• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

4.2. Perampasan Tanah Petani Persil IV

Tumbangnya Pemerintahan Orde Lama Berganti dengan Orde Baru adalah awal perampasan tanah petani persil IV dimana pada masa itu pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto dikenal dengan kepemimpinan Otoriter mulai menghalalkan segala cara untuk dalam menjalankan program-program pemerintah. Perampasan tanah petani Persil IV sudah dimulai semenjak tahun 1970 dimana pihak PTPN II melakukan penyerobotan terhadap lahan petani dengan meratakan segala jenis tanaman petani yang berada diatasnya dengan mengunakan alat-alat berat. Akibat dari aksi penyerobotan tersebut petani tidak sempat menikmati hasil pertanian mereka yang sudah mendekati masa panen. Menurut Pak Ismail O (72) penyerobotan dan pemusnahan terhadap lahan pertanian tersebut dilakukan secara tiba-tiba dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya kepada warga sehingga pada saat kejadian penyerobotan tersebut mereka tidak sempat mengkonsolidasikan diri untuk mencegah perbuatan tersebut. Setelah mengetahui bahwa pihak pekebunan telah mengambi paksa tanah dan meratakan tanaman petani barulah mereka melakukan konsolidasi dan melakukan pendudukan lahan secara bersama-sama untuk mencegah tindakan yang lebih jauh karena menurut petani tanah tersebut dulunya adalah kawasan hutan yang mereka usahai sendiri menjadi lahan pertanian serta mereka diberika surat izin garap oleh pemerintah pada tahun 1956.

Berikut ini hasil wawancara dengan Pak Ismail O (72 Tahun) :

“Tanah Persil IV yang dijadikan warga disini jadi lahan pertanian. Jelas-jelas dulunya adalah hutan rimba atau hutan tua yang di bukak warga sendiri. Kemudian tahun 1956 diberikan pemerintah surat Izin garap sebagai tanah suguhan Persil IV. Bukan bekas perkebunan Belanda atau eks HGU yang diserobot warga Seperti banyak terjadi ditempat-tempat lain” (Hasil wawancara dengan Pak Ismail O Tanggal 24 Mei 2014)

Perlawanan dan pendudukan petani tersebut membuat pihak perkebunan menghentikan aktifitasnya untuk menguasai lahan tersebut. Setelah pihak perkebunan tidak lagi melanjutkan aktifitasnya para petani kembali melakukan aktifitas bercocok tanam kembali barulah setelah dua tahun berikutnya pihak perkebuan kembali melakukan aksinya. Setelah gagal melakukan aksinya pada dua tahun sebelumnya tepatnya pada tahun 1972 barulah pihak kembali melakukan aksinya kali ini dengan memanpaatkan warga setempat utntuk mau menyerahkan tanahnya. Pihak perkebunan memanfaatkan penghulu yang ada ditiap-tiap dusun untuk membujuk warga. Penghulu masing-masing dusun mengadakan rapat dengan seluruh petani Persil IV dan meminta kepada petani untuk menyerahkan surat kepemilikan tanah mereka dan menjanjikan akan memindahkan ke tempat lain serta mengganti segala jenis tanaman yang berada diatasnya karena akan tanah tersebut akan digunakan pemerintah sebagai perkebunan .adanya tawaran dari pihak perkebunan tersebut tidak langsung membuat para petani langsung percaya mereka sepakat untuk melihat terlebih dahulu lokasi yang dijanjikan pihak perkebunan sebagai tempat tinggal yang baru di daerah Lau Siberas. Setelah diadakan rapat tersebut perwakilan dari petani melakukan pengecekan langsung lokasi tersebut ternyata desa lau siberas yang dijanjikan sebagai tempat tinggal baru telah ada pemukiman warga lain.

Menurut salah seorang warga Dusun Limau Mungkur Bibik Esron (65) ketidakjelasan janji yang ditawarkan oleh pihak perkebunan ditambah lagi ganti rugi terhadap tanaman petani yang tidak layak membuat sebagian besar petani persil IV menolak menyerahkan surat bukti kepemilikan tanah tersebut dan dibawah ancaman dan tuduhan sebagai antek-antek komunis membuat sebagian petani menyerahkan surat bukti kepemilikan tanah dan menerima ganti rugi tanaman. Berikut hasil wawancara dengan Bibik Esron (66 Tahun) dari dusun Limau Mungkur berikut ini :

“Masih ingat aku waktu itu datang penghulu ke rumah ngajak pertemuan. Pas waktu rapat itulah dibilangnya masyarakat disuruh ngumpul surat tanah. Katanya mau dipindahkan ke desa Lau Siberas Daerah Galang. Setelah beberapa perwakilan warga tengok kesana ternyata udah penuh warganya, gak maulah kami Trus dibilangnya sapa yang gk kasih dibilang PKI. Kalau penghulu itu setelah pertemuan itu beli bangku barulah,rumah baru pokoknya senanglah kutengok dia.” (Hasil wawancara dengan Bibik Esron Tanggal 25 maret 2014)

Penolakan oleh Petani Persil IV untuk menyerahkan tanahnya mendapat reaksi keras dari pihak perkebunan dengan menuduh kepada siapa saja petani yang tidak mau menyerahkan tanahnya dituduh sebagai komunis ataupun antek-antek PKI. tidak samapai disitu saja perkebunan mulai melakukan pengambilan paksa terhadap tanah petani dengan cara mengerahkan berbagai alat berat serta dikawal oleh pihak kepolisian dan TNI untuk melakukan pemusnahan terhadap tanaman petani.Kondisi pada saat itu dibawah kepemimpinan Soeharto yang terkenal Otoriter dan tidak segan-segan mengunakan segala cara untuk meredam kepada sapa saja yang melakukan perlawanan terhadap Negara membuat petani hanya bisa berdiam diri melihat tanahnya dirampas.Setelah tanah petani dikuasai dan tanaman yang berada diatasnya dimusnahkan pihak perkebunan mulai

menanami tanaman baru yang dibutuhkan oleh dunia industri yaitu sawit dan karet.semenjak kejadian tersebut banyak warga yang kehilangan mata pencarian dan mau tidak mau harus beralih profesi dari petani menjadi pedagang,buruh dan bagi sebagian warga ada juga yang melakukan migrasi ke daerah lain.

Perampasan tanah yang dilakukan perkebunan tersebut membuat petani kehilangan akan alat produksinya (tanah) sebagi tempat mereka melakukan aktifitas bercocok tanam untuk membutuhi kebutuhan keluaganya.kehilangan akan tanah yang dialami petani membuat mereka menempuh berbagai metode dan strategi mulai dari jalur-jalur formal sampai kepada aksi pedudukan lahan akan mewarnai sejarah gerakan yang dilakukan petani persil IV. Setidaknya dalam setiap catatan perjalanan gerakan perjuangan agraria metode yang dilakukan petani untuk dapat memenangkan perjuangan agraria terdapat tiga tipologi gerakan perjuangn agraria pertama gerakan sosial bermakna lebih bersifat demonstratife, terbuka tidak kompromi,ekstraparlementer dan sosialrevolutif.

Kedua gerakan politik sebagai gerakan yang bercirikan memanfaatkan ruang-ruang politik formal seperti partai politik dan jalur-jalur legal sebagai kanal instrument untuk mencapai keadilan selain itu gerakan politik biasanya bersifat kompromis dengan Negara. Ketiga gerakan Lingkungan merupakan gerakan yang hadir pasca meluasnya kejahatan-kejahatan korporasi dan Negara yang telah memporak-porandakan struktur lingkungan produktif, dimana pada masa awalnya lingkungan dianggap sebagai sumber-sumber kehidupan pokok bagi petani ataupun masyarakat secara luas yang di acu dalam kebijakan,konflik,dan perjuangan agraria abad 21 (2012:153).

Kondisi pada saat Orde Baru yang otoriter dan sentralistik yang tidak memungkinkan untuk melakukan gerakan secara terbuka dan terang-terangan membuat petani cukup lama tidak melakukan gerakan untuk mendapatkan kembali tanahnya barulah pada tahun 1996 petani mulai memperjuangkan kembali dengan mengirimkan surat Tromol Pos 5000 kepada wakil presiden saat itu yang ditanda tangani oleh perwakilan dari tiap-tiap dusun untuk menyelesaikan permasalahan penyerobotan lahan yang dilakukan pihak PTPN II. Surat pengaduan yang dilayangkan tersebut mendapat respon dengan menyarankan agar petani mengadukan permasalahan tersebut kepada Bupati Deli Serdang. Setelah petani menerima balasan atas surat yang dikirim kepada pemerintah pusat kemudian mereka melakukan hal yang sama dengan mengadukan permasalahan tersebut kepada Bupati Deli Serdang, pengaduan permasalahan tersebut mendapat jawaban dengan nomor surat .593/15/RHS tertanggal 21 februari 1997 agar menyelesaikan permasalahan petani dengan PTPN II melalui jalur Hukum.

Setahun setelah mengadukan permasalahan mereka ke pada Bupati Deli Serdang tepat pada 27 Oktober 1998 mengadakan rapat dengar pendapat dengan Komisi A DPRD Tk. II Kabupaten Deli Serdang yang pada saat itu dihadiri oleh Kepala Kantor Pertanahan DS., ADM PTPN II (Persero) Kebun Limau Mungkur, Camat Kec. STM. Hilir, Kades. Tadukan Raga, Kades. Limau Mungkur, dan Kades. Lau Barus Baru dan menghasilkan point bahwa tanah seluas 922 Ha berada diluar HGU PTPN II. Sebagaimana diketahui PTPN II mengklaim bahwa mereka mempunyai HGU 2.322 Ha di dalamnya termasuk juga wilayah Persil IV. padahal berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri melalui SK No : 13/HGU/DA/1975 tanggal 10 Maret 1975 diperkuat kembali oleh surat yang

dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) No: 1450/08/1993 yang menyatakan bahwa PTPN II kebun Limau Mungkur hanya memiliki HGU seluas 1400 Ha. Dalih pihak PTPN II yang menyatakan bahwa tanah yang berada di wilayah Persil IV termasuk dalam HGU kebun limau Mungkur terbantahkan dengan keluarnya surat keputusan tersebut.

Seiring dengan keluarnya keputusan tersebut yang menyatakan bahwa tanah seluas 922 Ha termasuk di dalamnya tanah Persil IV diluar HGU PTPN II Limau Mungkur dan tidak lama setelah keputusan tersebut tepatnya pada tahun 1999 pihak perkebunan melakukan reflanting atau pergantian terhadap tanaman yang baru dikarenakan sudah tidak produktif lagi dalam berproduksi ditambah lagi kondisi politik dalam negeri tidak stabil dimana terjadinya gerakan penolakan besar-besaran dari berbagi kelompok masyarakat atau lebih dikenal dengan gerakan reformasi dan akhirnya berhasil memaksa soeharto untuk meletakan jabatanya sebagia presiden.

Momen ini dimanfaatkan Oleh petani persil IV untuk mengambil kembali tanah mereka dengan cara melakukan menanami kembali tanah mereka dengan berbagai jenis tanaman untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Belum sempat para petani menikmati hasil dari yang mereka tanam kira-kira hanya beberapa bulan ditahun yang sama pihak PTPN II kembali melakukan pembabatan berbagai jenis tanaman para petani dengan mengunakan berbagai jenis alat berat untuk meratakan semua tanaman yang berada di kawasan Persil IV. Petani Persil IV tidak banyak bisa berbuat apa-apa ketika tanaman mereka yang akan memasuki masa panen diratakan dengan tanah sebab proses pembabatan tersebut juga dikawal oleh pihak kepolisian dan TNI yang sudah

dipersiapkan jika ada perlawanan dari petani. Menurut salah satu warga dusun Tungkusan Pak Rajali (65) tanggal 25 Mei 2014 pada saat terjadinya pembabatan oleh pihak perkebunan ditanah tersebut dia menanam tanaman jagung dan padi kira-kira sebulan lagi akan panen karena adanya rencana pembabatan tersebut memaksanya untuk melakukan pemanenan lebih awal terhadap jagung sedangkan tanaman padi tersebut tidak bisa di bisa dimanpaatkan untuk dipanen sebelum masanya. Berikut hasil wawancara dengan warga dusun Tungkusan Pak Rajali (62 Tahun):

‗‘Pada saat itu saya masing ingat setelah rapat dengar pendapat dengan Pihak pemerintah dan mengatakan bahwa tanah persil IV berada diluar HGU, kami bersama warga pada awal-awal masa reformasi sepakat untuk masuk ke lahan untuk menanam,saya pada saat itu menanam jagung dan padi tapi kira-kira masih dua bulan kami menanam tiba-tiba dengar kabar pihak kebun mau masuk lagi dan membabat tanaman kami. Mau tidak mau kami panenlah yang bisa dipanen”

(Hasil wawancara dengan Pak Rajali 25 Mei 2014)

Setelah terjadinya pemusanahan tanaman petani oleh pihak PTPN II menjadi pukulan telak bagi mereka untuk kembali memulai melakukan aktifitas bercocok di lahan tersebut putusan dari hasil rapat dengar pendapat dengan pihak pemerintah yang menyatakan bahwa lahan persil IV bukan berada di areal HGU kebun Limau Mungkur hanya menjadi senjata kosong ketika mereka masuk ke lahan bahkan pihak aparat kepolisianpun terkesan diam ketika tanaman mereka di musnahkan bahkan ikut membela pihak PTPN II. Karena aktifitas penguasaan lahan dengan cara menanami tanaman di atas tanah tersebut telah gagal dan pihak perkebunan telah memulai aktifitasnya kembali Petani Persil IV mencari strategi baru untuk tetap dapat menguasai kembali tanah mereka.

Untuk dapat menguasai lahan tersebut pada tahun 1999 petani melakukan gugatan ke pengadilan Negri Lubuk Pakam dengan menggunakan koperasi Juma Matombak. Dalam koperasi Juma Matombak tersebut terdapat juga kelompok Petani Persil V termasuk dalam wilayah Kebun Limau Mungkur yang berkonflik. Konflik Petani Persil V juga termasuk dalam wilayah PTPN II kebun Limau Mungkur yang berdekatan dengan dengan lokasi Petani Persil IV. Karena memiliki masalah dan musuh yang sama maka kedua kelompok Petani Persil IV dan V sepakat untuk menyatukan perjuangan dengan membentuk kepengurusan bersama di mana Petani Persil V diwakili oleh Supendi untuk lebih memudahkan dalam mengkosolidasikan dan menyampaikan informasi terhadap masing-masing kelompok.Dalam gugatan yang diajukan Koperasi Uju Matombak tersebut petani mendapat kemenangan dengan keluarnya putusan pengadilan Negeri Lubuk Pakam dengan Nomor.61.Pdt.G/1999 yang menyatakan pihak Pihak PTPN II harus mengembalikan tanah petani seluas 922 Ha(persil IV & V) dan menganti rugi peminjaman 2,5 milyar semenjak tahun 1953 serta membayar 500 milyar karena telah melanggar Hak Azasi Manusia selama terjadinya sengketa.

Kemenangan di tingkat pengadilan disambut gembira oleh para petani dan membangkitkan kembali semangat mereka untuk dapat bercocok tanam kembali di tanah mereka yang selama ini dirampas oleh pihak perkebunan.Dengan keluarnya keputusan tersebut pihak perkebunan menghentikan sementara aktifitas produksinya di lahan. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh para petani untuk masuk ke lahan tapi agak berbeda dengan pendudukan lahan sebelumnya para petani bukan hanya sekedar ingin melakukan aktifitas bercocok tanam tapi juga melakukan aktifitas pemanenan terhadap buah kelapa sawit untuk menutupi

biayaya selama dilakukan proses gugatan dipengadilan. Iuran dari para petani selama konflik terjadi tidak bisa menutupi biayaya selama proses gugatan terjadi membuat mereka menyepakati untuk melakukan pengambilan buah kelapa sawit. Aktifitas pemanenan tersebut dilakukan secara diam-diam untuk menghindari kriminalisasi yang kerap dilakukan oleh pihak perkebunan melalui aparat kepolisian dan semua aktifitas tersebut di kordinir oleh perwakilan masing-masing dusun serta hasilnya dikembalikan ke pada kelompok untuk biaya perjuangan para petani.

Dengan keluarnya putusan pengadilan Negri Lubuk Pakam yang memenangkan petani ditambah lagi adanya aktifitas pengambilan buah kelapa sawit membuat pihak PTPN II mengajukan banding ke tingkat pengadilan tinggi hingga eksekusi terhadap putusan pengadilan sebelumnya batal dilakukan. Upaya banding yang dilakukan pihak PTPN II ditingkat pengadilan Tinggi tersebut dengan putusan Nomor:320./pdt/2000 menolak permohonan PTPN II serta memutuskan untuk mengembalikan tanah seluas 922 Ha kepada pihak pengugat (petani) dan ganti rugi sebesar 49 Milyar kepada petani.

Kekalahan di tingkat pengadilan Tinggi membuat pihak PTPN II melakukan upaya hukum kembali yaitu mengajuka kasas ke Mahkamah Agung atas putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Tepatnya tahun 2004 Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi PTPN II dengan Nomor.161.K/Pdt/2004 dan otomatis menguatkan keputusan sebelumnya yang memerintahkan agar tanah seluas 952 Ha tersebut dikembalikan kepada petani. Penolakan terhadap kasasi PTPN II membuat Pengadilan Negeri Lubuk Pakam membuat surat penetapan eksekusi dengan Nomor.14/Eks/2004/61/pdt/99 PN-LP.

Dalam surat keputusan tersebut selambat-lambatnya eksekusi dilakukan 8 hari semenjak surat keputusan tersebut dikeluarkan. Kekalahan di jalur hukum untuk yang ke tiga kalinya tidak juga membuat pihak PTPN II begitu saja menerimanya mereka kembali melakukan upaya hukum pada tahun 2005 dengan mengajukan peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung terhadap putusan Kasasi dengan dalih bahwa tanaman yang berada di atas tanah adalah milik PTPN II.

Upaya Kasasi dilakakukan oleh PTPN II tersebut dikabulkan ditingkat Mahkamah Agung dengan dengan demikian ekseskusi terhadap putusan sebelumnya yang dimenangkan petani gagal dilakukan. Dengan dikabulkanya putusan tersebut membuat petani semakin kecewa dan menimbulkan perpecahan di kelompok tani itu sendiri dikarenakan menurut petani telah terjadinya persekongkolan antara oknum pengurus dengan Pihak PTPN II. Kondisi tersebut membuat Petani Persil IV semakin yakin bahwa telah terjadinya pengkhianatan terhadap perjuangan mereka dan petani Petani Persil IV pun mulai mendesak kepada perwakilan pengurus untuk secepatnya mengambil keputusan terhadap pengkhianatan pengurus Persil V tersebut. Karena adanya desakan yang cukup besar dan dianggap sebagai penyakit dalam organisasi Petani Persil IV pada Tahun 2005 memutuskan untuk keluar dari Koperasi Juma Matombak.

Setelah beberapa kali menempuh jalur hukum dalam memperjuangkan untuk mendapatkan tanah serta keluarnya keluarnya keputusan-keputusan ditingkat pengadilan yang memerintahkan agar tanah dikembalikan kepada petani tidak jadi dilaksanakan dikarenakan adanya upaya Peninjauan Kembali di tingkat Mahkamah Agung oleh pihak PTPN II membuat petani semakin tidak sabar dan

mengunakan caranya sendiri untuk dapat menguasai tanah dengan melakukan pendudukan lahan seperti sebelum-sebelumya yang pernah mereka lakukan.

Aksi pendudukan lahan petani Persil IV dilakukan dengan pendirian posko-posko di lahan serta pemagaran-pemagaran sebagai simbol perlawanan petani dan untuk mengganggu aktifitas yang dilakukan oleh pihak PTPN II. Aksi pendudukan lahan tersebut ternyata membuat pihak perkebunan resah mereka mulai mengunakan pihak ke tiga untuk mengamankan aktifitas produksi mereka di lahan dengan mengadakan perjanjian kerja sama dalam bentuk Kerja Sama Operasional (KSO). Perjanjian kerja sama tersebut dilakukan dengan CV.Bintang Meriah dan koperasi Pengusaha kecil nuansa baru yang dipimpin oleh M. Said Ginting dan Yusron Harahap. Dalam perjanjian kerja sama tersebut pihak ke tigalah yang mengakomodir segala aktifitas pemanenan serta pengamanan terhadap asset PTPN II di Perkebunan Limau Mungkur Persil IV. Terbangunnya kerja sama antara PTPN II dengan pihak ketiga adalah sebagai salah satu cara pihak perkebunan untuk memecah belah perjuangan petani dengan memanfaatkan pihak ketiga yang juga termasuk dari salah satu warga dari dusun Limau Mungkur.

Dalam aktifitasnya pihak ketiga menggunakan preman-preman bayaran untuk menakut-nakuti petani serta membujuk warga supaya mau menjual surat alas hak kepemilikan tanah mereka.Cara-cara yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut membuat beberapa orang petani terpaksa menganti rugi alas haknya dengan keadan terpaksa dikarenakan adanya intimidasi bagi siapa yang tidak mau menyerahkan akan dilaporkan ke pihak kepolisian karena telah menguasai asset PTPN II. Kondisi tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap psikologi petani

untuk tetap melakukan aksi pendudukan lahan karena tidak jarang mereka mendapatkan intimidasi ketika coba menghalang-halangi aktifitas yang dilakukan pihak ke tiga bahkan pihak aparat kepolisianpun ikut mengintimidasi dengan cara melakukan penembakan-penembakan ke udara untuk menghalau petani. Menurut salah seorang petani dari dusun Tungkusan Mas agus (45) wawancara tanggal 25 Mei 2014 mengatakan : mereka telah melaporkan tindakan oknum aparat yang berada di lahan kepada Pihak POLDASU atas aktifitas kepolisian yang berada dil ahan yang melakukan intimidasi terhadap petani supaya dilakukan pemanggilan dan penarikan anggota kepolisian dari lokasi tersebut. Tapi usaha yang dilakukan petani juga tidak berjalan sebagaimana yang mereka harapkan. Setelah pelaporan tersebut tetap saja aparat kepolisian berada dilahan dan melakukan intimidasi terhadap petani. Pihak ketiga juga melakukan pengerusakan terhadap posko-posko serta portal-portal yang dibuat petani untuk menghalangi aktifitas pemanenan di lahan. Perjanjian kersama yang dilakukan pihak perkebunan dengan CV. Bintang Meriah dan Koperasi Nuansa Baru yang dipimpin oleh M.said Ginting dan Yusron Harahap juga tidak berlangsung lama hanya dilakukan selama enam bulan.

Setelah kerja sama dengan pihak Said Ginting dan Yusron Harahap berakhir pihak perkebunan kembali melakukan kerjasama dengan kelompok preman pinmpinan Lingga yang juga menjadi pimpinan dari organisasi Pemuda Panca Marga Deli Serdang. Dalam melakukan pengamanan terhadap lahan Persil IV Pihak Lingga Cs merekrut preman-preman bayaran yang mayoritas Bersuku Karo dari Daerah Pancur Batu. Dalam melakukan pengamanan terhadap asset kebun Limau Mungkur pihak Lingga Cs lebih berani dan tidak pandang bulu

dalam mengintimadasi siapa saja yang berani menguasai lahan Persil IV. Pihak Lingga Cs adalah kelompok ketiga yang cukup lama melakukan kerja sama dengan pihak perkebunan selama tiga tahun mereka berhasil mempertahankan kerja sama tersebut. Barulah pada tahun 2010 pihak perkebunan tidak lagi memperpanjang kerja sama dengan lingga Cs dikarenakan pohon kelapa sawit berkurangnya produksi. berkurangnya produksi hasil yang didapatkan oleh pihak perkebunan selain karena matinya sawit yang diracuni oleh petani secara diam-diam juga dikarenakan dari pihak lingga sendiri melakukan penjualan sendiri terhadap buah kelapa sawit tanpa melaporkanya terhadap pihak perkebunan. Berakhirnya kerja sama pihak Lingga Cs dengan pihak perkebunan tersebut tidak begitu saja membuat kelompok preman meningalkan lahan Persil IV. Mereka coba memanfaatkan petani untuk menguatkan legitimasi mereka di lahan, merangkul petani dengan mengajak bekerjasama yang mereka lakukan sebagai upaya untuk tetap bisa bertahan dilahan untuk dapat melakukan aktifitas pemanenan terhadap buah kelapa sawit. Lingga Cs mengajak petani untuk melakukan aktifitas dilahan serta melakukan pemusnahan terhadap pohon kelapa sawit yang berada diatas lahan persil IV. Ajakan kerja sama tersebut jelas ditolak para petani karena mereka bukanlah bagian dari Petani Persil IV serta mereka juga khwatir jika sewaktu-waktu kelompok Lingga ketika berhasil menguasai lahan kembali akan melakukan intimidasi seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Karena kerja sama yang ditawarkan kepada petani ditolak kelompok Lingga tetap berusaha mempengaruhi petani untuk meyakinkan bahwa mereka betul-betul berada dipihak petani. Berikut ini hasil wawancara dengan petani Bibik Esron (66 Tahun):

“Mau dirangkul si lingga masyarakat, dibilangnya “kami pro masyrakat” waktu itu Rapat kami di 58 disalaminya aku “ mami

Dokumen terkait