• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROMOSI KESEHATAN DI DESA JEBED SELATAN

7.1 Perencanaan Promosi Kesehatan

Perencanaan Promosi Kesehatan adalah suatu proses diagnosis penyebab masalah, penetapan prioritas masalah dan alokasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan (Notoatmodjo 2005). Oleh sebab itu, dalam membuat perencanaan promosi kesehatan, keterlibatan dan peran serta peserta FGD sangat dibutuhkan dengan tujuan supaya menghasilkan program yang dapat mengintervensi masalah kesehatan yang sesuai dengan kondisi yang ada, sesuai kebutuhan masyarakat, efektif dalam biaya (cost effective) dan berkesinambungan (sustainable). Di samping itu, dengan melibatkan peserta FGD maka akan menciptakan rasa memiliki sehingga timbul rasa tanggung jawab dan komitmen.

Hasil dari Pengkajian PHBS tingkat rumah tangga pada Peta Sosial dan evaluasi implementasi strategi Promosi Kesehatan di lima tempat kemudian dijadikan sebagai bahan masukan dalam menyusun Perencanaan Promosi Kesehatan yang menggunakan kerangka kerja PRECEDE – PROCEED (PRECEDE – PROCEED Framework)

Kerangka kerja PRECEDE – PROCEED adalah pendekatan yang digunakan untuk kegiatan Perencanaan Promosi Kesehatan yang mengarah pada perubahan perilaku baik individu, keluarga dan masyarakat. Pada kerangka PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling Causes in Educational Diagnosis and Evaluation) digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas masalah dan tujuan program. Kerangka PRECEDE terdiri dari lima fase, yaitu :

1. Fase 1 adalah Diagnosis Sosial

2. Fase 2 adalah Diagnosis Epidemiologis

3. Fase 3 adalah Diagnosis Perilaku dan Lingkungan 4. Fase 4 adalah Diagnosis Pendidikan dan Organisasi

5. Fase 5 adalah Diagnosis Administrasi dan Kebijakan.

Sedangkan kerangka PROCEED terdiri dari empat fase, yaitu : 1. Fase 6 adalah Implementasi

2. Fase 7 adalah Proses Evaluasi 3. Fase 8 adalah Dampak dari Evaluasi 4. Fase 9 adalah Evaluasi Outcome

Dalam kondisi ini kerangka PROCEED (Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and Environmental Development) digunakan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan serta implementasi dan evaluasi

Kerangka kerja tersebut seperti ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11 Kerangka PRECEDE – PROCEED

Sumber : Notoatmodjo 2005

Lingkungan

7.1.1 Fase Diagnosis Sosial (Social Need Assessment)

Diagnosis sosial pada fase ini adalah proses mendapatkan karakteristik masyarakat, persepsi masyarakat terhadap kebutuhannya atau terhadap kualitas hidupnya. Aspirasi masyarakat sangat dibutuhkan sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas hidup, sehingga melalui aspirasi tersebut dapat terwujud partisipasi masyarakat. Pada fase diagnosis sosial ini akan merujuk dari hasil PL I yaitu Pemetaan Sosial untuk mendapatkan karakteristik masyarakat Desa Jebed Selatan.

Tabel 10 Karakteristik Masyarakat Desa Jebed Selatan

No. Jenis Karakteristik Data Pendukung

1 Perekonomian Sektor Pertanian Ketersediaan lahan mencapai 73,51

% dari luas wilayah desa.

2 Mata Pencaharian Mayoritas Petani dan Buruh Tani (homogen)

55,98 % atau 1260 jiwa dari 2251 jiwa mata pencaharian sebagai petani (456 jiwa) dan buruh tani (804 jiwa).

Jumlah penduduk tamat SLTP ke bawah sebesar 58,5 % (1626 jiwa tamat SLTP dan 325 jiwa tamat SD).

4 Agama Islam 6909 jiwa (99,78 %) dari 6924 jiwa dan banyaknya organisasi lokal (majelis ta’lim/ kelompok pengajian/

yasinan, Ikatan Pemuda Masjid dan perkumpulan kematian)

5 Kepercayaan Masih percaya adanya “mitos”

Masyarakat masih mempercayai adanya “mitos” tentang kesehatan terutama “mitos ibu hamil”

6 Kesehatan Rendahnya

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan rendahnya perhatian kepada lansia

Hasil dari Pengkajian PHBS tingkat rumah tangga

Sumber : Data Pemetaan Sosial Desa Jebed Selatan, tahun 2006.

Berdasarkan hasil diagnosis karakteristik masyarakat Desa Jebed Selatan diatas, dapat di simpulkan bahwa kepercayaan terhadap “mitos” masih sangat kental di masyarakat Desa Jebed Selatan. Adanya “mitos” tersebut sangat didukung dengan tingkat pendidikan yang masih tergolong rendah. “Mitos”

tersebut sangat berdampak pada kesehatan terutama Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Di kalangan masyarakat yang masih mempercayai adanya “mitos ibu hamil”, seperti ibu hamil tidak boleh keluar rumah karena takut kandungannya diganggu oleh mahluk halus sampai dengan “mitos makan berpantang”, yaitu ibu hamil tidak boleh mengkonsumsi ikan cumi karena takut apabila kulit anaknya hitam padahal kandungan protein dari ikan cumi sangat tinggi yang dibutuhkan untuk perkembangan janin. Contoh “mitos ibu hamil” tersebut ternyata menghambat pengetahuan dan perilaku ibu hamil terhadap kesehatan, seperti memeriksakan kehamilannya dan melakukan persalinan oleh tenaga kesehatan.

Dilihat dari mata pencahariannya, masyarakat Desa Jebed Selatan tergolong masyarakat petani dan buruh tani. Karena pendapatan yang tergolong rendah dan belum ada penyuluhan tentang kesehatan kerja bagi petani dan buruh tani, sehingga membuat kebutuhan akan kesehatan belum menjadi prioritas bagi keluarga mereka. Mereka juga berpendapat bahwa untuk mendapatkan akses kesehatan harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Kondisi tersebut sangat dirasakan ibu hamil yang kepala keluarganya bekerja sebagai buruh tani, sehingga tidak ada jalan lain untuk memeriksakan dan melakukan persalinan oleh dukun bayi.

Dari diagnosis diatas, peserta FGD menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan masih rendah yang mengakibatkan masyarakat belum mempercayakan tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah kesehatannya. Dari sikap dan perilaku masyarakat tersebut, belum bisa mencerminkan perilaku sehat. Berdasarkan data diatas, peserta FGD menyimpulkan bahwa kebutuhan yang sangat mendasar di masyarakat Desa Jebed Selatan adalah Pendidikan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Dengan memperoleh pendidikan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) diharapkan masyarakat dapat merubah pola pikirnya dari paradigma sakit menjadi paradigma sehat.

Dengan mempunyai pola pikir paradigma sehat, maka masyarakat dapat mencegah (preventif) terjadinya penyakit dan dapat meningkatkan kesehatannya secara mandiri tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak. Jadi dengan meningkatnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan maka dengan sendirinya sikap dan perilaku masyarakat akan lebih responsif terhadap kesehatan sehingga

kualitas hidup individu, keluarga dan masyarakat dapat ditingkatkan terutama di tingkat rumah tangga.

7.1.2 Fase Diagnosis Epidemiologi

Masalah kesehatan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang dan berdampak positif maupun negatif. Fokus pada fase ini adalah mencari faktor kesehatan yang mempengaruhi kualitas hidup individu, keluarga dan masyarakat. Pada kajian ini yang mendapatkan dampak dari masalah tersebut adalah anggota keluarga pada tingkat rumah tangga.

Pada Tabel 11 telah ditunjukkan diagnosis masalah (hasil Peta Sosial), penyebab masalah (hasil evaluasi strategi Promosi Kesehatan) dan kelompok yang terkena masalah (tanggapan peserta FGD)

Tabel 11 Diagnosis Epidemiologi Promosi Kesehatan

No. Masalah (Hasil Peta Sosial)

Faktor Penyebab

(Hasil Evaluasi Strategi Promosi Kesehatan)

1. Masih rendahnya tingkat

kepedulian dan pengetahuan ibu rumah tangga tentang

kesehatan.

2. Minimnya sarana dan prasarana kesehatan.

3. Masih rendahnya kreativitas dan inovasi dari petugas Puskesmas 4. Kurangnya perhatian dan

tanggung jawab dari petugas Puskesmas, Bidan Desa dan Kader Kesehatan yang

diwujudkan melalui kunjungan rutin ke rumah warga

5. Tidak adanya pengawasan atau monitoring dari petugas

Sumber : Pengkaji, diolah, 2008.

7.1.3 Fase Diagnosis Perilaku dan Lingkungan

Pada fase ini tujuannya adalah mendiagnosis faktor perilaku dan faktor lingkungan (fisik dan sosial) dari diagnosis epidemiologi (Tabel 11). Berdasarkan pendapat dari peserta FGD dapat diidentifikasi, sebagai berikut :

1. Faktor Perilaku :

a. Masih rendahnya tingkat kepedulian dan pengetahuan ibu rumah tangga tentang kesehatan.

b. Masih rendahnya kreativitas dan inovasi dari petugas Puskesmas

c. Kurangnya perhatian dan tanggung jawab dari petugas Puskesmas, Bidan Desa dan Kader Kesehatan yang diwujudkan melalui kunjungan rutin ke rumah warga

d. Tidak adanya pengawasan atau monitoring dari petugas Puskesmas setelah dilakukan penyuluhan atau sosialisasi

2. Faktor Lingkungan :

Minimnya sarana dan prasarana kesehatan

Kemudian dari hasil diagnosis faktor perilaku dan faktor lingkungan tersebut, langkah selanjutnya adalah dari kedua faktor tersebut dibuat urutan berdasarkan rangking kemungkinan untuk diubah. Urutan rangking tersebut sebagai berikut : 1. Perilaku ibu rumah tangga dan ibu hamil tentang Kesehatan Ibu dan Anak

(KIA).

2. Perilaku Tenaga Kesehatan Puskesmas/ Bidan Desa/ Kader Kesehatan yang belum melakukan kunjungan ke rumah sebagai wujud perhatian dan tanggung jawab.

3. Perlunya ide kreatif/ inovasi dan pengawasan dari petugas Puskesmas 4. Pemenuhan sarana dan prasarana kesehatan

Dari urutan rangking diatas, kemudian peserta FGD menetapkan sasaran untuk rancangan Program Promosi Kesehatan adalah sebagai berikut :

Sasaran Primer : Ibu rumah tangga

Sasaran Sekunder : Anggota Keluarga (Ayah dan Anak)

Sasaran Tersier : Petugas Kesehatan Puskesmas/ Bidan Desa/ Kader Kesehatan

Selanjutnya peserta FGD merancang tujuan perubahan perilaku dan lingkungan yang ingin dicapai dalam Program Promosi Kesehatan adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan pengetahuan tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

2. Peningkatan Strata PHBS tingkat rumah tangga di Desa Jebed Selatan.

7.1.4 Fase Diagnosis Pendidikan dan Organisasional

Pada fase ini merujuk pada faktor pemudah (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor penguat (reinforcing factors).

Berdasarkan hasil analisis faktor pemudah (predisposing factors) dapat ditetapkan tujuan pembelajaran/ pendidikan yang ingin dicapai, sebagai berikut :

1. Peningkatan pengetahuan anggota keluarga tentang hidup sehat terutama Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

2. Anggota keluarga dapat mempraktekkan dan membudayakan hidup sehat.

Berdasarkan hasil analisis faktor pemungkin dan faktor penguat dapat ditetapkan tujuan organisasional yang akan dicapai melalui upaya pengembangan organisasi dan sumber daya, yaitu :

1. Meningkatkan pengetahuan tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas Puskesmas, bidan desa dan kader kesehatan tentang pelatihan partisipatif.

2. Melakukan advokasi kepada pengambil kebijakan agar dapat mengeluarkan kebijakan yang responsif terhadap kesehatan terutama terhadap pengembangan PHBS tingkat rumah tangga.

7.1.5 Fase Diagnosis Administratif dan Kebijakan

Pada fase ini dilakukan analisis terhadap kebijakan, sumber daya dan peraturan yang berlaku yang nantinya dapat memfasilitasi atau menghambat pelaksanaan Program Promosi Kesehatan.

Pada diagnosis administratif dilakukan penilaian, sebagai berikut :

1. Sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan Program Promosi Kesehatan adalah Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tenaga Kesehatan Puskesmas, Bidan Desa, dan Kader Kesehatan/ Ibu-ibu TP-PKK, tetapi yang

lebih penting adalah orang yang mempunyai komitmen untuk membuat Desa Jebed Selatan menjadi Desa Sehat.

2. Hambatan dari pelaksana program adalah komitmen mereka terhadap keberlangsungan program dan hambatan dari masyarakat adalah tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah.

Pada diagnosis kebijakan yang dilakukan adalah mengidentifikasi dukungan dan hambatan politis, peraturan dan organisasional yang memfasilitasi program.

Dalam mewujudkan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat di masyarakat telah diatur oleh kebijakan Menteri Kesehatan RI dalam bentuk Keputusan Menteri, yaitu : 1. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 1193/ MENKES/ SK/ X/ 2004

tentang Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan

2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1114/ MENKES/ SK/ VIII/ 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah

3. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1193/ MENKES / SK/ X/ 2004 tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 2010 (PHBS 2010)

4. Kebijakan “Kabupaten Pemalang Sehat 2010”

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam mewujudkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) telah didukung oleh Keputusan Menteri dan pemerintah daerah.

Tetapi dalam pelaksanaan di daerah belum mendapatkan dukungan penuh dari kalangan legislatif dan eksikutif Kabupaten Pemalang berupa Peraturan Daerah.