleh patronnya (Satria 2009a: 339). Apabila terjadi kecelakaan pada nelayan yang mengakibatkan nelayan meninggal dunia, maka utang tersebut dibebaskan oleh patronnya. Akan tetapi tidak sedikit nelayan pemilik / tokeh / patron, mewariskan utang tersebut pada keluarga nelayan yang meninggal dunia, (Kusnadi, 2007b: 13).

Relasi patron-klien masyarakat nelayan merupakan implikasi dari masalah struktur sosial masyarakat. Pola patron-klien ini terus tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan karena sampai saat ini masih belum ada institusi lain yang mampu berperan dalam menyelesaikan permasalahan layaknya patron (Satria, 2009a: 340). Jaringan patron-klien yang dipandang sebagai wadah dan

             

1 Najmu Laila. 2009. Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan, dalam

http://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/archives/16. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:38 WIB). 

(33)

14 sarana yang mampu memberikan jaminan sosial secara tradisional pada nelayan akhirnya menjadi tujuan bagi nelayan dalam menyelesaikan masalahnya (Kusnadi, 2007b: 11). Kekuatan ikatan patron-klien ini didasarkan pada kepercayaan dan loyalitas, sehingga sebenarnya masyarakat nelayan adalah trust society (Satria, 2009b: 35). Di sisi lain kuatnya relasi patron-klien ini disebabkan oleh warisan budaya kolonial sebagai kearifan lokal masyarakat nelayan yang dipertahankan untuk menjaga kepentingan subsistensi mereka (Satria, 2009a: 240). Relasi yang lebih menguntungkan para patron dan berimplikasi pada terjadinya suatu bentuk eksploitasi terhadap nelayan dan lingkungan menjadi penyebab timbulnya kemiskinan pada nelayan. 2

Di sisi lain ada hal yang unik, dimana menurut Acheson, bahwa ternyata ada sebagian masyarakat nelayan di dunia yang dari dahulu sampai dengan sekarang berusaha dan berhasil mengubah status laut dan pesisir sebagai lapangan bebas dan dimiliki bersama, menjadi milik komunal, desa, kelompok, dan bahkan menjadi milik individu. Model seperti ini digunakan oleh nelayan lokal sebagai strategi utama menghindari dan memecahkan masalah-masalah sosial-ekonomi dan ekologi yang diungkapkan dengan tragedi of the commons. Misalnya saja masyarakat Lombok barat dan Bali yang menerapkan kearifan lokal Rompong dalam mengelola Sumber Daya Perairan (Lampe, 1996: 14).

Masalah kemiskinan ini menjadi akar permasalahan dari berbagai permasalahan yang timbul pada masyarakat nelayan. Sehingga pembangunan yang dikembangkan pada nelayan disamping harus menyentuh aspek-aspek kelestarian lingkungan, juga harus melihat bagaimana menyelesaikan fenomena              

(34)

15 kemiskinan masyarakat nelayan. Disamping model pembangunan itu harus berangkat dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat nelayan.

2.1.1.2 Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan

Selo Soemardjan (1962) dalam Soekanto (2002: 305) mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Penekanannya adalah pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dan perubahan yang menyertainya. Dimana perubahan ini akan berpengaruh pada struktur sosial masyarakat lainnya. Sedangkan Calhoun, et al. (1994) dalam Sunito, et al. (2003: 102) mendefinisikan perubahan sosial sebagai suatu perubahan yang terjadi sejalan dengan berjalannya waktu di dalam pola sikap dan tindakan manusia dalam kebudayaan dan struktur dari suatu masyarakat. Berbeda dengan Selo Soemardjan, Calhoun lebih menekankan pada aspek waktu yang menyertai suatu perubahan sosial. Sehingga perubahan ini akan mempengaruhi pola sikap dan tindakan manusia dalam berkebudayaan serta struktur sosialnya.

Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Walaupun sebenarnya ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dari pada perubahan sosial. Sehingga faktor-faktor atau unsur-unsur perubahan yang mempengaruhi perubahan sosial dapat pula mempengaruhi perubahan kebudayaan. Namun tidak semua faktor yang mempengaruhi perubahan kebudayaan akan mempengaruhi perubahan sosial

(35)

16 mengingat cakupan dari perubahan kebudayaan lebih luas (Soekanto, 2002: 308-309).

Masyarakat nelayan dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja akan mengalami perubahan layaknya pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat. Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sartini (2004), di dalam jurnalnya menyebutkan bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk modernisasi, dan kemudahan akses masuk kedalam atau keluar suatu komunitas. Bahkan hubungan antar individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi kebudayaan. Sementara Soekanto (2002: 318-325), membagi faktor-faktor perubahan pada kebudayaan dan perubahan sosial masyarakat menjadi dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti : (1). Bertambah / berkurangnya penduduk. (2). Penemuan-penemuan baru. (3). Pertentangan / konflik masyarakat, dan (4). Terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat diantaranya adalah : (1). Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia. (2). Peperangan, dan (3). Pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Calhoun et al. (1994) dalam Sunito, et al. (2003: 105) berpendapat bahwa terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial suatu masyarakat diantaranya adalah : (1) Lingkungan alam. (2). Kependudukan. (3). Inovasi, dan (4). Difusi.

(36)

17 Seperti telah dijelaskan sebelumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dan kebudayaan ini merupakan faktor-faktor yang akan mempengaruhi perubahan kearifan lokal. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal merupakan produk kebudayaan masyarakat yang melembaga pada masyarakat. Sehingga seiring dengan adanya perubahan sosial dan kebudayaan pada masyarakat, maka kearifan lokal ini juga akan ikut mengalami perubahan.

2.1.1.3 Modal Sosial Masyarakat Nelayan

Modal sosial didefinisikan sebagai seperangkat nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang memungkinkan sekelompok warga dapat bekerjasama secara efektif dan terkoordinasi dalam mencapai tujuan-tujuannya (Putman,1993 dalam Suwartika, 2003). Sementara Coleman (1988) dalam Suwartika (2003), mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan dari sejumlah aspek struktur sosial yang berfungsi memperlancar tindakan-tindakan individual tertentu di dalam suatu struktur yang merupakan pencerminan dari struktur kepercayaan sosial dimana tersedia jaminan-jaminan dan harapan-harapan atas suatu tindakan sosial tersebut. Coleman juga menganggap bahwa kelangsungan transaksi sosial ditentukan oleh adanya kepercayaan (trust) dari pihak-pihak yang terlibat. Sedangkan Lyda Judson Hanifan dalam Djohan (2007), menguraikan peranan modal sosial secara lebih rinci dengan melibatkan kelompok dan hubungan timbal balik antar anggota masyarakat. Nilai-nilai yang mendasarinya adalah kebajikan bersama (social virtue), simpati dan empati (altruism), serta kerekatan hubungan antar-individu dalam suatu kelompok (social cohesivity).

(37)

18 Modal sosial menurut world bank didefinisikan sebagai the institution, relationships, and norms that shape the quality and quantity of a society’s social interactions. Misalnya adalah nelayan Lombok Barat yang memiliki nilai tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sumber daya laut, oleh karena itu, muncul norma yang melarang pengeboman ikan dilaut karena akan merusak lingkungan. Untuk merealisasikan norma ini, maka diperlukan adanya Awig-awig yang merupakan aturan main yang mencegah terjadinya pengeboman ikan di laut. Agar Awig-awig ini dapat melaksanakan fungsinya, maka diperlukan adanya lembaga yang berisi orang-orang yang memiliki status dan perannya masing-masing. Di sisi lain, hubungan sosial harus di jalin bukan hanya antar sesama nelayan, akan tetapi hubungan tersebut harus juga dijalin dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelestarian lingkungan seperti pemerintah daerah setempat misalnya. Sehingga akan muncul tindakan sosial kolektif dari masyarakat dalam mencegah terjadinya pengeboman ikan. Inilah kira-kira yang dimaksud world bank dalam definisi modal sosial tersebut (Satria, 2009a: 354).

Uphoff membagi komponen modal sosial ke dalam dua kategori yaitu pertama, kategori struktural yang dihubungkan dengan berbagai bentuk asosiasi sosial. Kedua, kategori kognitif dihubungkan dengan proses–proses mental dan ide-ide yang berbasis pada ideology dan budaya. Komponen-komponen modal sosial (Uphoff, 2000 dalam Suwartika, 2003) tersebut diantaranya:

1. Hubungan sosial yang merupakan pola-pola hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non-materi.

2. Norma yang merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang diyakini dan disetujui bersama.

(38)

19 3. Kepercayaan yang merupakan komponen yang menunjukkan norma tentang

hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk menjadi seseorang yang layak dipercaya.

4. Solidaritas yang merupakan norma-norma untuk menolong orang lain, bersama-sama, menutupi biaya bersama untuk keuntungan kelompok.

5. Kerjasama yang merupakan norma-norma untuk bekerjasama bukan bekerja sendiri.

Fukuyama (1995) dalam Satria (2009a: 355), menyebutkan bahwa kepercayaan (trust) merupakan salah satu modal sosial masyarakat. Dimana negara dengan masyarakat yang memiliki kepercayaan tinggi (high-trust society) akan mampu mencapai keberhasilan ekonomi yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan negara yang masyarakatnya memiliki kepercayaan rendah (low-trust society). Kaitannya dengan nelayan di Indonesia, terlihat bahwa nelayan di Indonesia memiliki kecenderungan trust society. Hal ini terbukti dengan kuatnya relasi patron-klien yang terjadi antara nelayan. Alasannya adalah karena nelayan merupakan komunitas moral (moral community). Dimana menurut Sztompka, komunitas moral dibangun oleh tiga hal diantaranya adalah kepercayaan (trust), loyalitas (loyalty), dan solidaritas (solidarity). Relasi patron-klien yang terjalin antara tengkulak / toke ini dipengaruhi oleh ketiga hal tersebut. Kemudian, apabila dicermati lebih lanjut, modal sosial ini melahirkan suatu kebijakan atau gagasan masyarakat yang kemudian mewujud menjadi kearifan lokal masyarakat (Satria, 2009a: 355).

(39)

20 2.1.2. Kearifan Lokal

2.1.2.1 Konsep Kearifan Lokal

Konsep kearifan lokal terlahir atau berakar dari pengetahuan tradisional dan sistem pengelolaan sumber daya secara tradisional oleh masyarakat lokal. Kearifan lokal itu sendiri berasal dari dua suku kata dalam bahasa inggris yaitu local (lokal) dan wisdom (kearifan). Jadi kearifan lokal (local wisdom), adalah suatu kebijaksanaan atau gagasan-gagasan setempat yang dianggap atau memiliki nilai baik untuk dilaksanakan, bersifat tradisional, bijaksana dan penuh kearifan serta memperhatikan aspek-aspek ekologi masyarakat lokal dalam pelaksanaannya yang tertanam dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakatnya. Sementara itu, beberapa sumber menyebutkan istilah-istilah lain untuk kearifan lokal misalnya kearifan tradisional, indigeneous knowledge, indegeneous technical knowledge, Ethnoecology, folk knowledge, people’s science, dan sebagainya. Akan tetapi istilah yang paling populer dan sering digunakan sampai dengan saat ini adalah “kearifan lokal”. Sedangkan orang-orang dari dunia barat menyebutnya dengan sebutan “indegeneous knowledge” (Bahan kuliah Ekologi Manusia, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, 2007). Konsep kearifan lokal adalah suatu system pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu atau budaya tertentu yang berkembang dalam jangka waktu yang lama sebagai suatu hasil dari proses

(40)

21 hubungan timbal balik antara masyarakat tersebut dengan lingkungannya (Marzali dalam Mumfangati, 2004). 3

Konsep inilah yang kemudian menjadi ciri khas masyarakat tertentu. Karena konsep kearifan lokal ini menjadi suatu norma yang memiliki nilai-nilai tertentu yang harus dikembangkan untuk selanjutnya diwariskan oleh masyarakat pemiliknya secara turun-temurun. Sesuai dengan pernyataan Gadgil dkk, yang dikutip oleh Mitchell (2007: 298), bahwa pengetahuan lokal masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka memiliki peran yang sangat besar dimana pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan penghormatan pada alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan yang berkelanjutan. Kedekatan masyarakat lokal dengan lingkungannya inilah kemudian melahirkan suatu pola pemanfaatan sumberdaya melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi yang mereka kelola dan manfaatkan tersebut (Mitchell, 2007: 299).

Keraf (2002), dalam Aprianto (2008: 10) mendefinisikan kearifan tradisional / kearifan lokal sebagai suatu bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun prilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dengan demikian kearifan tradisional ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman adat dan kebiasaan tentang              

3Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Pertanian Lahan Rawa Lebak, dalam

http://aluhlangkar.blogspot.com/2008/08/kearifan-lokal-dalam-pengelolaan.html untuk judul Monday, August 11, 2008. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:24 WIB).

(41)

22 manusia, alam dan bagaimana relasi diantara semua penghuni komunitas ekologis ini harus di bangun. Definisi ini memberikan suatu penekanan tentang bagaimana adaptasi harus dilakukan oleh manusia dengan alam berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

Ruddle (2000) dalam Satria (2009: 17), melakukan identifikasi karakteristik pengetahuan lokal atau kearifan lokal pada masyarakat. Berdasarkan hasil identifikasinya ini menunjukan bahwa karakteristik pengetahuan lokal terdiri dari :

“ 1. Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal, yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan mampu mencakup sejumlah variasi lokal, serta bersifat rinci.

2. Berorientasi pada hal-hal praktis dan menyangkut prilaku, serta fokus pada tipe-tipe sumber daya dan spesies.

3. Terstruktur sehingga sebenarnya kompatibel dengan konsep biologi dan ekologi barat, khususnya terkait dengan kesadaran akan keterkaitan ekologis dan pentingnya konservasi Sumber Daya Perairan.

4. Bersifat dinamis.”

Sementara Berkes (1999) dalam Satria (2009: 17), berdasarkan hasil identifikasinya terhadap karakteristik dari pengetahuan lokal masyarakat menunjukan bahwa :

1. Pengetahuan lokal masyarakat melekat pada budaya lokal yang ada pada masyarakat bersangkutan.

2. Memiliki ruang dan waktu dalam proses perkembangannya.

3. Sangat kurang memisahkan antara alam dan budaya, serta antara subyek dengan obyek. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan lokal memandang bahwa alam dan budaya maupun subyek dan obyek merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan timbal balik.

(42)

23 4. Terdapat suatu komitmen yang memandang bahwa lingkungan lokal bersifat

unik dan merupakan tempat yang tidak dapat berpindah-pindah. 5. Di dalam memahai alam, tidak digunakan pendekatan instrumental.

Kearifan lokal telah mengajarkan pada masyarakat tentang pentingnya pengelolaan terhadap sumber daya alam dengan memperhatikan aspek-aspek ekologi yang berkesinambungan. Dengan demikian, masyarakat lokal tertentu akan cenderung lebih memahami benar daerahnya dan memiliki kemampuan lebih berdasarkan pengetahuan lokal hasil percobaan sebelumnya dalam memanfaatkan sumberdaya dilingkungannya. Sehingga umumnya mereka tidak akan melakukan kesalahan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Menurut Mitchell (2007: 300), menyebutkan bahwa pemahaman masyarakat lokal tentang lingkungannya yang terakumulasi biasanya akan diwariskan secara lisan, serta tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor dimana secara umum kearifan lokal pada suatu masyarakat tertentu berbeda-beda, bersifat permanen, dan merupakan ciri khas yang membedakannya dengan masyarakat lain.

Prof. Nyoman Sirtha dalam “ Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” (http://www.balipos.co.id) dalam Sartini (2005: 112), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa : nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Balipos yang diterbitkan pada tanggal 4 September 2003 dengan judul tulisan “Pola Prilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi” dalam

(43)

24 Sartini, (2005: 112-113), memberikan gambaran fungsi dari kearifan lokal. Fungsi tersebut antara lain adalah :

1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. 2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia,

misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup konsep kanda pat rate. 3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

2.1.2.2. Kasus-Kasus Aplikasi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan di Indonesia

2.1.2.2.1. Seke Di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara

Seke merupakan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya perikanan yang dijumpai di desa Para, kabupaten Sangihe. Dalam organisasi Seke terdapat istilah lokal mengenai keanggotaan berdasarkan fungsi dan tugasnya masing-masing yaitu: Lekdeng, Tatalide, Seke Kengkang, Matobo, Tonaas, Mandore, dan Mendoreso. Lekdeng artinya anggota, sedangkan Tatalide adalah sebutan untuk anggota yang ditugaskan memegang Talontong (tongkat yang digunakan untuk menjaga Seke agar posisinya tegak lurus di atas permukaan laut). Seke Kengkang merupakan sebutan untuk anggota yang berada di atas perahu tempat meletakkan Seke (perahu Kengkang). Matobo adalah anggota yang bertugas menyelam dan melihat posisi gerombolan ikan sebelum Seke diturunkan ke laut. Tonaas merupakan sebutan untuk seorang pemimpin pengoperasian Seke, sedangkan wakilnya disebut Tonaseng Karuane. Mandore adalah orang yang

(44)

25 selalu membangunkan anggota Seke setiap kali pergi beroperasi dan membagi hasil tangkapan kepada anggota. Bagi hasil ini didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain adalah : (1) Bagi hasil tangkapan diberikan kepada warga desa yang sudah berkeluarga (termasuk janda / duda). (2) Bagi hasil tangkapan untuk warga desa yang belum berkeluarga; (3) Bagi hasil tangkapan yang didasarkan atas status sosial tertentu, antara lain seperti: kepala desa, guru, pendeta, perawat, dan sebagainya serta (4) Bagi hasil tangkapan diberikan menurut status keanggotaan dalam organisasi Seke. Mendoreso adalah sebutan untuk orang yang menjadi bendahara organisasi Seke (Wahyono, et al., (1992) dalam Biasane (2004)).

Satria, et al., (2002) dalam Biasane (2004), menegaskan bahwa organisasi tradisional Seke telah menerapkan konsep bagi hasil layaknya organisasi modern. Ada dua pelajaran yang dapat diambil dari pengelolaan sumber daya ikan yang dilakukan oleh organisasi tradisional Seke ini, diantaranya adalah:

“1. Seke mengatur sekelompok masyarakat untuk senantiasa memberikan perhatian kepada distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya ikan, kepada seluruh anggota masyarakat. Hal ini tercermin pada pembagian waktu dan lokasi untuk setiap kelompok Seke dalam suatu periode waktu tertentu (misalnya satu minggu). Dengan demikian, konflik pemanfaatan di antara masyarakat akan tereleminasi.

2. Selain distribusi penangkapan ikan, tradisi Seke mengajarkan juga pentingnya kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari sistem bagi hasil yang diterapkan. Seluruh komponen masyarakat mendapat bagi hasil dari penangkapan ikan yang diperoleh oleh sebuah kelompok Seke tertentu. Dalam konteks modern, sistem distribusi pendapatan seperti ini mencirikan adanya konsep pemanfaatan yang kuat di kalangan masyarakat Para”.

Disamping itu, desa Para memiliki hak ulayat laut yang dicerminkan oleh adanya tiga jenis wilyah penangkapan yang dikenal oleh masyarakat Para yaitu :

(45)

26 pertama, wilayah perairan Nyare (Sanghe) yang merupakan wilayah laut dari terumbu karang. Kedua, wilayah perairan Inahe, yang merupakan wilayah yang menjadi batas antara Sanghe dan Elie. Ketiga, wilayah Elie yang merupakan wilayah perairan laut dalam. Ketiga jenis wilayah ini bukan merupakan pembatas wilayah perairan yang dimiliki nelayan Para, akan tetapi merupakan wilayah penangkapan ikan bagi nelayan Para (Biasane (2004), Kusumastanto et al (2004) dalam Wahyudin, (2004: 10)).

2.1.2.2.2. Rompong Di Kawasan Pesisir Sulawesi Selatan

Rompong adalah suatu tradisi penguasaan perairan pantai yang sudah lama dikenal masyarakat Bugis – Makasar. Pemanfaatan perairan adalah sebagai daerah lokasi penangkapan ikan dan lahan budidaya. Saat ini, penguasaan perairan wilayah pantai telah diarahkan untuk kegiatan budidaya laut (Satria, et al., (2001) dalam Biasane (2004)).

Tradisi Rompong adalah suatu tradisi yang mengarah pada pemberian hak pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu kawasan yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kesepakatan adat. Dalam praktiknya, perairan di sekitar Rompong tertentu diklaim nelayan pemilik Rompong sebagaimana layaknya hak milik. Konsekuensinya adalah dalam radius kurang dari satu hektar tidak seorangpun yang boleh melakukan penangkapan ikan selain pemilik Rompong. Pengecualian terhadap larangan ini adalah penangkapan ikan dengan memakai alat tangkap pancing. Hubungan kerja antara Parrompong dengan nelayan pembantu (Anagguru) adalah dengan sistem bagi hasil yaitu 50%

(46)

27 dari hasil tangkapan bersih untuk nelayan Rompong dan sisanya 50% untuk nelayan pembantu yang jumlahnya empat orang (Biasane, 2004).

Dalam kaitan dengan kegiatan penangkapan ikan melalui sistem Rompong, setiap Parrompong mempunyai hak dan kewajiban. Hak-hak Parrompong adalah: (1). Parrompong memiliki hak menguasai atas perairan untuk menangkap ikan dalam wilayah di sekitar rompongnya. Pengecualian terhadap monopoli ini adalah penangkapan ikan oleh nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berupa pancing. (2). Klaim atas perairan pantai itu dapat diwariskan dan dihibahkan. (3). terhadap Rompong yang tidak dimanfaatkan lagi (tidak ada kegiatan penangkapan ikan), pemilik Rompong masih berhak dimintai persetujuannya manakala ada orang yang bermaksud menangkap ikan di sekitar perairan tersebut (Saad, 1994 dalam Biasane, 2004). Adapun kewajiban para Parrompong, adalah: (1). Memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berlayar dalam wilayah yang diklaimnya; dan (2). Pihak Parrompong diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menangkap ikan jika menggunakan alat tangkap pancing, (Biasane, 2004).

2.1.2.2.3. Sasi Di Kabupaten Maluku Tengah

Sistem “Sasi” di maluku adalah larangan pemanenan sumberdaya alam tertentu dalam rangka melindungi kualitas dan populasi sumberdaya tersebut, baik tumbuhan maupun binatang. Sistem ini meliputi untuk laut, sungai, hutan, desa dan sumberdaya lainnya. Menurut Eliza Kissiya, seorang kepala adat pulau Haruku yang mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 1985, yang lebih penting dari Sasi adalah bahwa sistem ini berusaha untuk memelihara pola

(47)

28 kehidupan sosial melalui distribusi manfaat atau hasil dari pemanfaatan sumber daya alam yang seimbang. Sasi ini merupakan inisiatif kolektif dan diformulasikan oleh masyarakat Haruku sendiri, termasuk pemantauannya oleh lembaga adat (Wiratno dkk, 2004 dalam Aprianto, 2008: 12).

Satria, et al., (2001) dalam Biasane, (2004), mendefinisikan Sasi sebagai salah satu model pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan sebagian masyarakat pesisir di provinsi Maluku. Tradisi Sasi yang cukup dikenal adalah tradisi Sasi di desa Nolloth, kecamatan Saparua, kabupaten Maluku Tengah. Sasi adalah suatu kesepakatan tradisional tentang pemanfaatan sumber daya alam yang disusun oleh masyarakat dan disahkan melalui mekanisme struktural adat di suatu desa. Pelaksanaan Sasi di desa Nolloth pada saat ini berdasarkan pada keputusan desa tentang Peraturan Sasi desa Nolloth yang dikeluarkan tanggal 21 Januari 1994 dan disahkan oleh kepala desa dan Kewang.

Sasi merupakan salah satu institusi adat yang berisi kesepakatan-kesepakatan adat lengkap dengan sanksi-sanski apabila terjadi pelanggaran terhadap adat tersebut. Misalnya, dilarang memanah ikan serta kegiatan wisata bahari yang belum mendapat izin dari kepala desa. Di kawasan desa Nolloth dikenal dengan dua sistem penyelenggaran Sasi, yaitu Sasi negeri (Sasi adat), dan Sasi gereja. Perbedaan pokok di antara dua sistem Sasi tersebut adalah penyelenggaraan kesepakatan tradisional tersebut. Penyelenggara sistem Sasi Negeri adalah Kewang dan kepala desa, sedangkan penyelenggaraan Sasi Gereja adalah pendeta dan gereja.

Pelajaran yang dapat diambil dari sistem Sasi ini adalah bahwa adanya kesadaran masyarakat pesisir desa Nolloth tentang pentingnya kelestarian sumber

(48)

29 daya alam yang menjadi sumber penghidupan mereka. Sistem ini akan mewujudkan juga keseimbangan antara kebutuhan masyarakat pengguna sumber daya alam dan kewajiban masyarakat untuk melestarikannya. Problem yang mungkin terjadi dengan sistem Sasi adalah bahwa peraturan ini hanya berlaku bagi masyarakat lokal dan tidak berlaku bagi masyarakat luar. Dampaknya adalah posisi tawarnya menjadi lemah karena saat pihak luar akan masuk ke kawasan Sasi dengan membawa legitimasi pemerintah yang lebih tinggi (misalnya tingkat provinsi atau pusat), pelaksanaan Sasi di kawasan tersebut berpotensi terganggu (Satria, et al., (2001) dalam Biasane (2004)).

2.1.2.2.4. Panglima Laot Di Aceh

Panglima laot adalah pimpinan lembaga hukum adat laot di Provinsi Aceh yang memiliki kekuasaan dalam memanfaatkan sumber daya dan melaksanakan aturan atau hukum adat laot. Berdasarkan catatan Prof. T. Djuned, sejarah Panglima laot sudah berlangsung sejak sultan Iskandar Muda di Aceh (1607-1636). Di dalam Perda Nomor 2 Tahun 1990 tentang pembinaan dan pengembangan adat di Aceh, menyebutkan bahwa panglima laot memiliki empat tugas penting diantaranya adalah memimpin wilayah kelautan, pemimpin persoalan sosial nelayan, menyelesaikan sengketa di laut, dan pemimpin dalam melestarikan lingkungan hidup (Kusumastanto et al, 2004 dalam Wahyudin, 2004: 8).

Di dalam melaksanakan tugasnya, Panglima laot menggunakan konsep keberlanjutan yang masuk akal dan rasional dalam mengelola sumber daya perikanan berbasis masyarakat lokal. Tampak juga kearifan lokal masyarakat

Gambar

Tabel 2.1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir Di Indonesia Tahun 2002.
Table 2.2. Tata Aturan dan Sanksi dalam Awig-awig di Lombok Barat.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran.
Gambar 3.1. Komponen dalam analisis data (interactive model), (Sugiyono  2009: 92).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif (infrensial) yang dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena transformasi struktur ekonomi dan kesejahteraan masyarakat

Penanaman Civic Culture Melalui Tradisi “ Baayun Maulid” Untuk Memperkuat Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Studi Etnografi Masyarakat Desa Banua Halat Kecamatan Tapin

Kegiatan tardisi basiacuang merupakan tradisi lisan dalam masyarakat Kampar khususnya di Desa Kuok Kecamatan Kuok yang dilakukan dirumah pihak perempuan (pihak