• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penundaan pelaksanaan (“suspensi”)

Dalam dokumen HUKUM PERIKATAN( Law of Obligations) (Halaman 190-195)

UPAYA-UPAYA HUKUM KARENA WANPRESTAS

6. Penundaan pelaksanaan (“suspensi”)

Kebanyakan perjanjian bersifat timbal balik, yang berarti bahwa setiap pihak mengasumsikan kewajiban dalam rangka untuk memperoleh pelaksanaan yang terhadanya pihak lain mengikatkan dirinya (pasal 6:261 ayat 1). Penjualan, pertukaran, sewa dan menyewa, kontrak kerja; ini semua merupakan contoh kontrak timbal balik. Pembeli menyetujui kewajiban untuk membayar harga yang telah disepakati, dalam rangka mendapatkan apa yang dia beli. Penyewa memikul kewajiban untuk membayar sewa dalam rangka menerima hak untuk tinggal di rumah yang dimiliki oleh orang lain. Karyawan memikul kewajiban untuk bekerja dalam rangka menerima upah yang telah disepakati. Dalam kontrak non-timbal balik, seperti sumbangan atau hibah, hanya salah satu pihak mengemban sebuah kewajiban, dan tidak ada kontra-kewajiban bagi pihak kedua. Karena karakter mutual adalah isu sentral dalam perjanjian timbal balik, jelas bahwa wanprestasi oleh salah satu pihak memengaruhi pelaksanaan yang terkait oleh pihak lain.

Hak untuk menunda pelaksanaan sampai pihak lain melakukan

(“suspensi”, pasal 6:52; “Exceptio non adimpleti contractus”, pasal 6:262)

A menjual kepada B dua kursi terbuat dari kulit dengan harga € 1.500. Ketika A menuntut pembayaran dari B, B menolak membayar, de- ngan argumen bahwa A belum mengantarkan kursi-kursi tersebut.

Kadang-kadang hukum menyediakan aturan eksplisit untuk menentukan urutan di mana pihak-pihak harus melakukan kewajiban timbal balik mereka (misalnya pasal 7:623, pekerjaan mendahului upah). Kadang-kadang kontrak itu sendiri menyediakan aturan urutan semacam

6. Upaya-upaya hukum karena wanprestasi

itu (misalnya klausul bahwa harga harus dibayar dalam waktu 14 hari setelah pelaksanaan). Dalam situasi lain dari ini, aturan praktis adalah bahwa para pihak harus melakukan secara bersamaan. Dalam kasus seperti itu, jika salah satu pihak tidak melakukan, pihak lain tidak harus melakukannya juga. Jika pihak pertama (pihak yang tidak melaksanakan, yang wanprestasi) menuntut pelaksanaan, pihak kedua dapat mengklaim haknya untuk menunda pelaksanaan (“suspensi”, pasal 6:52 dan, terutama untuk kontrak timbal balik, pasal 6:262 dst.). Dalam contoh di atas, B memang dapat meminta hak suspensi ini, sehingga ia tidak harus membayar sampai kursi dikirimkan. Hak untuk menunda pelaksanaan juga berlaku ketika terdapat kemustahilan yang sementara atau permanen bagi debitur untuk melakukan (pasal 6:54 sub b juncto 6:264).

Pasal 6:263 memperluas kewenangan untuk menunda pelaksanaan kontrak timbal balik:

Pihak yang terikat untuk pertama melakukan, tetap berhak untuk menunda pelaksanaan kewajibannya, jika keadaan yang hanya menjadi perhatiannya setelah kontrak disepakati memberikan alasan yang baik untuk takut bahwa pihak lain tidak akan melakukan kewajiban yang terkait.

Kasus 14 A menjual 40 babi kepada B pada tanggal 5 Juni, yang akan dikirimkan dan dibayarkan di peternakan B pada 20 Juni. Namun, pada tanggal 18, Pemerintah melarang transportasi babi karena wabah penyakit sampar babi (sebuah penyakit menular). A menuntut pembayaran dari B. B menolak untuk membayar dan menggunakan prinsip dalam pasal 6:262, “exceptio non adimpleti contractus”. Berhasilkah B?

Kasus 15 A menjual 40 babi kepada B pada tanggal 5 Juni, untuk disampaikan pada tanggal 20 dan harus dibayar dalam waktu 30 hari setelah diantar. Pada tanggal 18 Juni, A diberitahu bahwa para kreditur B sedang melakukan upaya untuk menyatakan B dalam keadaan pailit. Ketika B menuntut supaya A menyerahkan babi-babi yang telah disepakati, A mengklaim haknya untuk menunda pelaksanaan. Berhasilkah A?

7. Pengakhiran (pengesampingan)

A menjual sebuah perahu layar kepada B.

Jika salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya berdasarkan kontrak, pihak lain dapat mengesampingkan kontrak (pengakhiran, pasal 6:265). Pengakhiran seperti itu disebabkan baik dengan cara pernyataan tertulis dari kreditur, atau dengan cara putusan pengadilan (pasal 6:267). Selama pelaksanaan adalah mungkin, pemutusan mensyaratkan bahwa debitur gagal. Secara umum pemberitahuan tentang kegagalan akan diperlukan (pengecualian: pasal 6:83). Pembeli-perahu B hanya berhak untuk mengakhiri kontrak setelah ia memberitahu A secara tertulis dan A tidak melakukan dalam jangka waktu yang telah disebutkan oleh B.

Berbeda dengan kerusakan, pemutusan juga dimungkinkan ketika kegagalan dalam pelaksanaan tidak dapat diperhitungkan kepada debitur (keadaan memaksa). Bahkan jika perahu tersebut akan tenggelam tanpa A dapat disalahkan, B masih bisa mengakhiri kontrak tersebut.

Kasus 16 A menjual kepada B kaleng-kaleng nanas yang diiris, yang akan segera dibayarkan pada saat pengiriman. Ketika B masih belum menerima kaleng-kaleng nanas tersebut setelah beberapa waktu, ia mengakhiri kesepakatan dengan cara membuat pernyataan tertulis karena hal itu. Apakah B memiliki wewenang untuk melakukannya?

Kasus 17 A menjual kepada B kaleng-kaleng nanas yang diiris, yang akan segera dibayarkan pada saat pengiriman. Ketika B masih belum menerima kaleng setelah beberapa waktu, ia menghubungi A, yang mana dalam pembicaraan itu A memberitahu B bahwa ia telah mengirimkan kaleng-kaleng nanas itu ke pelanggan lain sehingga B tidak perlu mengandalkan pengiriman itu lagi. B segera mengakhiri perjanjian. Apakah B memiliki wewenang untuk melakukannya? Kasus 18 A menyewa sebuah rumah peristirahatan kepada B untuk musim

panas berikutnya. Sebelum B dapat memanfaatkannya, rumah itu terbakar. A tidak bisa disalahkan. B mengakhiri kontrak. Apakah B memiliki wewenang untuk melakukannya?

Konsekuensi dari pengakhiran

Pengakhiran kontrak berbeda dari pembatalan (misalnya karena ketidakmampuan atau kesalahan) dalam arti bahwa pengakhiran tidak berlaku surut (pasal 6:269). Fakta ini memiliki dua konsekuensi penting. I. A menjual sebuah rumah ke B dan mengalihkan kepemilikan.

Karena penipuan oleh B, A meminta kontrak tersebut dibatalkan. II. A menjual sebuah rumah ke B dan mengalihkan kepemilikan. B

wajib membayar sampai 20 Agustus; lewat dari tanggal itu ia akan dinyatakan gagal. Setelah B gagal, A mengakhiri kontrak.

Dalam situasi I kontrak dibatalkan. Pembatalan memiliki efek retroaktif (pasal 3:53 ayat 1). Dasar juridis dari kewajiban timbal balik (mengalihkan kepemilikan, membayar harga) telah dilanggar; dilihat secara retrospektif, perjanjian tidak pernah ada. Keadaan asli dapat dipulihkan dengan menggunakan aturan tentang pembayaran yang tidak semestinya (pasal 6:203 dst.).

Dalam situasi II kontrak diakhiri, yang berbeda dari situasi I. Sebuah pengakhiran tidak memiliki efek retroaktif (berlaku surut). Dasar juridis dari pengalihan dan pembayaran tidak tersentuh. Oleh karena itu, aturan tentang pembayaran yang tidak semestinya tidak berlaku. Mengenai pengakhiran kontrak, KUH Perdata Belanda (DCC) menyediakan aturan khusus untuk membalikkan prestasi. Pasal 6:271 menyatakan:

6. Upaya-upaya hukum karena wanprestasi

Sebuah pengakhiran membebaskan kedua belah pihak dari kewajiban yang dikenakan oleh kontrak. Sejauh pelaksanaan telah terjadi, dasar hukum untuk pelaksanaan tetap utuh, tapi sebuah kewajiban timbul untuk masing-masing pihak untuk membalikkan pelaksanaan yang telah diterima.

Ada konsekuensi kedua terhadap fakta bahwa pengakhiran (pengesampingan) tidak berlaku surut. Dalam situasi I, retroaktivitas dari pembatalan menyebabkan bahwa titel yang merupakan dasar hukum pengalihan menghilang seolah-olah tidak pernah ada. Sistem sebab akibat pengalihan harta kekayaan dalam hal ini berarti bahwa B (secara retrospektif) tidak pernah menjadi pemilik baru dari rumah tersebut. Setelah pembatalan A berhak untuk “membersihkan kembali” (memulihkan) rumah tersebut sebagai miliknya. Oleh karena itu, ia akan mendapatkan rumahnya kembali bahkan sekalipun B telah dinyatakan pailit pada waktu tersebut. Dalam situasi II tidak ada retroaktivitas. Titel yang merupakan dasar untuk pengalihan kepemilikan masih ada. Setelah pengakhiran kontrak, B masih pemilik rumah bersangkutan. Namun demikian, A benar-benar memiliki klaim atas B untuk mengalihkan kepemilikan kembali kepadanya (pasal 6:271), tetapi kewajiban ini tidak memiliki prioritas apa pun dalam hal B menjadi bangkrut.

A menjual dan memberikan 7 berlian kepada B. Sebelum B membayar harganya, ia dinyatakan bangkrut.

Penjual barang bergerak memiliki “hak reklamasi” (hak merebut kembali)) yang khusus ketika barang tidak dibayar, yang akan dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam pasal 7:44. Reklamasi barang akan mengakhiri kesepakatan. Pengakhiran ini tidak berlaku surut juga, tetapi berbeda dari pengakhiran normal. Penjual mendapatkan kembali kepemilikan barang yang belum dibayar (pasal 7:39 ayat 1). Jadi, meskipun B bangkrut A masih bisa mendapatkan kembali berliannya jika ia bertindak tepat waktu. Berlian, dalam kasus itu, tidak akan menjadi bagian dari harta kekayaan B.

Kasus 19 A, seorang yang naif dan tidak berpengalaman, diyakinkan oleh B, keponakannya yang licik, untuk menjual dan memberikan kepadanya sebuah lukisan, yang merupakan barang yang sangat disukai A. Setelah 2 tahun – harga lukisan masih belum dibayar – B dinyatakan bangkrut. A ingin lukisannya kembali. Pengacaranya bertanya-tanya tentang langkah tepat apa yang harus diambil: apakah mengakhiri kontrak penjualan (karena lukisan itu tidak dibayar) atau mengklaim “penyalahgunaan keadaan”. Kemungkinan yang manakah yang lebih baik dipilih?

DAFTAR PUSTAKA

Warendorf, Thomas & Curry-Sumner, The Civil Code of the Netherlands, The Netherlands, Kluwer Law International 2009

Hartkamp & Tillema, Contract Law in the Netherlands, The Hague, Klu- wer Law International 1995

Asser/Hartkamp & Sieburgh, Verbintenissenrecht, 6-I* (De verbintenis in het algemeen, eerste gedeelte), 6-II* (De verbintenis in het alge- meen, tweede gedeelte), 6-III* (Algemeen overeenkomstenrecht), Deventer: Kluwer 2009-2012

Brunner, De Jong, Krans & Wissink, Verbintenissenrecht algemeen, SBR 4, Deventer: Kluwer 2011

KONTRAK PENJUALAN;

Dalam dokumen HUKUM PERIKATAN( Law of Obligations) (Halaman 190-195)