• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Perempuan dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Petani Persil IV)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Perempuan dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Petani Persil IV)"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

STM HILIR KABUPATEN DELI SERDANG)

TESIS

Oleh

DARMAN SYAH PULUNGAN

127024004/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STM HILIR KABUPATEN DELI SERDANG)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Studi Magister

Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

DARMAN SYAH PULUNGAN

127024004/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(3)

STM Hilir Kabupaten Deli Serdang) Nama Mahasiswa : Darman Syah Pulungan

Nomor Pokok : 127024004

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Subhilhar, Ph.D) (Muhammad Arifin Nasution, S.Sos,. MSP) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Subhilhar, Ph.D

Anggota : Muhammad Arifin Nasution, S.Sos, MSP : Hatta Ridho, S.Sos, MSP

(5)

PERANAN PEREMPUAN DALAM KONFLIK AGRARIA

(STUDI KASUS : GERAKAN TANI PERSIL IV KECAMATAN

STM HILIR KABUPATEN DELI SERDANG)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 23 Juli 2014

Penulis

(6)

ABSTRAK

Masyarakat pedesaan di Indonesia mayoritas berprofesi sebagai petani tentunya sangat bergantung dengan tanah sebagai alat produksi utama untuk dapat melakukan aktifitas pertanian. pembangunan dalam bidang perkebunan mendorong pemerintah maupun pihak swasta melakukan penguasaan terhadap tanah-tanah petani yang telah mereka kelola sebagai lahan pertanian. Praktek ini bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) yakni menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Penguasaan tanah tersebut tentunya berdampak besar kepada petani khusunya kaum perempuan yang selama mengelola kehidupan dalam rumah tangga. Kondisi tersebut membuat petani melakukan perlawanan dengan melakukan gerakan bersama atau yang lebih sering disebut sebagai gerakan petani.Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian : ―Peranan Perempuan Dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Tani Persil IV Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang)‖. Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisis peranan perempuan dan faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Dusun Tungkusan Desa Tandukan Raga, Dusun Sinembah dan Dusun Limau Mungkur di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak dan Dusun Lau Barus di Desa Lau Barus Baru Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Adapun key informan yang dimaksudkan adalah para Petani Persil IV sebanyak 11 orang yang ikut dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah yang dirampas PTPN II. Sedangkan informan tambahan dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar serta orang-orang yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda untuk Rakyat (SMAPUR) sebanyak 2 orang. Teknik analisa data yang digunakan adalah wawancara, observasi. Peranan perempuan dalam konflik agraria Gerakan petani persil IV dengan PTPN II dapat tergambarkan dalam setiap aksi-aksi pendudukan lahan, Demonstrasi,pembunuhan kelapa sawit serta keberanian mereka saat berada dilapangan menghadapi aparat dan preman dengan menjadi barisan terdepan bahkan mereka menjadi pelindung bagi laki-laki saat dalam kondisi bahaya. perempuan menjadi barisan terdepan akan mempengaruhi secara psikologis untuk meredam amarah dari pihak aparat dan preman (yang mayoritas adalah laki-laki) untuk memperkecil kekerasan fisik terhdap petani karena mereka juga dilahirkan dari rahim seorang perempuan serta mempunyai keluarga perempuan. Pembunuhan sawit dilakukan petani untuk mempercepat proses penguasaan tanah yang selama ini membuat pihak perkebunan tetap mempertahankan tanah tersebut. perempuan merasakan dampak paling besar sebagi pengelola rumah tangga dalam keluarga sehingga membuat mereka harus berperan dalam konflik agraria tersebut.

(7)

ABSTRACT

Rural communities in Indonesia, the majority work as farmers of course very dependent on the land as the main means of production to be able to perform agricultural activities. encourage plantation development in the field of government and private parties from controlling the lands of farmers who have them managed as agricultural land. This practice is contrary to the purpose of the Basic Agrarian Law of 1960 (UUPA 1960) that ensure the right of farmers on agrarian resources (land, water, space, and natural resources contained therein) and the acquisition of the result set so that the people become prosperous. Land tenure is of course a major impact to the farmers especially women who for managing life in the household. These conditions make farmers fought with joint movement or more commonly referred to as the peasantmovement. Based on this, the authors are keen to lift the title of the study: "The Role of Women in Conflict Agricultural (A Case Study of Farmers Movement STM Hilir Subdistrict Persil IV Deli Serdang)". The purpose of writing this paper is to analyze the role of women and the factors that affect women involved in agrarian conflicts Farmers Persil IV with PTPN II in Hamlet header Tungkusan Sports Village, Hamlet and Hamlet Sinembah Lemons Lemons Mungkur Mungkur Village, Hamlet and Hamlet Batuktak Lau Barus in the village of Lau New Barus Hilir Subdistrict STM, Deli Serdang regency. The method used in this research is descriptive qualitative. The key informants are intended Persil IV Farmers as many as 11 people who participated in the fight for their land rights deprived PTPN II. While additional informants in this study is about the community as well as those who are members of the Student and Youth Solidarity for the People (SMAPUR) by 2 people. Data analysis techniques used were interviews, observasi.Peranan women farmers in agrarian conflicts parcels Movement IV by PTPN II can be portrayed in any of the occupations of land, Demonstration, palm murder and their courage while facing the ground forces and thugs to be row even leading them to be protective for men when in danger. women into the forefront will affect psychologically to dampen the anger of the party apparatus and thugs (the majority are men) to minimize physical violence terhdap farmers because they are also born from the womb of a woman and have a family perempuan.Pembunuhan palm farmers do to accelerate the process during the tenure of this makes growers retain the soil. women feel the most impact as a manager in the family household making them have to play a role in the agrarian conflict.

(8)

Pertama dan yang paling utama penulis mengucapkan syukur Alhamdulilah dan segala puji bagi Allah atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul “Peranan

Perempuan dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Petani Persil IV)”

Sebagai salah satu Syarat untuk menyelesaikan Program studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelamahan. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak untuk penyempurnaannya agar bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan .

Khususnya penulis ucapkan terima kasih kepada orangtuaku tercinta Ayahanda Daulat Pulungan dan Ibunda Dermawati yang salalu mendoakan serta telah mengasuh dan membesarkan penulis dengan rasa cinta,kasih sayang dan selalu mendukung baik materil maupun moril agar tercapainya cita-cita saya selama ini. Buat adikku Dedi Romansyah Pulungan dan Nirma Yenni br.Pulungan yang selalu memberikan motivasi sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik, kiranya hanya Allah SWT yang mampu membalasnya dengan segala berkahnya.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu pada saat menyusun Tesis maupun selama penulis menempuh pendidikan di Program Paska Sarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara. Oleh kareana itu penulis mengucapakan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU)

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Prof. Subhilhar, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I saya yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kemudahan dalam penyelesaian Tesis ini dari awal hingga akhir.

(9)

7. Seluruh Dosen dan Staf pengajar serta pegawai pada Program Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu saya dalam proses menempuh studi selama ini.

8. Terima kasih buat seluruh petani yang tergabung dalam Gerakan Petani Persil IV di Kecamatan STM. Hilir Kabupaten Deli Serdang yang telah banyak memberikan kemudahan serta informasi sehingga penulis mampu menyelesaikan Tesis ini.

9. Terima kasih kepada rekan-rekan Forum Mahasiswa Anti Penindasan (FORMADAS-MEDAN) yang telah memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan selama ini.

10.Buat rekan-rekan Organisasi Mahasiswa di Medan (GEMA PRODEM, BARSdem, FAMUD, KDAS, SMI, FMN, HMI Fisip USU)

11. Seluruh mahasiswa program magister Studi Pembangunan FISIP USU Tahun 2012 Angkatan XXV. Terima kasih untuk setiap kebersamaannya dalam proses menggali ilmu pengetahun untuk mencapai gelar magister. Semoga setiap ilmu yang kita dapatkan bisa bermaanpaat bagi masyarakat luas.

Semoga Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan yang penulis dapatkan baik pada waktu mengalami kesulitan maupun rintangan berupa amal dan pahala di akhirat kelak. Amin.

Penulis menyadari bahwa dalam penyajian Tesis ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan-perbaikan dimasa yang akan datang.

Harapan penulis semoga Tesis ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca dan bagi penulis pada khususnya.

Medan 23 Juli 2014

Penulis

(10)

Penulis yang memiliki nama lengkap Darman Syah Pulungan merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dari Pasangan Bapak Daulat Pulungan dan Ibu Dermawati Daulay Spd. Penulis lahir di Ujung Batu IV kecamatan Huta Raja Tinggi, Kabupaten Padang Lawas pada Tanggal 05 Mei 1989. Pendidikan formal ditempuh mulai dari SD Negeri 0710 Aliaga IV pada Tahun 1994 sampai Tahun 2000, SMP Negri 2 Sosa pada Tahun 2000 sampai Tahun 2003 dan SMK Abdi Negara Padang Sidimpuan mulai Tahun 2003 sampai Tahun 2006 Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi Universitas Islam Sumatera Utara Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Program studi Ilmu Administrasi Negara mulai Tahun 2006 sampai Tahun 2011 kemudian Penulis melanjutkan pendidikan kembali ke jenjang Magister di Universitas Sumatera Utara fakultas Ilmu sosial dan politik Program Studi Magister Studi pembangunan mulai Tahun 2012 sampai Tahun 2014.

(11)

ABSTRAK ... i

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 12

1.3.2. Manfaat Penelitian. ... 12

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Perempuan dalam Pemahaman Gender ... 14

2.1.1. Feminisme. ... 17

2.1.2. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia. ... 24

2.2. Teori Konflik ... 29

2.7. Teori Moral Ekonomi Petani. ... 56

2.8. Penelitian Terdahulu ... 57

(12)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian ... 65

3.2. Lokasi Penelitian ... 65

3.3. Informan Penelitian ... 66

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 66

3.5. Teknik Analisa Data ... 67

BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 68

4.1.1. Sejarah Perkampungan dan Kepemilikan Tanah Persil IV ... 68

4.1.2. Sejarah PTPN II ... 70

4.2. Perampasan Tanah Petani Persil IV. ... 72

4.3. Analisis Peranan Perempuan dalam Konflik Agraria. ... 95

4.3.1. Perempuan dalam Menghadapi Aparat ... 95

4.3.2. Peran Perempuan dalam Pendudukan Lahan. ... 99

4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Kaum Perempuan dalam Konflik Agraria. ... 101

BAB V KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ... 105

5.2. Saran ... 107

(13)

No. Judul Halaman

2.1. Bagan Pendekatan Teori James Scout dan konsep Gender terhadap

(14)

No. Judul Halaman

1. Daftar Wawancara ...………...111 2. Dokumentasi………...112

(15)

ABSTRAK

Masyarakat pedesaan di Indonesia mayoritas berprofesi sebagai petani tentunya sangat bergantung dengan tanah sebagai alat produksi utama untuk dapat melakukan aktifitas pertanian. pembangunan dalam bidang perkebunan mendorong pemerintah maupun pihak swasta melakukan penguasaan terhadap tanah-tanah petani yang telah mereka kelola sebagai lahan pertanian. Praktek ini bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) yakni menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Penguasaan tanah tersebut tentunya berdampak besar kepada petani khusunya kaum perempuan yang selama mengelola kehidupan dalam rumah tangga. Kondisi tersebut membuat petani melakukan perlawanan dengan melakukan gerakan bersama atau yang lebih sering disebut sebagai gerakan petani.Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian : ―Peranan Perempuan Dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Tani Persil IV Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang)‖. Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menganalisis peranan perempuan dan faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Dusun Tungkusan Desa Tandukan Raga, Dusun Sinembah dan Dusun Limau Mungkur di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak dan Dusun Lau Barus di Desa Lau Barus Baru Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Adapun key informan yang dimaksudkan adalah para Petani Persil IV sebanyak 11 orang yang ikut dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah yang dirampas PTPN II. Sedangkan informan tambahan dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar serta orang-orang yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda untuk Rakyat (SMAPUR) sebanyak 2 orang. Teknik analisa data yang digunakan adalah wawancara, observasi. Peranan perempuan dalam konflik agraria Gerakan petani persil IV dengan PTPN II dapat tergambarkan dalam setiap aksi-aksi pendudukan lahan, Demonstrasi,pembunuhan kelapa sawit serta keberanian mereka saat berada dilapangan menghadapi aparat dan preman dengan menjadi barisan terdepan bahkan mereka menjadi pelindung bagi laki-laki saat dalam kondisi bahaya. perempuan menjadi barisan terdepan akan mempengaruhi secara psikologis untuk meredam amarah dari pihak aparat dan preman (yang mayoritas adalah laki-laki) untuk memperkecil kekerasan fisik terhdap petani karena mereka juga dilahirkan dari rahim seorang perempuan serta mempunyai keluarga perempuan. Pembunuhan sawit dilakukan petani untuk mempercepat proses penguasaan tanah yang selama ini membuat pihak perkebunan tetap mempertahankan tanah tersebut. perempuan merasakan dampak paling besar sebagi pengelola rumah tangga dalam keluarga sehingga membuat mereka harus berperan dalam konflik agraria tersebut.

(16)

ABSTRACT

Rural communities in Indonesia, the majority work as farmers of course very dependent on the land as the main means of production to be able to perform agricultural activities. encourage plantation development in the field of government and private parties from controlling the lands of farmers who have them managed as agricultural land. This practice is contrary to the purpose of the Basic Agrarian Law of 1960 (UUPA 1960) that ensure the right of farmers on agrarian resources (land, water, space, and natural resources contained therein) and the acquisition of the result set so that the people become prosperous. Land tenure is of course a major impact to the farmers especially women who for managing life in the household. These conditions make farmers fought with joint movement or more commonly referred to as the peasantmovement. Based on this, the authors are keen to lift the title of the study: "The Role of Women in Conflict Agricultural (A Case Study of Farmers Movement STM Hilir Subdistrict Persil IV Deli Serdang)". The purpose of writing this paper is to analyze the role of women and the factors that affect women involved in agrarian conflicts Farmers Persil IV with PTPN II in Hamlet header Tungkusan Sports Village, Hamlet and Hamlet Sinembah Lemons Lemons Mungkur Mungkur Village, Hamlet and Hamlet Batuktak Lau Barus in the village of Lau New Barus Hilir Subdistrict STM, Deli Serdang regency. The method used in this research is descriptive qualitative. The key informants are intended Persil IV Farmers as many as 11 people who participated in the fight for their land rights deprived PTPN II. While additional informants in this study is about the community as well as those who are members of the Student and Youth Solidarity for the People (SMAPUR) by 2 people. Data analysis techniques used were interviews, observasi.Peranan women farmers in agrarian conflicts parcels Movement IV by PTPN II can be portrayed in any of the occupations of land, Demonstration, palm murder and their courage while facing the ground forces and thugs to be row even leading them to be protective for men when in danger. women into the forefront will affect psychologically to dampen the anger of the party apparatus and thugs (the majority are men) to minimize physical violence terhdap farmers because they are also born from the womb of a woman and have a family perempuan.Pembunuhan palm farmers do to accelerate the process during the tenure of this makes growers retain the soil. women feel the most impact as a manager in the family household making them have to play a role in the agrarian conflict.

(17)

1.1. Latar Belakang

Permasalahan sengketa tanah atau yang lebih dikenal dengan konflik agraria di

Indonesia telah menjadi sebuah permasalahan yang kompleks saat ini. Banyaknya

kasus konflik agraria antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah di berbagai

daerah tidak kunjung terselesaikan. Konflik agraria yang terjadi di Indonesia

mendapat perhatian yang serius dari kalangan masyarakat. Sebab, konflik agraria

ini melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat sebagai pemeran konflik dan

tidak jarang dalam proses penyelesaiannya mengunakan cara-cara kekerasan baik

itu yang terjadi antar kelompok masyarakat maupun dengan pihak aparat negara

dalam hal ini kepolisian dan TNI. Banyaknya kasus konflik agraria ini pun tidak

ditunjang dengan penyelesaian dibawah peradilan hukum yang baik. Sehingga

menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara masyarakat, pengusaha dan

pemerintah.

Konsorium Pembaharuan Agraria tahun 2013 (dalam ―Pelanggaran Hak

Asasi Petani dan Warisan Buruk Masalah Agraria Di Bawah Rezim SBY‖) mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09

hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Dengan jumlah

korban mencapai 21 orang tewas, 30 tertembak, 130 menjadi korban

penganiayaan serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dengan kata lain,

hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di tanah air, yang

(18)

sekurang-kurangnya 3.512 Ha. Selain itu, Sepuluh besar provinsi dengan wilayah yang

mengalami konflik agraria di tanah air tahun ini adalah: Sumatera Utara (10,84%),

Jawa Timur (10,57%), Jawa Barat (8,94%), Riau (8,67%), Sumatera Selatan (26

kasus), Jambi (5,96%), DKI Jakarta (5,69%), Jawa Tengah (4,61%), Sulawesi

Tengah (3,52%) dan Lampung (2,98%). Data tersebut hanya menampilkan peta

sebaran konflik yang terjadi pada tahun ini, dan belum sepenuhnya menunjukkan

bahwa provinsi tersebut memiliki konflik agraria terbanyak. Sebab, bisa jadi

provinsi lain mengalami konflik agraria yang tinggi namun tidak meletus (laten)

dalam peristiwa konflik agraria di tahun ini.

Permasalahan agraria ini tidak pernah lepas dari sejarah panjang

perkebunan yang dimulai oleh pemerintahan Belanda yang menjajah Indonesia

kala itu. Munculnya perkebunan-perkebunan bentukan belanda yang terfokus pada

monopoli dan kerja paksa menjadi titik awal munculnya persoalan ini. Pasca

kemerdekaan, Indonesia menjadi sebuah negara baru yang dipimpin pemerintah

Orde lama, mengalami kendala dalam berbagai bidang terutama perekonomian.

Disisi lain, banyaknya kasus kepemilikan tanah yang sebelumnya masih dalam

status ikatan penyewaan dengan pihak pemodal asing pada masa kolonial

memberikan permasalahan baru dalam sistem agraria. Setelah 15 tahun merdeka,

tepatnya 24 September 1960 lahirlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang

peraturan dasar pokok-pokok agraria yang kemudian dikenal dengan istilah

UUPA (Gunawan Wiradi 2001:11).

Isi dari UUPA 1960 dengan tegas ingin melepaskan diri dari bentuk tata

kelola sumber daya alam yang sebelumnya diatur oleh pihak kolonial yang

(19)

akhir era Demokrasi Terpimpin yang ditandai dengan munculnya penerbitan UU

Kehutanan, UU Pertambangan, dan UU Penanaman Modal pada tahun 1967 yang

semangatnya kembali pada corak yang ditinggalkan UUPA 1960 yang dalam

R.Deden Dani Saleh (2012:117)

Tumbangnya pemerintahan orde lama kemudian diganti dengan rezim

orde baru mempunyai orientasi dalam hal peningkatan pertumbuhan

perekonomian negara. Perekonomian negara yang stabil dipandang sebagai

jaminan untuk membangun sebuah negara yang makmur dan kesejahteraan rakyat

terjamin. Pemerintahan orde baru membuat sebuah kebijakan yang menitik

beratkan pada sektor pertanian, migas, perkebunan dan kehutanan. Kebijakan ini

kemudian memunculkan para pelaku ekonomi yang menginvestasikan modalnya

diberbagai sektor tersebut.

Orientasi pemerintahan Orde Baru yang lebih menekankan kepada

pertumbuhan ekonomi mendorong negara salah satunya memacu perkembangan

sektor perkebunan dalam penguasaan tanah. Penguasaan tanah oleh pihak

pemerintah maupun swasta dilakukan untuk perluas lahan perkebunan. Lahan

dengan status Tanah Negara kemudian dijadikan perkebunan negara atau

diberikan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dalam bentuk HGU, Hak

Pakai maupun hak lainnya. Persoalan yang muncul kemudian adalah konflik

agraria yang terjadi antara pengusaha yang mempunyai HGU dengan rakyat yang

telah lama menguasai lahan tersebut atau sering disebut sebagai tanah adat mereka

bahkan tanah yang mempunyai surat resmi yang diberikan pada masa orde lama

kepada masyarakatpun tidak luput dari perampasan Negara dengan dalih

(20)

oleh pemerintah atau diberikan HGU kepada pengusaha swasta Dianto Bachriadi

dalam Prinsip-Prinsip Reforma Agraria (2001:230).

Munculnya berbagai konflik agraria saat ini merupakan implikasi dari

kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru. Menurut Noer Fauzi dalam tulisannya

yang berjudul ―Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme:

Dinamika Politik Agraria Indonedia Pasca Kolonial‖ dalam Reformasi Agraria

(1997:115) terdapat sejumlah konflik agraria yang disebabkan oleh beberapa hal.

Beberapa sebab terjadinya konflik itu adalah:

1. Pemerintah yang mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur

Revolusi Hijau untuk tercapainya target swasembada beras.

2. Perkebunan-perkebunan yang mengambil alih lahan yang sebelumnya

dikuasai oleh rakyat.

3. Pemerintah melakukan pengambilalihan tanah untuk yang dinyatakan

sebagai program pembangunan baik oleh pemerintah sendiri maupun

pihak swasta.

4. Konflik akibat industri pertambangan dan kehutanan.

Terkait dengan konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara khususnya Deli

Serdang, pembahasan selanjutnya dikerucutkan pada poin ketiga yaitu

pengambilalihan lahan oleh pemerintah dengan dalih program pembangunan. Hal

ini terkait dengan awal terjadinya konflik agraria antara Petani Persil IV dengan

PTPN II di daerah tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh Noer Fauzi selanjutnya, program

pembangunan oleh pemerintahan orde baru membutuhkan tanah sebagai lahan

(21)

sebagainya. Untuk itu dalam mendapatkan tanah yang luas pemerintah secara

langsung turun tangan membersihkan rintangan yang menghalangi jalannya

pembangunan. Campur tangan pemerintah memberi sedikit tekanan kepada para

petani sehingga mereka menyerahkan tanah untuk digunakan oleh pemerintah

dengan dalih pembangunan. Hal ini dikarenakan otoritarisme yang merupakan ciri

politik rezim orde baru menghilangkan kekuatan politik masyarakat dan

memusatkan kekuasaan hanya pada pemerintah. Bangkitnya otoritarisme di jaman

orde baru berlaku menyeluruh, bukan hanya dibidang politik agraria. Menurut

Mas‘oed 1989 dalam Reformasi Agraria (1997:89) kebangkitan otoritarisme

masa Orde Baru dikarenakan oleh tiga hal pokok, pertama, kondisi struktural serta

krisis politik dan ekonomi yang diwarisi rejim Soekarno; kedua, koalisi

kekuasaan dominan yang mendukung rejim Orde Baru; dan ketiga cara pimpinan

koalisi baru itu menantang dan menanggapi berbagai tantangan dan kesempatan

tertentu.

Tumbangnya kekuasaan Rezim orde baru pada tahun 1998 ternyata

memberikan angin segar bagi sebagian kelompok masyarakat yang selama ini

hak-haknya dirampas tidak terkecuali para petani persil IV. Tanah para petani

Persil IV yang sebelumnya digunakan oleh pemerintah orde baru kemudian

diambil alih oleh petani yang dulunya adalah milik mereka. Namun,

pengambilalihan lahan oleh Petani Persil IV ini tentu saja tidak berjalan lancar.

Dalam mendapatkan kembali tanahnya, Petani Persil IV ini harus berseteru

menghadapi PTPN II. Sebab tanah tersebut telah digunakan oleh PTPN II Yang

jelas-jelas tidak termasuk dalam HGU. Perjuangan para petani ini dalam

(22)

jalur perjuangan yang legal. Namun, jalur hukum yang mereka tempuh tidak

membuahkan hasil yang baik. Sehingga para petani tersebut memilih alternatif

lain dalam memperjuangkan haknya yaitu pendudukan lahan yang dilakukan

hingga saat ini.

Pada tahun 1940 rakyat telah menguasai tanah dan mendirikan bangunan

rumah sebagai tempat tinggal dan menanam berbagai tanaman seperti Pohon

Durian, Jengkol, Petai, Pisang, Jagung, Padi dan berbagai tanaman lainnya

sebagai mata pencaharian mereka sebagai petani. Selanjutnya oleh Negara tanah

tersebut dilegalisasi menjadi milik rakyat dengan alas hak sebagai TANAH

SUGUHAN Persil IV, seluas lebih kurang 600 Ha, yang meliputi diwilayah Desa

Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan desa

Tadukan Raga. Akan tetapi pada tahun 1972 masa pemerintahan rezim Orde Baru

tanpa alasan yang sah secara hukum, sebagian besar tanah tersebut, yaitu seluas

lebih kurang 525 Ha, telah diambil atau dikuasai oleh PTPN IX secara paksa

(sekarang PTPN II) dengan cara mengusir bangunan rumah tempat tinggal rakyat

hingga sampai hancur dan rata dengan tanah, menebang pohon dan

tanaman-tanaman yang telah ditanam rakyat sebagai mata pencaharian hidup di atas tanah

tersebut, yang mengakibatkan rakyat dan anak-anak mereka terlantar sebab

kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Bahkan pihak PTPN II dengan

seenaknya menanam pohon sawit dan karet dan hasilnya mereka nikmati tanpa

mempedulikan alas hak dan kehidupan rakyat beserta keluarganya. Karena pada

masa itu kondisi politik dalam negeri tidak memungkinkan untuk melakukan

perlawanan atas tindakan semena-mena tersebut, akibatnya rakyat merasakan

(23)

pecah reformasi tahun 1998 peluang untuk mengambil kembali tanah yang

dirampas tersebut terbuka, dengan terlaksananya Pertemuan Dengar Pendapat

Komisi A DPRD Tk. II Kabupaten Deli Serdang yang pada saat itu dihdiri oleh

Kepala Kantor Pertanahan DS., ADM PTPN II (Persero) Kebun Limau Mungkur,

Camat Kec. STM. Hilir, Kades. Tadukan Raga, Kades. Limau Mungkur, dan

Kades. Lau Barus Baru tentang permasalahan tanah rakyat pada tanggal 27

Oktober 1998, dimana telah menyebutkan beberapa poin diantaranya yaitu tanah

seluas lebih kurang 922 Ha tersebut tetap menjadi milik rakyat. Oleh karena tanah

seluas 922 Ha yang menjadi sengketa berada diluar areal tanah Hak Guna Usaha

(HGU) PTPN II , pada tahun 1999 tepatnya saat Replanting, tanah tersebut telah

diusahakan oleh rakyat sebagai alat produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Beberapa bulan berselang PTPN II kembali mengambil alih paksa tanah dengan

membabat habis tanaman palawija bahkan beberapa orang petani juga menjadi

korban.

Melihat kejadian itu rakyat melakukan gugatan Perdata kepada pihak

PTPN II untuk mengembalikan tanah serta membayar ganti rugi peminjaman yang

ditaksir sebesar 2,5 milyar rupiah lebih per tahun sejak tahun 1972 sampai ganti

rugi tersebut dipenuhi. Selain dari tuntutan diatas, rakyat juga menuntut ganti rugi

sebesar 500 milyar rupiah karena dianggap telah melanggar Hak Azasi Manusia.

Dengan tuntutan seperti itu maka PTPN II melakukan banding sampai akhirnya

mereka mengajuakn Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung. Pada

tahun 2005 rakyat kembali melakukan gugatan melalui pengadilan negeri Lubuk

Pakam dengan No. 69/PDT.G/2005?PN-LP yang memutuskan bahwa tanah

(24)

II dengan dalil bahwa pohon yang tumbuh diatas tanah tersebut adalah milik PT.

Secara otomatis tanah tersebut belum dipastikan milik siapa (terperkara) sehingga

kedua pihak tidak boleh menguasai lahan. Namun tindakan sepihak telah

dilakukan PTPN II melalui Perjanjian dalam bentuk Kerja Sama Operasional

(KSO) dengan Pihak Ketiga dengan isi perjanjian untuk memanen kelapa sawit

diatas tanah terperkara tersebut. Hal ini adalah tindakan melawan hukum.

Masyarakat yang merasa dirugikan segera memasuki lahan dan mencoba

menguasai tanah yang mereka anggap adalah milik mereka dengan alas hak yang

sah menurut hukum. Akan tetapi di lapangan masyarakat mendapat halangan dari

pihak aparat kepolisian dan TNI yang belum jelas alasannya mereka berada di

lokasi tersebut. Bahkan Aparat Kepolisian yang ada melakukan penangkapan

beberapa warga yang mencoba memanen sawit. Dengan senjata lengkap aparat,

akhirnya masyarakat dipaksa mundur dari lahan, dan pihak ketiga tersebut secara

bebas melakukan aktivitas memanen. Masyarakat kembali melakukan perlawanan

dengan menghadang truk pengangkut buah sawit dengan berbaris tanpa senjata.

Karena supir takut menabrak masyarakat yang sebagian besar adalah kaum ibu,

maka kendali diambil alih oleh salah satu aparat polisi dan serta merta menabrak

masyarakat yang melakukan perlawanan dan akhirnya 3 orang ibu-ibu menjadi

korban dan harus dibawa kerumah sakit. Kejadian ini lantas membuat masyarakat

sekitar menjadi trauma untuk datang ke lahan, bahkan nyaris ingin melupakan

haknya atas tanah. Sampai saat ini rakyat terus di intimidasi dengan aksi-aksi

(25)

Sepanjang terjadinya konflik agraria di beberapa daerah, tentu saja

perlawanan yang dilakukan para petani terhadap perampas tanah mereka berbeda.

Tidak terkecuali pada konflik agraria yang terjadi di Kecamatan STM HILIR

antara Petani Persil IV dengan PTPN II. Di mana konflik agraria ini melibatkan

perempuan sebagai salah satu pelaku konflik. Keterlibatan kaum perempuan

dalam konflik agraria antara Petani Persil IV dengan PTPN II menjadi sebuah

perjuangan yang menarik untuk diperbincangkan. James C. Soutt dalam hasil

penelitian sistematis STPN (2012:84) mengungkapkan bahwa perempuan sebagai

pengelola rumah tangga yang tinggal di dalam rumah menerima dampak paling

berat dari tekanan hidup akibat sengketa tanah. Selanjutnya James menjelaskan

dengan ketiadaan penghasilan utama yang diakibatkan oleh hilangnya lahan

pertanian mengharuskan perempuan untuk mencari siasat guna menyediakan

kebutuhan pangan keluarganya. Penjelasan James tersebut tidak menutup

kemungkinan hal itu menjadi salah satu dasar alasan perempuan untuk ikut serta

sebagai salah satu pemeran dalam konflik agraria. Secara alami perempuan

berpandangan bahwa ketika terjadi sengketa tanah yang melibatkan lahan

pertanian mereka berdampak pada kebutuhan hidup keluarga. Sehingga sebagai

salah satu anggota keluarga, perempuan juga mempunyai kewajiban untuk ikut

serta dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka.

Dalam banyak dokumentasi yang melibatkan perempuan dalam sengketa

tanah dan penggusuran lahan saat ini, penempatan perempuan di garda terdepan

menjadi sebuah bentuk perlawanan baru. Penempatan perempuan dijadikan

sebagai salah satu upaya mengusir petugas yang berusaha mengambil lahan

(26)

laki-laki maka ketika berhadapan dengan perempuan, kelelakian mereka merasa

terganggu Dian Aries Mujiburohman dkk. dalam hasil penelitan sistematis STPN

(2012:84). Kemudian perempuan menjadi sebuah senjata yang melibatkan aspek

psikologis dan naluri laki-laki yang tentu saja mempunyai hubungan dengan

perempuan sebagai anak, cucu, kakak dan adik. Sehingga dalam upaya

pengambilan lahan petani oleh petugas mengalami penundaan. Peranan

perempuan yang ikut menyuarakan perampasan tanah mereka merupakan salah

satu bukti eksistensi gerakan perempuan Indonesia. Terlepas dari isu-isu

kesetaraan gender, anti diskriminasi dan lain sebagainya yang disuarakan oleh

gerakan feminis di dalam masyarakat. Hal positif yang terjadi adalah perempuan

telah menjadi sebuah kekuatan baru bagi segenap perjuangan di dalam konflik

agraria tersebut. Melalui gerakan ini pula, pandangan tentang perempuan

setidaknya memberikan kesan yang berbeda. Perempuan tidak lagi dipandang

sebagai penunggu yang berada di dalam rumah dari tetapi secara aktif mereka ikut

berjuang bersama-sama.

Seperti halnya pada konflik agraria di Deli Serdang ini, keikutsertaan

perempuan tidak hanya berada di balik layar yang hanya memberikan dukungan

moral. Keterlibatan perempuan yang berperan dalam konflik agraria ini

menggalang kekuatan mereka dengan bergabung bersama Petani Persil IV. Secara

umum perempuan yang dipandang sebagai anggota masyarakat yang lemah

berubah menjadi sebuah senjata baru dalam perlawanan mereka. Peranan

perempuan sebagai salah satu anggota petani dilakukan dengan keikutsertaan

mereka berdemonstrasi dan pendudukan lahan. Selain itu, perempuan yang

(27)

perlawanan yang mereka lakukan. Keberadaan perempuan yang bersama-sama menggalang kekuatan dengan kaum laki-laki yang tergabung dalam Petani Persil

IV ini menjadi sebuah harapan untuk lebih didengarkan dalam menyuarakan

permasalahan mereka.

Beberapa bentuk perjuangan perempuan dalam konflik agraria telah

banyak didokumentasikan, namun sejauh ini belum banyak peneliti yang

mengupas sejauh mana keterlibatan perempuan didalamnya. Untuk itu, penelitian

ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang bentuk peranan dan

keterlibatan aktif perempuan di dalamnya. Selain itu penelitian ini hendaknya

mampu pula memberikan uraian tentang berbagai kegiatan dan peranan dalam

merumuskan perjuangan mereka ditengah-tengah para kaum laki-laki sebagai

upaya dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada latar belakang diatas, perlu

dilakukan pembatasan masalah yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan,

yaitu:

1. Bagaimanakah peranan perempuan dalam konflik agraria antara Petani

Persil IV dengan PTPN II di Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli

Serdang (Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak, Desa Lau Barus, dan

Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga)?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik

(28)

Kabupaten Deli Serdang (Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa

Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga)?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Dalam sebuah penelitian tentunya mempunyai tujuan dilakukannya

penelitian tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis peranan perempuan dalam konflik agraria Petani

Persil IV dengan PTPN II di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak, Desa

Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga, Kecamatan STM

Hilir Kabupaten Deli Serdang

2. Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam

konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Desa Limau Mungkur,

Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan

Raga, Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang

1.3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan mafaat, antara lain:

a. Manfaat teoritis:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang gerakan

perempuan dalam konflik agraria.

2. Sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan terhadap penelitian

(29)

3. Hasil penelitian ini daharapkan menjadi salah satu sumber informasi

terhadap penelitian selanjutnya.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan

penulis dalam membuat karya tulis ilmiah tentang peranan perempuan

(30)

2.1.Perempuan dalam Pemahaman Gender

Dalam keseharian masyarakat gender sering diidentikkan sebagai jenis

kelamin. Namun, pada hakikatnya gender berbeda dengan jenis kelamin atau sex.

Perlu diketahui bahwa seluruh fakta biologis yang terdapat di dalam tubuh

manusia baik laki-laki maupun perempuan merupakan pembedaan antara

keduanya, sedangkan gender merupakan pembedaan secara sosial antara laki-laki

dan perempuan di dalam masyarakat. Pengenalan kata gender ini sendiri pertama

kali dikenalkan oleh Ann Oakley dalam PESADA (2009:4)

Moore dalam Irwan Abdullah (2003:266) menyatakan gender berbeda

dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis dan

bukanlah sebuah korelasi yang absolut. Hal ini sebabkan oleh kebudayaan yang

dianut masyarakat berbeda-beda dalam penafsiran feminine atau maskulin. Secara

universal perempuan memang berbeda dari laki-laki tidak hanya dilihat dari jenis

kelamin tetapi dari pembawaan sifat keduanya. Gender sendiri diartikan sebagai

konstruksi sosiokultural yang membedakan antara karateristik feminin untuk

perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Hal inilah yang kemudian menjadi

sebuah pembagian peran di dalam masyarakat secara keseluruhan. Perbincangan

mengenai pembagian peran perempuan dan laki-laki di tengah-tengah masyarakat

saat ini menjadi penting mengingat kuatnya arus kesetaraan yang diisukan oleh

perempuan itu sendiri. Berbagai kalangan masyarakat mulai dari golongan

(31)

perempuan sebagi suatu yang penting untuk diperbincangkan. Dalam banyak

perbincangan tersebut kesetaraan gender menjadi sebuah wacana baru yang

banyak diperdebatkan oleh beberapa gerakan perempuan.

Merunut pada pembicaraan sebelumnya, kehadiran dasar pemikiran yang

membedakan antara kaum laki-laki dengan perempuan ini muncul dari berbagai

proses di dalam sosialisasi masyarakat, agama ataupun kultur sosial. Perbedaan ini

kemudian mengalami proses yang panjang di dalam masyarakat yang kemudian

dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dalam membedakan tindakan dan

pemikiran laki-laki dan perempuan. Masyarakat sebagai sebuah satuan kelompok

yang besar kemudian menciptakan pembagian sifat yang mana menjadi sebuah

keharusan untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian

diwariskan dari generasi ke generasi sebagai sebuah budaya yang tumbuh di

dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan ini lama kelamaan dianggap sebagai

sebuah alur pemikiran yang alamiah dan normal. Sehingga bagi sebagian

masyarakat yang tidak berada pada alur pemikiran tersebut dianggap tidak normal

atau melanggar kodratnya.

Kedudukan perempuan ini menjadi sebuah keharusan di tengah

masyarakat dengan pemikiran mereka tentang perbedaan laki-laki dan perempuan.

Kedudukan perempuan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang

ekonomi, budaya dan politis. Dari sudut pandang ekonomi, kedudukan kaum

perempuan berada di bawah laki-laki yang bermula pada ketergantungan

ekonomi. Charlotte P. Gilman, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Women

and Economic dalam Fajar Apriani (2008:118) apabila seorang perempuan

(32)

menjadi semata-mata kantung telur sebuah organisme tanpa daya untuk

mempertahankan rasnya. Hal ini diasumsikan Gilman bahwa sesungguhnya status

sekunder perempuan lebih berdasar pada masalah ekonomi dari pada sosial dan

budaya. Dari asumsi Gilman tersebut apabila ekonomi seorang perempuan lebih

dominan dari laki-laki maka perempuan mampu memegang kedudukan lebih

tinggi atau superior dari laki-laki. Selanjutnya Gilman manyatakan ketika seorang

laki-laki mulai memberi makan dan melindungi perempuan, secara proporsional

perempuan berhenti memberi makan dan melindungi dirinya sendiri. Artinya

apabila seorang perempuan menurunkan kemampuan mereka untuk menghidupi

serta melindungi diri sendiri maka mereka akan bergantung pada laki-laki.

Sebagai konsekwensinya perempuan harus menyenangkan dan patuh terhadap

laki-laki atas apa yang telah diberikan oleh laki-laki tersebut.

Dilihat dari perspektif budaya, seperti yang dikemukakan oleh William

dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (2009:8) budaya mengacu pada

perkembangan intelektual, spiritual dan estestis seorang individu, kelompok, atau

masyarakat yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan,

berkeyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang atau kelompok masyarakat.

Willian berpendapat bahwa segala kegiatan serta seluruh norma yang berlaku

pada masa kini adalah yang berakar pada masa silam. Haralambos dan Held dalam

Fajar Apriani (2008:120) menyimpulkan bahwa norma, nilai dan peran ditentukan

secara kultural dan di sampaikan secara sosial. Dilihat dari sudut pandang ini

perbedaan kedudukan kaum perempuan dengan laki-laki adalan sebuah produk

budaya dari pada produk biologis. Dimana masing-masing dari tiap individu

(33)

berdasarkan jenis kelamin yang ada di dalam masyarakat kemudian dibenarkan

oleh sistem kepercayaan yang mereka anut dan peran laki-laki dan perempuan

yang seperti itu adalah benar, layak dan patut.

Diane Elson dalam artikelnya yang berjudul Structural Adjusment : Its

Effect on Women (1991:42) mengatakan bahwa hubungan antara perempuan,

pasar dan negara adalah sesuatu yang kompleks.negara tidak selalu berjalan sesuai

minat perempuan dan pasar tidak selalu berjalan berlawanan dengan kepentingan

perempuan. Kompleksitas hubungan antara perempuan, pasar dan negara ini dapat

membawa sebuah rintangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam lingkup

politik. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kemadirian perempuan dalam bidang

ekonomi sehingga perempuan tidak layak untuk memperoleh akses pada sumber

daya seperti yang diperoleh laki-laki. Dengan demikian perempuan kehilangan

posisi tawar mereka dalam dunia politik apabila mereka tidak secara ekonomi

bergantung pada pihak lain.

2.1.1. Feminisme

Feminisme dan perempuan merupakan kesan yang muncul ketika

membicarakan gender. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu

sendiri. Berbicara feminism artinya membicarakan ideologi (bukan wacana)

karena bersifat gabungan dari proses kegiatan mata, hati dan tindakan yaitu

dengan menyadari, melihat, mengalami, adanya penindasan, hegemoni,

diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakan,

menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Lihat Arimbi

(34)

Neoloberalisme, Jakarta: DebtWATCH, 2004, halaman 5-6. Dinamakan gerakan

feminism (women) oleh karena adanya ketidakadilan yang dialami oleh

perempuan. Tetapi kemudian makna feminism mengalami perluasan sesuai

perkembangan zaman yaitu bukan hanya membela perempuan yang tertindas

tetapi siapa saja yang mengalami ketidakadilan baik laki-laki meupun perempuan.

Istilah feminisme sering menimbulkan prasangka, hal ini pada dasarnya

lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai arti feminisme yang

sesungguhnya. Pandangan bahwa feminis datang dari barat adalah salah, tetapi

istilah feminis dan konseptualisasi mungkin datang dari Barat bisa dibenarkan.

Dari sisi etimologis, feminisme pada dasarnya adalah paham mengenai wanita.

Namun, feminisme juga mengandung unsur gerakan. Dikatakan gerakan lantaran

tujuan feminisme dimaksudkan supaya pengalaman, identitas, cara berpikir dan

bertidak dilihat sama seperti kaum pria. Inilah yang dapat kita lihat dari gerakan

feminisme dewasa ini yang menuntut kesetaraan di bidang politik, sosial,

ekonomi, pendidikan dan budaya.

Catatan sejarah kaum perempuan telah memberikan sebuah kenyataan

bahwa sejak dahulu perempuan menjadi anggota masyarakat yang lemah, tidak

berdaya, bahkan menjadi yang ke-2 setelah kaum lelaki. Berbagai bentuk

diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil kerap diterima dalam kehidupan

mereka. Diskriminasi dalam keluarga yang lebih mengutamakan lelaki,

diskrimisnasi lingkungan, tidak adanya hak politik, permasalahan ekonomi dan

lain sebagainya adalah beberapa wujud nyata dari posisi perempuan yang tidak

menguntungkan. Berangkat dari kenyataan tersebut, muncullah beberapa

(35)

dengan isu emansipasi dan persamaan hak serta penghapusan segala bentuk

diskriminasi menjadi tuntutan mereka. Tuntutan inilah yang menjadi sebuah dasar

dari gerakan perempuan pada saat ini yang lebih dikenal dengan istilah feminisme

yang dalam PESADA (2010:2).

Selanjutnya, dalam memahami feminisme itu sendiri terdapat tiga istilah

yang sering membingungkan yaitu Feminine, Feminist dan Feminism. Menurut

Toril Moi (1985), Feminine diartikan sebagai kumpulan atribut yang ditujukan

kepada jenis kelamin perempuan dan ini menjadi pusat kritik para peminist.

Kamla Basin (1986) mengartikan feminist sebagai orang yang percaya mengenai

adanya ketidak adilan terhadap perempuan dan berusaha melakukan sesuatu

untuk meneranginya Sedangkan Rosemarie Tong (1989) mengartikan feminism

sebagai segenap teori dan perspektif yang menjelaskan mengenai penindasan

terhadap perempuan, mencari penyebabnya dan segenap konsekensinya serta

menawarkan strategi untuk membebaskan perempuan dari penindasan tersebut

dalam PESADA dvv Internasional (2009:17).

Munculnya gerakan kaum perempuan saat ini bermula dari gerakan

perjuangan kaum perempuan yang disebut dengan feminisme pada awal abad

ke-19. Tokoh yang paling terkenal pada gerakan kaum perempuan gelombang

pertama pada saat itu adalah Mary Wollstencraft dengan bukunya Vindication of

the Right of Women. Selanjutnya gerakan perempuan mulai meluas, sekitar tahun

60-an muncul pula gerakan kaum perempuan gelombang kedua dengan tokohnya

Betty Friedan dan diterbitkannya buku dengan judul The Feminine Mystique yang

(36)

tersebut memunculkan teori-teori feminis. Dalam feminism terdapat empat aliran

utama feminis, yaitu:

1. Feminis Liberal

Feminisme liberal bermula dari teori politik liberal dimana

manusia secara individu menjunjung tinggi, termasuk didalamnya nilai

otonomi, nilai persamaan dan nilai moral yang tidak boleh dipaksakan,

tidak diindoktrinasikan dan bebas memiliki penilaian sendiri. Dasar

pemikiran dari munculnya feminis liberal ini berawal dari kepercayaan

bahwa sumber penindasan terhadap perempuan berakar dari hambatan

hukum adat yang menghalangi kaum perempuan memasuki dunia publik.

Menurut Humm (1992:181) feminis liberal ini bertujuan untuk mencapai

kesetaraan secara hukum, politis dan sosial bagi perempuan. Selain itu,

para feminis liberal beranggapan bahwa tujuan dari pembebasan

perempuan adalah kesetaraan seksual dan keadilan gender.

Feminisme liberal sebagai turunan teori politik liberal, pada

mulanya menentang diskriminasi perempuan dalam perundang-undangan,

misalnya persamaan hak pilih, perceraian dan harta benda. Akan tetapi,

feminisme liberal menolak teori liberal tradisional yang menyatakan

bahwa hak adalah suatu pemberian yang didasarkan pada kemampuan

rasio atau akal, sehingga yang rasionya rendah tidak pantas menerima hak.

Reaksi keras diajukan feminisme liberal, bahwa ketidakmamupuan atau

rasio disebabkan oleh lingkungan pendidikan yang seksis dan melestarikan

ideologi gender. Hal ini jelas akan menghalangi semangat perempuan

(37)

feminis liberal bertujuan ingin menciptakan struktur ekonomi dan politik

yang adil dan menuntut adanya kesempatan yang sama bagi laki-laki dan

perempuan dalam kancah politik.

2. Feminis Radikal

Aliran ini muncul setelah WF2 (adanya penindasan pada kaum

perempuan dari sisi gender yang menimbulkan polemik dari kaum

perempuan secara teknis.) Dalam analisis Wollstonecraft (1972, dalam A

Vindication of The Rights of Woman) mengasumsikan bahwa hal yang

membedakan laki dan perempuan dari sagi nalar dan moral. Salah satu

aliran didalam feminisme ini adalah Feminis Radikal. Feminis radikal

yang lahir pada era 60-70an pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran

sebagai berikut:

a) Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas

adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan

dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis,

misalnya.

b) Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan

feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh

masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami

perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah

penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh

(38)

c) Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari

seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu

pola penindasan.

3. Feminis Sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa

Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa

Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem

pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas

harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang

menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme

Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul

sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.

Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan.

Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk

memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis

bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan

tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal

yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan

patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti

dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai

oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran

(39)

konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan

untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem

patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat

masalah-masalah kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

4. Feminis Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik

kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari

eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan

menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep

kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan

pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan

sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan

perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang

berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam

masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur

masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni

menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga

perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat

bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan,

namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem

(40)

2.1.2. Perkembangan Gerakan Perempuan Indonesia

Membicarakan tentang perkembangan gerakan kaum perempuan di

Indonesia tidak terlepas dari rentetan sejarah panjang perempuan itu sendiri. Jauh

sebelum adanya gerakan perempuan seperti saat ini, sebelumnya kedudukan kaum

perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi masyarakat di setiap daerah.

Penempatan kaum perempuan telah diatur sebagai sebuah aturan yang sah di

dalam norma-norma adat istiadat setempat. Selain itu, hak dan kewajiban

perempuan telah menempati posisi kedua setelah laki-laki bahkan dipandang lebih

rendah. Secara umum hal in terjadi hampir merata diseluruh daerah Indonesia.

Pada dasarnya gerakan kaum perempuan telah ada jauh sebelum munculnya

penjajah di negeri ini. Beberapa catatan tentang perempuan dibeberapa daerah

menyebutkan gerakan perempuan telah ada namun belum dilakukan secara

terang-terangan.

Secara umum, hampir semua bentuk gerakan rakyat Indonesia yang

muncul pada masa colonial Belanda bermula pada kritik seorang warga Belanda

yaitu C. Th. Van Deventer (1901) yang mengkritik pemerintahan kolonial

Belanda di tanah jajahannya. Kritikan van Deventer dituangkan dalam sebuah

tulisan yang berjudul Hutang Kehormatan. Kritikan inilah yang kemudian

menjadi sebuah gerbang pencerahan bagi segenap masyarakat Indonesia pada

saat itu. Kritik ini kemudian dikenal dengan istilah politik etis yang berisikan

edukasi (pendidikan), trasmigrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi.

Setelah munculnya pendidikan sebagai sebuah pencerahan bagi

masyarakat pribumi saat itu, baik langsung maupun tidak langsung memberikan

(41)

dalam kenyataanya tidak semua perempuan secara merata di seluruh daerah

Indonesia mendapat pendidikan formal. Akan tetapi dengan adanya sedikit ruang

bagi kaum perempuan untuk mengecap pendidikan formal maupun nonformal

memberikan sumbangan yang cukup baik bagi awal pergerakan perempuan pada

saat itu. Pelopor gerakan feminis pada masa ini adalah Kartini (1879-1904).

Secara umum, nama Kartini seorang perempuan Jawa putri Bupati Jepara selalu

dikaitkan sebagai tonggak awal bagi gerakan feminis di Indonesia. Setelah

wafatnya Kartini tulisan-tulisan serta surat-suratnya kepada sahabat penanya di

Belanda di terbitkan dengan judul Door duisternist tot licht (Habis Gelap

Terbitlah Terang). Kontribusi Kartini dalam awal mula gerakan feminis adalah

sebagai salah seorang yang mengobarkan semangat diantara kaum muda

Indonesia dan timbulnya gerakan feminis itu sendiri.

Selain Kartini, terdapat Dewi Sartika (1884-1947) yang menjadi seorang

pejuang pergerakan kaum perempuan. Jauh sebelum adanya gerakan feminis

mengemuka dan terorganisir Dewi Sartika telah banyak ketidakadilan pembagian

upah buruh antara laki-laki dengan perempuan dimana perempuan mendapat upah

lebih rendah dari laki-laki dalam pekerjaan yang sama beratnya mereka kerjakan

dalam buku yang berjudul Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian

dituliskan oleh Cora Vreede-De Strures (2008:75). Kedua perempuan diatas,

dianggap sebagai salah satu pelopor adanya gerakan feminis di Indonesia. Namun,

masih banyak perempuan lain yang tidak pernah dikenal telah memberikan

(42)

Berkaitan dengan perjuangan untuk meraih emansipasi perempuan

muncullah beberapa kelompok atau organisassi perempuan yang terorganisir

dengan baik. Pada tahun 1912 berdiri organisasi Putri Mardika di Jakarta.

Organisasi ini berdiri memberikan bantuan kepada kaum perempuan agar dapat

bersekolah dan melanjutkan sekolahnya serta memberikan semangat dan rasa

percaya diri untuk berperan aktif di dalam masyarakat. Selain itu muncul pula

beberapa organsasi perempuan dibeberapa daerah lain seperti Putri Budi Sedjati di

Surabaya, Keutamaan Istri di Sunda, Kerajinan Amai Setia pada tahun 1914 di

Kota Gadang Sumatera Barat dan lain sebagainya. Pada masa ini berdirnya sebuah

organsasi perempuan bertujuan meningkatkan martabat perempuan dengan

memberikan pendidikan di bidang rumah tangga, jahit-menjahit, kursus tentang

cara merawat dan mendidik anak dan lan-lain yang di acu oleh Cora Vreede-De

Strures (2008:87). Selain lembaga tersebut beberapa organisasi berbasis agama

pun turut serta memberikan sumbangan bagi bangkitnya gerakan perempuan. Dua

organisasi berbasis agama tersebut adalah Muhammadiyah yang didirkan oleh H.

Ahmad Dahlan pada tahun 1912 dan Sarikat Islam.

Pada masa kolonial ini pencapaian gerakan perempuan sangatlah baik,

banyaknya muncul organisasi perempuan diberbagai daerah kemudian melahirkan

kongres perempuan. Kongres perempuan pertama diselenggarakan di Yogyakarta

pada tahun 1928. Kongres ini dihadiri oleh hampir tiga puluh perkumpulan

perempuan dari berbadai daerah. Dalam kongres tersebut pembicaraan mengenai

masalah politik dibatasi, kongres lebih mengutamakan masalah pendidikan dan

perkawinan. Hasil terpenting dari adanya kongres ini adalah pendirian Perikatan

(43)

perempuan dan kehidupan keluarga. Beberapa hasil dari kesepakatan di dalam PPI

mengajukan permintaan jumlah sekolah untuk perempuan harus ditingkatkan,

penjelasan resmi mengenai taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan

dan peraturan yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai negeri

sipil harus dibuat. Selanjutnya tanggal 22 Desember adalah tanggal diadakannya

kongres perempuan pertama dan dikukuhkan sebagai Hari Ibu di Indonesia.

Selanjutnya kongres perempuan rutin diadakan setiap tahun.

Namun, pergerakan perempuan pada masa pendudukan Jepang di

Indonesia hanya mendapat sedikit peluang untuk berkembang. Satu-satunya

organisasi yang diizinkan berdiri adalah Funjikai (perkumpulan perempuan).

Perkumpulan ini berdiri dengan tujuan memerangi buta huruf dan ikut serta dalam

aktivitas sosial. Dengan adanya aktivitas tersebut berbagai kalangan perempuan

dapat berbaur dan lebih dekat. Selanjutnya pasca kemerdekaan Indonesia kaum

perempuan mempunyai peran yang penting dimana mereka bersatu untuk

membantu para pejuang digaris terdepan. Di bentuknya Palang Merah Indonesia

setelah kemerdekaan Indonesia berperan penting membentuk tim perawat yang

sangat dibutuhkan pada masa itu. Selain PMI perkumpulan yang populer pada

masa ini adalah Perwani (Persatuan Wanita Negara Indonesia) dan Gerwani

(Gerakan Wanita Indonesia).

Terlepas dari sejarah panjang kaum perempuan dalam berbagai kelompok

yang terorganisir atau tidak dari masa ke masa memberikan sedikit gambaran

bahwa gerakan feminis telah ada di Indonesia sejak dulu. Namun, perlu pula

dianalisis bahwa gerakan perempuan yang ada dari masa ke masa tentu saja

(44)

semua gelombang gerakan perempuan itu menuntut kesejahteraan bagi kaum

mereka. Pada saat ini, gelombang gerakan perempuan telah mempunyai

kebebasan dalam menyuarakan tuntutan mereka. Seiring dengan perkembangan

masyarakat yang semakin maju, saat ini banyak pula perempuan yang tidak

sepenuhnya terkait budaya kuno yang menempatkan posisi mereka berada

dibawah laki-laki. Perempuan tidak lagi berada dibalik bayang-bayang laki-laki

ketika mereka berada dalam kelompok masyarakat. Diberbagai aspek kehidupan,

perempuan mulai berdiri sendiri secara mandiri mengelola kehidupan mereka.

Terkait dengan gerakan perempuan pada saat ini, tentu saja tuntutan kaum

perempuan berbeda dengan masa sebelumnya. Beberapa gerakan perempuan

terfokus pada tuntutan mereka tentang anti diskriminasi, kesetaraan gender,

kebebasan dalam berpolitik dan beberapa tuntutan lainnya. Perkembangan

gerakan kaum perempuan saat ini telah menjadi sebuah gerakan yang mampu

memberikan sebuah kekuatan baru dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Secara umum, perempuan mulai berpolitik, berkarir secara mandiri dalam bidang

ekonomi tanpa ketergantungan terhadap laki-laki, berani untuk menyuarakan

argumen mereka bahkan mampu berdiri sejajar dengan barisan laki-laki.

Dalam panjangnya catatan perkembangan gerakan feminis di Indonesia,

wacana perempuan dalam gerakan memperjuangkan hak mereka yang rampas

banyak pula dibicarakan. Seorang perempuan telah mempunyai kewajiban

layaknya seorang laki-laki dalam berbagai gerakan yang menyangkut diskriminasi

dalam masyarakat. Seperti halnya wacana konflik agraria yang akan dibahas

selanjutnya, perempuan pun harus mampu mengambil bagian di dalamnya.

(45)

feminis seperti apa yang telah ada sebelumnya. Namun, adanya sebuah kesadaran

terhadap perampasan hak mereka merupakan sebuah tujuan dari feminism yang

menginginkan adanya kesadaran setiap perempuan dalam memperjuangkan hak

mereka.

2.2. Teori Konflik

Sebelum mengurai tentang teori konflik, terlebih dahulu kita mengurai arti

konflik tersebut. Konflik berasal dari kata kerja Latin yaitu configere yang

mengandung arti saling memukul. Sementara secara sosiologis konflik diartikan

sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, dimana satu pihak

berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya

tidak berdaya. Selanjutnya, Gunawan wiradi yang di acu dalam catatan ringkas

Ridha Wahyuni Penelitian Mengenai Konflik Agraria (2013:1) berpendapat

bahwa konflik selalu menjadi pusat perhatian dalam ilmu-ilmu sosial, berskala

luas dan dampaknya juga luas.

Dilihat dari dampak konflik yang terjadi, para ahli telah mengemukakan

jenis-jenis konflik yang timbul dalam masyarakat. Salah satunya menurut

Wirawan (2010) yang di acu oleh Yumi dkk (2012:8) mengemukakan beberapa

jenis konflik ditinjau dari berbagai aspek:

1. Aspek subyek yang terlibat dalam konflik

a. Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang

(46)

b. Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antar personal

dalam suatu organisasi, dimana pihak-pihak dalam organisasi

saling bertentangan;

c. Konflik of interest berkembang dari konflik interpersonal dimana

para individu dalam organisasi memiliki interest yang lebih besar

dari interest organisasi, sehingga mempengaruhi aktivitas

organisasi.

2. Aspek substansi konflik

a. Konflik realistis yaitu konflik dimana isu ketidak sepahaman/

pertentangan terkait dengan substansi/obyek konflik sehingga

dapat didekati dari dialog, persuasif, musyawarah, negosiasi

ataupun voting;

b. Konflik non realistis adalah konflik yang tidak ada hubungan

dengan substansi/obyek konflik, hanya cenderung mau mencari

kesalahan lawan baik dengan cara kekuasaan, kekuatan,

agresi/paksaan.

3. Aspek keluaran

a. Konflik konstruktif yaitu konflik dalam rangka mencari

danmendapatkan solusi;

b. Konflik destruktif yaitu konflik yang tidak menghasilkan atau tidak

berorientasi pada solusi, mengacaukan, menang sendiri dan hanya

Gambar

Gambar 2.1. Bagan Pendekatan Teori James Scout Dan Konsep Gender  Terhadap

Referensi

Dokumen terkait

Maraknya konflik agraria yang terjadi di Indonesia menimbulkan suatu permasalahan antara lain, bagaimana peranan tokoh adat sebagai mediator sosial dalam menyelesaikan konflik

Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pandangan Islam terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengatasi konflik agraria di kawasan

Gerakan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Dalam Konflik Tanah Dengan PTPN II.. Universitas

PERANAN TOKOH ADAT SEBAGAI MEDIATOR SOSIAL DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK AGRARIA YANG MELIBATKAN.. MASYARAKAT ADAT MULTIKULTURAL

Judul :Analisis Implementasi Nawa Cita Jokowi Terhadap Pembangunan Agraria (Studi Deskriptif: Konflik Tanah Di Desa Padang

mengikuti ketentuan mengenai persyaratan untuk mendapatkan sertipikat hak atas tanah. Konflik agraria yang dipicu karena persoalan pengalokasian lahan kepada pihak ketiga

Senada dengan Bedner dan Vel, dalam nama integritas keilmuan, harus diakui bahwa evaluasi konseptual pengembanan hukum demi keadilan dalam konflik agraria yang

Pembibitan Kelapa Sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi adalah.. sektor yang bekerja dalam kegiatan yang meliputi penyamian bibit