• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merupakan kegiatan terakhir yang meliputi :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7 Sistem Dinamik Pengelolaan Rusunawa Melalui Konstruksi Ramah Lingkungan

4.7.2 Sub-sistem Lingkungan Fisik

Sub-sistem lingkungan fisik terdiri dari parameter utama berupa meningkatnya kebutuhan pemukiman yang berdampak pada lingkungan, seperti penggunaan lahan dan bahan bangunan, serta dampaknya terhadap penyerapan karbon dioksida (CO2). Pertumbuhan penduduk yang mendorong pertumbuhan tenaga kerja, pada akhirnya juga mendorong kebutuhan penyediaan pemukiman bagi penduduk termasuk para tenaga kerja tersebut. Penyediaan pemukiman tentu saja membutuhkan lahan bagi pembangunannya. Kebutuhan pemukiman bagi tenaga kerja bisa melalui pembangunan rumah tapak (landed house) atau rumah susun (rusun). Pilihan pembangunan jenis rumah ini berimplikasi pada kebutuhan lahan yang akan digunakan.

Selain kebutuhan lahan, pembangunan pemukiman juga akan mendorong pemanfaatan sumber daya alam sebagai bahan bangunan. Salah satunya adalah pemanfaatan kayu sebagai bahan bangunan. Pemanfaatan kayu sebagai bahan bangunan juga akan sangat bervariasi, tergantung pilihan jenis rumah dan teknologi yang digunakan. Rumah tapak memerlukan kayu lebih banyak dibandingkan dengan rusun. Rusun dengan beton konvensional juga memerlukan kayu lebih banyak dibandingkan rusun dengan beton semi pracetak. Ditinjau dari aspek lingkungan, penghematan penggunaan kayu ini akan berdampak pada berkurangnya penebangan pohon atau penggundulan hutan. Keuntungan ini akan berlanjut dengan terjaganya fungsi pohon sebagai penyerap CO2 di alam.

Pemukiman

Hasil simulasi terhadap kebutuhan dan pemenuhan pemukiman bagi penduduk di Kota Batam disajikan pada Gambar 58. Kebutuhan pemukiman direpresentasikan dalam bentuk unit rusun/rumah tapak berdasarkan jumlah pertumbuhan penduduk yang diperkirakan belum memiliki rumah (tenaga kerja dan non tenaga kerja). Secara umum, hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk mendorong kebutuhan pemukiman, termasuk pemukiman bermasalah (rumah liar, ruli).

Gambar 58 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman tenaga kerja di Kota Batam.

Berdasarkan asumsi 30% dari jumlah tenaga kerja di Kota Batam belum memiliki rumah, maka bisa disimulasikan kebutuhan unit rumah setiap tahunnya. Kebutuhan unit rumah hasil simulasi diperkirakan mencapai 63.367 unit (rumah tapak atau rusun) pada tahun 2010 untuk semua tenaga kerja yang belum memiliki rumah. Jika tidak dilakukan pemenuhan terhadap kebutuhan pemukiman, diperkirakan kebutuhan pemukiman tersebut akan meningkat menjadi 300.867 unit rumah pada tahun 2030. Hal ini juga akan berdampak pada bertambahnya rumah bermasalah di Kota Batam.

Tabel 46 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman tenaga kerja di Kota Batam. Tahun Kebutuhan Unit Rusun TK (unit) Rumah Bermasalah TK (unit) Pengurangan Rumah Bermasalah TK (unit) Pemenuhan Unit Rusun (unit) Unit Rusun Belum Terpenuhi (unit) 2010 63.366,60 12.673,32 9.793,32 2.880,00 60.486,60 2015 93.538,17 18.707,63 9.918,57 8.789,06 84.749,10 2020 138.075,72 27.615,14 793,05 26.822,09 111.253,63 2025 203.819,53 40.763,91 0 81.854,52 121.965,00 2030 300.866,79 60.173,36 0 249.800,18 51.066,61 2010 2015 2020 2025 2030 0 100.000 200.000 300.000

Kebut uhan Unit Rusun TK Pem enuhan Unit Rusun TK Kebut uhan Rum ah Non TK Unit Rusun TK Belum Terpenuhi

Rum ah Berm asalah TK

Pengurangan Rum ah Berm asalah TK

Ta h u n Ju m la h Ru m a h ( u n it )

Kebijakan pemenuhan kebutuhan pemukiman tenaga kerja di Kota Batam akan diakomodasi dengan pembangunan twin block (TB) rusun. Setiap rusun diasumsikan memiliki 96 unit rumah tinggal beserta fasilitas umumnya. Saat ini terdapat 30 TB rusun eksisting yang terdiri dari 2.880unit rumah tinggal dan bisa menampung 11.520 jiwa tenaga kerja. Jika dilakukan pengembangan rusun secara bertahap, maka akan ada pengurangan kebutuhan pemukiman setiap tahunnya. Hal ini bisa terjadi, jika prosentase peningkatan pembangunan rusun lebih besar dari prosentase peningkatan jumlah penduduk di Kota Batam.

Menurut Dinas Tata Kota Batam (2009) diperlukan sedikitnya 756 unit TB untuk memenuhi kebutuhan pemukiman tenaga kerja pada tahun 2011. Jika kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dalam waktu 20 tahun, maka setidaknya pemerintah harus membangun rata-rata 38 unit TB rusun atau rata-rata 3.629 unit rumah tinggal setiap tahunnya. Hal ini sebanding dengan pembangunan TB rusun sebanyak 127% per tahun dari kondisi eksisting yang ada (30 unit). Kondisi ini belum termasuk pertumbuhan kebutuhan pemukiman akibat peningkatan jumlah tenaga kerja setiap tahunnya.

Keterbatasan pemerintah dalam membangun pemukiman yang hanya mencapai 25% unit TB rusun dari kondisi eksisting yang ada akan menghasilkan 8.789 unit rumah tinggal atau setara 92 unit TB rusun pada tahun 2015. Jika hal ini terus dilakukan maka pada tahun 2030 akan dicapai pembangunan sekitar 249.800 unit rusun atau setara 2.602 unit TB rusun. Hal ini setara dengan pemenuhan 83% kebutuhan rusun pada tahun 2030.

Pemenuhan kebutuhan tersebut bisa menekan angka kebutuhan pemukiman dari tahun ke tahun. Hal ini juga akan mengurangi keberadaan rumah bermasalah yang jika dibiarkan diperkirakan akan berkembang hingga sekitar 60.173 unit pada tahun 2030. Penerapan kebijakan pembangunan pemukiman sebanyak 25% setiap tahun tersebut diharapkan mampu mengurangi hingga menghapuskan keberadaan rumah bermasalah pada tahun 2020.

Penggunaan Lahan

Kebutuhan akan pemukiman juga akan mendorong kebutuhan terhadap luas lahan pemukiman. RTRW 2004-2014 Kota Batam telah mengalokasikan lahan

pemukiman sebesar 14.136,14 ha (141.361.400 m2) dari 47.325,27 ha lahan kawasan budidaya. Luas alokasi lahan pemukiman ini setara dengan 13,61% dari luas keseluruhan wilayah Kota Batam (103.843,22 ha) atau setara 25% dari luas kawasan budidaya (56.517,95 ha).

Kebutuhan lahan pemukiman yang disimulasikan sebelumnya akan mengurangi alokasi lahan pemukiman yang tersedia di Kota Batam. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam Tahun 2004-2014 (Perda Kota Batam Nomor 2 tahun 2004). Menurut RTRW Kota Batam, alokasi lahan pemukiman seluas 14.136,14 ha atau sekitar 13,61% dari luas keseluruhan Kota Batam.

Hasil simulasi menunjukkan alokasi luas lahan pemukiman akan segera habis digunakan sekitar tahun 2023 jika pemenuhan kebutuhan pemukiman dipenuhi menggunakan rumah tapak (Gambar 59). Hal ini bisa diantisipasi dengan menerapkan pemenuhan melalui rusun yang hingga tahun 2030 baru mencapai 12.970,05 ha, atau masih menyisakan sekitar 1.166,09 ha alokasi lahan pemukiman (Tabel 44).

Gambar 59 Hasil simulasi kebutuhan lahan pemukiman di Kota Batam.

Setiap TB rusunawa yang terdiri dari 96 unit membutuhkan lahan 3.000 m2, dibandingkan dengan kebutuhan rumah tapak dengan 96 unit tersebut dibutuhkan lahan 14.400 m2 dengan asumsi setiap rumah tapak membutuhkan lahan 150 m2. Dengan demikian pada tahun 2015 akan diperoleh penghematan luas lahan sebanyak 860 ha selanjutnya pada tahun

2010 2015 2020 2025 2030

0 5.000 10.000 15.000

Kebut uhan Lahan Pem ukim an dgn Rum ah Tapak Luas Alokasi Lahan Pem uk im an

Lahan Perm uk im an Eksist ing Luas Lahan Rusun

Kebut uhan Lahan r usun & Rum ah Tapak

Ta h u n L u a s L a h a n ( h a )

2030 menjadi 5.409 ha. Penghematan penggunaan lahan tersebut dapat digunakan untuk menambah ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Batam yang berfungsi untuk hutan kota.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaanya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman,baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota; dan proporsi RTH Publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Hutan kota sebagai bagian dari RTH dapat menyerap hasil negatif dari kota antara lain: suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya habitat burung. Pengelompokan hutan kota menurut sifat pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan sangat terkait dengan perubahan suhu, kelembaban, kebisingan, debu, populasi, distribusi burung dan estetika. Pengelompokan hutan kota berdasarkan hubungan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan antara lain: jalur, menyebar, bergerombol, dua strata dan berstrata banyak. Selanjutnya dikatakan bahwa hutan kota berpengaruh terhadap beberapa parameter lingkungan antara lain penurunan suhu, peningkatan kelembaban, penurunan kebisingan, dan penurunan kadar debu (Zoer’aini, 2005), Tabel 47 Hasil simulasi kebutuhan lahan pemukiman di Kota Batam.

Tahun

Kebutuhan Lahan Pemukiman dgn Rumah Tapak (ha)

Lahan Pemukiman Eksisting (ha) Luas Lahan Rusun (ha) Kebutuhan Lahan Rusun & Rumah

Tapak (ha) 2010 9.363,52 6.544,76 9,00 9.363,52 2015 10.797,26 7.120,30 27,47 9.937,01 2020 12.647,68 7.746,45 83,82 10.677,18 2025 15.089,78 8.427,67 255,80 11.654,02 2030 18.379,85 9.168,80 780,63 12.970,05 Penggunaan Kayu

Parameter luas lahan pemukiman juga mendorong penggunaan sumberdaya alam sebagai bahan bakunya. Salah satu sumberdaya alam yang kritis untuk digunakan adalah penggunaan kayu untuk bahan baku rumah. Simulasi penggunaan kayu untuk rumah tapak dan rumah susun tersebut disajikan dalam

Gambar 60. Penggunaan kayu untuk rumah tapak memiliki perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan penggunaan kayu untuk rumah susun. Teknologi pembangunan rumah susun sendiri cukup mempengaruhi pemakaian kayu. Hal ini terlihat dalam penggunaan kayu untuk rumah susun dengan beton konvensional, beton semi pracetak, dan beton pracetak penuh. Hal ini disajikan dalam Tabel 48.

Hasil simulasi menunjukkan kebutuhan kayu untuk rumah tapak berkisar 240.793 m3 pada tahun 2010 dan terus meningkat hingga 1.143.293 m3 pada tahun 2030. Kebutuhan kayu untuk rumah tapak ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan kayu untuk pembangunan rusun dengan beton konvensional. Pembangunan rusun konvensional memerlukan kayu hampir dua kali lebih banyak dibandingkan pembangunan rumah tapak, karena masih banyak menggunakan cetakan beton dari bahan kayu. Rusun konvensional diproyeksikan membutuhkan kayu sebanyak 401.559 m3 kayu pada tahun 2010 dan meningkat hingga 1.906.617 m3 kayu pada tahun 2030.

Gambar 60 Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam.

Kebutuhan kayu akan sangat dihemat jika penyediaan pemukiman melalui pembangunan rusun menggunakan beton semi pracetak. Rusun semi pracetak hanya membutuhkan kayu sekitar 3.537 m3 kayu pada tahun 2010 dan hanya meningkat menjadi 16.798 m3 kayu pada tahun 2030. Kebutuhan kayu untuk pembangunan rusun konvensional pada tahun 2010 hanya berjumlah sekitar 1,47% dibandingkan kebutuhan kayu untuk pembangunan rumah tapak dan hanya

2010 2015 2020 2025 2030 0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000

Kebut uhan Kayu Rum ah Tapak TK Kebut uhan Kayu Rusun Konv ensional TK Kebut uhan Kayu Rusun Sem i- PC TK

Ta h u n V o lu m e K a y u ( m 3 )

berjumlah sekitar 0,88% dibandingkan kebutuhan kayu untuk pembangunan rusun konvensional. Hal ini akan semakin signifikan perbedaannya jika diproyeksikan pada tahun 2030.

Tabel 48 Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam.

Tahun Kebutuhan Kayu

Rumah Tapak TK (m3) Kebutuhan Kayu Rusun Konvensional TK (m3) Kebutuhan Kayu Rusun Semi -PC TK (m3) 2010 240.793,06 401.559,40 3.537,97 2015 355.445,03 592.759,15 5.222,55 2020 524.687,74 874.997,34 7.709,23 2025 774.514,20 1.291.621,32 11.379,92 2030 1.143.293,81 1.906.617,93 16.798,40

Hasil simulasi penggunaan kayu ini berimplikasi pada penghematan penggunaan kayu berdasarkan pilihan jenis dan teknologi penyediaan pemukiman (Gambar 61). Pemilihan jenis pemukiman (rumah tapak vs rusun) akan memberikan penghematan sebesar 237.255 m3 pada tahun 2010. Hal ini akan semakin besar jika diproyeksikan pada tahun 2030 yang menunjukkan penghematan penggunaan kayu sebesar 1.126.495 m3.

Gambar 61 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam.

2010 2015 2020 2025 2030 0 500.000 1.000.000 1.500.000

Penghem at an Kay u Rusun SPC TK & Rusun Konv Penghem at an Kay u Rusun SPC TK v s Rum ah Tapak

Ta h u n V o lu m e K a y u ( m 3 )

Teknologi pembangunan pemukiman (rusun konvensional vs rusun semi pracetak) akan memberikan penghematan sebesar 398.021 m3 pada tahun 2010. Hal ini juga akan semakin besar jika diproyeksikan pada tahun 2030 yang menunjukkan penghematan penggunaan kayu sebesar 1.889.819 m3 (Tabel 49).

Tabel 49 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam

Tahun Penghematan Kayu Rusun SPC TK vs Rumah Tapak (m3)

Penghematan Kayu Rusun SPC TK vs Rusun Konv.(m3) 2010 237.255,10 398.021,43 2015 350.222,48 587.536,60 2020 516.978,51 867.288,12 2025 763.134,27 1.280.241,39 2030 1.126.495,41 1.889.819,54

Penghematan penggunaan kayu dalam membangun pemukiman, pada dasarnya juga bisa menghemat penebangan pohon sebagai bahan baku kayu. Jika diasumsikan bahwa kayu yang digunakan berasal dari penebangan pohon di hutan, maka penghematan penggunaan kayu juga bisa mengurangi luas penebangan pohon di hutan. Menurut penelitian IPB (2010 dalam www.info.ipb.ac.id; 25 Sept 2010), setiap 50-70 m3 volume kayu bisa diperoleh dari hutan seluas 1 ha. Hasil penelitian ini mendasari simulasi penghematan luas hutan berdasarkan banyaknya volume penggunaan kayu dalam membangun pemukiman.

Hasil simulasi penghematan luas hutan disajikan dalam Gambar 62 dan Tabel 50. Pada tahun 2010 bisa dilakukan penghematan luas hutan sebanyak 6.633,69 ha jika pemukiman tenaga kerja melalui pembangunan rusun semi pracetak dibandingkan melalui pembangunan rusun konvensional. Penghematan makin meningkat jika diproyeksikan pada tahun 2030 yang mencapai penghematan hutan seluas 31.496,99 ha.

Penghematan luas hutan dengan beton semi pracetak disbanding rumah tapak mencapai 3.954,25 ha pada tahun 2010 dan terus meningkat seiring pembangunan rusun. Pada tahun 2030 diproyeksikan penghematan luas hutan akan mencapai 18.774,92 ha (Gambar 60 dan Tabel 47).

Gambar 62 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam. Tabel 50 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam

Tahun Penghematan Luas Hutan Rusun SPC TK vs Konv. (ha)

Penghematan Luas Hutan Ruasun SPC TK vs Rumah Tapak (ha) 2010 6.633,69 3.954,25 2015 9.792,28 5.837,04 2020 14.454,80 8.616,31 2025 21.337,36 12.718,90 2030 31.496,99 18.774,92

Hutan alam dapat meyerap CO2 sebesar 1,559 ton/ha/hari (www.repository.ipb.ac.id, 22 November 2010). Oleh karena itu maka pada pembangunan permukiman tenaga kerja melalui rusunawa dengan sistem semi pracecak dibandingkan dengan sistem konvensional akan membantu melakukan penyerapan CO2 secara signifikan. Dalam hal pembangunan rusunawa dengan sistem semi pracetak pada tahun 2010 akan terjadi penghematan terhadap penggunaan kayu (penghematan terhadap luas hutan yang ditebang) yang jika dikonversi terhadap CO2 akan dapat menyerap CO2 sebesar 10.342, 59 ton/hari dan pada tahun 2030 sebesar 49.106,96 ton/hari. (Gambar 63).

2010 2015 2020 2025 2030 0 10.000 20.000 30.000

Penghem at an Luas Hut an Rusun SPC TK vs Rm h Tapak Penghem at an Luas Hut an Rusun SPC TK vs Konv .

Ta h u n L u a s H u ta n ( h a )

Gambar 63 Hasil simulasi potensi penghematan CO2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam

Potensi penyerapan CO2 dimungkinkan karena penggunaan kayu pada pembangunan rusun konvensional lebih banyak dibandingkan pada pembangunan rumah tapak. Pembangunan rusun konvensional memerlukan sekitar 6,3 m3 kayu per unitnya. Sedangkan rumah tapak memerlukan sekitar 3,8 m3 kayu per unitnya dan rusun semi pracetak hanya memerlukan sekitar 0,05 m3 per unitnya. Rusun semi pracetak hanya memerlukan kayu pada panel pintu saja. Menurut IPCC (2003) dan Mitigation, Fourth Assesment Report dalam WBCSB (2007) jika hutan lestari dalam jangka panjang, maka akan terpelihara bahkan akan meningkatkan stok karbon hutan, sehingga bukan saja produksi kayu pertahun lestari, getah dan energi dari hutan juga akan menghasilkan keuntungan yang lestari dan lebih besar. Seperti halnya penggunaan kayu, potensi penyerapan CO2

juga bisa bernilai ekonomis jika kita mampu menjual CO2 tersebut dalam skema perdagangan karbon yang ada saat ini.

Tabel 51 Hasil simulasi potensi penyerapan CO2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam (dalam ton/hari)

Tahun Potensi penyerapan CO2 SPC TK vs Rumah Tapak (ton/hari) Potensi penyerapan CO2 SPC TK vs Rusun Konv (ton/hari) 2010 6.165,07 10.342,59 2015 9.100,53 15.267,14 2020 13.433,69 22.536,48 2025 19.830,04 33.267,07 2030 29.271,98 49.106,96 2010 2015 2020 2025 2030 0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000

Pot ensi peny erapan CO2 Rusun SPC TK vs Rm h Tapak Pot ensi peny erapan CO2 Rusun SPC TK vs Konv.

Ta h u n C O 2 ( to n / h a r i)

RPJMN 2009-2014 mengamanatkan pembangunan 650 twin block (TB) rusunawa yang dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah pusat saja pada tahun 2010-2012, dengan demikian akan ada pembangunan rusunawa sebanyak 217 TB setiap tahun. Kalau pemerintah daerah juga membangun rusunawa sebanyak 26 % dari bantuan pemerintah pusat, maka setiap tahun akan terbangun 300 TB, mulai dari tahun 2010, akan terakumulasi menjadi 6.300 TB rusunawa pada 2030 yang dibangun oleh pemerintah saja.

Pembangunan rusunawa ramah lingkungan dengan green construction dapat menghemat kayu olahan sebanyak 598 m3/TB (1.196 m3 kayu bulat), dengan demikian maka pada tahun 2010 dapat dihemat kayu sebanyak 358.800 m3, setara dengan luas hutan 5.980 ha, dengan potensi penyerapan CO2 sebanyak 9.322 ton/hari. Pada tahun 2020 akan terakumulasi pembangunan rusunawa menjadi 3.300 TB dengan penghematan kayu 3.946.800 m3, setara dengan luas hutan 65.780 ha dengan potensi penyerapan CO2 sebesar 102.551 ton/hari. Kondisi ini akan meningkat pada 2030 menjadi 7.534.800 m3 kayu, setara dengan 125.580 ha dengan potensi penyerapan CO2 sebesar 195.779 ton/hari. Penghematan tersebut akan berkontribusi terhadap komitmen pemerintah menurunkan emisi CO2 sebesar 26% pada tahun 2010, dari sektor perumahan yang dibangun oleh pemerintah saja.

Peningkatan CO2 di atmosfir disebabkan oleh anthropogenetic yaitu: dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang memperlihatkan keadaan komposisi kandungan karbon di atmosfir terdapat sedikit konsentrasi 14C dan banyaknya konsentrasi 13C sesuai dengan karakteristik isotop C dari hasil pembakaran bahan bakar fosil. Demikian pula, peningkatan CO2 dibelahan bumi sebelah utara lebih cepat karena pembakaran bahan bakar fosil terjadi paling tinggi .

Perubahan iklim global dapat ditanggulangi dengan menyimpan karbon sebesar besarnya tetapi hutan tropis rusak jauh lebih cepat dengan hutan di wilayah iklim sedang. Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi laju tersebut karena memiliki hutan tropis terbesar di dunia dan kelestarian hutan tropis harus terjaga. Sumberdaya alam ini menjadi potensial untuk meningkatkan daya saing bangsa. Presentasi cadangan karbon yang tersebar di hutan tropis sebesar 53,1% ada di Indonesia. Hutan memiliki tegakan pohon, jumlah karbon yang diserap

oleh sebuah pohon yang sedang tumbuh tergantung dari spesies, iklim, dan tanah serta umur pohon, hutan yang sedang tumbuh membentuk sekitar 10 ton karbon per hektar per tahun. Dalam melangsungkan hidupnya, pohon melakukan proses fotosintesis di siang hari untuk memperoleh cadangan makanan. Melalui proses tersebut, pohon menyerap CO2 di udara sehingga jumlah CO2 di udara berkurang dan berubah menjadi penambahan O2 (oksigen). Penyerapan CO2 dalam proses fotosintesis menyebabkan pengurangan emisi CO2 sebagai gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Daya serap pohon terhadap CO2 1.559,10

kg/ha.hari dan 129,92 kg/ha.jam (www.repository.ipb.ac.id, 22 november 2010).

Adanya penghematan luasan hutan yang ditebang untuk dimanfaatkan katunya guna melakukan pembangunan rusun dengan system konvensional akan sangat membantu pemerintah dalam mengimplementasikan strategi nasional dalam mengatasi pemanasan global. Mengingat kondisi ini sesuai dengan strategi nasional dalam rangka mengatasi masalah pemanasan global yang antara lain adalah a) pengurangan emisi CO2, b) perusahaan manufaktur harus mengganti teknologi dengan yang tidak banyak mengeluarkan emisi karbon, c) peningkatan pengembangan sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai sumber rosot karbon, d) pengurangan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber penghasil listrik, dan e) pengembangan clean energi seperti tenaga air dan tenaga angin, serta tenaga nuklir bila memungkinkan. Masuknya karbon hutan dalam mekanisme pembangunan bersih juga merupakan kesempatan yang sangat berharga dalam rangka meningkatkan nilai ekonomi hutan. Walau pada kenyataannya masih terdapat masalah dan pembatasan dalam pelaksananyya yang berakibat pada permintaan karbon melalui sekuestrasi karbon memiliki pangsa yang kecil dan tidak seluruh lahan terdegradasi potensial untuk dikelola lewat perdagangan karbon (Murdiyarso, 2003; Dutschke, 2004; Chatterjee ,2004; Boer, 2004); namun adanya pangsa pasar karbon tersebut merupakan kabar yang cukup menggembirakan bagi provinsi atau kabupaten yang mempunyai hutan masih relatif utuh.