• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Analisis dan Intepretasi Data

4.4.5 Perempuan dalam Realitas Media

Konsep yang terakhir adalah mengenai peran gender perempuan dalam realitas media. Dalam realitas media massa yang dilihat Gaby, media massa tidak sepenuhnya adil dalam menggambarkan laki - laki dan perempuan. Gaby berpendapat biasanya dalam iklan yang ada dalam media massa, perempuan selalu digambarkan bekerja di rumah, harus merawat anak, dan laki - laki bekerja di luar. Tetapi menurut Gaby dalam kehidupan sehari- hari tidaklah demikian, ada pula perempuan yang bekerja dan laki - laki yang merawat anak. Namun hal tersebut disanggah oleh Ningsih ketika FGD. Ningsih mengatakan meda massa sudah adil dalam menggambarkan laki - laki dan perempuan.

Bagi Ningsih media massa juga menggambarkan perempuan bekerja. Tetapi di sisi lain, Ningsih mengatakan laki - laki digambarkan kuat, siap menolong bagi kaum lemah, suka mengganggu perempuan karena merasa dirinya kuat. Sedangkan perempuan adalah sosok yang harus mendapatkan pertolongan. Baginya tetap media massa sudah adil dalam menggambarkan perempuan dan laki - laki. Keadilan penggambaran laki - laki dan perempuan dalam media massa juga disetujui oleh Tono. Tono berkata perempuan juga digambarkan hebat dalam media massa.

Bagian berikutnya adalah bagaimana pendapat informan mengenai perempuan yang digambarkan dalam Hollywood,dan Bollywood dibandingkan dengan perempuan dalam sinetron Indonesia. Gaby menganggap perempuan dalam Hollywood dan Bollywood digambarkan sama dengan laki - laki. Dalam perfilm-an Hollywood khususnya, perempuan mulai digambarkan sebagai pahlawan, tidak selalu di bawah laki - laki. Gaby memberi contoh melalui film The Avangers dan Lucy.

"Kalau kayak Hollywood itu mulai gambarin cewek itu juga pahlawan. Misal kayak di Avangers meskipun ceweknya cuman satu tapi mulai gambarin kalau cewek mulai jadi pahlawan. Pahlwan itu ga cuma Superman yang cowok. Tapi cewek juga bisa jadi pahlawan, kayak Lucy. Gak selalu cewek itu di bawah cowok."

Demikian juga yang dikatakan oleh Ningsih dalam melihat film - film Hollywood dan Bollywood. Perempuan dilihatkan juga kuat dan tidak terus digambarkan lemah. Ningsih mencontohkan dari film Charlies Angels yang biasanya ditonton melalui TV. Tono juga sependapat dengan Gaby maupun Ningsih, perempuan masih dihargai di perfilman Hollywood dan Bollywood. Tono bahkan memberi contoh dari serial film Jodha Akbar sendiri. Menurutnya Jodha merupakan "Kartini-nya Indonesia". Dia berani untuk menentang hal - hal yang tidak benar.

Barker (1999, p.98), perempuan dalam media (dalam hal ini film dan acara televisi), digambarkan dengan karakter – karakter seperti selalu berkorban, bergantung pada orang lain, emosional, selalu gelisah, memandang dunia dengan perspektif hubungan kekeluargaan, dan keibuan. Dalam sejarah film Indonesia, perempuan sering digambarkan sebagai sosok subordinat yang harus tunduk pada kekuasaan kaum lelaki. Pada tahun 1970-an, karakter perempuan hanya dijadikan pelengkap. Kalaupun menjadi karakter utama, sang perempuan menunjukkan peran sebagai ibu, istri, kekasih, dan peran –peran lain dalam ranah domestik (Gardiner et al. 1996. p52). Selain itu, perempuan juga dijadikan obyek sensualitas dan korban kekerasan dalam kekuasaan budaya patriarki di Indonesia (Baria. 2005. p.4).

Film – film Indonesia pada tahun 1980-an juga tetap merepresentasikan perempuan dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Perempuan yang cerdas dan sukses tetap tidak diperbolehkan untuk mandiri, dengan alasan suaminya akan memperhatikan perempuan lain yang menurutnya lebih membutuhkan (Gardiner et al, 1996, p55). Selain itu, dalam beberapa film tahun 90-an seperti “Perempu90-an di Persimp90-ang90-an Jal90-an”, perempu90-an diceritak90-an sebagai istri yang baik, yang harus menghentikan karirnya sebagai model. Tidak hanya itu, adegan – adegan yang berhubungan dengan seks dan sensualitas perempuan juga kerap ditampilkan (Gardiner et al, 1996, p.56). Ini juga menunjukkan bagaimana film merepresentasikan posisi perempuan yang masih harus menjadi pemeran dalam posisi subordinat.

Seiring dengan berkembangnya budaya populer, maka perempuan juga mengalami pergeseran peran dalam film. Kritik terhadap budaya patriarki yang dominan telah melahirkan gerakan baru mengenai peranan perempuan dalam film (Hayward, 2013). Perempuan yang semula hanya berkutat sebagai pemeran subordinat kini telah memiliki berbagai peranan yang lebih beragam.

Ketiga Informan sepakat dibandingkan dengan Hollywood dan Bollywood, sinetron di Indonesia selalu menggambarkan perempuan yang tertindas, lemah, dijajah, bisa dibuat semaunya, dan menangis terus. Mereka merasa hal tersebut tidak baik bagi penggambaran perempuan. Ningsih mencontohkan salah satu stasiun TV swasta yang selalu menggambarkan perempuan yang tertindas. Mereka memiliki pendapat masing - masing mengenai sinetron Indonesia yang menggambarkan perempuan yang demikian.

Gaby mengatakan

"Perempuan gak selalu lemah. Kalau di film Indonesia kan perempuan yang selalu tertindas, kasihan, cewek itu kehidupannya gak kayak gitu. Ya seharusnya digambarkan perempuan itu gak sekasihan itu. Akhirnya kan penonton punya stereotipe perempuan selalu kasihan nangis terus"

Sedangkan Ningsih juga berpendapat bahwa

"Kalau menurutku mungkin cewek biasanya dianggep lemah tapi kita harus mengubah itu semua, mari kita jadi cewek yang kuat. Ndak kuat secara fisik saja tapi harus kuat dalam menghadapi tantangan dan mempunyai pengaruh di lingkungan yang baik. lihat aja misalnya R.A Kartini punya pengaruh besar. Dia mendobrak sistem - sistem misal kayak perempuan gak bisa sekolah akhirnya bisa sekolah. Tegas dan membawa pengaruh yang baik di lingkungan."

Tono juga menambahkan

"Ya sebagai seorang ibu, yang pegang peranan dalam satu rumah tangga. Jangan digambarkan seorang yang lemah, dijajah, bisa dibuat semaunya. Kadang - kadang saya ngelihat istrinya dibuat jadi pembantu karena suaminya nikah lagi. Nah kayak itu kan gak bener. Dia punya istri muda. Terus istri tuanya dibuat jadi pembantu suruh nyuci suruh apa. Itu gambaran yang paling buruk itu."

Ketiga informan sepakat bahwa seharusnya perfilman Indonesia membuat cerita - cerita yang lebih bermakna dibandingkan dengan sinetron yang sekarang ini.

Perbedaan pendapat mengenai realita media, salah satunya dilatarbelakangi oleh frame of reference dari ketiga informan. Gaby mengatakan media massa tidak adil karena ia merupakan mahasiswa yang mempelajari mengenai media massa. Dalam perkuliahannya ia juga mempelajari tentang media dan budaya yang di dalamnya membahas mengenai isu gender. Sedangkan Tono dan Ningsih hanya sebatas menonton, dan tidak mempelajari apa yang ada di dalam media massa. Dengan demikian, dalam hal ini Gaby bersikap oppositional, sedangkan Tono dan Ningsih bersikap dominant.

Konsep yang terakhir adalah mengenai realitas media. Linda setuju dengan intepretasi dari peneliti bahwa media massa di Indonesia menampilkan perempuan - perempuan yang tidak sewajarnya untuk digambarkan. Berbeda dengan penggambaran di Hollywood maupun Bollywood. Selain itu perempuan juga tidak selayaknya menjadi objek yang ditindas tapi perempuan juga dapat menjadi pemimpin dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan seperti yang ada di dalam Jodha Akbar.

Kesimpulan dari triangulasi adalah mengenai partnership. Hal ini dapat dianalogikan seperti pendulum. Bila bergerak pada pendulum perempuan lebih hebat maka akan mengarah pada feminisme radikal. Sedangkan bila mengarah pada pendulum laki - laki lebih hebat, maka akan mengarah pada patriarkhal. Sehingga sebenarnya keduanya sama - sama tidak baik. Jadi, berpartner merupakan pilihan yang baik. Selain itu, adanya negosiasi peran gender dalam laki - laki dan perempuan akan membuat peran masing - masing berjalan dengan baik.

Negosiasi peran gender yang dimaksudkan adalah melakukan peran bukan karena keharusan sebagai laki - laki ataupun sebagai perempuan. Tetapi peran diberlakukan pada konteks kemampuan peran apa yang dapat dilakukan. Hal tersebut akan memunculkan kemampuan yang terbaik dari laki - laki maupun perempuan.

Sehingga bernegosiasi diperlukan untuk menentukan untuk berperan sebagai apa. Bila dalam peran domestik laki - laki lebih baik dalam mengerjakan, maka lebih baik dilakukan oleh laki - laki, demikian sebaliknya. Perlu ada percakapan dan negosiasi. Demikian yang ada di dalam Jodha Akbar dan diresepsi oleh para informan, perlu ada negosiasi antara Jodha dan Jalal dalam melakukan fungsi domestik maupun fungsi kepemimpinan.

Dengan demikian dari analisa dan intepretasi data ini, peneliti mendapatkan kesimpulan bahwa penggambaran media terhadap ketokohan aktor dalam sebuah cerita sangat menentukan bagaimana penonton memahami teks. Terlihat dari data yang didapatkan oleh peneliti mengenai tokoh Jodha yang diresepsi oleh para informan. Ketokahan tersebut dilihat oleh informan baik dari kepribadian, fungsi gender, maupun kepemimpinan. Hal kedua adalah faktor budaya menentukan pemaknaan atau penerimaan dari penonton. Penonton akan melihat apakah tokoh tersebut baik atau buruk berdasarkan budaya yang dimiliki oleh penonton. Seperti ketiga informan yang menilai tokoh Jodha dalam budaya yang mereka miliki. Bagian yang terakhir adalah konteks kehidupan penonton menjadi faktor penting dalam memaknai fungsi peran gender pada ketokohan di media sebuah media massa.

Dokumen terkait