• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merupakan kegiatan terakhir yang meliputi :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Analisis LCA

4.4.5 Perbandingan Alternatif

Perbandingan alternatif berdasarkan analisis daur hidupnya (life cycle analysis, LCA) dilakukan terhadap tiga pilihan, yaitu pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional, beton semi pracetak, dan beton pracetak. Hasil karakterisasi (Gambar 41) menunjukkan bahwa hampir seluruh dampak lingkungan terbesar didominasi oleh kontributor proses pada pembuatan rusunawa menggunakan beton konvensional, kecuali pada dampak pengasaman dan sumberdaya. Penggunaan beton semi pracetak dan pracetak secara umum bisa mengurangi dampak terhadap lingkungan.

Gambar 41 Perbandingan hasil karakterisasi pada setiap alternatif.

Setelah dilakukan normalisasi (Gambar 42), terlihat bahwa dampak terhadap lingkungan didominasi oleh dampak kandungan racun lingkungan perairan kronis, kandungan racun lingkungan perairan akut, dan kandungan racun lingkungan tanah kronis. Penggunaan beton semi pracetak dan pracetak mampu mengurangi dampak tersebut secara signifikan. Penggunaan beton semi pracetak dan pracetak tersebut menurunkan tingkat dampak pada tingkatan yang hampir sama. Penggunaan beton semi pracetak sedikit lebih baik dibandingkan dengan penggunaan beton pracetak dilihat dari sisi dampaknya terhadap lingkungan berdasarkan daur hidup kontributor proses penyusunnya.

Gambar 42 Perbandingan hasil normalisasi pada setiap alternatif.

Hasil pembobotan menunjukkan bahwa dampak kandungan racun lingkungan perairan kronis akibat penggunaan beton konvensional sebesar 5,55 kPt bisa diturunkan menjadi 4,15 kPt jika menggunakan beton pracetak dan menjadi 4,06 kPt jika menggunakan beton semi pracetak. Hampir semua kontributor proses penggunaan beton semi pracetak dan beton pracetak bisa menurunkan dampak lingkungan antara 20% hingga 30% dibandingkan dengan penggunaan beton konvensional (Gambar 43). Hal yang sedikit berbeda terjadi pada dampak pengasaman, di mana penggunaan beton pracetak memiliki dampak terbesar (1,42 kPt) dibandingkan penggunaan beton konvensional (0,32 kPt) dan penggunaan beton semi pracetak (0,17 kPt).

Gambar 43 Perbandingan hasil pembobotan pada setiap alternatif.

Secara agregat, hasil skor tunggal juga menunjukkan penggunaan beton semi pracetak memiliki kinerja sedikit lebih baik dibandingkan dengan penggunaan beton pracetak dalam hal dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Dampak lingkungan secara keseluruhan yang ditimbulkan akibat daur hidup kontributor proses penggunaan beton konvensional sebesar 18,6 kPt. Hal ini bisa diturunkan menjadi hanya 13,8 kPt dengan penggunaan beton pracetak dan menjadi hanya 13,0 kPt dengan penggunaan beton semi pracetak (Gambar 44) dan Tabel 36.

Gambar 44 Perbandingan hasil skor tunggal pada setiap alternatif.

Tabel 36 Perbandingan kontributor utama pada setiap alternatif

Alternatif Pelaksanaan dan Bahan Bangunan Utama

Katagori Dampak Lingkungan (Pt) Racun perairan kronis Racun perairan akut Racun tanah kronis Konvensional: -besi beton -semen -aluminium 2.540 1.400 188 2.370 1.300 176 1.940 1.060 122 Semi Pracetak: -semen -besi beton -bata merah 1.440 1.110 510 1.340 1.040 477 1.100 847 389 Pracetak: -besi beton -semen

-keramik & sanitari

2.010 1.170 366 1.880 1.100 342 1.510 895 280

Kebutuhan Energi dan Pemanasan Global

Bahan bangunan diambil dari alam, diangkut ke pabrik, diolah menjadi bahan bangunan siap pakai, dipasang sebagai konstruksi, dipakai, dipelihara sampai dibuang kembali ke alam pada saat habis masa pakai sesuai siklus daur hidupnya, memerlukan sumber daya energi. Energi yang dibutuhkan dalam satu siklus tersebut untuk masing-masing alternatif adalah sebagaimana Tabel 37 (Moughtin, 2005)

Tabel 37 Kebutuhan energi setiap alternatif (KWh)

Beton Konvensional Beton Semi Pracetak Beton Pracetak

1.253.774 806.981 1.008.199

Konsumsi energi dengan menggunakan metoda beton semi pracetak lebih efisien bila dibanding dengan metoda beton pracetak dan metoda konvensional. Jika luas bangunan masing-masing alternative pembangunan rusunawa tersebut 4.600 m2, maka kebutuhan energi pembangunan sistem konvensional merupakan yang terboros dengan 272 KWh/m2, disusul sistem pracetak penuh 219 KWh/m2, dan yang paling hemat adalah sistem pracetak sebagian yaitu 175 KWh/m2. Kebutuhan energi konstruksi yang dianggap wajar untuk bangunan perumahan adalah 240 KWh/m2 (Sabbarudin 2011), sehingga pembangunan rusunawa dengan semi precast dapat dianggap memenuhi kriteria ramah lingkungan.

Energi tersebut dibutuhkan pada pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi, pengangkutan dari sumber pengambilan ke pabrik, dari pabrik ke distributor sampai ke lokasi kegiatan untuk pelaksanaan pembangunan konstruksi. Energi tersebut ada yang sudah berupa listrik untuk kebutuhan pabrikasi, maupun masih berupa bahan bakar fosil yang memerlukan pengolahan menjadi energi. Sumber energi primer Indonesia tahun 2005 adalah seperti Gambar 45.

Gambar 45 Konsumsi energi di Indonesia tahun 2005 (ESDM, 2006)

Energi yang dikonsumsi sebagagian besar berasal dari minyak bumi, yang menghasilkan polutan utama khususnya CO2 dan timbal. Kegiatan pembangunan konstruksi rusunawa tidak terlepas dari konsumsi energi yang berasal dari bahan bakar fosil. Tingginya konsumsi energi, disebabkan oleh adanya pemahaman keliru yang menyatakan bahwa Indonesia sangat kaya akan minyak, gas dan batubara, dimana cadangannya tidak akan pernah habis. Kita seringkali lupa bahwa untuk mendapatkan bahan bakar fosil kita harus menunggu ribuan hingga jutaan tahun. Sementara cadangan bahan bakar fosil yang ada saat ini di Indonesia (dan juga di dunia) sudah mulai menipis. Dengan cadangan terbukti sekitar 5 milyar barel dan tingkat produksi sekitar 500 juta barel, maka minyak bumi Indonesia akan habis kurang dari 10 tahun mendatang. Untuk gas alam dengan kapasitas produksi sekitar 3 TSCF, maka cadangan terbuktinya yang hanya 90 TSCF akan habis dalam 3 dekade (30 tahun) mendatang. Sementara, batubara dengan cadangan terbukti sebesar 50 ton hanya mampu bertahan selama 50 tahun, jika produksi tetap dipertahanan seperti sekarang yaitu sebesar 100 juta ton/tahun. Namun, seperti yang telah diuraikan di atas, pemanfaatan batubara akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan, karena menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi dibanding minyak maupun gas bumi (Meivina, 2004) sebagaimana

Tabel 38

Tabel 38 Kandungan emisi karbon tiap jenis bahan bakar

Jenis Bahan Bakar Emisi CO2/KWh (gr CO2)

Batubara 940

Minyak bumi 798

Pemanfaatan energi secara berlebihan, terutama energi fosil, merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim secara global. Hutan yang semakin terdegradasi akibat deforestisi, baik karena kejadian alam maupun penebangan liar, juga berakibat menambah jumlah gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer. Padahal di lain pihak, fungsi hutan juga sebagai penyerap emisi GRK yang utama. Selain itu pertanian dan peternakan serta sampah berperan sebagai penyumbang GRK berupa gas metana (CH4) yang ternyata memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida (CO2).

Dapat dikatakan kehidupan manusia saat ini tak bisa lepas dari energi listrik dan bahan bakar fosil. Ketergantungan itu ternyata membawa dampak yang buruk bagi kehidupan umat manusia. Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam dalam berbagai kegiatan, misalnya pada pembangkit-an listrik, transportasi dan industri, akan memicu bertambahnya jumlah emisi GRK di atmosfer.

Gas-gas rumah kaca (GRK) utama ini antara lain karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitroksida (N2O) dan CFC (Chlorofluorcarbon). Gas-gas ini akan menghalangi dan menyerap sebagian gelombang (panas) yang dipantulkan bumi ke luar angkasa akibat radiasi matahari. Radiasi matahari yang terperangkap dalam atmosfer bumi secara berulang kali ini akan terakumulasi dan menyebabkan peningkatan suhu bumi. Kejadian ini dikenal dengan istilah efek rumah kaca (green house effect). Berdasarkan pengamatan, CO2 merupakan GRK yang paling banyak berkeliaran di atmosfer. GRK sendiri banyak dihasilkan dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara). Selain itu, GRK juga dihasilkan dari pembakaran, penggundulan hutan, perubahan tata guna lahan, aktivitas pertanian dan peternakan, serta penggunaan alat-alat yang memakai CFC sebagai mana Gambar 46

Gambar 46. Penyebab utama emisi CO2 (Jatro 2010)

Secara glogal pelepasan GRK akibat konsumsi energi tersebut akan mendorong pemanasan global (global warming). Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim (Climate

Change). Perubahan temperatur permukaan bumi selama 3 abad terakhir

menunjukkan adanya peningkatan yang relatif drastis setelah adanya revolusi industri. Hal ini memiliki korelasi dengan dilepaskannya gas-gas rumah kaca ke atmosfer akibat kegiatan manusia sejak jaman revolusi industri hingga saat ini.

Perubahan iklim maupun pemanasan global merupakan proses yang berlangsung secara perlahan, dalam jangka waktu puluhan hingga ratusan tahun. Proses ini tidak terjadi dalam seketika, tetapi melalui proses sebab akibat yang cukup panjang. Berbagai kejadian bencana alam yang dipicu perubahan iklim dan kerusakan alam juga merupakan sebuah proses sebab dan akibat. Jika proses ini dibiarkan, maka bencana akan terus menerpa kita dengan intensitas dan magnitude yang makin besar. Mereduksi bahkan kalau mungkin menghilangkan penyebab pemanasan global adalah salah satu cara memperbaiki kondisi iklim yang tidak beraturan. Hal ini diharapkan akan mereduksi bencana alam yang dipicu ketidakteraturan iklim tersebut. Di sisi lain, memperbaiki sistem kesetimbangan lingkungan juga hal yang perlu dilakukan.

Berhemat dalam menggunakan bahan bakar dan energi, memerangi penggundulan hutan, serta tidak mendukung penggunaan peralatan yang menggunakan CFC merupakan contoh-contoh aktifitas dalam menghambat pemanasan global. Mempersiapkan diri dan masyarakat akan datangnya bencana juga dapat mereduksi korban jiwa yang bisa ditimbulkan. Sesungguhnya kebijakan tentang hal tersebut sudah banyak dituangkan dalam berbagai bentuk konvensi PBB. Bahkan pemerintah Indonesia telah banyak meratifikasinya dan membuat berbagai strategi pembangunan yang berkaitan dengan hal tersebut. Hal ini tidak akan serta merta memperbaiki kondisi iklim dan lingkungan, serta menghentikan bencana secara seketika. Diperlukan proses dan keteguhan dalam melaksanakannya. Saat ini yang diperlukan adalah pelaksanaan dari semua peraturan tersebut, serta niat baik seluruh kalangan masyarakat untuk mendukung pelaksanaannya. Mulai berhemat dalam penggunaan listrik dan kendaraan akan membantu mengurangi emisi GRK. Bahkan sebatang pohon yang ditanam dan dirawat di halaman rumah kita, mungkin saja suatu saat akan menyelamatkan kita dan anak cucu kita dari bencana yang akan datang.

Hasil penelitian tentang potensi dampak yang ditimbulkan berdasarkan LCA dan kebutuhan energi masing-masing alternatif, terlihat bahwa pembangunan rusunawa dengan metoda beton semi pracetak lebih ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan pemakaian bahan bangunan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan kebutuhan energi pada alternatif beton semi pracetak lebih sedikit bila dibandingkan dengan metoda beton konvensional dan pracetak.

4.5. AHP

Penelitian ini bertujuan menentukan alternatif pelaksanaan pembangunan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan berdasarkan preferensi pakar. Preferensi pakar ini dikaji menggunakan AHP untuk menentukan alternatif prioritas kebijakannya (Saaty, 1991; Muhammadi et al., 2001; Marimin, 2005; Eriyatno & Sofyar, 2007). AHP salah satu teknik analisis yang merupakan bagian dari pendekatan sistem(Eriyatno, 1999; Jackson, 2000).

Struktur hirarki yang dihasilkan dalam FGD, dianalisis dengan metode AHP menurut Saaty (1993). Menurut Marimin (2005) dan Latifah (2005), prinsip kerja

AHP terdiri dari penyusunan hirarki (decomposition), penilaian kriteria dan alternatif (comparative judgement), penentuan prioritas (synthesis of priority), serta konsistensi logis (local consistency). Hal ini akan dilakukan terhadap semua preferensi menggunakan bantuan perangkat lunak Criterium Decision Plus v3.04. Pada analisis AHP, responden ditentukan berdasarkan keahlian dan pengetahuan mereka tentang pemilihan jenis pemukiman dan teknologi pembangunannya, khususnya penggunaan teknologi beton. Pakar yang dipilih sebagai responden sebanyak 20 orang pakar yang mewakili pihak pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat, dan dunia usaha.

Semua hal tersebut dijadikan bahan untuk merumuskan arahan kebijakan model pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hasilnya akan menggambarkan struktur kriteria dan alternatif, serta pembobotan dari strategi pengembangan rusunawa ramah lingkungan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi. Hal ini akan membantu pemilihan alternatif prioritas, serta penyusunan strategi secara sistemik guna dijadikan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pengembangan rusunama saat ini dan di masa mendatang.

Pembangunan rusunawa sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan perumahan di kawasan perkotaan, telah lama dikembangkan pemerintah, khususnya lagi setelah pencanangan pengembangan 1.000 menara rusuna. Rusunawa yang akan dikembangkan adalah yang direncanakan memenuhi aspek-aspek keberlanjutan, yaitu hemat energi, hemat sumber daya alam, nyaman dan aman serta seminimal mungkin menghasilkan limbah dan sampah (green building). Menurut Ignes (2008), bangunan yang berkelanjutan haruslah memiliki konsep sebagai berikut: (1) Pemilihan material yang low energi -embody; (2) Orientasi tata letak bangunan; (3) Hemat energi; (4) Hemat penggunaan air; (5) Memiliki recycle air buangan; (6) Penanganan sampah 3 R; (7) Low heat dissipation; (8) Memperhatikan unsur iklim lokal; (9) Penggunaan HVAC yang ramah ozon; (10) Memiliki juklak/SOP pengoperasian bangunan dengan spirit penghematan energi dan sumber-sumber yang digunakan.

Di lain pihak, permasalahan pemanasan global juga sampai saat ini belum menemukan solusi terbaik. Pertemuan para kepala negara dan pemerintahan di Kopenhagen, Denmark beberapa waktu lalu, belum menghasilkan kesepakatan

bersama yang mengikat untuk mengurangi emisi CO2, sebagai salah satu gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global sampai perubahan iklim. Indonesia sebagai salah satu peserta, berpartisipasi secara mandiri akan mengurangi emisi CO2 sebesar 26% pada 2020, melalui pengurangan laju luasan hutan (deforestasi), baik dengan penebangan pohon, maupun akibat kebakaran.

Melihat kondisi tersebut dan kaitan dalam mencapai target pembangunan 1.000 menara rusuna, maka diperlukan suatu optimasi atau eksplorasi tata cara pembangunan yang ramah lingkungan, seminimal mungkin menggunakan sumberdaya alam, khususnya kayu dan besi. Salah satu metoda pelaksanaan konstruksi yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan sistem beton pracetak (pre cast). Dengan sistem beton konvensional dibutuhkan lebih banyak kayu untuk cetakan beton berikut penyangganya, biasanya cetakan kayu ini hanya bisa dipakai 1-2 kali saja, selanjutnya dibuang, karena setelah dipakai akan terjadi perubahan bentuk dan sifat akibat air beton.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat bukti potensial akan manfaat teknologi dan sistem beton pracetak ini (Nurjaman dan Sijabat, 2007). Dengan demikian diharapkan, selain secara perencanaan sudah ramah lingkungan (green design), secara pelaksanaan konstruksi juga ramah lingkungan (green

construction). Berkurangnya pemakaian bahan bangunan pada sistem ini,

khususnya kayu, sudah barang tentu akan mengurangi penebangan pohon di hutan (deforestasi), sehingga memberikan kontribusi dalam mempertahankan luasan hutan, yang berfungsi sebagai penyerap CO2.

Berbagai kajian dijadikan dasar dalam menyusun struktur hirarki penentuan alternatif kebijakan yang selanjutnya dianalisis menggunakan teknik AHP. Hasil proses hirarki analisis (AHP) menunjukan penilaian gabungan kriteria dan alternatif memiliki tingkat konsistensi yang baik, dengan nilai rasio konsistensi (CR) berkisar antara 0,00 hingga 0,089 pada semua elemennya. Penilaian ini menghasilkan nilai pembobotan pada setiap elemen, sekaligus memberikan gambaran prioritas pada setiap elemen tersebut. Hasil analisis AHP pemilihan bahan rusunawa ramah lingkungan disajikan pada Gambar 47.

125

Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut pendapat para pakar, dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan, aktor yang paling berpengaruh adalah pemerintah (0,473). Stakeholders lain yang cukup berperan adalah pelaku usaha (0,153). Pihak akademisi (0,154), pengelola (0,129), dan masyarakat (0,091) memiliki peran yang lebih kecil dalam pengelolaan. Prioritas pendapat pakar dalam pengembangan rusunawa disajikan pada Gambar 48.

Gambar 48 Prioritas pendapat pakar dalam pengembangan rusunawa.

Pemerintah menjadi prioritas utama. Hal ini disebabkan pemerintah mempunyai peran dalam pembuatan peraturan dan kebijakan yang terkait dengan penyelenggaraan perumahan. Kewajiban pemerintah dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat adalah mengadakan menyelenggarakan pembangunan secara adil untuk peningkatan kehidupan masyarakat dengan mengacu kepada UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sugandhy dan Hakim (2009) mengemukakan bahwa pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya pemberdayaan bagi berlangsungnya seluruh rangkaian proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Peran pemerintah sangat besar karena penyediaan material yang ramah lingkungan (ecoproperty) butuh biaya yang besar sehingga sulit dilakukan tanpa adanya dukungan pemerintah. Pemerintah perlu memberikan intensif bagi pengembangan untuk menekan biaya produksi.

Pelaku usaha juga merupakan stakeholder yang berperan penting dalam pembangunan fisik rusunawa, dalam pembangunan rusunawa diharapkan menggunakan material yang ramah lingkungan, desaian bangunan yang hemat energi, sehingga kelestarian lingkungan akan tetap terjaga. Stakeholder yang berpengaruh selanjutnya akademisi, hal ini disebabkan oleh karena adanya penelitian tentang pengembangan tekhnologi bahan bangunan yang ramah terhadap lingkungan. Mantera (2003) menyatakan bahwa dalam upaya menjaga perubahan lingkungan hidup, perkembangan teknologi yang merupakan hasil temuan ilmu pengetahuan memerlukan suatu penetapan prioritas riset dan mengusulkan penyelesaian bagi masalah jenis konstruksi dan bahan bangunan serta peran konstruksi dan bahan bangunan yang berwawasan lingkungan.

Pengelola juga merupakan stakeholder yang mempunyai peran sebagai pengelola rusunawa. Masyarakat mempunyai peran yang sangat kecil diantara kelima stakeholder tersebut. Hal ini disebabkan masyarakatlah yang akan menghuni bangunan tersebut. Masyarakat mengharapakan mendapat tempat tinggal yang sehat, nyaman dan asri dilingkungan yang sehat.

Hasil analisis AHP terhadap faktor-faktor dalam pengembangan rusunawa yang menjadi prioritas utama adalah kebijakan pemerintah, sumberdaya manusia, ekonomi masyarakat, sumberdaya alam, kebutuhan perumahan dan terakhir teknologi konstruksi. Faktor-faktor dalam pengembangan rusunawa disajikan pada Gambar 49.

Pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan berdasarkan faktor-faktornya harus memperhatikan aspek kebijakan pemerintah sebagai faktor dominan. Hal ini terlihat dari pembobotan setiap elemen yang menunjukkan elemen kebijakan pemerintah memiliki bobot paling besar yaitu 0,220. Kebijakan pemerintah menjadi faktor dominan guna mencapai keberhasilan pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantera (2003) yang menyatakan bahwa sasaran jangka panjang dan menengah kebijaksanaan perumahan dicapai melalui pelaksanaan umum, strategi dan program kegiatan. Prinsip arah kebijaksanaan dan strategi bidang perumahan didasarkan pada Rencana Pembanguan Jangka Menengan Nasional 2014 yang melandasi pembangunan sektor perumahan dan permukiman serta terpadu.

Sumber daya manusia perumahan mepunyai bobot nilai sebesar 0,157. Hal ini disebabkan sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor dalam pembangunan rusunawa. Dalam rangka mencapai hal tersebut sangat diperlukan sumber daya manusia yang handal untuk mewujudkan pembangunan rusunawa. Menurut Ervianto (2006) mengemukakan penggunaan metode yang baru dalam pembangunan rusunawa membutuhkan sumberdaya yang mampu merancang dan melaksanakannya. Kemampuan ini dapat diperoleh dengan ikut serta secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan/pelaksanaan tekhnologi baru. Kota Batam merupakan salah satu kota yang berkembang pesat saat ini. Pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan, sehingga kebutuhan akan perumahan menjadi salah satu prioritas bagi masyarakat di Kota Batam.

Ekonomi masyarakat mempunyai bobot nilai sebesar 0,155. Dalam pembangunan rusunawa harus memperhatikan kemampuan masyarakat yang berpenghasilan menengah kebawah dan berpenghasilan rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wiwik dan Isnawati (2003) bahwa dalam pembangunan rusunawa, teknologi yang digunakan harus murah, terjangkau dan disesuaikan dengan kebutuhan golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Selanjutnya faktor sumber daya alam sebesar 0,154. Pembangunan rusunawa diharapkan secara teknis menggunakan pedoman teknis dengan standar industri indonesia, dimana perlu melakukan penyesuaian dengan perkembangan

tekhnologi, jenis konstruksi dan bahan bangunan. Sumber daya alam yang digunakan berasal dari lokal yang banyak didapat dari alam atau bahan organik dengan mudah didaur ulang sehingga tidak merusak lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mantera (2003) jasa konstruksi yang tepat bagi masyarakat berdasarkan lokasi, waktu, keadaan dan tepat berdasarkan sumber daya yang ada. Demikian juga terhadap bahan baku/bahan bangunan dipergunakan disesuaikan dengan potensi lokal untuk dapat membantu pembangunan agar dapat menjadi berkelanjutan.

Terakhir adalah faktor teknologi konstruksi sebesar 0,150. Salim (1979) menyatakan dari sisi teknologi pemilihan bahan sebaiknya menghindari adanya toksin atau racun dan diproduksi tidak bertentangan dengan alam. Penekanan peran sains dan teknologi dalam pembangunan permukiman adalah mencapai perlindungan lingkungan dan perkembangan manusia terutama dalam pengembangan teknologi tepat guna. Selanjutnya pembangunan diarahkan kepada upaya menekan biaya serendah-rendahnya dengan mutu bangunan yang memadai serta mengurangi dampak lingkungan yang merugikan. Sementara itu faktor teknologi dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan mempunyai pengaruh tersendiri.

.Hasil analisis AHP terhadap tujuan dalam pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan adalah pemeliharaan kualitas lingkungan mendapat prioritas utama 0,386), selanjutnya penggunaan SDA (0,262), hemat energi (0,219) dan prioritas terakhir pemenuhan koefisien dasar bangunan (0,133). Tujuan dalam pengembangan dalam pengembangan rusunawa disajikan pada Gambar 50.

Gambar 50 Tujuan dalam pengembangan rusunawa.

Berdasarkan aspek tujuan, maka pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan harus memperhatikan terjaganya kualitas lingkungan. Hal ini sangat penting dilakukan, agar terjadi keseimbangan dan kelestarian alam. Pemilihan material yang ramah lingkungan sebagai bahan baku sebaiknya menghindari adanya toksin atau racun dan diproduksi tidak bertentangan dengan alam (Salim 1979). Sebagai contoh, minimalkan penggunaan bahan bangunan yang berpotensi menimbulkan limbah besar seperti semen, besi beton dan aluminium. Memperbanyak taman hijau dan taman yang memang di butuhkan untuk mengatur keseimbang lingkungan sekitar.

Tujuan selanjutnya adalah efisiensi penggunaan sumber daya alam (0,262). Pembangunan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan harus hemat dalam penggunaan sumber daya alam, dengan desain bangunan yang efisien dan seminimal mungkin menggunakan sumberdaya alam. Desain harus bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya seluruh siklus hidup bahan bangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan sampai pembongkaran. Penggunaan material bangunan, akan berkaitan dengan dua katagori lainnya, yaitu penggunaan material lokal dan meminimalisi penggunaan kayu baru. Penggunaan material lokal dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak, untuk transportasi yang pada akhirnya menghemat biaya. Hal ini disebabkan oleh penggunaan material lokal

akan memperpendek jarak tempuh kendaraan yang digunakan dalam proses pengiriman. Mengurangi penggunaan material kayu berkaitan dengan konservasi hutan.

Aspek penggunaan energi yang hemat (0,219). Desain bangunan rusunawa yang hemat energi dapat dilakukan melalui membatasi lahan bangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisien bahan dan material