• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Analisis dan Intepretasi Data

4.4.4 Perempuan dalam Budaya

Kategori ke tiga dari penerimaan peran gender perempuan dalam film Jodha Akbar adalah tentang budaya. Kata "budaya" berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi (Sansekerta) yang berarti 'akal' (Koentjaraningrat, 1974, p.80). Sedangkan menurut Tylor (dalam Ratna 2005), kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan - kebiasaan lain Bagi Gaby yang tidak terlalu memahami budaya Tionghoa ia memilih untuk melihat dari pandangan budaya Jawa. Gaby mengatakan bila dikaitkan dengan adat Jawa Jodha adalah sosok yang berani dan tegas. Sehingga, Gaby menilai Jodha cenderung menyalahi adat Jawa.

"Jodha itu termasuk berani sih. Ya itu kalau di adat Jawa istri kan sopan, istri ngikut suami banget kan, rasanya. Tapi setauku istri harus ikut suami, tapi Jodha kayak lebih berani. Dia bisa menentang suaminya. Kalau dia gak mau dia bisa menentang. Berarti cenderung menyalahi."

Gaby masih bersikap ragu - ragu terhadap jawabanya karena ia tidak terlalu mengerti mengenai adat. Berbeda dengan Tono yang sejak kecil dididik dengan adat Jawa. Tono lebih yakin mengenai sosok Jodha yang menyalahi adat Jawa. Ia mengatakan dahulu perempuan tidak boleh ikut campur dalam mengambil keputusan, tetapi Tono memberi contoh ketika Jodha memiliki keyakinan bahwa Jalal tidak mati oleh tangan Mahacuca. Pada saat itu Jodha memimpin perang dengan memakai baju

laki - laki dan menyuruh pasukan untuk menyerang menggunakan apapun yang bisa digunakan. Terbukti bahwa Jodha dapat memimpin perang dengan baik. Menurut Tono tidak apa - apa menyalahi adat asalkan bermanfaat.

"Seperti pada waktu Jalal ditahan oleh Mahacuca. Itu kan kerajaan diserang tapi Jodha berani ambil sikap. Dia berani menyandang pedang melawan. Ya akhirnya kan melanggar adat tapi bermanfaat dan semua mendukung. Yang awalnya mana ada perempuan bawa pedang, berperang. Tapi diyakinkan oleh Jodha kalau kita ndak melawanan kita akan jadi budak mau tah jadi budak? Jadi budaknya musuh. Lebih baik kita melawan kita mati tapi sudah mempertahankan kerajaan kita. Akhirnya dia berpakaian laki - laki bawa pedang. Dia memimpin perang itu dan musuhnya kalah juga."

Tono juga mengatakan bahwa kolot bila perempuan sekarang tidak boleh mengambil keputusan dan harus meninggalkan tradisi tersebut.

Ningsih juga memiliki jawaban yang sama dengan Tono, yaitu tentang manfaat dan tujuan. Bila Tono berpendapat Jodha menyalahi adat, Ningsih mengatakan Jodha tidak menyalahi adat karena tujuannya baik. Menurutnya, bila Jodha dimasukkan dalam konteks budaya Jawa Jodha sudah melakukan hal yang baik karena menghargai suaminya.

"Jodha yo melakukan adat Jawa juga. Dia menghargai suaminya. Dia menghargai kebudayaan yang berbeda dengan suaminya. Kalau toh itu baik untuk bangsa kuwi ya gapopo. Jalal kan agamane islam. Sedangkan Jodhae dewe kan Hindu tapi dia tetap menghargai Jalal. Saling menghormati."

Menariknya, Ningsih juga membahas mengenai beberapa kebiasaan yang ada di Jawa. Ia menjelaskan tentang bagaimana ketika berpacaran dan prosesi pernikahan dalam adat Jawa. Saat berpacaran, laki - laki harus lebih aktif dari perempuan. Misalnya ketika akan pergi keluar, laki - laki yang sebaiknya mengajak terlebih dahulu. Menurutnya, perempuan harus menjaga wibawa sebagai serang perempuan, maka tidaklah sopan bila perempuan yang lebih aktif. Perempuan hanya akan aktif ketika memberikan jawaban kepada laki - laki. Namun ketika sudah berumah tangga,

baik perempuan maupun laki - laki harus sama - sama aktif dalam mengatur kebutuhan hidup rumah tangganya.

"Soale lek wong lanang iku sing marani, lek wong wedok sing marani iku gak sopan. Gak sopane dalam kebudayaan. Lek boso Jowone saru. Sing aktif sing lanang."

Bagi Ningsih, dalam budaya Jawa yang lebih banyak dirugikan adalah perempuan. Misalnya ketika seorang laki - laki memiliki istri lebih dari satu dianggap wajar dan gagah, tetapi bila perempuan yang memiliki suami lebih dari satu dianggap jelek di mata masyarakat.

"Lek adat Jowo sing soro akeh.e sing wedok. Corone dalam pernikahan. Lanang duwe bojo loro lek sing wedok gak entuk. Wong wedok harus tunduk lek dee berani karo orang laki - laki ga sopan berarti harus bener - bener menghormati." (Bila di adat Jawa yang banyak sengsara yang perempuan. Misal dalam pernikahan. Laki - laki memiliki dua istri, tetapi yang perempuan tidak boleh. Orang perempuan harus tunduk, bila dia berani terhadap laki - laki maka tidak sopan, berarti harus benar - benar menghormati.)

Tradisi Jawa memiliki makna yang menuju pada tatanan kehidupan. Makna - makna tersebut dapat dilihat melalui budaya perkawinan dan salah satunya seperti ada tertuang dalam Serat Candrarini. Ningsih sempat memberikan penjelasan mengenai budaya pernikahan Jawa. Dalam pernikahan adat Jawa, dilakukan beberapa prosesi seperti pingitan. Saat menikah laki - laki menghampiri yang perempuan kemudian saling melempar bunga. Kemudian menginjak telur dan diusapkan pada kaki laki - laki. Mengusapkan telur pada kaki laki - laki, menurut Ningsih memiliki makna tersendiri yaitu seorang perempuan menghormati laki - laki sebagai kepala keluarga menjadi pimpinan jadi imam. Bila dikaitkan dengan prosesi pernikahan dalam Jodha Akbar, Ningsih merasa cukup aneh karena saat menikah laki - laki yang menunggu perempuannya. Sehingga menurut Ningsih laki - laki yang lebih pasif dibanding perempuan. Dalam Serat Candrarini, tertuang konsep perempuan dalam sembilan butir. Kesembilan butir itu adalah setia pada lelaki, rela dimadu, mencintai sesama, trampil pada pekerjaan perempuan, pandai berdandan dan merawat diri,

sederhana, pandai melayani kehendak laki-laki, menaruh perhatian pada mertua, dan gemar membaca buku-buku yang berisi nasihat.

Hal ke dua adalah bagaimana informan melihat adat India dalam Jodha Akbar. Gaby dan Ningsih mengatakan adat India adalah otoriter, semua keputusan diambil oleh raja dan rakyat hanya mengikuti perintah raja. Raja memiliki peranan yang besar dalam perkembangan India. Bila Gaby dan Ningsih melihat adat India dari sudut kepemimpinan, maka Tono melihat dari sisi kepercayaan. Tono pernah bertemu dengan seorang India dan menceritakan bagaimana orang India memiliki banyak dewa untuk disembah.

Ketiga informan adalah penganut kepercayaan Nasrani. Mereka memegang ayat pada Alkitab bahwa istri tunduk pada suami seperti yang ada dalam Efesus 5:22 seperti yang diungkaplan oleh Gaby pada penjelasan sebelumnya. Tono dan Ningsih juga berdiskusi mengenai perempuan yang tidak boleh menjadi penatalayan khususnya untuk perjamuan suci dan pemberkatan pernikahan dalam gereja. Bagi mereka seharusnya tidak apa - apa karena bila seorang perempuan dapat menjadi gembala maka tidak masalah bila perempuan menjadi penalayan dalam bidang - bidang tersebut.

Konteks Jodha merupakan konteks agama Hindu. Agama Hindu memandang peran perempuan dalam upacara keagamaan sangat penting. Seperti yang ada tertulis dalam kitab Manawa Dharmasastra: "di mana perempuan tidak dihormati, tidak ada upacara yadnya yang memberikan pahala mulia" (Sudharta, dalam Sudiana et al 2002). Agama Hindu memiliki pandangan yang sangat bercirikan patriarkhal, perempuan harus menganggap suaminya sebagai dewa seperti yang tertulis dalam kitab - kitab Smrti (himpunan kitab Weda) (Young, 2006). Laki - laki memiliki tujuan utama hidup untuk mempertahankan dominasi laki - laki dalam mendapat keturunan, hidup makmur, panjang umur, mereka harus mendominasi perempuan sebagai istri dan ibu, walaupun perempuan hanya partner yang ikut membantu, dan tidak terlibat secara aktif (Young, 2006). Shastri juga mengatakan bahwa di dalam agaman Hindu, perempuan harus menjadi segalanya.

"Perempuan tidak boleh marah atau benci pada suaminya, harus lembut, ramah, gembira, melahirkan anak laki - laki, mengasihi para dewa, memberikan kebahadiaan, membawa berkah bagi hewan - hewan dan menjadi ratu bagi iparnya. Perempuan harus merasakan perasaan suaminya (jaya), menjadi ibu dari anak - anaknya (jani) dan menjadi teman (pati) dalam upacara ritual agama," (Shatstri, 1969)

Dalam konsep budaya ini peneliti dan Linda sepakat bahwa para informan masih memiliki budaya patriarkhi yang tinggi sehingga mereka menafsir Jodha Akbar dalam budaya patriarkal. Hal itu disebabkan karena para informan dididik dan hidup dalam budaya patriarkhi. Pada konsep budaya ini ditemukan data yang menarik bahwa sebenarnya laki - laki mengijinkan perempuan untuk melakukan sesuatu asalkan tepat guna dan bermanfaat. Hanya saja biasanya perempuan yang terlalu membatasi diri. Padahal laki - laki mengijinkan untuk perempuan bisa eksis. Seperti yang ada di dalam Jodha Akbar, Jalal memberikan kebebasan bagi perempuan bertindak sesuatu asalkan bermanfaat.

"Perempuan sendiri yang cenderung berpikir untuk menahan diri. Membatasi diri sehingga tidak terjadi perubaan. Padahal dari pihak laki - laki kalau dilihat menginjinkan seperti Jalal mengijnkan dan bapak itu juga mengijinkan. Persoalannya di perempuan sekarang. Perempuan perlu diberi motivasi untuk berbuat sesuatu yang begruna, jangan takut bisa."

Dengan demikian dalam budaya, Gaby memiliki posisi oppositional, Tono memiliki posisi negotiated, dan Ningsih dominant. Gaby berada dalam posisi oppositional karena ia menganggap Jodha menyalahi budaya dalam hal menentang suaminya. Sedangkan Tono cenderung untuk berkompromi dengan budaya yang ditentang oleh Jodha karena alasan kebaikan dan manfaatnya. Informan terakhir, Ningsih, menganggap Jodha tidak menyalahi budaya karena ia menghargai suaminya yang berbeda kepercayaan dengannya.

Dokumen terkait