• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENTINGNYA MEMAJUKAN HIDUP DOA BAGI

A. Peranan Hidup Doa bagi Suster JMJ

1. Hidup doa merupakan integrasi.

Doa merupakan satu bentuk komunikasi antara Allah dan manusia. Sebab doa berarti perjumpaan pribadi dengan Allah. Allah mewahyukan diri dan manusia menanggapi pewahyuan itu. Doa sangat mutlak diperlukan oleh seorang biarawati, sebab dalam doa ia mampu memahami dan mengerti kehendak Allah

sehingga ia dapat melaksanakan apa yang menjadi kehendak-Nya. Doa sebagai salah satu nilai yang ada dalam injil, yang membantu seseorang untuk menghayati nasehat injili. Perjumpaan ini perlu dipupuk terus-menerus agar tidak salah langkah. Untuk itu dalam Konstitusi art. 34 dikatakan: ”Dalam doa orang memberi diri sehabis-habisnya, dalam iman, harapan dan cinta orang menyerahkan diri pada penebusan-Nya, berkenalan baik dengan pribadi-Nya, dan menjadi sadar bagaimana orang ikut membangun Kerajaan Allah dalam semangat-Nya.”

Dalam doa, semua pengalaman hidup diintegrasikan dalam pertemuan dengan Allah. Doa berarti usaha untuk mengenal dan mencintai Allah. Doa berarti hadir dengan seluruh pribadi dan kemampuan kepada Allah. Manusia terbuka kepada kedatangan Allah. Doa mencakup kemauan untuk mentaati sabda dan bimbingan Tuhan melalui dan di dalam pengalaman hidup. Integrasi rohani dalam doa mencakup seluruh aspek pribadi. Integrasi hidup ke dalam hidup rohani, berarti mengikuti bimbingan Roh ke dalam hidup kristiani, sejalan dengan jalan yang ditempuh Kristus yakni hidup dalam hubungan cinta dengan Allah (Darminta,1981:18-19).

Doa bagi Suster JMJ harus ditandai oleh kerinduan besar akan pelayanan di bidang kerasulan. Doa memberi kegairahan dan memurnikan orang dari semua cinta diri dan kepentingan sendiri. Doa tidak menduduki tempat yang terpisah dari tugas sehari-hari. Kalau manusia bisa berdoa dan sungguh-sungguh berjumpa dengan Tuhan, ia akan melihat jalan hidupnya dengan segala tantangan, tidak menjadi beban. Kalau hidup manusia mendalam akan menghasilkan hidup rohani

yang mendalam. Ia tetap dekat dengan Tuhan dan lingkungannya, bahkan semakin dekat dengan cinta personal dan masuk dalam pergaulan akrab dengan Tuhan.

Pendiri Societas Suster-suster JMJ yakni P. Matias Wolff, S.J juga mengajak para anggotanya untuk senantiasa memupuk sikap doa di dalam hati, beliau menegaskan:

”Seperti Tuhan kita Yesus Kristus hidup di tengah-tengah manusia, begitu juga seorang Suster JMJ dalam hidupnya tidak berbeda dengan orang lain. Seperti Tuhan sebagai putera Allah bersatu dengan Bapa, begitu pula seorang Suster JMJ harus bersatu dengan Tuhan dalam perhatian dan cintanya. Dicengkram oleh Tuhan dan dalam hati selalu membina kesediaan, yang mempengaruhi pekerjaan agar selalu berpedoman pada kemuliaan Allah. Sikap doa dalam hati harus tetap hidup dan nampak dalam usaha tanpa pamrih, lupa akan diri sendiri, penglihatan rohani yang tajam, rasa rindu akan Tuhan, peka terhadap bimbingan Roh, kebebasan jiwa dan semangat giat terhadap segala yang menambah kemuliaan Tuhan” (Konst. art.17).

Di sini mau dikatakan bahwa sebagai seorang religius, seorang Suster JMJ harus senantiasa bersatu dengan Dia yang memberi kekuatan, sehingga dengan kesatuan yang erat bisa mengalahkan kepentingan diri sendiri dan membiasakan diri untuk taat, berjiwa berani dalam segala kerasulan serta bijaksana dalam segala tindakan. Oleh karena itu orang menjadi peka terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian setiap orang Kristen dipanggil untuk menghayati hidup religius apostolis yakni karya penciptaan Allah yang tetap mencurahkan bentuk khusus cinta ilahi ke dalam hati, yang diwujudkan secara memadai dengan menjadi milik Kristus.

Louisie, (1989:60) dalam bukunya mengungkapkan bahwa :

”Hubungan khusus dengan Kristus bersifat khas dalam setiap kejadian, menyangkut semua kepribadian dan segi kehidupan sebagai religius apostolis. Berkat Roh Kudus hubungan menjadi mesra dan mendalam bila hidup semakin selaras dan sejalan dengan kehendak-Nya di tengah-tengah perjuangan bahkan melalui perjuangan, suka duka yang ditimbulkan dalam melaksanakan tugas perutusan. Kasih yang mengikat dalam hubungan cinta perawan dengan Kristus merupakan kasih yang menjadi sumber dinamis dari segala kegiatan apostolis dan menjadikannya doa.”

Menurut Louisie, para religius tidak mengabaikan kebutuhan berdoa, bertatap muka, berkontemplasi tentang Yesus. Kendati berbeda dengan panggilan rahib, panggilan dasar sebagai seorang religius apostolis adalah menyertai Kristus yang menjalankan utusan. Artinya, mereka diutus demi orang lain dengan melibatkan diri dalam salah satu kegiatan apostolis. Apabila kegiatan apostolis sungguh-sungguh disemangati oleh kesatuan dalam cinta Yesus dan berasal dari pada-Nya, maka kegiatan tersebut menjadi doa sejati. Kalau kegiatan yang dikehendaki oleh Tuhan merupakan doa karena berasal dari kasih, maka kasih mengikat seorang religius pada Kristus, dengan sendirinya menuntut agar manusia mengkhususkan waktu untuk berkontemplasi mengenai Kristus (Louisie,1989: 61).

Dalam doa, para religius terbuka serta peka terhadap karya Allah, semakin menyerupai hati dan budi Kristus, semakin melihat dengan mata Kristus, serta bersama dengan-Nya mencari kemuliaaan Bapa, sehingga semakin layak melaksanakan karya-Nya. Dengan demikian tidak ada pemisahan antara doa dan

karya, karena kedua-duanya diluluhkan dalam gerakan yang bersumber pada kesatuan dengan Kristus.

Perkembangan hubungan dengan Kristus merupakan integrasi doa dan kegiatan yang menuntut keakraban dengan sabda Tuhan yang mempunyai daya resap, memurnikan, mengarahkan dan menantang. Integrasi doa dan karya dalam kehidupan religius berkembang secara bertahap. Perkembangan tersebut sering disertai dengan kesulitan. Betapapun besarnya kesulitan yang dihadapi, jika dihayati sebagai jawaban jujur atas panggilan dan sebagai sikap hidup seperti Kristus, maka itulah ciri khas rasul sejati. Bukan hanya gaya hidup yang menjadi apostolis, tetapi juga hati terbuka pada Bapa. Keterbukaan itu terwujud dalam kesanggupan diutus untuk melaksanakan tugas perutusan yang menghidupkan. Selain itu, seorang rasul sejati terbuka terhadap bimbingan Roh kudus dan dengan penuh semangat menceritakan tanda-tanda yang menunjukkan bagaimana harus melanjutkan karya penyelamatan Allah di dunia ini ( Louisie, 1989:62-63 ).

2. Meningkatkan hubungan dengan Allah dengan segala peristiwa.

Hidup membiara merupakan salah satu cara dan bentuk kehidupan yang bertujuan mengejar kesempurnaan. Sesuai dengan bentuknya, kehidupan ini memiliki kekhasan bahwa hidup membiara harus mampu melaksanakan nasehat injili. Oleh karena itu, perwujudannya dilaksanakan melalui doa. Dengan doa, seorang rasul akan mampu mengerti dan memahami kehendak Allah sehingga dapat melaksanakan apa yang menjadi kehendak-Nya. Doa sebagai salah satu nilai yang ada dalam injili dapat membantu seorang religius untuk semakin mampu

menghayati nilai injili. Untuk itu perjumpaan dengan Allah perlu dipupuk terus-menerus agar tidak salah langkah sebagai seorang biarawan/i. Maka, doa hendaknya senantiasa mewarnai seluruh hidup seorang religius dalam menghayati panggilannya.

Dengan demikian, doa merupakan ikatan batin yang harus dihayati sebagai ungkapan kesatuan dan ikatan pemersatu. Doa yang benar merupakan perjumpaan dengan Tuhan. “Tuhan menjumpai aku dan aku menjumpai Tuhan”. Selama doa tidak melupakan perjumpaan dengan Tuhan, maka doa hanya akan menjadi rutinitas belaka. Kadang terjadi orang yang sudah puluhan tahun hidup membiara dengan acara dan hidup hariannya selalu beres, selalu pada waktunya, ternyata dia tidak berjumpa dengan Tuhan. Mengapa? Karena ia sekedar mendaraskan kata-kata dan hatinya tertutup, tidak ada pertobatan dan tidak membiarkan Tuhan di dalam lubuk hati untuk menyentuh dan menggerakan hatinya sehingga tidak rela mengampuni dan mencintai serta berlaku adil dalam belas kasih yang nyata.

Dalam konstitusi JMJ ditegaskan bahwa setiap suster perlu memajukan hidup doa lewat meditasi/renungan dan doa batin. Hal itu amat penting bagi kehidupan beriman. Maka setiap suster sekurang-kurangnya setengah jam berusaha menemukan Allah lewat kitab suci (Konst. art. 40). Mawas diri, adorasi dan devosi-devosi lainnya serta perayaan Ekaristi, sakramen tobat dan retret. Pilar-pilar tersebut hendaknya menjiwai kehidupan sebagai seorang religius yang membaktikan diri pada Allah (Mat 18:20, Konst. art. 37).

Darminta (1983:75-77) mengungkapkan: ”Berdoa dapat bermacam-macam bentuknya. Kalau memang benar hidup religius merupakan pembaktian kepada Allah maka berdoa sungguh merupakan praksis penghayatan hidup religius yang selalu mau terbuka kepada kehendak Allah.”Doa merupakan bentuk olah diri agar orang menjadi manusia rohani. Doa berfungsi untuk memperkembangkan pribadi manusia secara seimbang. Tanda-tandanya adalah sebagai berikut:

a. Sikap terhadap doa: orang tidak lagi memutlakkan metode doa, yang terpenting adalah doa yang paling mengena bagi dirinya sendiri. Dia selalu terbuka dengan penuh hormat pada metode yang lain. Ia senantiasa leluasa mencari metode yang sesuai dengan dirinya. Meski merasa sulit untuk berdoa, tetapi dia tetap tekun dan mengusahakan doa dan tetap percaya pada kekuatan Allah. b. Sikap terhadap kerja: pandangan orang yang berdoa secara benar terhadap kerja

mulai berciri religius. Kerja memang menuntut orang untuk berjerih payah, tetapi dialami sebagai kebaktian kepada Allah. Seluruh jerih payah pergulatan dan kesukaran dialami sebagai partisipasi dengan Kristus di salib. Kerja dialami sebagai yang mengubah dan memperkembangkan hidup rohani pribadi maupun hidup di dunia. Pengalaman akan Allah semakin dirasakan dalam keseluruhan hidup sehari-hari.

c. Sikap terhadap sesama: hidup yang berkembang baik. Orang semakin menemukan diri dan identitasnya dan juga mampu menemui orang lain sebagaimana adanya. Kemampuan untuk membina hubungan baik dan manusiawi dengan sesama merupakan perkembangan hidup rohani yang baik. Itu hanya mungkin bila orang berdoa.

Darminta, (1983:77-78) mengatakan bahwa ”Bila orang berdoa secara benar dalam keadaan apapun ia menyerahkan diri kepada tindakan Allah. Allah sendiri yang menata dan mencipta hidup manusia, menyelamatkan dan membebaskan.” Oleh karena itu, hasilnya nampak bahwa orang mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya. Tanda-tandanya dapat dilihat sebagai berikut:

a. Sederhana: orang yang bersikap sederhana ialah orang yang dalam tutur kata, perilaku dan tindakan ada keserasian. Ia melakukan semua itu dengan kesadaran yang mendalam. Apa yang dikatakannya keluar dari kedalaman hatinya, bukan hanya sekedar secara spontan dan dangkal. Kesederhanaan seseorang yang telah menguasai diri tampak dalam kemampuan membedakan mana yang pokok dan mana yang tidak pokok. Kemampuan itu akan memancar dalam tata kehidupan sehari-hari, seperti hidup teratur, tahu batas diri, tahu menerima kegagalan, tahu menyerahkan diri kepada Allah dan tidak malu minta bantuan.

b. Lepas bebas merupakan sikap orang yang sadar bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan menuju ke sesuatu yang lebih besar dan lebih baik.

c. Hening. Orang yang hening mempunyai kepekaan rohani dan dapat menempatkan segala sesuatu dalam tempatnya yang wajar.

d Taat. Hidup sederhana, lepas bebas dan hening membawa kejernihan dalam perilaku. Ia semakin mudah bersatu dengan Allah dalam hidup sehari-hari dan taat pada kehendak-Nya. Ketaatan keluar dari kedalaman hatinya yang sadar bahwa Allah selalu menyapanya. Ia menemukan Allah dalam setiap saat. Dengan demikian ia tidak mencari kepentingan diri sendiri, tetapi hanya mencari kemuliaan Allah.

e. Kehadiran yang membangun. Jika orang semakin diresapi oleh semangat dan sifat Allah, maka kehadirannya dapat membangun hidup orang lain. Lewat tutur kata, tingkah laku dan perbuatannya yang senantiasa mengarahkan orang kepada nilai-nilai kristen dan menumbuhkan kerinduan akan hal yang luhur.

3. Doa sebagai pengolahan hidup.

Doa sesungguhnya merupakan perjumpaan dan perjumpaan itu selalu membawa perubahan. Doa yang benar apapun bentuknya selalu kontak dengan Allah. Doa menumbuhkan seseorang, karena doa sendiri adalah peristiwa keselamatan. Kematangan seseorang terungkap dalam dan bersama Yesus pada saat akhir hidupnya.

Hidup penuh penyerahan diri kepada Allah dan penuh pengampunan kepada sesama adalah buah dari hati yang sepenuhnya telah dikuasai oleh Roh Allah. Pengampunan Allah merupakan kekuatan untuk mengembalikan segala

sesuatu yang tidak benar menjadi benar dan baik kembali (Mrk 7:37). Kuasa ilahi yang demikian semakin menguasai hidup manusia. Doa memiliki daya yang memancar dan membangkitkan daya hidup seseorang. Orang yang hidup rohaninya matang dan dewasa menyebarkan kehidupan, membela kehidupan dan bukan menyebarkan kematian. Sebagai seorang pendoa yang sejati, ia mampu menghargai dan menghormati kehidupan karena hidup dalam Roh Kudus berasal dari Allah.

Doa menjadikan seseorang memiliki cinta penuh pembelaan terhadap kehidupan. Percaya bahwa Allah yang hidup pasti menang berhadapan dengan kematian. Orang juga makin berani dan mampu seperti Yesus memikul kelemahan dan menanggung kerapuhan sesama (Mat 8:17), tanpa diseret oleh arus kelemahan dan kerapuhan yang membuat orang kurang pengampunan. Dengan demikian hati yang matang dibentuk oleh pengampunan Allah lewat doa-doa, sehingga ia semakin memancarkan kasih ilahi seperti sabda Yesus,” Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi yang menganiaya kamu...”(Mat 5:44-45). Doa menjadikan seseorang semakin memiliki hati kudus penuh kedamaian, sebab lewat doa dirinya rela dibentuk oleh sabda Tuhan (Darminta,1997:54-56). Dalam Konstitusi art.38 ditegaskan bahwa: ”Untuk mengembangkan kehidupan pribadi maupun hidup bersama kerap kali merasakan adanya ketidakmampuan. Kekurangan kita yang menyebabkan kita mengakui telah bersalah. Maka dalam sakramen tobat yang diterima, kita mengalami kerahiman rahmat dan pengampunan”.

Dengan demikian di sini mau diungkapkan bahwa perlunya memupuk sikap pertobatan terus-menerus agar hidup pribadi mengalami perubahan dan

perkembangan. Lewat sakramen-sakramen, seorang Suster JMJ perlu mengadakan perjumpaan dengan Tuhan (Konst. art. 36). Dengan demikian orang senantiasa meningkatkan doa pribadi maupun doa bersama. Dalam doa manusia berjumpa dengan Tuhan, perjumpaan bukan sekedar kebutuhan melainkan merupakan kerinduan yang ikut membangun Kerajaan Allah dalam semangat-Nya. Doa pribadi inilah yang mempersiapkan doa bersama dan karena pilihan orang untuk hidup bersama dalam pengabdian Kerajaan Allah maka doa bersama diperlukan. Darminta,(1981:48) mengungkapkan:”Bila doa pribadi dan bersama seimbang, maka keduanya membentuk semangat doa yang mampu mengubah hidup menjadi doa, baik hidup komunitas maupun hidup pribadi.”Diharapkan terus-menerus mengembangkan diri sebagai religius yang dewasa dan utuh (Konst. art.74).

Dokumen terkait