STM HILIR KABUPATEN DELI SERDANG)
TESIS
Oleh
DARMAN SYAH PULUNGAN
127024004/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
STM HILIR KABUPATEN DELI SERDANG)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Studi Magister
Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Oleh
DARMAN SYAH PULUNGAN
127024004/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
STM Hilir Kabupaten Deli Serdang) Nama Mahasiswa : Darman Syah Pulungan
Nomor Pokok : 127024004
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Subhilhar, Ph.D) (Muhammad Arifin Nasution, S.Sos,. MSP) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Subhilhar, Ph.D
Anggota : Muhammad Arifin Nasution, S.Sos, MSP : Hatta Ridho, S.Sos, MSP
PERANAN PEREMPUAN DALAM KONFLIK AGRARIA
(STUDI KASUS : GERAKAN TANI PERSIL IV KECAMATAN
STM HILIR KABUPATEN DELI SERDANG)
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 23 Juli 2014
Penulis
ABSTRAK
Masyarakat pedesaan di Indonesia mayoritas berprofesi sebagai petani tentunya sangat bergantung dengan tanah sebagai alat produksi utama untuk dapat melakukan aktifitas pertanian. pembangunan dalam bidang perkebunan mendorong pemerintah maupun pihak swasta melakukan penguasaan terhadap tanah-tanah petani yang telah mereka kelola sebagai lahan pertanian. Praktek ini bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) yakni menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Penguasaan tanah tersebut tentunya berdampak besar kepada petani khusunya kaum perempuan yang selama mengelola kehidupan dalam rumah tangga. Kondisi tersebut membuat petani melakukan perlawanan dengan melakukan gerakan bersama atau yang lebih sering disebut sebagai gerakan petani.Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian : ―Peranan Perempuan Dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Tani Persil IV Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang)‖. Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisis peranan perempuan dan faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Dusun Tungkusan Desa Tandukan Raga, Dusun Sinembah dan Dusun Limau Mungkur di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak dan Dusun Lau Barus di Desa Lau Barus Baru Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Adapun key informan yang dimaksudkan adalah para Petani Persil IV sebanyak 11 orang yang ikut dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah yang dirampas PTPN II. Sedangkan informan tambahan dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar serta orang-orang yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda untuk Rakyat (SMAPUR) sebanyak 2 orang. Teknik analisa data yang digunakan adalah wawancara, observasi. Peranan perempuan dalam konflik agraria Gerakan petani persil IV dengan PTPN II dapat tergambarkan dalam setiap aksi-aksi pendudukan lahan, Demonstrasi,pembunuhan kelapa sawit serta keberanian mereka saat berada dilapangan menghadapi aparat dan preman dengan menjadi barisan terdepan bahkan mereka menjadi pelindung bagi laki-laki saat dalam kondisi bahaya. perempuan menjadi barisan terdepan akan mempengaruhi secara psikologis untuk meredam amarah dari pihak aparat dan preman (yang mayoritas adalah laki-laki) untuk memperkecil kekerasan fisik terhdap petani karena mereka juga dilahirkan dari rahim seorang perempuan serta mempunyai keluarga perempuan. Pembunuhan sawit dilakukan petani untuk mempercepat proses penguasaan tanah yang selama ini membuat pihak perkebunan tetap mempertahankan tanah tersebut. perempuan merasakan dampak paling besar sebagi pengelola rumah tangga dalam keluarga sehingga membuat mereka harus berperan dalam konflik agraria tersebut.
ABSTRACT
Rural communities in Indonesia, the majority work as farmers of course very dependent on the land as the main means of production to be able to perform agricultural activities. encourage plantation development in the field of government and private parties from controlling the lands of farmers who have them managed as agricultural land. This practice is contrary to the purpose of the Basic Agrarian Law of 1960 (UUPA 1960) that ensure the right of farmers on agrarian resources (land, water, space, and natural resources contained therein) and the acquisition of the result set so that the people become prosperous. Land tenure is of course a major impact to the farmers especially women who for managing life in the household. These conditions make farmers fought with joint movement or more commonly referred to as the peasantmovement. Based on this, the authors are keen to lift the title of the study: "The Role of Women in Conflict Agricultural (A Case Study of Farmers Movement STM Hilir Subdistrict Persil IV Deli Serdang)". The purpose of writing this paper is to analyze the role of women and the factors that affect women involved in agrarian conflicts Farmers Persil IV with PTPN II in Hamlet header Tungkusan Sports Village, Hamlet and Hamlet Sinembah Lemons Lemons Mungkur Mungkur Village, Hamlet and Hamlet Batuktak Lau Barus in the village of Lau New Barus Hilir Subdistrict STM, Deli Serdang regency. The method used in this research is descriptive qualitative. The key informants are intended Persil IV Farmers as many as 11 people who participated in the fight for their land rights deprived PTPN II. While additional informants in this study is about the community as well as those who are members of the Student and Youth Solidarity for the People (SMAPUR) by 2 people. Data analysis techniques used were interviews, observasi.Peranan women farmers in agrarian conflicts parcels Movement IV by PTPN II can be portrayed in any of the occupations of land, Demonstration, palm murder and their courage while facing the ground forces and thugs to be row even leading them to be protective for men when in danger. women into the forefront will affect psychologically to dampen the anger of the party apparatus and thugs (the majority are men) to minimize physical violence terhdap farmers because they are also born from the womb of a woman and have a family perempuan.Pembunuhan palm farmers do to accelerate the process during the tenure of this makes growers retain the soil. women feel the most impact as a manager in the family household making them have to play a role in the agrarian conflict.
Pertama dan yang paling utama penulis mengucapkan syukur Alhamdulilah dan segala puji bagi Allah atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul “Peranan
Perempuan dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Petani Persil IV)”
Sebagai salah satu Syarat untuk menyelesaikan Program studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelamahan. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak untuk penyempurnaannya agar bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan .
Khususnya penulis ucapkan terima kasih kepada orangtuaku tercinta Ayahanda Daulat Pulungan dan Ibunda Dermawati yang salalu mendoakan serta telah mengasuh dan membesarkan penulis dengan rasa cinta,kasih sayang dan selalu mendukung baik materil maupun moril agar tercapainya cita-cita saya selama ini. Buat adikku Dedi Romansyah Pulungan dan Nirma Yenni br.Pulungan yang selalu memberikan motivasi sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik, kiranya hanya Allah SWT yang mampu membalasnya dengan segala berkahnya.
Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu pada saat menyusun Tesis maupun selama penulis menempuh pendidikan di Program Paska Sarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara. Oleh kareana itu penulis mengucapakan rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU)
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Prof. Subhilhar, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I saya yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kemudahan dalam penyelesaian Tesis ini dari awal hingga akhir.
7. Seluruh Dosen dan Staf pengajar serta pegawai pada Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu saya dalam proses menempuh studi selama ini.
8. Terima kasih buat seluruh petani yang tergabung dalam Gerakan Petani Persil IV di Kecamatan STM. Hilir Kabupaten Deli Serdang yang telah banyak memberikan kemudahan serta informasi sehingga penulis mampu menyelesaikan Tesis ini.
9. Terima kasih kepada rekan-rekan Forum Mahasiswa Anti Penindasan (FORMADAS-MEDAN) yang telah memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan selama ini.
10.Buat rekan-rekan Organisasi Mahasiswa di Medan (GEMA PRODEM, BARSdem, FAMUD, KDAS, SMI, FMN, HMI Fisip USU)
11. Seluruh mahasiswa program magister Studi Pembangunan FISIP USU Tahun 2012 Angkatan XXV. Terima kasih untuk setiap kebersamaannya dalam proses menggali ilmu pengetahun untuk mencapai gelar magister. Semoga setiap ilmu yang kita dapatkan bisa bermaanpaat bagi masyarakat luas.
Semoga Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan yang penulis dapatkan baik pada waktu mengalami kesulitan maupun rintangan berupa amal dan pahala di akhirat kelak. Amin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyajian Tesis ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan-perbaikan dimasa yang akan datang.
Harapan penulis semoga Tesis ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca dan bagi penulis pada khususnya.
Medan 23 Juli 2014
Penulis
Penulis yang memiliki nama lengkap Darman Syah Pulungan merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dari Pasangan Bapak Daulat Pulungan dan Ibu Dermawati Daulay Spd. Penulis lahir di Ujung Batu IV kecamatan Huta Raja Tinggi, Kabupaten Padang Lawas pada Tanggal 05 Mei 1989. Pendidikan formal ditempuh mulai dari SD Negeri 0710 Aliaga IV pada Tahun 1994 sampai Tahun 2000, SMP Negri 2 Sosa pada Tahun 2000 sampai Tahun 2003 dan SMK Abdi Negara Padang Sidimpuan mulai Tahun 2003 sampai Tahun 2006 Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi Universitas Islam Sumatera Utara Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Program studi Ilmu Administrasi Negara mulai Tahun 2006 sampai Tahun 2011 kemudian Penulis melanjutkan pendidikan kembali ke jenjang Magister di Universitas Sumatera Utara fakultas Ilmu sosial dan politik Program Studi Magister Studi pembangunan mulai Tahun 2012 sampai Tahun 2014.
ABSTRAK ... i
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12
1.3.1. Tujuan Penelitian ... 12
1.3.2. Manfaat Penelitian. ... 12
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Perempuan dalam Pemahaman Gender ... 14
2.1.1. Feminisme. ... 17
2.1.2. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia. ... 24
2.2. Teori Konflik ... 29
2.7. Teori Moral Ekonomi Petani. ... 56
2.8. Penelitian Terdahulu ... 57
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian ... 65
3.2. Lokasi Penelitian ... 65
3.3. Informan Penelitian ... 66
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 66
3.5. Teknik Analisa Data ... 67
BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 68
4.1.1. Sejarah Perkampungan dan Kepemilikan Tanah Persil IV ... 68
4.1.2. Sejarah PTPN II ... 70
4.2. Perampasan Tanah Petani Persil IV. ... 72
4.3. Analisis Peranan Perempuan dalam Konflik Agraria. ... 95
4.3.1. Perempuan dalam Menghadapi Aparat ... 95
4.3.2. Peran Perempuan dalam Pendudukan Lahan. ... 99
4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Kaum Perempuan dalam Konflik Agraria. ... 101
BAB V KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ... 105
5.2. Saran ... 107
No. Judul Halaman
2.1. Bagan Pendekatan Teori James Scout dan konsep Gender terhadap
No. Judul Halaman
1. Daftar Wawancara ...………...111 2. Dokumentasi………...112
ABSTRAK
Masyarakat pedesaan di Indonesia mayoritas berprofesi sebagai petani tentunya sangat bergantung dengan tanah sebagai alat produksi utama untuk dapat melakukan aktifitas pertanian. pembangunan dalam bidang perkebunan mendorong pemerintah maupun pihak swasta melakukan penguasaan terhadap tanah-tanah petani yang telah mereka kelola sebagai lahan pertanian. Praktek ini bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) yakni menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Penguasaan tanah tersebut tentunya berdampak besar kepada petani khusunya kaum perempuan yang selama mengelola kehidupan dalam rumah tangga. Kondisi tersebut membuat petani melakukan perlawanan dengan melakukan gerakan bersama atau yang lebih sering disebut sebagai gerakan petani.Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian : ―Peranan Perempuan Dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Tani Persil IV Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang)‖. Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisis peranan perempuan dan faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Dusun Tungkusan Desa Tandukan Raga, Dusun Sinembah dan Dusun Limau Mungkur di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak dan Dusun Lau Barus di Desa Lau Barus Baru Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Adapun key informan yang dimaksudkan adalah para Petani Persil IV sebanyak 11 orang yang ikut dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah yang dirampas PTPN II. Sedangkan informan tambahan dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar serta orang-orang yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda untuk Rakyat (SMAPUR) sebanyak 2 orang. Teknik analisa data yang digunakan adalah wawancara, observasi. Peranan perempuan dalam konflik agraria Gerakan petani persil IV dengan PTPN II dapat tergambarkan dalam setiap aksi-aksi pendudukan lahan, Demonstrasi,pembunuhan kelapa sawit serta keberanian mereka saat berada dilapangan menghadapi aparat dan preman dengan menjadi barisan terdepan bahkan mereka menjadi pelindung bagi laki-laki saat dalam kondisi bahaya. perempuan menjadi barisan terdepan akan mempengaruhi secara psikologis untuk meredam amarah dari pihak aparat dan preman (yang mayoritas adalah laki-laki) untuk memperkecil kekerasan fisik terhdap petani karena mereka juga dilahirkan dari rahim seorang perempuan serta mempunyai keluarga perempuan. Pembunuhan sawit dilakukan petani untuk mempercepat proses penguasaan tanah yang selama ini membuat pihak perkebunan tetap mempertahankan tanah tersebut. perempuan merasakan dampak paling besar sebagi pengelola rumah tangga dalam keluarga sehingga membuat mereka harus berperan dalam konflik agraria tersebut.
ABSTRACT
Rural communities in Indonesia, the majority work as farmers of course very dependent on the land as the main means of production to be able to perform agricultural activities. encourage plantation development in the field of government and private parties from controlling the lands of farmers who have them managed as agricultural land. This practice is contrary to the purpose of the Basic Agrarian Law of 1960 (UUPA 1960) that ensure the right of farmers on agrarian resources (land, water, space, and natural resources contained therein) and the acquisition of the result set so that the people become prosperous. Land tenure is of course a major impact to the farmers especially women who for managing life in the household. These conditions make farmers fought with joint movement or more commonly referred to as the peasantmovement. Based on this, the authors are keen to lift the title of the study: "The Role of Women in Conflict Agricultural (A Case Study of Farmers Movement STM Hilir Subdistrict Persil IV Deli Serdang)". The purpose of writing this paper is to analyze the role of women and the factors that affect women involved in agrarian conflicts Farmers Persil IV with PTPN II in Hamlet header Tungkusan Sports Village, Hamlet and Hamlet Sinembah Lemons Lemons Mungkur Mungkur Village, Hamlet and Hamlet Batuktak Lau Barus in the village of Lau New Barus Hilir Subdistrict STM, Deli Serdang regency. The method used in this research is descriptive qualitative. The key informants are intended Persil IV Farmers as many as 11 people who participated in the fight for their land rights deprived PTPN II. While additional informants in this study is about the community as well as those who are members of the Student and Youth Solidarity for the People (SMAPUR) by 2 people. Data analysis techniques used were interviews, observasi.Peranan women farmers in agrarian conflicts parcels Movement IV by PTPN II can be portrayed in any of the occupations of land, Demonstration, palm murder and their courage while facing the ground forces and thugs to be row even leading them to be protective for men when in danger. women into the forefront will affect psychologically to dampen the anger of the party apparatus and thugs (the majority are men) to minimize physical violence terhdap farmers because they are also born from the womb of a woman and have a family perempuan.Pembunuhan palm farmers do to accelerate the process during the tenure of this makes growers retain the soil. women feel the most impact as a manager in the family household making them have to play a role in the agrarian conflict.
1.1. Latar Belakang
Permasalahan sengketa tanah atau yang lebih dikenal dengan konflik agraria di
Indonesia telah menjadi sebuah permasalahan yang kompleks saat ini. Banyaknya
kasus konflik agraria antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah di berbagai
daerah tidak kunjung terselesaikan. Konflik agraria yang terjadi di Indonesia
mendapat perhatian yang serius dari kalangan masyarakat. Sebab, konflik agraria
ini melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat sebagai pemeran konflik dan
tidak jarang dalam proses penyelesaiannya mengunakan cara-cara kekerasan baik
itu yang terjadi antar kelompok masyarakat maupun dengan pihak aparat negara
dalam hal ini kepolisian dan TNI. Banyaknya kasus konflik agraria ini pun tidak
ditunjang dengan penyelesaian dibawah peradilan hukum yang baik. Sehingga
menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara masyarakat, pengusaha dan
pemerintah.
Konsorium Pembaharuan Agraria tahun 2013 (dalam ―Pelanggaran Hak
Asasi Petani dan Warisan Buruk Masalah Agraria Di Bawah Rezim SBY‖) mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09
hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Dengan jumlah
korban mencapai 21 orang tewas, 30 tertembak, 130 menjadi korban
penganiayaan serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dengan kata lain,
hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di tanah air, yang
sekurang-kurangnya 3.512 Ha. Selain itu, Sepuluh besar provinsi dengan wilayah yang
mengalami konflik agraria di tanah air tahun ini adalah: Sumatera Utara (10,84%),
Jawa Timur (10,57%), Jawa Barat (8,94%), Riau (8,67%), Sumatera Selatan (26
kasus), Jambi (5,96%), DKI Jakarta (5,69%), Jawa Tengah (4,61%), Sulawesi
Tengah (3,52%) dan Lampung (2,98%). Data tersebut hanya menampilkan peta
sebaran konflik yang terjadi pada tahun ini, dan belum sepenuhnya menunjukkan
bahwa provinsi tersebut memiliki konflik agraria terbanyak. Sebab, bisa jadi
provinsi lain mengalami konflik agraria yang tinggi namun tidak meletus (laten)
dalam peristiwa konflik agraria di tahun ini.
Permasalahan agraria ini tidak pernah lepas dari sejarah panjang
perkebunan yang dimulai oleh pemerintahan Belanda yang menjajah Indonesia
kala itu. Munculnya perkebunan-perkebunan bentukan belanda yang terfokus pada
monopoli dan kerja paksa menjadi titik awal munculnya persoalan ini. Pasca
kemerdekaan, Indonesia menjadi sebuah negara baru yang dipimpin pemerintah
Orde lama, mengalami kendala dalam berbagai bidang terutama perekonomian.
Disisi lain, banyaknya kasus kepemilikan tanah yang sebelumnya masih dalam
status ikatan penyewaan dengan pihak pemodal asing pada masa kolonial
memberikan permasalahan baru dalam sistem agraria. Setelah 15 tahun merdeka,
tepatnya 24 September 1960 lahirlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok agraria yang kemudian dikenal dengan istilah
UUPA (Gunawan Wiradi 2001:11).
Isi dari UUPA 1960 dengan tegas ingin melepaskan diri dari bentuk tata
kelola sumber daya alam yang sebelumnya diatur oleh pihak kolonial yang
akhir era Demokrasi Terpimpin yang ditandai dengan munculnya penerbitan UU
Kehutanan, UU Pertambangan, dan UU Penanaman Modal pada tahun 1967 yang
semangatnya kembali pada corak yang ditinggalkan UUPA 1960 yang dalam
R.Deden Dani Saleh (2012:117)
Tumbangnya pemerintahan orde lama kemudian diganti dengan rezim
orde baru mempunyai orientasi dalam hal peningkatan pertumbuhan
perekonomian negara. Perekonomian negara yang stabil dipandang sebagai
jaminan untuk membangun sebuah negara yang makmur dan kesejahteraan rakyat
terjamin. Pemerintahan orde baru membuat sebuah kebijakan yang menitik
beratkan pada sektor pertanian, migas, perkebunan dan kehutanan. Kebijakan ini
kemudian memunculkan para pelaku ekonomi yang menginvestasikan modalnya
diberbagai sektor tersebut.
Orientasi pemerintahan Orde Baru yang lebih menekankan kepada
pertumbuhan ekonomi mendorong negara salah satunya memacu perkembangan
sektor perkebunan dalam penguasaan tanah. Penguasaan tanah oleh pihak
pemerintah maupun swasta dilakukan untuk perluas lahan perkebunan. Lahan
dengan status Tanah Negara kemudian dijadikan perkebunan negara atau
diberikan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dalam bentuk HGU, Hak
Pakai maupun hak lainnya. Persoalan yang muncul kemudian adalah konflik
agraria yang terjadi antara pengusaha yang mempunyai HGU dengan rakyat yang
telah lama menguasai lahan tersebut atau sering disebut sebagai tanah adat mereka
bahkan tanah yang mempunyai surat resmi yang diberikan pada masa orde lama
kepada masyarakatpun tidak luput dari perampasan Negara dengan dalih
oleh pemerintah atau diberikan HGU kepada pengusaha swasta Dianto Bachriadi
dalam Prinsip-Prinsip Reforma Agraria (2001:230).
Munculnya berbagai konflik agraria saat ini merupakan implikasi dari
kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru. Menurut Noer Fauzi dalam tulisannya
yang berjudul ―Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme:
Dinamika Politik Agraria Indonedia Pasca Kolonial‖ dalam Reformasi Agraria
(1997:115) terdapat sejumlah konflik agraria yang disebabkan oleh beberapa hal.
Beberapa sebab terjadinya konflik itu adalah:
1. Pemerintah yang mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur
Revolusi Hijau untuk tercapainya target swasembada beras.
2. Perkebunan-perkebunan yang mengambil alih lahan yang sebelumnya
dikuasai oleh rakyat.
3. Pemerintah melakukan pengambilalihan tanah untuk yang dinyatakan
sebagai program pembangunan baik oleh pemerintah sendiri maupun
pihak swasta.
4. Konflik akibat industri pertambangan dan kehutanan.
Terkait dengan konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara khususnya Deli
Serdang, pembahasan selanjutnya dikerucutkan pada poin ketiga yaitu
pengambilalihan lahan oleh pemerintah dengan dalih program pembangunan. Hal
ini terkait dengan awal terjadinya konflik agraria antara Petani Persil IV dengan
PTPN II di daerah tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh Noer Fauzi selanjutnya, program
pembangunan oleh pemerintahan orde baru membutuhkan tanah sebagai lahan
sebagainya. Untuk itu dalam mendapatkan tanah yang luas pemerintah secara
langsung turun tangan membersihkan rintangan yang menghalangi jalannya
pembangunan. Campur tangan pemerintah memberi sedikit tekanan kepada para
petani sehingga mereka menyerahkan tanah untuk digunakan oleh pemerintah
dengan dalih pembangunan. Hal ini dikarenakan otoritarisme yang merupakan ciri
politik rezim orde baru menghilangkan kekuatan politik masyarakat dan
memusatkan kekuasaan hanya pada pemerintah. Bangkitnya otoritarisme di jaman
orde baru berlaku menyeluruh, bukan hanya dibidang politik agraria. Menurut
Mas‘oed 1989 dalam Reformasi Agraria (1997:89) kebangkitan otoritarisme
masa Orde Baru dikarenakan oleh tiga hal pokok, pertama, kondisi struktural serta
krisis politik dan ekonomi yang diwarisi rejim Soekarno; kedua, koalisi
kekuasaan dominan yang mendukung rejim Orde Baru; dan ketiga cara pimpinan
koalisi baru itu menantang dan menanggapi berbagai tantangan dan kesempatan
tertentu.
Tumbangnya kekuasaan Rezim orde baru pada tahun 1998 ternyata
memberikan angin segar bagi sebagian kelompok masyarakat yang selama ini
hak-haknya dirampas tidak terkecuali para petani persil IV. Tanah para petani
Persil IV yang sebelumnya digunakan oleh pemerintah orde baru kemudian
diambil alih oleh petani yang dulunya adalah milik mereka. Namun,
pengambilalihan lahan oleh Petani Persil IV ini tentu saja tidak berjalan lancar.
Dalam mendapatkan kembali tanahnya, Petani Persil IV ini harus berseteru
menghadapi PTPN II. Sebab tanah tersebut telah digunakan oleh PTPN II Yang
jelas-jelas tidak termasuk dalam HGU. Perjuangan para petani ini dalam
jalur perjuangan yang legal. Namun, jalur hukum yang mereka tempuh tidak
membuahkan hasil yang baik. Sehingga para petani tersebut memilih alternatif
lain dalam memperjuangkan haknya yaitu pendudukan lahan yang dilakukan
hingga saat ini.
Pada tahun 1940 rakyat telah menguasai tanah dan mendirikan bangunan
rumah sebagai tempat tinggal dan menanam berbagai tanaman seperti Pohon
Durian, Jengkol, Petai, Pisang, Jagung, Padi dan berbagai tanaman lainnya
sebagai mata pencaharian mereka sebagai petani. Selanjutnya oleh Negara tanah
tersebut dilegalisasi menjadi milik rakyat dengan alas hak sebagai TANAH
SUGUHAN Persil IV, seluas lebih kurang 600 Ha, yang meliputi diwilayah Desa
Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan desa
Tadukan Raga. Akan tetapi pada tahun 1972 masa pemerintahan rezim Orde Baru
tanpa alasan yang sah secara hukum, sebagian besar tanah tersebut, yaitu seluas
lebih kurang 525 Ha, telah diambil atau dikuasai oleh PTPN IX secara paksa
(sekarang PTPN II) dengan cara mengusir bangunan rumah tempat tinggal rakyat
hingga sampai hancur dan rata dengan tanah, menebang pohon dan
tanaman-tanaman yang telah ditanam rakyat sebagai mata pencaharian hidup di atas tanah
tersebut, yang mengakibatkan rakyat dan anak-anak mereka terlantar sebab
kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Bahkan pihak PTPN II dengan
seenaknya menanam pohon sawit dan karet dan hasilnya mereka nikmati tanpa
mempedulikan alas hak dan kehidupan rakyat beserta keluarganya. Karena pada
masa itu kondisi politik dalam negeri tidak memungkinkan untuk melakukan
perlawanan atas tindakan semena-mena tersebut, akibatnya rakyat merasakan
pecah reformasi tahun 1998 peluang untuk mengambil kembali tanah yang
dirampas tersebut terbuka, dengan terlaksananya Pertemuan Dengar Pendapat
Komisi A DPRD Tk. II Kabupaten Deli Serdang yang pada saat itu dihdiri oleh
Kepala Kantor Pertanahan DS., ADM PTPN II (Persero) Kebun Limau Mungkur,
Camat Kec. STM. Hilir, Kades. Tadukan Raga, Kades. Limau Mungkur, dan
Kades. Lau Barus Baru tentang permasalahan tanah rakyat pada tanggal 27
Oktober 1998, dimana telah menyebutkan beberapa poin diantaranya yaitu tanah
seluas lebih kurang 922 Ha tersebut tetap menjadi milik rakyat. Oleh karena tanah
seluas 922 Ha yang menjadi sengketa berada diluar areal tanah Hak Guna Usaha
(HGU) PTPN II , pada tahun 1999 tepatnya saat Replanting, tanah tersebut telah
diusahakan oleh rakyat sebagai alat produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Beberapa bulan berselang PTPN II kembali mengambil alih paksa tanah dengan
membabat habis tanaman palawija bahkan beberapa orang petani juga menjadi
korban.
Melihat kejadian itu rakyat melakukan gugatan Perdata kepada pihak
PTPN II untuk mengembalikan tanah serta membayar ganti rugi peminjaman yang
ditaksir sebesar 2,5 milyar rupiah lebih per tahun sejak tahun 1972 sampai ganti
rugi tersebut dipenuhi. Selain dari tuntutan diatas, rakyat juga menuntut ganti rugi
sebesar 500 milyar rupiah karena dianggap telah melanggar Hak Azasi Manusia.
Dengan tuntutan seperti itu maka PTPN II melakukan banding sampai akhirnya
mereka mengajuakn Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung. Pada
tahun 2005 rakyat kembali melakukan gugatan melalui pengadilan negeri Lubuk
Pakam dengan No. 69/PDT.G/2005?PN-LP yang memutuskan bahwa tanah
II dengan dalil bahwa pohon yang tumbuh diatas tanah tersebut adalah milik PT.
Secara otomatis tanah tersebut belum dipastikan milik siapa (terperkara) sehingga
kedua pihak tidak boleh menguasai lahan. Namun tindakan sepihak telah
dilakukan PTPN II melalui Perjanjian dalam bentuk Kerja Sama Operasional
(KSO) dengan Pihak Ketiga dengan isi perjanjian untuk memanen kelapa sawit
diatas tanah terperkara tersebut. Hal ini adalah tindakan melawan hukum.
Masyarakat yang merasa dirugikan segera memasuki lahan dan mencoba
menguasai tanah yang mereka anggap adalah milik mereka dengan alas hak yang
sah menurut hukum. Akan tetapi di lapangan masyarakat mendapat halangan dari
pihak aparat kepolisian dan TNI yang belum jelas alasannya mereka berada di
lokasi tersebut. Bahkan Aparat Kepolisian yang ada melakukan penangkapan
beberapa warga yang mencoba memanen sawit. Dengan senjata lengkap aparat,
akhirnya masyarakat dipaksa mundur dari lahan, dan pihak ketiga tersebut secara
bebas melakukan aktivitas memanen. Masyarakat kembali melakukan perlawanan
dengan menghadang truk pengangkut buah sawit dengan berbaris tanpa senjata.
Karena supir takut menabrak masyarakat yang sebagian besar adalah kaum ibu,
maka kendali diambil alih oleh salah satu aparat polisi dan serta merta menabrak
masyarakat yang melakukan perlawanan dan akhirnya 3 orang ibu-ibu menjadi
korban dan harus dibawa kerumah sakit. Kejadian ini lantas membuat masyarakat
sekitar menjadi trauma untuk datang ke lahan, bahkan nyaris ingin melupakan
haknya atas tanah. Sampai saat ini rakyat terus di intimidasi dengan aksi-aksi
Sepanjang terjadinya konflik agraria di beberapa daerah, tentu saja
perlawanan yang dilakukan para petani terhadap perampas tanah mereka berbeda.
Tidak terkecuali pada konflik agraria yang terjadi di Kecamatan STM HILIR
antara Petani Persil IV dengan PTPN II. Di mana konflik agraria ini melibatkan
perempuan sebagai salah satu pelaku konflik. Keterlibatan kaum perempuan
dalam konflik agraria antara Petani Persil IV dengan PTPN II menjadi sebuah
perjuangan yang menarik untuk diperbincangkan. James C. Soutt dalam hasil
penelitian sistematis STPN (2012:84) mengungkapkan bahwa perempuan sebagai
pengelola rumah tangga yang tinggal di dalam rumah menerima dampak paling
berat dari tekanan hidup akibat sengketa tanah. Selanjutnya James menjelaskan
dengan ketiadaan penghasilan utama yang diakibatkan oleh hilangnya lahan
pertanian mengharuskan perempuan untuk mencari siasat guna menyediakan
kebutuhan pangan keluarganya. Penjelasan James tersebut tidak menutup
kemungkinan hal itu menjadi salah satu dasar alasan perempuan untuk ikut serta
sebagai salah satu pemeran dalam konflik agraria. Secara alami perempuan
berpandangan bahwa ketika terjadi sengketa tanah yang melibatkan lahan
pertanian mereka berdampak pada kebutuhan hidup keluarga. Sehingga sebagai
salah satu anggota keluarga, perempuan juga mempunyai kewajiban untuk ikut
serta dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka.
Dalam banyak dokumentasi yang melibatkan perempuan dalam sengketa
tanah dan penggusuran lahan saat ini, penempatan perempuan di garda terdepan
menjadi sebuah bentuk perlawanan baru. Penempatan perempuan dijadikan
sebagai salah satu upaya mengusir petugas yang berusaha mengambil lahan
laki-laki maka ketika berhadapan dengan perempuan, kelelakian mereka merasa
terganggu Dian Aries Mujiburohman dkk. dalam hasil penelitan sistematis STPN
(2012:84). Kemudian perempuan menjadi sebuah senjata yang melibatkan aspek
psikologis dan naluri laki-laki yang tentu saja mempunyai hubungan dengan
perempuan sebagai anak, cucu, kakak dan adik. Sehingga dalam upaya
pengambilan lahan petani oleh petugas mengalami penundaan. Peranan
perempuan yang ikut menyuarakan perampasan tanah mereka merupakan salah
satu bukti eksistensi gerakan perempuan Indonesia. Terlepas dari isu-isu
kesetaraan gender, anti diskriminasi dan lain sebagainya yang disuarakan oleh
gerakan feminis di dalam masyarakat. Hal positif yang terjadi adalah perempuan
telah menjadi sebuah kekuatan baru bagi segenap perjuangan di dalam konflik
agraria tersebut. Melalui gerakan ini pula, pandangan tentang perempuan
setidaknya memberikan kesan yang berbeda. Perempuan tidak lagi dipandang
sebagai penunggu yang berada di dalam rumah dari tetapi secara aktif mereka ikut
berjuang bersama-sama.
Seperti halnya pada konflik agraria di Deli Serdang ini, keikutsertaan
perempuan tidak hanya berada di balik layar yang hanya memberikan dukungan
moral. Keterlibatan perempuan yang berperan dalam konflik agraria ini
menggalang kekuatan mereka dengan bergabung bersama Petani Persil IV. Secara
umum perempuan yang dipandang sebagai anggota masyarakat yang lemah
berubah menjadi sebuah senjata baru dalam perlawanan mereka. Peranan
perempuan sebagai salah satu anggota petani dilakukan dengan keikutsertaan
mereka berdemonstrasi dan pendudukan lahan. Selain itu, perempuan yang
perlawanan yang mereka lakukan. Keberadaan perempuan yang bersama-sama menggalang kekuatan dengan kaum laki-laki yang tergabung dalam Petani Persil
IV ini menjadi sebuah harapan untuk lebih didengarkan dalam menyuarakan
permasalahan mereka.
Beberapa bentuk perjuangan perempuan dalam konflik agraria telah
banyak didokumentasikan, namun sejauh ini belum banyak peneliti yang
mengupas sejauh mana keterlibatan perempuan didalamnya. Untuk itu, penelitian
ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang bentuk peranan dan
keterlibatan aktif perempuan di dalamnya. Selain itu penelitian ini hendaknya
mampu pula memberikan uraian tentang berbagai kegiatan dan peranan dalam
merumuskan perjuangan mereka ditengah-tengah para kaum laki-laki sebagai
upaya dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada latar belakang diatas, perlu
dilakukan pembatasan masalah yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan,
yaitu:
1. Bagaimanakah peranan perempuan dalam konflik agraria antara Petani
Persil IV dengan PTPN II di Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli
Serdang (Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak, Desa Lau Barus, dan
Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga)?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik
Kabupaten Deli Serdang (Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa
Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga)?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian
Dalam sebuah penelitian tentunya mempunyai tujuan dilakukannya
penelitian tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis peranan perempuan dalam konflik agraria Petani
Persil IV dengan PTPN II di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak, Desa
Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga, Kecamatan STM
Hilir Kabupaten Deli Serdang
2. Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam
konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Desa Limau Mungkur,
Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan
Raga, Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang
1.3.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan mafaat, antara lain:
a. Manfaat teoritis:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang gerakan
perempuan dalam konflik agraria.
2. Sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan terhadap penelitian
3. Hasil penelitian ini daharapkan menjadi salah satu sumber informasi
terhadap penelitian selanjutnya.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan
penulis dalam membuat karya tulis ilmiah tentang peranan perempuan
2.1.Perempuan dalam Pemahaman Gender
Dalam keseharian masyarakat gender sering diidentikkan sebagai jenis
kelamin. Namun, pada hakikatnya gender berbeda dengan jenis kelamin atau sex.
Perlu diketahui bahwa seluruh fakta biologis yang terdapat di dalam tubuh
manusia baik laki-laki maupun perempuan merupakan pembedaan antara
keduanya, sedangkan gender merupakan pembedaan secara sosial antara laki-laki
dan perempuan di dalam masyarakat. Pengenalan kata gender ini sendiri pertama
kali dikenalkan oleh Ann Oakley dalam PESADA (2009:4)
Moore dalam Irwan Abdullah (2003:266) menyatakan gender berbeda
dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis dan
bukanlah sebuah korelasi yang absolut. Hal ini sebabkan oleh kebudayaan yang
dianut masyarakat berbeda-beda dalam penafsiran feminine atau maskulin. Secara
universal perempuan memang berbeda dari laki-laki tidak hanya dilihat dari jenis
kelamin tetapi dari pembawaan sifat keduanya. Gender sendiri diartikan sebagai
konstruksi sosiokultural yang membedakan antara karateristik feminin untuk
perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Hal inilah yang kemudian menjadi
sebuah pembagian peran di dalam masyarakat secara keseluruhan. Perbincangan
mengenai pembagian peran perempuan dan laki-laki di tengah-tengah masyarakat
saat ini menjadi penting mengingat kuatnya arus kesetaraan yang diisukan oleh
perempuan itu sendiri. Berbagai kalangan masyarakat mulai dari golongan
perempuan sebagi suatu yang penting untuk diperbincangkan. Dalam banyak
perbincangan tersebut kesetaraan gender menjadi sebuah wacana baru yang
banyak diperdebatkan oleh beberapa gerakan perempuan.
Merunut pada pembicaraan sebelumnya, kehadiran dasar pemikiran yang
membedakan antara kaum laki-laki dengan perempuan ini muncul dari berbagai
proses di dalam sosialisasi masyarakat, agama ataupun kultur sosial. Perbedaan ini
kemudian mengalami proses yang panjang di dalam masyarakat yang kemudian
dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dalam membedakan tindakan dan
pemikiran laki-laki dan perempuan. Masyarakat sebagai sebuah satuan kelompok
yang besar kemudian menciptakan pembagian sifat yang mana menjadi sebuah
keharusan untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian
diwariskan dari generasi ke generasi sebagai sebuah budaya yang tumbuh di
dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan ini lama kelamaan dianggap sebagai
sebuah alur pemikiran yang alamiah dan normal. Sehingga bagi sebagian
masyarakat yang tidak berada pada alur pemikiran tersebut dianggap tidak normal
atau melanggar kodratnya.
Kedudukan perempuan ini menjadi sebuah keharusan di tengah
masyarakat dengan pemikiran mereka tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.
Kedudukan perempuan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang
ekonomi, budaya dan politis. Dari sudut pandang ekonomi, kedudukan kaum
perempuan berada di bawah laki-laki yang bermula pada ketergantungan
ekonomi. Charlotte P. Gilman, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Women
and Economic dalam Fajar Apriani (2008:118) apabila seorang perempuan
menjadi semata-mata kantung telur sebuah organisme tanpa daya untuk
mempertahankan rasnya. Hal ini diasumsikan Gilman bahwa sesungguhnya status
sekunder perempuan lebih berdasar pada masalah ekonomi dari pada sosial dan
budaya. Dari asumsi Gilman tersebut apabila ekonomi seorang perempuan lebih
dominan dari laki-laki maka perempuan mampu memegang kedudukan lebih
tinggi atau superior dari laki-laki. Selanjutnya Gilman manyatakan ketika seorang
laki-laki mulai memberi makan dan melindungi perempuan, secara proporsional
perempuan berhenti memberi makan dan melindungi dirinya sendiri. Artinya
apabila seorang perempuan menurunkan kemampuan mereka untuk menghidupi
serta melindungi diri sendiri maka mereka akan bergantung pada laki-laki.
Sebagai konsekwensinya perempuan harus menyenangkan dan patuh terhadap
laki-laki atas apa yang telah diberikan oleh laki-laki tersebut.
Dilihat dari perspektif budaya, seperti yang dikemukakan oleh William
dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (2009:8) budaya mengacu pada
perkembangan intelektual, spiritual dan estestis seorang individu, kelompok, atau
masyarakat yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan,
berkeyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang atau kelompok masyarakat.
Willian berpendapat bahwa segala kegiatan serta seluruh norma yang berlaku
pada masa kini adalah yang berakar pada masa silam. Haralambos dan Held dalam
Fajar Apriani (2008:120) menyimpulkan bahwa norma, nilai dan peran ditentukan
secara kultural dan di sampaikan secara sosial. Dilihat dari sudut pandang ini
perbedaan kedudukan kaum perempuan dengan laki-laki adalan sebuah produk
budaya dari pada produk biologis. Dimana masing-masing dari tiap individu
berdasarkan jenis kelamin yang ada di dalam masyarakat kemudian dibenarkan
oleh sistem kepercayaan yang mereka anut dan peran laki-laki dan perempuan
yang seperti itu adalah benar, layak dan patut.
Diane Elson dalam artikelnya yang berjudul Structural Adjusment : Its
Effect on Women (1991:42) mengatakan bahwa hubungan antara perempuan,
pasar dan negara adalah sesuatu yang kompleks.negara tidak selalu berjalan sesuai
minat perempuan dan pasar tidak selalu berjalan berlawanan dengan kepentingan
perempuan. Kompleksitas hubungan antara perempuan, pasar dan negara ini dapat
membawa sebuah rintangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam lingkup
politik. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kemadirian perempuan dalam bidang
ekonomi sehingga perempuan tidak layak untuk memperoleh akses pada sumber
daya seperti yang diperoleh laki-laki. Dengan demikian perempuan kehilangan
posisi tawar mereka dalam dunia politik apabila mereka tidak secara ekonomi
bergantung pada pihak lain.
2.1.1. Feminisme
Feminisme dan perempuan merupakan kesan yang muncul ketika
membicarakan gender. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu
sendiri. Berbicara feminism artinya membicarakan ideologi (bukan wacana)
karena bersifat gabungan dari proses kegiatan mata, hati dan tindakan yaitu
dengan menyadari, melihat, mengalami, adanya penindasan, hegemoni,
diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakan,
menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Lihat Arimbi
Neoloberalisme, Jakarta: DebtWATCH, 2004, halaman 5-6. Dinamakan gerakan
feminism (women) oleh karena adanya ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan. Tetapi kemudian makna feminism mengalami perluasan sesuai
perkembangan zaman yaitu bukan hanya membela perempuan yang tertindas
tetapi siapa saja yang mengalami ketidakadilan baik laki-laki meupun perempuan.
Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, hal ini pada dasarnya
lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang
sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi
istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan.
Dari sisi etimologis, feminisme pada dasarnya adalah paham mengenai wanita.
Namun, feminisme juga mengandung unsur gerakan. Dikatakan gerakan lantaran
tujuan feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir dan
bertidak dilihat sama seperti kaum pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan
feminisme dewasa ini yang menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial,
ekonomi, pendidikan dan budaya.
Catatan sejarah kaum perempuan telah memberikan sebuah kenyataan
bahwa sejak dahulu perempuan menjadi anggota masyarakat yang lemah, tidak
berdaya, bahkan menjadi yang ke-2 setelah kaum lelaki. Berbagai bentuk
diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil kerap diterima dalam kehidupan
mereka. Diskriminasi dalam keluarga yang lebih mengutamakan lelaki,
diskrimisnasi lingkungan, tidak adanya hak politik, permasalahan ekonomi dan
lain sebagainya adalah beberapa wujud nyata dari posisi perempuan yang tidak
menguntungkan. Berangkat dari kenyataan tersebut, muncullah beberapa
dengan isu emansipasi dan persamaan hak serta penghapusan segala bentuk
diskriminasi menjadi tuntutan mereka. Tuntutan inilah yang menjadi sebuah dasar
dari gerakan perempuan pada saat ini yang lebih dikenal dengan istilah feminisme
yang dalam PESADA (2010:2).
Selanjutnya, dalam memahami feminisme itu sendiri terdapat tiga istilah
yang sering membingungkan yaitu Feminine, Feminist dan Feminism. Menurut
Toril Moi (1985), Feminine diartikan sebagai kumpulan atribut yang ditujukan
kepada jenis kelamin perempuan dan ini menjadi pusat kritik para peminist.
Kamla Basin (1986) mengartikan feminist sebagai orang yang percaya mengenai
adanya ketidak adilan terhadap perempuan dan berusaha melakukan sesuatu
untuk meneranginya Sedangkan Rosemarie Tong (1989) mengartikan feminism
sebagai segenap teori dan perspektif yang menjelaskan mengenai penindasan
terhadap perempuan, mencari penyebabnya dan segenap konsekensinya serta
menawarkan strategi untuk membebaskan perempuan dari penindasan tersebut
dalam PESADA dvv Internasional (2009:17).
Munculnya gerakan kaum perempuan saat ini bermula dari gerakan
perjuangan kaum perempuan yang disebut dengan feminisme pada awal abad
ke-19. Tokoh yang paling terkenal pada gerakan kaum perempuan gelombang
pertama pada saat itu adalah Mary Wollstencraft dengan bukunya Vindication of
the Right of Women. Selanjutnya gerakan perempuan mulai meluas, sekitar tahun
60-an muncul pula gerakan kaum perempuan gelombang kedua dengan tokohnya
Betty Friedan dan diterbitkannya buku dengan judul The Feminine Mystique yang
tersebut memunculkan teori-teori feminis. Dalam feminism terdapat empat aliran
utama feminis, yaitu:
1. Feminis Liberal
Feminisme liberal bermula dari teori politik liberal dimana
manusia secara individu menjunjung tinggi, termasuk didalamnya nilai
otonomi, nilai persamaan dan nilai moral yang tidak boleh dipaksakan,
tidak diindoktrinasikan dan bebas memiliki penilaian sendiri. Dasar
pemikiran dari munculnya feminis liberal ini berawal dari kepercayaan
bahwa sumber penindasan terhadap perempuan berakar dari hambatan
hukum adat yang menghalangi kaum perempuan memasuki dunia publik.
Menurut Humm (1992:181) feminis liberal ini bertujuan untuk mencapai
kesetaraan secara hukum, politis dan sosial bagi perempuan. Selain itu,
para feminis liberal beranggapan bahwa tujuan dari pembebasan
perempuan adalah kesetaraan seksual dan keadilan gender.
Feminisme liberal sebagai turunan teori politik liberal, pada
mulanya menentang diskriminasi perempuan dalam perundang-undangan,
misalnya persamaan hak pilih, perceraian dan harta benda. Akan tetapi,
feminisme liberal menolak teori liberal tradisional yang menyatakan
bahwa hak adalah suatu pemberian yang didasarkan pada kemampuan
rasio atau akal, sehingga yang rasionya rendah tidak pantas menerima hak.
Reaksi keras diajukan feminisme liberal, bahwa ketidakmamupuan atau
rasio disebabkan oleh lingkungan pendidikan yang seksis dan melestarikan
ideologi gender. Hal ini jelas akan menghalangi semangat perempuan
feminis liberal bertujuan ingin menciptakan struktur ekonomi dan politik
yang adil dan menuntut adanya kesempatan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan dalam kancah politik.
2. Feminis Radikal
Aliran ini muncul setelah WF2 (adanya penindasan pada kaum
perempuan dari sisi gender yang menimbulkan polemik dari kaum
perempuan secara teknis.) Dalam analisis Wollstonecraft (1972, dalam A
Vindication of The Rights of Woman) mengasumsikan bahwa hal yang
membedakan laki dan perempuan dari sagi nalar dan moral. Salah satu
aliran didalam feminisme ini adalah Feminis Radikal. Feminis radikal
yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran
sebagai berikut:
a) Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas
adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan
dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis,
misalnya.
b) Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan
feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh
masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami
perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah
penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh
c) Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari
seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu
pola penindasan.
3. Feminis Sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa
Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa
Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem
pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas
harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme
Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul
sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan.
Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk
memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis
bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan
tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal
yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan
patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti
dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai
oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran
konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan
untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem
patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat
masalah-masalah kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
4. Feminis Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari
eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan
menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep
kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan
pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan
sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan
perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang
berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam
masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni
menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga
perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat
bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan,
namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem
2.1.2. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia
Membicarakan tentang perkembangan gerakan kaum perempuan di
Indonesia tidak terlepas dari rentetan sejarah panjang perempuan itu sendiri. Jauh
sebelum adanya gerakan perempuan seperti saat ini, sebelumnya kedudukan kaum
perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi masyarakat di setiap daerah.
Penempatan kaum perempuan telah diatur sebagai sebuah aturan yang sah di
dalam norma-norma adat istiadat setempat. Selain itu, hak dan kewajiban
perempuan telah menempati posisi kedua setelah laki-laki bahkan dipandang lebih
rendah. Secara umum hal in terjadi hampir merata diseluruh daerah Indonesia.
Pada dasarnya gerakan kaum perempuan telah ada jauh sebelum munculnya
penjajah di negeri ini. Beberapa catatan tentang perempuan dibeberapa daerah
menyebutkan gerakan perempuan telah ada namun belum dilakukan secara
terang-terangan.
Secara umum, hampir semua bentuk gerakan rakyat Indonesia yang
muncul pada masa colonial Belanda bermula pada kritik seorang warga Belanda
yaitu C. Th. Van Deventer (1901) yang mengkritik pemerintahan kolonial
Belanda di tanah jajahannya. Kritikan van Deventer dituangkan dalam sebuah
tulisan yang berjudul Hutang Kehormatan. Kritikan inilah yang kemudian
menjadi sebuah gerbang pencerahan bagi segenap masyarakat Indonesia pada
saat itu. Kritik ini kemudian dikenal dengan istilah politik etis yang berisikan
edukasi (pendidikan), trasmigrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi.
Setelah munculnya pendidikan sebagai sebuah pencerahan bagi
masyarakat pribumi saat itu, baik langsung maupun tidak langsung memberikan
dalam kenyataanya tidak semua perempuan secara merata di seluruh daerah
Indonesia mendapat pendidikan formal. Akan tetapi dengan adanya sedikit ruang
bagi kaum perempuan untuk mengecap pendidikan formal maupun nonformal
memberikan sumbangan yang cukup baik bagi awal pergerakan perempuan pada
saat itu. Pelopor gerakan feminis pada masa ini adalah Kartini (1879-1904).
Secara umum, nama Kartini seorang perempuan Jawa putri Bupati Jepara selalu
dikaitkan sebagai tonggak awal bagi gerakan feminis di Indonesia. Setelah
wafatnya Kartini tulisan-tulisan serta surat-suratnya kepada sahabat penanya di
Belanda di terbitkan dengan judul Door duisternist tot licht (Habis Gelap
Terbitlah Terang). Kontribusi Kartini dalam awal mula gerakan feminis adalah
sebagai salah seorang yang mengobarkan semangat diantara kaum muda
Indonesia dan timbulnya gerakan feminis itu sendiri.
Selain Kartini, terdapat Dewi Sartika (1884-1947) yang menjadi seorang
pejuang pergerakan kaum perempuan. Jauh sebelum adanya gerakan feminis
mengemuka dan terorganisir Dewi Sartika telah banyak ketidakadilan pembagian
upah buruh antara laki-laki dengan perempuan dimana perempuan mendapat upah
lebih rendah dari laki-laki dalam pekerjaan yang sama beratnya mereka kerjakan
dalam buku yang berjudul Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian
dituliskan oleh Cora Vreede-De Strures (2008:75). Kedua perempuan diatas,
dianggap sebagai salah satu pelopor adanya gerakan feminis di Indonesia. Namun,
masih banyak perempuan lain yang tidak pernah dikenal telah memberikan
Berkaitan dengan perjuangan untuk meraih emansipasi perempuan
muncullah beberapa kelompok atau organisassi perempuan yang terorganisir
dengan baik. Pada tahun 1912 berdiri organisasi Putri Mardika di Jakarta.
Organisasi ini berdiri memberikan bantuan kepada kaum perempuan agar dapat
bersekolah dan melanjutkan sekolahnya serta memberikan semangat dan rasa
percaya diri untuk berperan aktif di dalam masyarakat. Selain itu muncul pula
beberapa organsasi perempuan dibeberapa daerah lain seperti Putri Budi Sedjati di
Surabaya, Keutamaan Istri di Sunda, Kerajinan Amai Setia pada tahun 1914 di
Kota Gadang Sumatera Barat dan lain sebagainya. Pada masa ini berdirnya sebuah
organsasi perempuan bertujuan meningkatkan martabat perempuan dengan
memberikan pendidikan di bidang rumah tangga, jahit-menjahit, kursus tentang
cara merawat dan mendidik anak dan lan-lain yang di acu oleh Cora Vreede-De
Strures (2008:87). Selain lembaga tersebut beberapa organisasi berbasis agama
pun turut serta memberikan sumbangan bagi bangkitnya gerakan perempuan. Dua
organisasi berbasis agama tersebut adalah Muhammadiyah yang didirkan oleh H.
Ahmad Dahlan pada tahun 1912 dan Sarikat Islam.
Pada masa kolonial ini pencapaian gerakan perempuan sangatlah baik,
banyaknya muncul organisasi perempuan diberbagai daerah kemudian melahirkan
kongres perempuan. Kongres perempuan pertama diselenggarakan di Yogyakarta
pada tahun 1928. Kongres ini dihadiri oleh hampir tiga puluh perkumpulan
perempuan dari berbadai daerah. Dalam kongres tersebut pembicaraan mengenai
masalah politik dibatasi, kongres lebih mengutamakan masalah pendidikan dan
perkawinan. Hasil terpenting dari adanya kongres ini adalah pendirian Perikatan
perempuan dan kehidupan keluarga. Beberapa hasil dari kesepakatan di dalam PPI
mengajukan permintaan jumlah sekolah untuk perempuan harus ditingkatkan,
penjelasan resmi mengenai taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan
dan peraturan yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai negeri
sipil harus dibuat. Selanjutnya tanggal 22 Desember adalah tanggal diadakannya
kongres perempuan pertama dan dikukuhkan sebagai Hari Ibu di Indonesia.
Selanjutnya kongres perempuan rutin diadakan setiap tahun.
Namun, pergerakan perempuan pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia hanya mendapat sedikit peluang untuk berkembang. Satu-satunya
organisasi yang diizinkan berdiri adalah Funjikai (perkumpulan perempuan).
Perkumpulan ini berdiri dengan tujuan memerangi buta huruf dan ikut serta dalam
aktivitas sosial. Dengan adanya aktivitas tersebut berbagai kalangan perempuan
dapat berbaur dan lebih dekat. Selanjutnya pasca kemerdekaan Indonesia kaum
perempuan mempunyai peran yang penting dimana mereka bersatu untuk
membantu para pejuang digaris terdepan. Di bentuknya Palang Merah Indonesia
setelah kemerdekaan Indonesia berperan penting membentuk tim perawat yang
sangat dibutuhkan pada masa itu. Selain PMI perkumpulan yang populer pada
masa ini adalah Perwani (Persatuan Wanita Negara Indonesia) dan Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia).
Terlepas dari sejarah panjang kaum perempuan dalam berbagai kelompok
yang terorganisir atau tidak dari masa ke masa memberikan sedikit gambaran
bahwa gerakan feminis telah ada di Indonesia sejak dulu. Namun, perlu pula
dianalisis bahwa gerakan perempuan yang ada dari masa ke masa tentu saja
semua gelombang gerakan perempuan itu menuntut kesejahteraan bagi kaum
mereka. Pada saat ini, gelombang gerakan perempuan telah mempunyai
kebebasan dalam menyuarakan tuntutan mereka. Seiring dengan perkembangan
masyarakat yang semakin maju, saat ini banyak pula perempuan yang tidak
sepenuhnya terkait budaya kuno yang menempatkan posisi mereka berada
dibawah laki-laki. Perempuan tidak lagi berada dibalik bayang-bayang laki-laki
ketika mereka berada dalam kelompok masyarakat. Diberbagai aspek kehidupan,
perempuan mulai berdiri sendiri secara mandiri mengelola kehidupan mereka.
Terkait dengan gerakan perempuan pada saat ini, tentu saja tuntutan kaum
perempuan berbeda dengan masa sebelumnya. Beberapa gerakan perempuan
terfokus pada tuntutan mereka tentang anti diskriminasi, kesetaraan gender,
kebebasan dalam berpolitik dan beberapa tuntutan lainnya. Perkembangan
gerakan kaum perempuan saat ini telah menjadi sebuah gerakan yang mampu
memberikan sebuah kekuatan baru dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Secara umum, perempuan mulai berpolitik, berkarir secara mandiri dalam bidang
ekonomi tanpa ketergantungan terhadap laki-laki, berani untuk menyuarakan
argumen mereka bahkan mampu berdiri sejajar dengan barisan laki-laki.
Dalam panjangnya catatan perkembangan gerakan feminis di Indonesia,
wacana perempuan dalam gerakan memperjuangkan hak mereka yang rampas
banyak pula dibicarakan. Seorang perempuan telah mempunyai kewajiban
layaknya seorang laki-laki dalam berbagai gerakan yang menyangkut diskriminasi
dalam masyarakat. Seperti halnya wacana konflik agraria yang akan dibahas
selanjutnya, perempuan pun harus mampu mengambil bagian di dalamnya.
feminis seperti apa yang telah ada sebelumnya. Namun, adanya sebuah kesadaran
terhadap perampasan hak mereka merupakan sebuah tujuan dari feminism yang
menginginkan adanya kesadaran setiap perempuan dalam memperjuangkan hak
mereka.
2.2. Teori Konflik
Sebelum mengurai tentang teori konflik, terlebih dahulu kita mengurai arti
konflik tersebut. Konflik berasal dari kata kerja Latin yaitu configere yang
mengandung arti saling memukul. Sementara secara sosiologis konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, dimana satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya
tidak berdaya. Selanjutnya, Gunawan wiradi yang di acu dalam catatan ringkas
Ridha Wahyuni Penelitian Mengenai Konflik Agraria (2013:1) berpendapat
bahwa konflik selalu menjadi pusat perhatian dalam ilmu-ilmu sosial, berskala
luas dan dampaknya juga luas.
Dilihat dari dampak konflik yang terjadi, para ahli telah mengemukakan
jenis-jenis konflik yang timbul dalam masyarakat. Salah satunya menurut
Wirawan (2010) yang di acu oleh Yumi dkk (2012:8) mengemukakan beberapa
jenis konflik ditinjau dari berbagai aspek:
1. Aspek subyek yang terlibat dalam konflik
a. Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang
b. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antar personal
dalam suatu organisasi, dimana pihak-pihak dalam organisasi
saling bertentangan;
c. Konflik of interest berkembang dari konflik interpersonal dimana
para individu dalam organisasi memiliki interest yang lebih besar
dari interest organisasi, sehingga mempengaruhi aktivitas
organisasi.
2. Aspek substansi konflik
a. Konflik realistis yaitu konflik dimana isu ketidak sepahaman/
pertentangan terkait dengan substansi/obyek konflik sehingga
dapat didekati dari dialog, persuasif, musyawarah, negosiasi
ataupun voting;
b. Konflik non realistis adalah konflik yang tidak ada hubungan
dengan substansi/obyek konflik, hanya cenderung mau mencari
kesalahan lawan baik dengan cara kekuasaan, kekuatan,
agresi/paksaan.
3. Aspek keluaran
a. Konflik konstruktif yaitu konflik dalam rangka mencari
danmendapatkan solusi;
b. Konflik destruktif yaitu konflik yang tidak menghasilkan atau tidak
berorientasi pada solusi, mengacaukan, menang sendiri dan hanya