• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KETAATAN DALAM HIDUP BERKOMUNITAS

D. PERGULATAN KAUL KETAATAN DALAM KOMUNITAS

CARMELITE MISSIONARIES MASA SEKARANG

Setelah melihat gambaran komunitas beserta aspek-aspeknya di atas maka berikut ini akan diulas pergulatan ketaatan dalam komunitas Carmelite Missionaries masa sekarang.

Ketaatan adalah suatu hal yang sangat mudah dikatakan namun sangat sulit pula untuk dilaksanakan. Untuk dapat menjadi taat hendaknya kita menyerahkan kebebasan, pendapat dan keinginan pribadi. Dengan demikian ketaatan dewasa ini mengalami suatu pergulatan dan tantangan sesuai perkembangan arus zaman yang semakin maju.

1. Taat Pada Karya

Dewasa ini para suster Carmelite Missionaries menunjukkan ketaatannya dengan tekun, setia dan tanggung jawab dalam melakukan karya misi yang dipercayakan kepadanya oleh kongregasi. Dalam melaksanakan tugas dan karya yang dipercayakan yang sesuai dengan bidang-bidangnya, para suster memberikan cintanya tanpa batas kepada Allah dan sesama. Cinta kepada Allah menuntun Roh pada keheningan, ketenangan serta mengalami kehadiran-Nya dalam doa, melepaskan diri dari keinginan duniawi serta urusan sosial lainnya. Sedangkan cinta kepada sesama dilaksanakan dalam karya pendidikan, mengunjungi orang sakit, membantu kaum miskin, memberi pakaian pada yang telanjang, memberi makanan pada yang lapar,

dan lain-lain. Semuanya merupakan karya cinta kasih kepada sesama yang sangat membutuhkan.

Francisco Palau menasehati para susternya (Leterst, 99, #5:2006:1268) bahwa dalam melaksanakan karya kerasulan sangat dibutuhkan pengorbanan diri bagi sesama, karena Kristus berkarya dan menderita sampai wafat di salib demi manusia. Dengan mengikuti teladan Yesus Kristus, para suster Carmelite Missionaries dapat menghayati ketaatan yang bertanggung jawab dalam melaksanakan karya yang dipercayakan kepadanya oleh pemimpin. Maka sangat ditekankan hububungan antara pemimpin dengan para anggota dicirikan oleh kepercayaan dan kebebasan sebagai anak-anak Allah.

Oleh sebab itu, untuk taat pada karya, para suster hendaknya mempelajari ketaatan “melalui penderitaan atau situasi khusus yang sulit”. Misalnya, ketika suster diminta oleh pimpinan untuk meninggalkan proyek pribadi atau ide-ide tertentu, melepaskan dalih untuk mengatur hidup dan perutusannya sendiri, hendaknya suster tersebut tetap taat kepada pimpinan yang pada saat itu mewakili Allah sendiri. Melalui penderitaan seperti itu para suster belajar taat pada Tuhan, mendengarkan Dia, tetap setia hanya kepada-Nya. Dengan keterbukaan yang utuh dan murah hati ia belajar melaksanakan kehendak Allah bukan kehendaknya sendiri ( Luk. 22, 42).

Di dalam ketaatan, kita berpartisipasi pada pengambilan keputusan. Para suster terbuka, bersedia menerima dengan tenang dan bijaksana dalam permohonan-permohonan baru bagi karya dan pemindahan, siap meninggalkan secara sukarela setiap karya yang menyenangkan, paling tidak

sebagai tanda ketaatan. Jika mengalami kesulitan dalam karya para suster dapat berdialog dengan pemimpin dalam kesederhanaan dan kepercayaan, terbuka, jujur serta siap menerima dan melaksanakan keputusan pimpinan.

Namun dalam kenyataannya para suster Carmelite Missionaries, mengalami pergulatan untuk menjadi taat pada karya. Para suster mempunyai kelekatan tertentu pada ide-ide dan keyakinan sendiri, sehingga sulit bagi mereka untuk melepaskannya. Dengan demikian para suster diminta untuk melepaskan ide atau proyeknya. Suster tersebut mungkin akan mengalami kehilangan dan merasa ditolak oleh pemimpin. Ia akan menjadi sedih dan merasa sebagai beban berat yang menimpa dirinya. Namun dalam situasi itu, hendaknya para suster mempercayakan diri sepenuhnya kepada Bapa agar kehendak-Nya terlaksana. Dengan demikian para suster diajak untuk menyerahkan diri secara total dan penuh percaya pada Kristus, Putera Allah secara bebas kepada Allah sehingga para suster dapat mengambil bagian secara aktif dalam perutusan Kristus melalui ketaatannya pada karya yang dipercayakan kepadanya oleh pemimpin dan kongregasi.

2. Taat Pada Hidup Bersama

Hidup bersama dalam komunitas merupakan tanda cinta yang nyata sebagai persaudaraan gerejani. Komunitas para suster Carmelite Missionaries dipanggil untuk membagikan karisma kepada seluruh anggota komunitas sebagai satu keluarga yang dipersatukan di dalam nama Tuhan. Panggilan kita untuk hidup bersatu yang bersumber pada komunio Allah Tritunggal

ditemukan pada setiap tindakan dalam Gereja sebagai suatu misteri komunio (kons. art. 49). Dalam hidup bersama menuntut suatu keterbukaan, kerendahan hati dan saling percaya sebagai sumber kekuatan bagi pelaksanaan tugas perutusan bagi setiap anggota komunitas.

Dalam hidup bersama setiap anggota membagikan kelebihannya kepada orang lain demi pembangunan komunitas yang harmonis, serta berusaha bekerja sama dalam menyelesaikan proyek-proyek bersama dalam komunitas. Para suster CM menghidupi hidup persaudaraan yang diwujudnyatakan dengan saling mengasihi sebagaimana Yesus mengasihinya.

Dalam penghayatan kaul ketaatan dalam hidup bersama suster-suster Carmelite Missioanaries dewasa ini mengalami pergeseran. Beberapa anggota komunitas kurang mensyukuri dengan adanya kaul ketaatan yang telah diikrarkannya. Bagi mereka kaul ketaatan yang yang dijalankan dalam hidup bersama, dirasa sebagai beban yang mengikat, yang menekan bahkan menyakitkan. Di saat mereka membutuhkan uang saku, butuh pergi, butuh makan, butuh handphone, butuh laptop, dan lain-lain, mereka harus minta ijin kepada pemimpin. Yang mereka rasakan lebih pada tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak sendiri dan harus menuruti kehendak pemimpin dari pada pilihan bebas yang mereka putuskan sendiri untuk digunakan oleh kongregasi atau komunitas secara optimal dalam tugas pertusan.

Dengan demikian dalam hidup bersama segala keputusan atau peraturan yang telah ditetapkan bersama hendaknya ditaati oleh semua yang ada dalam komunitas tersebut, baik pemimpin maupun anggota. Sering terjadi bahwa

yang diataati bukanlah kehendak Allah, melainkan kehendak sendiri, pemimpin menyuruh anggota untuk melakukan kehendaknya sendiri bukan kehendak Allah. Maka agar dapat menjadi taat pada hidup bersama, para suster Carmelite Missionaries ditantang untuk bersama-sama mencari kehendak Allah bagi diri dan bagi komunitasnya. Dalam pencarian tersebut sangat dibutuhkan keterbukaan hati dan pikiran kepada Tuhan sendiri. Hal ini dapat tercapai jika baik pemimpin maupun anggota sungguh menghidupi hidup doanya dengan baik. Sebab jika relasinya dengan Tuhan dalam doa sungguh-sungguh di jalankan dengan baik, maka dalam hidup bersama akan selalu menemukan kehendak Tuhan sehingga keputusan pemimpin dan anggota sama. Dengan demikian, taat dengan cara penghayatan hidup bersama sebagai ketaatan pada jiwa dan semangat hidup bersama, melalui sikap rendah hati, saling memberi, meringankan beban penderitaan sesama.

3. Taat Kepada Yang Memimpin Kepada Persatuan

Panggilan Allah yang satu dan sama telah mengumpulkan para anggota komunitas bersama-sama (bdk Kol. 3:15). Mereka dibimbing oleh keinginan yang satu dan sama untuk mencari kehendak Allah. Bagi Gereja dan masyarakat, hidup komunitas merupakan tanda khusus dari ikatan yang berasal dari panggilan yang sama, dan hasrat bersama untuk taat kepada panggilan tersebut, meskipun ada perbedaan suku, bangsa, keturunan, bahasa dan budaya. Berlawanan dengan semangat perpecahan dan pengkotak-kotakan, wewenang dan kataatan bersinar sebagai tanda Kebapaan yang unik

yang berasal dari Allah, sebagai tanda persaudaraan yang lahir dari Roh Kudus (VC, 92).

Dalam pelayanan wewenang dan ketaatan (KTHB dan LHK, 2008:19) dikatakan:

Roh Kudus membuka tiap-tiap orang bagi Kerajaan Allah, sementara ia tetap menjalankan peranan dan karunianya yang berbeda-beda (bdk 1Kor. 12:11). Ketaatan kepada tindakan Roh Kudus mempersatukan komunitas dalam kesaksian dan kehadiran-Nya, dan membuat mereka melangkah dengan penuh sukacita (bdk Mzm. 37:23).

Dengan demikian ketaatan hidup membiara merupakan suatu kesediaan untuk terus menerus mengadakan pembaharuan sesuai dengan gerakan Roh, yang selalu bekerja di dunia. Tugas setiap anggota komunitas berbeda satu sama lain, tetapi masing-masing anggota komunitas memegang semangat dan karisma kongregasi yang sama. Maka dari itu sangat dibutuhkan kepekaan dalam hidup bersama. Roh itu berbicara dengan cara yang terbatas dan berbeda-beda kepada setiap anggota komunitas dalam keterbatasannya.

Dalam suratnya kepada para suster di Lérida dan Aytona, Francisco Palau menasehati para pengikutnya bahwa dalam hidup berkomunitas, hendaknya selalu mencari dan menyadari akan cinta Bapa yang dilimpahkan melalui Roh Kudus dalam hati setiap anggota (Let, #4; 2006:1055). Dengan demikian para suster sebagai tanda kesaksian yang memberi kegembiraan kepada dunia bagaikan sebuah komunitas yang diikat oleh cinta dan digerakkan oleh satu hati dan satu Roh yang sama (Kons. art. 49).

Para suster CM hendaknya tidak mencari kelemahan dan kekurangan dari pemimpin yang dapat menciptakan perpecahan, karena kita sama-sama

dipanggil oleh Allah untuk menjadi pengikut-Nya, dan melayani-Nya melalui karya kerasulan yang dipercayakan kepada setiap pribadi.

4. Spiritualitas Komunio dan Kekudusan Komuniter

Dunia sekarang sedang berlomba-lomba untuk mencari kedudukan dan memperoleh kekuasaan, tidak ada tempat lagi untuk saling melayani. Dunia mengalami ketidakadilan dan ketidaksamarataan, diskriminasi, relasi yang kurang suportif. Tidak diragukan lagi hal itu mempengaruhi cara mengembangkan relasi dalam komunitas religius.

Dalam KTHB dan LHK (2008:19-20) dikatakan bahwa orang menjadi lebih peka bagi nilai keterbukaan terhadap orang di luar dirinya, dapat membuahkan relasi yang baik dengan adanya perbedaan dan saling memperkaya.

Kesucian dan perutusan melampaui komunitas karena Tuhan yang bangkit membuat diri-Nya hadir di dalam dan melalui komunitas (VC, 50), menyucikan dan memurnikan relasi-relasi yang ada. Setiap pribadi anggota komunitas merupakan sakramen dari Yesus dan perjumpaan dengan Allah. Anggota komunitas dapat memberi suatu tindakan konkret untuk melakukan perintah saling mengasihi dan saling melayani. Dengan demikian jalan menuju kesucian menjadi jalan yang ditempuh bersama oleh semua anggota komunitas. Hal itu bukan hanya jalan bagi perorangan, melainkan terlebih pengalaman komunitas. Dengan demikian akan ada saling menerima dan saling berbagi anugerah, terutama anugerah kasih dan pelayanan, ada

pengampunan dan koreksi persaudaraan, ada saling berbagi dalam mencari bersama kehendak Allah yang kaya akan rahmat dan belaskasihan, dan ada kerelaan untuk memikul beban sesama.

Komunitas Carmelite Missionaries dipanggil untuk menghidupi karisma komunio yang telah diwariskan oleh Francisco Palau, dalam suatu sikap solidaritas sebagai anggota keluarga yang lebih luas. Saling berbagi dalam kegembiraan dan harapan, dalam kesulitan dan kecemasan secara khusus dalam lingkungan sosial di mana kita tinggal dan melakukan kegiatan merasul.

Dalam surat kepada para pengikutnya di Ciudadela, ditegaskan lagi oleh Francisco Palau bahwa untuk melakukan karya cinta kasih bagi sesama hendaknya para suster menjadi pelayan bagi satu sama lain. Spiritualitas komunio yang diwarisi oleh Francisco Palau adalah menjadi pelayan, bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani sesama. Bagi Francisco Palau hal itu merupakan keutamaan yang sangat berkenan dan mudah bagi setiap anggota komunitas. Ada pun hal yang dapat merusak komunio dalam hidup bersama, bila terjadi saling menghakimi, saling menyalahkan, saling menuduh di antara anggota komunitas. Keutamaan cinta kasih merupakan karya persatuan persaudaraan dalam komunitas (Leters, #6, 2006:1269).

Para suster Carmelite Missionaries mendalami karisma persatuan dengan umat Allah, secara khusus dengan uskup setempat, anggota tarekat religius dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kerasulan Kongregasi. Para

suster memperlihatkan tanda persatuan itu lewat karya kerasulannya di tengah masyarakat.

Dalam budaya masa kini, kesucian komunitas merupakan kesaksian yang meyakinkan, bahkan lebih meyakinkan dari kesaksian pribadi. Itu menunjukkan nilai abadi dari persatuan, anugerah yang diwariskan oleh Yesus Kristus sendiri, secara khusus dalam komunitas internasional dan antar budaya yang menuntut adanya penerimaan dan dialog tingkat tinggi (KTHB dan LHK, 2008:20).

Dengan demikian komunitas yang sungguh patuh pada gerakkan Roh Kudus, selalu memperhatikan suka duka dan hanya anggota yang dapat membantu anggota lain untuk tetap berkarya dengan setia dan tanggung jawab.

5. Taat Pada Pemimpin

Ketaatan religius pertama-tama adalah ketaatan kepada Kristus yang telah memanggil mereka, bukan kepada pemimpinnya. Ketaatan dipahami sebagai ketaatan kita, orang yang dipanggil, terhadap panggilan dan kehendak Tuhan sendiri. Kehendak Tuhanlah yang dicari, diiyakan, dan akhirnya dilakukan. Maka, dalam persoalan ketaatan, baik pemimpin dan anggota memang harus mencari kehendak Tuhan (Paul Suparno, 2007: 176-177).

Ketaatan dan wewenang merupakan aspek yang mengimbangi dalam penyerahan Kristus akan diri-Nya. Seorang suster yang dipercayakan sebagai pemimpin, memegang kekuasaan itu dalam roh pelayanan persaudaraan

kepada komunitas. Dialah yang membantu memperkembangkan persatuan dan memperlihatkan kepada anggota kasih, sebagaimana kasih Allah kepada setiap pribadi.

Para suster Carmelite Missionaries, dalam kepatuhannya kepada Roh yang menginspirasikan keduanya, yakni kehendak dan tindakkan, dilaksanakan demi kebaikan bersama serta kesetiaan kepada karisma CM. Dengan demikian ketaatan akan memperkuat kebebasan, mengarahkan para suster pada pemberian diri secara total dalam kasih, dan menjadikannya orang Kristen yang dewasa (Pre-project of Constitutions, 2011: 15 #36).

Taat kepada pemimpin sungguh menjadi pergulatan bagi anggota yang tidak mau diatur oleh orang lain. Sebab ada beberapa anggota yang kurang taat dengan peraturan-peraturan yang disahkan oleh pemimpin. Beberapa anggota malah lebih kerasan dengan kebiasaan-kebiasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada pemimpin. Jika kehendaknya tidak dituruti oleh pemimpin, maka ia akan bersikap pasif dalam komunitas. Ia akan diam saja jika pemimpin atau komunitas meminta ide, usul, saran demi perkembangan komunitas. Namun sering terjadi pula, seorang pemimpin memaksa anggota komunitas untuk mengikuti apa yang dihendakinya, pemimpin pilih kasih, pemimpin hanya memperhatikan satu karya yang menjadi kesenangannya, pemimpin memiliki anak emas dalam komunitas, pemimpin tidak mau mendengarkan, pemimpin berwawasan picik, pemimpin tidak bersikap rendah hati mau menerima dan mengakui kesalahannya, pemimpin kurang refleksi dan diskresi dan pemimpin tidak berani mengatakan kekurangan atau

kelemahan anggota komunitas. Hal ini sungguh menjadi penghambat dalam hidup berkomunitas yang bebas dan tanggunjawab. Dengan demikian dalam hidup bersama seorang pemimpin mempunyai peranan bagi pertumbuhan komunitas, sebagai berikut:

a. Pelayanan Mendengarkan

Menjalankan wewenang berarti pemimpin harus dengan senang hati mendengarkan anggota yang dipercayakan kepadanya. Mendengarkan merupakan salah satu bentuk pelayanan paling pokok bagi pemimpin. Seorang pemimpin hendaknya selalu siap untuk mendengarkan, terlebih kepada anggota komunitas yang merasa sendirian dan membutuhkan perhatian. Mendengarkan berarti menerima orang lain tanpa syarat, memberi tempat bagi mereka di hatinya sendiri. Untuk bisa mendengarkan, seorang pemimpin dituntut adanya afeksi dan pengertian. Perlu ditegaskan bahwa setiap anggota komunitas perlu dihargai, kehadiran dan pendapatnya dianggap penting (KTHB dan LHK, 2008: 21).

Kehendak Bapa disampaikan kepada anggota komunitas lewat pemimpin, situasi dan peristiwa dalam hidup. Seorang pemimpin harus dengan rendah hati mendengarkan situasi dalam keterbatasannya. Sebagai satu komunitas, hendaknya baik pemimpin maupun anggota harus saling mendengarkan satu sama lain dan mendengarkan suara komunitas (Darminta, 1975:43-44). Kaul ketaatan merupakan suatu janji, yang berisi kesanggupan untuk memperkembangkan kepekaan kita kepada suara komunitas, yang merupakan suara Roh.

Maka, bagi seorang pemimpin, kalau tidak mendengarkan anggotanya ia tidak tahu bagaimana mendengarkan Tuhan. Mendengarkan dengan penuh perhatian membuat pemimpin mampu mengatur dengan lebih baik daya dan anugerah-anugerah Roh kepada komunitas. Saat mengambil keputusan seorang pemimpin harus ingat akan keterbatasan dan kesulitan dari beberapa anggotanya. Adapun waktu yang digunakan untuk mendengarkan dapat mencegah krisis dan saat-saat sulit, baik tingkat pribadi maupun komunitas (KTHB dan LHK, 2008: 21).

Dalam General Pastoral Visit (2008:19) dituliskan dalam berkomunikasi dengan anggota komunitas, seorang pemimpin belajar untuk mendengarkan dengan penuh kesadaran, bebas tanpa paksaan. Hal itu memerlukan kemauan, keputusan untuk mendengar serta merasa bahwa pesan yang disampaikan diterima dengan baik oleh orang yang mendengarkan.

b. Menciptakan Suasana Yang Menyenangkan Bagi Dialog, Sharing

dan Tanggung Jawab Bersama

Dalam hidup berkomunitas, pemimpin harus berusaha menciptakan suasana saling percaya, dan meningkatkan pengakuan akan kemampuan dan kepekaan setiap pribadi. Dengan perkataan dan perbuatannya, seorang pemimpin mampu memupuk keyakinan bahwa komunitas membutuhkan partisipasi dan informasi (KTHB dan LHK, 2008: 21).

Selain itu, pemimpin harus menghargai dialog yang tulus dan bebas berbagi perasaan, sudut pandang dan rencana. Dalam suasana seperti itu

setiap pribadi dapat dikenal identitasnya yang sejati, dan meningkatkan kemampuan relasionalnya sendiri. Tiap anggota baik pemimpin maupun pribadi berusaha memahami isi hati dari setiap pribadi, selalu siap memperluas pandangan, mengoreksi dan siap mengubah visinya sendiri. Maka, dialog perlu disertai ketulusan hati, keterbukaan dan kejujuran tanpa prasangka buruk dan kekakuan (Joyce Riddick, 1987:182).

Dalam memimpin komunitas, seorang pemimpin tidak takut untuk mengakui dan menerima masalah-masalah yang gampang muncul di saat mencari, memutuskan, bekerja dan bersama-sama menempuh jalan yang terbaik untuk mewujudkan kerjasama yang efisien. Kemudian baik pemimpin maupun anggota berusaha mencari sebab-sebab ketidak nyamanan dan salah paham yang terjadi dalam komunitas, serta berusaha untuk mencari jalan guna setiap bentuk sifat kekanak-kanakan dapat teratasi.

Dalam tulisan tentang relasinya dengan Gereja (MRel. 947:13 #19) Francisco Palau menuliskan bahwa seorang pemimpin mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk menciptakan suasana komunitas yang menyenangkan melalui dialog dan sharing pengalaman hidup dalam komunitas. Pemimpin harus mengatur hidup komunitas, memberi tugas kepada setiap anggota agar mereka bertanggung jawab untuk melaksanakanya sesuai dengan karya masing-masing. Tanggung jawab itu harus dilengkapi dengan suatu keberanian untuk bertindak.

Dalam ketaatan, pemimpin dan anggota saling berdialog, mendialogkan kehendak Tuhan yang mereka rasakan. Pemimpin diharapkan mengerti secara

jelas perutusan juga keadaan komunitas dan kongregasinya, dan mengkomunikasikan hal itu kepada anggota yang ingin diutusnya. Sebaliknya, anggota juga mengkomunikasikan gagasan, perasaan dan keadaannya berkaitan dengan perutusan yang ditawarkan itu. Dalam suasana dialog itulah, dapat disadari bersama nilai dan bobot perutusan, sehingga anggota dapat menerima dengan gembira dan tidak merasa hanya sebagai perintah.

c. Mengusahakan Sumbangan Dari Semua Demi Kepentingan Semua

Pemimpin bertanggung jawab untuk mengambil keputusan terakhir. Sebagai pemimpin mereka tidak boleh melepaskan kewajibannya sebagai yang terutama bertanggung jawab atas komunitas, sebagai pembimbing rekan-rekan mereka dalam hidup rohani dan apostolik (VC. 43). Pemimpin harus mendorong dan memotivasi setiap anggotanya untuk memberi sumbangan, sehingga masing-masing merasa sebagai tugas pokoknya untuk menyumbangkan kasih, kemampuan dan kreativitasnya. Sesungguhnya, semua sumber daya manusia dikuatkan dan disatukan bersama dalam proyek komunitas, memotivasi dan menghargai setiap individu dalam komunitas.

Dalam surat kepada para pengikutnya di Lérida dan Aytona (Letters, #4, 2006:75) Francisco Palau mengatakan seorang pemimpin hendaknya memiliki keutamaan kasih, perhatian, bijaksana dan keleluasaan, menjadi pemimpin bagi semua, secara khusus pada mereka yang lemah.

Seorang pemimpin dalam komunitas Carmelite Missionaries, yang hidup saling mencintai, dituntut supaya segala-galanya disatukan, harta materi dan spiritual, kepandaian dan intuisi, proyek rasuli dan keinginan misioner (Mat. 18:20). Hal lebih mendasar yang perlu dikembangkan oleh seorang pemimpin adalah berbagi bakat dan hal-hal rohani, mendengarkan Sabda Allah, berbagi iman, karena semakin banyak kita membagikan hal-hal yang penting dan pokok itu, semakin kuatlah tumbuh ikatan persaudaraan.

Untuk mewujudkan semuanya itu pemimpin akan mengalami kemungkinan penolakan dari beberapa anggota komunitas. Dengan demikian pemimpin diharapkan jangan membatalkan proyek tersebut. Pemimpin dengan bijaksana mencari keseimbangan antara dorongan untuk mencapai persatuan yang bersemangat, dinamis dan sabar. Dalam usahanya untuk mencapai persatuan dalam komunitas pemimpin jangan berharap untuk segera dapat melihat hasil dari segala usahanya. Maka, baik pemimpin maupun anggota komunitas mengakui hanya Allah satu-satunya yang dapat menyentuh dan mengubah hati manusia (KTHB dan LHK, 2008:22c).

d. Pelayanan Pribadi dan Komunitas

KTHB dan LHK (2008:22d) dalam menyerahkan berbagai tanggung jawab kepada para anggota komuunitas, pemimpin harus mempertimbangkan kepribadian dari setiap anggota dengan kesulitan dan kecenderungan masing-masing. Pemimpin perlu memberi kesempatan kepada setiap anggota untuk mengekspresikan bakat-bakat pribadinya, dan menghormati kebebasan dari

masing-masing anggota. Pemimpin juga perlu mempertimbangakan kepentingan komunitas dan pelayanan bagi karya yang dipercayakan kepada setiap anggota komunitas.

Komunitas Carmelite Missionaries yang memiliki karisma khusus persatuan dan persaudaraan dalam hidup bersama, dalam mengatur semuanya itu tidak selalu mudah. Hal ini sangat dibutuhkan keseimbangan pemimpin, yang nampak dalam kemampuannya untuk melihat segi-segi positif dari setiap anggotanya, serta memanfaatkan segala daya yang ada dengan sebaik-baiknya. Hal itu dapat dilakukan dengan tujuan yang benar, yang memberi kebebasan batin kepada pemimpin. Ini dilakukan bukan untuk menyenangkan hati pribadi tertentu melainkan dengan jelas menunjukkan arti yang benar dari perutusan bagi orang yang dibaktikan.

Hal penting yang perlu diingat oleh setiap pribadi dalam komunitas bahwa mereka adalah orang yang dibaktikan menerima, dalam semangat iman dan dari tangan Bapa, tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya, meskipun itu tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya. Dengan demikian setiap anggota diberi kesempatan untuk bersikap jujur dan dengan terus terang menyampaikan kepada pemimpin kesulitan-kesulitan khusus sebagai sumbangan kepada kebenaran. Bagi setiap pribadi taat dalam hal semacam itu berarti mengandalkan keputusan akhir dari pemimpin, dengan keyakinan bahwa itu merupakan sumbangan berharga bagi pembangunan Kerajaan Allah, meskipun ada kesulitan dan penderitaan.

e. Discernment Komunitas

Dalam hidup berkomunitas yang diilhami oleh Roh Kudus, setiap

Dokumen terkait