• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Masyarakat Nelayan

2.1.1.1 Sistem Sosial dan Ekonomi Nelayan

Masyarakat nelayan merupakan komunitas masyarakat yang umumnya hidup disekitar pantai dan bermata pencaharian atau mencari nafkah di laut. Kusnadi (2007b: 63), mendefinisikan desa nelayan sebagai suatu desa dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai penangkap ikan di laut. Sementara Satria (2009b: 24), mendefinisikan masyarakat pesisir sebagai :

“Sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir”. Jadi, laut merupakan lahan sekaligus sumber mata pencaharian bagi mereka. Sebagian besar nelayan yang ada di Indonesia tergolong nelayan tradisional dan buruh nelayan (Kusnadi 2007b: 1). Posisi sebagai nelayan tradisional dan buruh ini membuat mereka menjadi sebagai masyarakat yang memiliki akses terbatas terhadap Sumber Daya Perairan (SDP) dan masih dikendalikan oleh nelayan besar. Misalnya saja nelayan besar yang memakai teknologi baru membuat nelayan tradisional kesulitan dalam menangkap ikan dan buruh nelayan yang bekerja pada nelayan besar, seolah dibuat tidak bisa lepas dari kekuasaan nelayan besar tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah sosial-ekonomi yang sulit diselesaikan oleh para nelayan di Indonesia. Salah satu implikasinya adalah kemiskinan.

9 Satria (2009b: 25) menggambarkan posisi nelayan di Indonesia dalam sebuah tabel dibawah ini :

Tabel 2.1. Kondisi Umum Masyarakat Pesisir Di Indonesia Tahun 2002.

No. Kondisi Masyarakat Pesisir Jumlah

1. Desa pesisir 8.090 desa

2. Masyarakat pesisir -Nelayan

-Pembudidaya

-Masyarakat pesisir lainnya

16.420.000 jiwa 4.015.320 jiwa 2.671.400 jiwa 9.733.280 jiwa 3. Prosentase yang hidup dibawah garis kemiskinan

(32,14%)

5.254.400 jiwa Sumber : DKP (2007) dalam Satria (2009b: 25).

Di dalam bukunya yang lain, Satria (2009a: 336), menyebutkan bahwa secara sosiologis karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat petani dalam pengelolaan atau dalam memanfaatkan lahan untuk mencari nafkah. Nelayan menghadapi sumber daya yang tidak terkontrol dimana pada saat hasil tangkapan berkurang, maka nelayan tersebut harus mencari lahan baru. Artinya adalah nelayan lebih dipengaruhi oleh kondisi alam dan produktivitas tempat mereka mencari nafkah. Sementara masyarakat petani dapat mengontrol atau berada pada lahan yang terkontrol. Pada saat penghasilan mulai berkurang, petani dapat melakukan usaha peningkatan lahan melalui intensifikasi pertanian, mekanisasi pertanian dan sebagainya dalam satu lahan yang sama.

Secara garis besar, kemiskian pada masyarakat nelayan dapat diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan faktor penyebabnya yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial, ekonomi dan sistem

10 politik yang tidak kondusif dan selalu berubah-ubah seiring perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan. Kemiskinan kultural lebih banyak disebabkan oleh faktor kebudayaan masyarakat misalnya kemalasan, sifat konsumtif, berfikir fatalistik, dan sebagainya sehingga kondisi masyarakat nelayan cenderung lemah. Sedangkan kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alam yang tidak dapat dikontrol dan sumber daya alam yang terbatas untuk dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan (Satria, 2009: 25). Ketiga jenis kemiskinan ini saling berkaitan satu sama lain. Ketiga jenis kemiskinan ini pulalah yang mengakibatkan “sistem patron-klien” dalam sistem pola nafkah nelayan yang sampai saat ini berkembang dengan baik. Dimana sistem patron-klien ini bukan memberikan kesejahteraan, malah memperburuk keadaan nelayan.

Sedangkan Masyhuri (2000: 8) menyimpulkan bahwa kemiskinan nelayan lebih disebabkan oleh struktur ekonomi nelayan dan bukannya pada sumber daya yang terbatas. Kemiskinan struktural dipahami Masyhuri sebagai suatu kondisi yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosialnya, mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Dengan demikian, permasalahan kemiskinan struktural berkaitan erat dengan pemerataan akses terhadap sumber daya yang tersedia.

Sistem mata pencaharian masyarakat nelayan yang umumnya tertuju pada sektor perikanan laut, memaksa mereka untuk selalu selaras dengan alam. Dimana kondisi ini menyebabkan para nelayan bergantung dan dipengaruhi oleh alam. Karakteristik inilah yang kemudian berimplikasi pada tingkat pendapatan dan resiko yang mungkin bisa terjadi saat penangkapan ikan di laut. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, maka jaringan atau relasi patron-klien yang

11 sangat kuat, beragam, dan mencakup semua segi ekonomi masyarakat tumbuh dan berkembang dengan baik pada masyarakat nelayan. Relasi patron-klien ini lebih kuat jika dibandingkan dengan masyarakat lain diluar nelayan (Kusnadi, 2007b: 9).

Relasi patron-klien ini merupakan cara terakhir yang dilakukan nelayan pada saat mereka mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Masyhuri dan Nadjib (2000: 12-13), di dalam bukunya mengatakan bahwa terdapat tiga cara yang dilakukan nelayan pada saat mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara yang pertama adalah melalui ”lawuhan” setiap kali melaut. ”Lawuhan” adalah hak nelayan ABK untuk mengambil ikan secukupnya ketika melaut untuk keperluan auk-pauknya sehari-hari. Ikan hasil lawuhan ini biasanya dijual dan hasilnya digunakan untuk keperluannya sehari-hari. Apabila hasil lawuhan ini tidak mencukupi kebutuhan mereka, maka cara yang kedua adalah menjual barang-barang yang mereka miliki, atau istilahnya di sebut ”sangon barat”. Pada musim barat, nelayan biasanya sulit melaut akibat cuaca buruk. Pendapatan yang besar pada awal musim barat merupakan bekal pada musim barat (biasanya disimpan dalam bentuk barang-barang rumah tangga seperti TV atau alat elektronik lainnya). Jika musim barat masih berkepanjangan dan cara kedua tadi tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, maka cara ketiga adalah dengan meminjam uang pada Juragan darat tempat mereka bekerja. Fenomena seperti ini merupakan latar belakang suburnya hubungan patron klien dikalangan masyarakat nelayan antara juragan darat / tengkulak / toke dengan nelayan.

12 Relasi patron-klien ini juga berkemabang karena sampai dengan saat ini nelayan masih belum menemukan lembaga / institusi yang mampu menjamin dan mampu mengakomodasi kebutuhan sosial-ekonomi nelayan. Satria (2009a), mengutip kembali Legg (1983) dalam Masyhuri (1999), mengungkapkan bahwa hubungan patron-klien secara umum berkaitan dengan :

“ 1. Hubungan diantara pelaku yang menguasai sumber daya tidak sama. 2. Hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi

yang mengandung kekerabatan.

3. Hubungan yang didasarkan atas asas saling menguntungkan.”

Beradasarkan hal tersebut di atas, terlihat adanya tingkat penguasaan yang berbeda terhadap sumber daya. Patron (pemilik modal) menguasai sumber daya modal lebih besar dari pada kliennya (nelayan). Tingkat penguasaan sumberdaya yang berbeda ini mengakibatkan posisi tawar nelayan menjadi rendah. Implikasinya adalah timbulnya ketergantungan terhadap para patronnya dalam hal modal untuk usaha sebagai nelayan. Kondisi ini dikelola oleh para patron untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari para kliennya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kemiskinan yang sulit untuk diselesaikan. Tidak ada pilihan bagi nelayan karena akibat adanya kebutuhan yang mendesak sementara tidak ada lembaga yang memiliki fungsi yang lebih baik dari relasi patron-klien, maka jalan satu-satunya adalah menjalin hubungna dengan para pemilik modal atau patronnya. Semula nelayan berharap akan sama-sama menguntungkan, akan tetapi pada kenyataannya, hubungan ini berubah menjadi hubungan yang sifatnya mengeksploitasi nelayan lokal (klien), dan pola hubungan ini sengaja dipelihara oleh patronnya. Hal ini merupakan sisi negatif dari relasi patron-klien. Sedangkan sisi positif relasi patron-klien adalah dengan adanya pola

13 relasi ini ternyata mampu membawa nelayan keluar dari perangkap keterbelakangan. (Masyuri (1999) dalam Satria (2009a: 339)).

Menurut pandangan nelayan, (perspektif emic), bahwa kuatnya jalinan relasi patron-klien pada masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain selain bergantung pada patronnya sebagai pemilik modal. Ketergantungan ini berawal dari terjadinya musim paceklik yang mengakibatkan hasil tangkapan berkurang atau harus “nombok”. Pada saat itulah patron mulai memberikan pinjaman atau modal pada nelayan yang membutuhkan.1 Pinjaman yang diberikan pada nelayan tidak begitu saja diberikan dengan mudah. Akan tetapi para nelayan harus membuat ikatan pekerjaan dengan patronnya atau adanya kewajiban bagi para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya pada patronnya dengan harga yang relatif lebih rendah dan ditetapkan oleh patronnya (Satria 2009a: 339). Apabila terjadi kecelakaan pada nelayan yang mengakibatkan nelayan meninggal dunia, maka utang tersebut dibebaskan oleh patronnya. Akan tetapi tidak sedikit nelayan pemilik / tokeh / patron, mewariskan utang tersebut pada keluarga nelayan yang meninggal dunia, (Kusnadi, 2007b: 13).

Relasi patron-klien masyarakat nelayan merupakan implikasi dari masalah struktur sosial masyarakat. Pola patron-klien ini terus tumbuh dan berkembang pada masyarakat nelayan karena sampai saat ini masih belum ada institusi lain yang mampu berperan dalam menyelesaikan permasalahan layaknya patron (Satria, 2009a: 340). Jaringan patron-klien yang dipandang sebagai wadah dan

             

1 Najmu Laila. 2009. Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan, dalam

http://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/archives/16. (Diakses tanggal 2 Desember 2009 Jam 11:38 WIB). 

14 sarana yang mampu memberikan jaminan sosial secara tradisional pada nelayan akhirnya menjadi tujuan bagi nelayan dalam menyelesaikan masalahnya (Kusnadi, 2007b: 11). Kekuatan ikatan patron-klien ini didasarkan pada kepercayaan dan loyalitas, sehingga sebenarnya masyarakat nelayan adalah trust society (Satria, 2009b: 35). Di sisi lain kuatnya relasi patron-klien ini disebabkan oleh warisan budaya kolonial sebagai kearifan lokal masyarakat nelayan yang dipertahankan untuk menjaga kepentingan subsistensi mereka (Satria, 2009a: 240). Relasi yang lebih menguntungkan para patron dan berimplikasi pada terjadinya suatu bentuk eksploitasi terhadap nelayan dan lingkungan menjadi penyebab timbulnya kemiskinan pada nelayan. 2

Di sisi lain ada hal yang unik, dimana menurut Acheson, bahwa ternyata ada sebagian masyarakat nelayan di dunia yang dari dahulu sampai dengan sekarang berusaha dan berhasil mengubah status laut dan pesisir sebagai lapangan bebas dan dimiliki bersama, menjadi milik komunal, desa, kelompok, dan bahkan menjadi milik individu. Model seperti ini digunakan oleh nelayan lokal sebagai strategi utama menghindari dan memecahkan masalah-masalah sosial-ekonomi dan ekologi yang diungkapkan dengan tragedi of the commons. Misalnya saja masyarakat Lombok barat dan Bali yang menerapkan kearifan lokal Rompong dalam mengelola Sumber Daya Perairan (Lampe, 1996: 14).

Masalah kemiskinan ini menjadi akar permasalahan dari berbagai permasalahan yang timbul pada masyarakat nelayan. Sehingga pembangunan yang dikembangkan pada nelayan disamping harus menyentuh aspek-aspek kelestarian lingkungan, juga harus melihat bagaimana menyelesaikan fenomena

             

15 kemiskinan masyarakat nelayan. Disamping model pembangunan itu harus berangkat dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat nelayan.