• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU EKONOMI NELAYAN IKAN TUNA DALAM KERANGKA INDUSTRIALISASI PERIKANAN

Daerah Sendang Biru merupakan daerah dengan jumlah nelayan tuna yang cukup banyak. Hal ini juga terkait dengan letaknya yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia, yang notabene memiliki sumber daya ikan tuna yang melimpah. Melihat kondisi sekarang, tentunya banyak sekali perubahan yang terjadi di sana, khususnya mengenai usaha perikanan tuna yang dijalankan oleh para nelayan. Perubahan sistem melaut, penggunaan kapal sekoci, rumpon, ataupun GPS, tidak lepas dari proses industrialisasi perikanan yang terjadi. Kedepannya, industrialisasi tidak hanya terkait dengan peningkatan teknologi, melainkan lebih fokus pada kualitas hasil tangkapan. Dalam peningkatan kualitas hasil tangkapan tentunya tidak lepas dari peran nelayan. Peran nelayan sangatlah penting, mengingat nelayan adalah orang yang terjun langsung dalam usaha penangkapan ikan. Pertanyaannya adalah “apakah kapasitas nelayan tuna di Sendang Biru sudah sesuai dengan konteks industrialisasi?”. Dalam memahami hal tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan menganalisis perilaku ekonomi yang dilakukan oleh nelayan tuna. Perilaku ekonomi dijabarkan menjadi lima aspek yaitu orientasi mutu, adaptasi teknologi, hubungan sosial, ketenagakerjaan, dan perilaku konsumsi.

Perilaku Orientasi Mutu Nelayan Tuna Sendang Biru

Perilaku orientasi mutu sangat mutlak dibutuhkan dalam peningkatan usaha perikanan tuna. Menurut FAO (2007) ikan tuna (Thunus spp) merupakan komoditas pangan yang sangat digemari dan dicari di pasar dunia, karena memiliki kualitas daging yang sangat baik, lembut, dan lezat, serta memiliki kandungan gizi yang tinggi, karena semua asam amino essensial terdapat pada dagingnya. Ikan tuna merupakan ikan yang harganya sangat dipengaruhi oleh kualitas mutu ikan hasil tangkapan. Perbedaan sedikit saja pada kualitas ikan dapat membuat harga jualnya jauh lebih rendah. Oleh karena itu, dibutuhkan perlakuan ekstra hati-hati terhadap penanganan ikan tuna baik di kapal maupun saat pendistribusian. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perilaku orientasi mutu yang dilakukan oleh para nelayan tuna Sendang Biru, sekarang akan dipaparkan dahulu mengenai proses penangkapan ikan yang mereka lakukan.

Nelayan tuna Sendang Biru umumnya melaut selama 7 sampai 10 hari di tempat-tempat yang sudah dipasangi rumpon. Perjalanan untuk sampai ke tempat tujuan memakan waktu dua hari dua malam. Setelah sampai di tempat tujuan mereka akan mulai memancing ikan tuna. Ketika umpan sudah dimakan oleh ikan, nelayan akan mulai menarik dan mengulur tali pancing sesuai dengan kemampuan ikan. Setelah ikan mulai lemas dan di tarik ke pinggir sekoci, kepala tuna tersebut akan dipukul menggunakan balok kayu atau pemukul lainnya. Hal ini bertujuan agar ikan tuna tidak banyak melawan saat pengangkatan ke kapal. Selain itu, semakin cepat proses mematikan ikan tuna atau semakin sedikit perlawanan ikan tuna, maka kualitas dagingnya akan semakin baik. Proses pengangkatan tuna ke atas kapal juga tidak sembarangan. Para nelayan menggunakan ganco yang disangkutkan ke daerah sirip ikan tuna dan tidak boleh

54

ke bagian tubuh lainnya. Hal ini dikarenakan lecet atau rusaknya bagian-bagian tertentu pada tubuh tuna akan membuat harganya bisa jauh berkurang. Selanjutnya untuk ikan berukuran besar, insangnya dan isi perut akan dibuang terlebih dahulu. Berbeda dengan ukuran besar, ikan ukuran kecil biasanya insang tidak dibuang terlebih dahulu karena dianggap terlalu memakan waktu.

Selanjutnya, saat ikan tuna sudah berada di atas kapal, tuna dimasukkan ke dalam box penyimpanan ikan yang ada di bagian atas kapal. Namun sebelumnya bagian paling bawah box terlebih dahulu diberikan es. Perlakuan yang sama dilakukan berulang-ulang, yaitu menempatkan es dan ikan secara berlapis-lapis. Pendinginan dengan es dilakukan agar kualitas ikan bisa tetap terjaga. Setelah ikan yang didapat sudah dirasa cukup, para nelayan tuna akan kembali menuju daerah pelabuhan untuk melelang ikan hasil tangkapan. Jika jumlah hasil tangkapan sedang kurang baik, nelayan akan memperpanjang waktu melaut mereka. Terkait dengan keterbatasan jumlah es yang dibawa, maka jika es yang dibawa sudah habis, ikan akan dibiarkan dengan kondisi tanpa es yang cukup. Sebagai antisipasi, ada juga nelayan yang terpaksa pulang dengan hasil yang sedikit.

Secara mendasar sebenarnya perilaku orientasi mutu yang dilakukan oleh nelayan tuna Sendang Biru dapat dikatakan sudah cukup baik. Pertama, yaitu terkait dengan kebersihan peralatan melaut. Mayoritas dari responden nelayan mengatakan bahwa sebelum melaut mereka terlebih dahulu membersihkan dek kapal, box penyimpanan ikan, dan juga alat tangkap. Hal ini dilakukan agar kondisi kapal menjadi nyaman untuk digunakan dan dapat membantu menjaga kualitas ikan.

“... biasanya yah kapal pasti dibersihin mas, kalo ngga ya pasti bau amis. Terus kalo box ya juga kita bersihin sebelum ngelaut biar ga bau dan ikannya nanti ga cepet busuk ...” (WLO, 28th, 25 Februari 2013)

Kedua, penggunaan es dianggap juga sudah cukup mumpuni. Berbeda dengan pendapat Sihombing (2003) yang menyatakan bahwa nelayan jarang membawa es, semua nelayan di Sendang Biru sudah membawa es saat melaut. Biasanya nelayan yang pergi melaut akan membawa sekitar 100–150 balok es. Semua es tersebut nantinya digunakan untuk mengawetkan ikan agar tidak cepat busuk. Es yang dibawa mulanya ditempatkan di dek kapal, yang nantinya akan diambil secara bertahap untuk dimasukkan dalam box dan juga dimasukkan di dalam kepala dan perut ikan. Ketiga, pembuangan insang ikan juga sudah dilakukan dengan baik. Nelayan sudah paham bahwa jika insang ikan tidak di buang maka ikan akan cepat busuk. Sayangnya perlakuan pada ikan ukuran kecil sedikit berbeda. Biasanya ikan-ikan tuna ukuran kecil insangnya akan dibiarkan begitu saja. Selain menambah pekerjaan, harga ikan tuna kecil yang rendah membuat beberapa nelayan agak malas untuk membuang insangnya. Padahal insang dan darah dari ikan kecil bisa berpengaruh pada ikan-ikan besar.

Keempat, penggunaan pelindung matahari di kapal juga sudah banyak diperhatikan oleh para nelayan. Menurut Habibi et al. (2012), kondisi ikan tuna sangat sensitif terhadap suhu. Sengatan sinar matahari secara langsung dapat mempercepat penurunan kualitas ikan. Oleh karena itu, sebenarnya penggunaan

pelindung matahari d siang hari. Menurut H dari sengatan matahari burnt tuna syndrome untuk dijadikan shasim sudah menyediakan membuktikan bahwa se ikan.

Terakhir, sekaran NTT dan Ambon yang agar tidak memakan seluruhnya sudah paha tengah laut, gores-gor menurun. Jadi sekaran tuna tangkapannya di t Melihat perilaku sudah hampir mendeka bahwa 7 persen nelaya sudah termasuk kateg Perbandingan dapat dil

Gambar Hal yang sangat dan penjual, ikan hasi belum ada yang mem ditelusuri secara lebih pada perilaku adapta memengaruhi keadaan masih belum berjalan paham mengenai penil

Tinggi 60%

hari di kapal mutlak diperlukan, terutama saat pemr nurut Hermawan (2012) selama pemrosesan, tuna h tahari dan tidak sampai menderita (suffer) sehingga ome yang di Jepang disebut yake-niku dan tidak

hasimi. Dari 40 responden yang diteliti 25 oran akan pelindung sinar matahari di kapalnya.

hwa sebagian besar nelayan sudah tanggap dengan ekarang ini masih banyak nelayan tuna di beberapa on yang meloin atau memotong-motong ikan hasil akan tempat yang luas. Nelayan di Sendang h paham akan hal tersebut. Jangankan memotong

goresan pada kulit tuna saja sudah dapat mem karang ini tidak ada nelayan tuna Sendang Biru ya di tengah laut.

rilaku nelayan secara keseluruhan, tampaknya d endekati ideal. Menurut hasil penelitian di lapanga nelayan Sendang Biru masih berorientasi mutu rend uk kategori sedang, dan 60 persen sudah masuk ka

pat dilihat pada Gambar 15.

mbar 15 Persentase tingkat perilaku orientasi mutu angat disayangkan, menurut pemaparan dari bebera n hasil tangkapan nelayan di Sendang Biru ham g memenuhi standar mutu kelas A di beberapa pe

lebih mendalam, diduga penggunaan teknologi adaptasi teknologi) dan faktor eksternal nelay adaan tersebut. Pertama, kondisi penjualan dan pel rjalan secara maksimal. Belum ada tenaga ahli yan i penilaian kualitas mutu ikan tuna.

Rendah 7% Orientasi Mutu

55

t pemrosesan ikan di n, tuna harus terhindar hingga terhindar dari n tidak masuk standar 25 orang diantaranya nya. Hal tersebut engan orientasi mutu berapa daerah seperti n hasil tangkapannya ndang Biru hampir otong-motong tuna di t membuat harganya yang memotong knya dapat dikatakan lapangan didapatkan utu rendah, 33 persen suk kategori tinggi.

utu

beberapa pengambek hampir seluruhnya apa perusahaan. Jika knologi (akan dibahas nelayan juga turut dan pelelangan di TPI hli yang benar-benar

Sedang 33%

56

“... harga ikan tuna yah tergantung sama beratnya mas. Kalo tuna- tuna kecil di bawah 20 kilo, harganya paling belasan sampai dua puluh ribuan per kilo. Kalo tuna-tuna ukuran besar di atas 50 kilo harganya bisa sampai 40 ribuan mas ...” (WLO, 22th, 25 Februari 2013)

Tidak jauh berbeda dengan pendapat WLO, mayoritas nelayan lainnya juga mengatakan hal serupa. Penjualan ikan di TPI Pondokdadap umumnya masih didasarkan pada ukuran berat ikannya saja, bukan berdasarkan kualitas dagingnya. Harga hanya dipatok berdasarkan pada standar kuantitas kelompok berat yaitu 1–2 kg, 2–9 kg, 10–20 kg, dan >20 kg. Hal tersebut tentunya tidak memberikan motivasi besar bagi nelayan untuk menjaga kualitas hasil tangkapannya. Dalam penelitiannya, Hermawan (2012) menyatakan “penyebab utama dari rendahnya mutu ikan yang diperoleh karena adanya persepsi nelayan bahwa antara ikan yang bermutu baik dan tidak di PPP Pondokdadap memiliki nilai jual yang sama.”

Memang terkadang ada juga sistem pelelangan yang melihat kualitas daging dari tuna. Namun biasanya hal tersebut dilakukan dengan sistem kolektif. Artinya yaitu seluruh hasil tangkapan dari kapal yang sama, salah satu ikannya akan dipilih untuk dilihat daging bagian dalamnya dengan menggunakan alat yang ditusuk dari pinggir dada. Penilaian sampel daging tersebut akan dijadikan acuan harga untuk seluruh ikan lainnya. Sayangnya, sejauh ini belum ada ikan tuna yang dagingnya dianggap benar-benar berkualitas. Hal inilah yang membuat nelayan berada antara dua pilihan berat, yaitu menjual hanya didasarkan pada berat ikan dengan standar harga yang pasti, atau dilihat berdasarkan kualitas dagingnya namun dengan harga yang tidak pasti.

Gambar 16 Penampakan TPI Pondokdadap

Kedua, kondisi sarana dan prasarana yang terdapat di TPI juga kurang mumpuni. Menurut hasil pengamatan lapangan, kondisi TPI sendiri kondisinya sangat buruk. Ukurannya masih terbilang kecil dan sanitasinya kurang baik. Selain itu, lantai TPI terasa kasar dan masih banyak terdapat kotoran dan bekas darah di mana-mana. Padahal, saat dilelang, semua ikan hasil tangkapan dijajarkan dan diletakkan di lantai begitu saja tanpa ada alasnya lagi. Kotoran- kotoran dan bekas darah yang ada di lantai dapat membuat ikan lebih cepat rusak dan terjangkit bakteri. Selanjutnya terkait dengan tempat penyimpanan ikan. Umumnya tidak semua ikan hasil tangkapan bisa dijual dan diangkut langsung ke tempat pembeli, beberapa diantaranya harus menunggu beberapa jam. Ketiadaan cold storage atau tempat pendinginan ikan membuat kualitas ikan tuna semakin cepat menurun. Menurut wawancara dengan Kepala PPI Pondokdadap, ketiadaan tempat pendinginan bukan semata-mata karena kurangnya pendanaan, melainkan

kondisi listrik yang tida melaporkan kepada pe dengan masalah terseb menjadi hal yang mut Sendang Biru merupaka dan sekitarnya.

Ditilik secara gl Biru dengan data penol berkaitan. Perilaku o dilakukan oleh nelaya diterapkan oleh FDA di Selain faktor penangana ataupun proses distrib salmonella).

Perilaku Ad

Peran teknologi kuantitas hasil tangka melainkan juga berkai atau dapat disebut ada bahwa 7 persen nelay persen tergolong sedan bahwa mayoritas nela adaptasi teknologi pada

Gambar 17 Sekitar tahun 1980 Biru masih melaut de tersebut berukuran ke pun masih sangat terb sangat jarang. Seiring luar, kegiatan penangka Sekarang semua kapal

Sedang 73%

Ad

tidak stabil dan seringkali mati. Pihaknya sudah ada pemerintah daerah, namun belum ada tindaka h tersebut. Padahal ketersediaan tempat pendingin g mutlak diperlukan pada sebuah pelabuhan. Apa erupakan penghasil ikan yang sangat strategis bagi ara global, keterkaitan antara kondisi penangkap a penolakan FDA terhadap ikan tuna Indonesia tam aku orientasi mutu secara mendasar dapat dik nelayan tuna di sana. Standar kualitas mutu ika FDA dirasa belum mampu dicapai oleh nelayan di

nanganan di atas kapal, pengelolaan pasca penan distribusinya belum bisa dipastikan higienitasny

aku Adaptasi Teknologi Nelayan Tuna Sendang B

knologi sangatlah dibutuhkan dalam peningkatan tangkapan. Peran ini tidak hanya terkait kete berkaitan dengan kemampuan nelayan untuk men ut adaptasi teknologi. Berdasarkan pada Gambar

ayan tergolong dalam kategori perilaku adapt ong sedang, dan 20 persen tergolong kategori tinggi s nelayan tuna di Sendang Biru sudah melaku gi pada tingkatan sedang dan tinggi.

17 Persentase tingkat perilaku adaptasi teknolog hun 1980-an sampai akhir 1990-an mayoritas nelay

laut dengan menggunakan kapal yang sederhana an kecil dan belum dilengkapi dengan mesin. Da at terbatas. Bahkan nelayan yang mencari ikan tun eiring dengan perkembangan teknologi dan masuk

nangkapan ikan di Sendang Biru sudah jauh lebi kapal sekoci sudah berukuran besar dengan rata

Rendah 7% Tinggi 20%

Adaptasi Teknologi

57

sudah beberapa kali indakan pasti terkait ndinginan seharusnya . Apalagi pelabuhan s bagi daerah Malang ngkapan di Sendang sia tampaknya cukup at dikatakan sudah utu ikan tuna yang yan di Sendang Biru. penangkapan di TPI tasnya (bebas dari

dang Biru

ngkatan kualitas dan it ketersediaan alat, uk menggunakannya, ambar 17, diketahui ku adaptasi rendah, 73 tinggi. Dapat dilihat melakukan perilaku

eknologi

nelayan di Sendang derhana. Kapal-kapal in. Daya jangkaunya ikan tuna pun masih n masuknya pengaruh uh lebih berkembang. n rata-rata ukuran 10

58

GT. Kapal-kapal ini secara keseluruhan juga sudah dilengkapi dengan mesin, bahkan 1 kapal bisa menggunakan 2 mesin. Daya jangkaunya pun sudah mencapai 250 mil jauhnya, hampir mendekati perbatasan dengan perairan negara Australia. Peningkatan tersebut tentunya memberikan dampak positif bagi usaha perikanan nelayan tuna.

“... ya jauh toh mas. Dulu mah kapal-kapal belum pake mesin, jadi kita yang ngelaut di deket-deket sini ajah, paling yang lima mil dan itupun dapet ikannya yang kecil-kecil aja. Sekarang kan sekoci udah canggih-canggih mas, malah udah bisa ngelaut sampe deket Australi sana mas. Pendapatan juga pasti berubah mas, sekarang yo lebih tinggi ...” (ANJ, 56th, 26 Februari 2013)

Selanjutnya, adaptasi teknologi juga dilakukan terkait dengan penggunaan rumpon. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2011 pasal 19:(2), yang dimaksud dengan rumpon adalah alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Menurut penelitian Hermawan (2012) manfaat rumpon terdiri dari: (1) sebagai tempat mencari makan, berteduh, dan beristirahat ikan tuna sebagai ikan target utama, (2) diperoleh tingkat kepastian akan hasil tangkapan yang lebih tinggi, (3) hasil tangkapan besar (4) biaya operasional relatif rendah, akibat perubahan pola tangkapan dari hunting menjadi fishing (harvesting), dan (5) memperpanjang masa tangkapan, dari 6 bulan menjadi 8–10 bulan, bahkan ada yang melaut sampai 12 bulan. Rumpon terdiri atas pelampung, tali, pemberat, ban bekas, dan daun-daun kelapa. Rumpon dipasang dengan jarak 200–250 mil ke tengah laut. Satu buah rumpon umumnya digunakan oleh 5 sampai 6 unit kapal. Pembuatan rumpon memakan biaya 60–80 juta rupiah. Mahalnya biaya yang dikeluarkan karena dalam pembuatannya membutuhkan tali tambang khusus yang sangat panjang yang disesuaikan dengan kedalaman laut. Panjang tali yang digunakan bahkan dapat mencapai 12 000 meter. Ujung tali rumpon akan ditahan dengan menggunakan pemberat yang ditenggelamkan sampai menyentuh dasar laut.

Sumber: Hermawan (2012)

Gambar 18 Rumpon laut dalam (3 000–6 000 m) nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru.

59

Penggunaan rumpon seperti pada Gambar 18, membuat sistem penangkapan ikan tuna berubah, yang dulunya ‘hunting’ menjadi ‘fishing’. Dahulu, sebelum masuknya teknologi rumpon, para nelayan mencari ikan dengan menelusuri tempat yang kira-kira paling strategis dan menyesuaikan dengan kondisi alam. Tidak ada acuan resmi yang digunakan dalam penentuan tempat penangkapan ikan. Sekitar tahun 2005, ada nelayan pendatang yang mulai menggunakan rumpon untuk menangkap ikan. Menurut penuturan ketua kelompok nelayan, rumpon merupakan teknologi yang diadaptasi dari nelayan Filipina. Dengan menggunakan rumpon, nelayan tidak harus menebak-nebak posisi ikan, melainkan cukup datang ke daerah rumpon yang mereka miliki dan memancing ikan di sekitarnya. Setelah melihat potensi penggunaan rumpon oleh nelayan pendatang, akhirnya nelayan lokal pun ikut menggunakan rumpon. Bahkan, sekarang hampir seluruh nelayan yang ada di Sendang Biru sudah menggunakan rumpon.

Sekarang, semua kapal sekoci yang ada di Sendang Biru sudah menggunakan Global Positioning System (GPS) sebagai alat pendukung penggunaan rumpon. Teknologi ini digunakan untuk mengetahui letak pasti rumpon yang telah mereka pasang. Oleh karena itu, saat akan melaut mereka cukup membaca arah di GPS dan menuju tempat pemasangan rumpon. Penggunaan GPS ini juga membuat pekerjaan nelayan semakin efektif dan efisien. Dahulunya, saat mencari arah nelayan hanya bergantung pada penanda alam seperti arah gelombang, posisi matahari, dan rasi bintang. Penggunaan penanda alam tersebut memang terbukti dapat digunakan, namun dengan kemungkinan kesalahan yang relatif besar. Saat mencari daratan juga tidak ada petunjuk pasti mengenai penampakan pantai Sendang Biru. Biasanya nelayan hanya berusaha menemukan kontur-kontur daratan yang unik seperti adanya gunung, lekukan- lekukan, atau tanda-tanda lainnya. Hal tersebut biasanya juga akan memakan waktu yang cukup lama. Sekarang, dengan penggunaan GPS, posisi awal keberangkatan dan tujuan sudah bisa ditentukan dengan pasti. Arah keberangkatan, estimasi waktu perjalanan, serta kemiringan sudut pada kapal sudah bisa dilihat dengan pasti. Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap kinerja kapal dan efisiensi waktu melaut.

Ditilik dari segi alat penangkapan ikan tuna, nelayan juga tampaknya sudah paham benar dan bisa beradaptasi dengan kondisi alam. Perubahan kondisi alam dan tingkah laku ikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Jika dulunya nelayan hanya menggunakan satu jenis alat tangkap dan umpan, sekarang jenis alat tangkap dan umpannya sudah semakin beragam. Alat yang digunakan sekarang mulai dari pancing tangan sampai dengan pancing menggunakan layang- layang. Pancing tangan digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang berada di laut yang cukup dalam. Pancing layang biasanya digunakan untuk menangkap ikan- ikan yang ada di permukaan. Umpan yang dikaitkan di ekor layangan dan dibentangkan sampai permukaan air akan bergerak naik-turun seiring dengan gerakan layangan. Bentuk umpan yang demikian yang biasanya akan memancing ikan sasaran untuk memakan umpan tersebut. Selanjutnya, jenis umpan dan kail juga turut diperhatikan oleh nelayan.

“... ikan sekarang mah udah pinter mas. Biasanya susah kalo dikasih umpan yang itu-itu lagi, malah gamau dimakan. Jadi kitanya harus kreatif ...” (PTR, 25th, 26 Februari 2013)

60

Validitas mengenai perilaku adaptasi ikan tuna terhadap jenis umpan sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Hanya saja menurut pendapat para nelayan, ikan tuna memang memiliki kebiasaan tertentu. Untuk mengantisipasi hal tersebut, banyak nelayan yang mencoba berkreasi dan membuat umpan-umpan baru dengan menggunakan kaleng, sendok besi, potongan besi, kaset CD, plastik, maupun bahan-bahan lainnya. Beberapa bentuk umpan buatan nelayan dapat dilihat pada Gambar 19. Biasanya, jika ada umpan tertentu buatan nelayan yang seringkali dimakan oleh ikan tuna, nelayan lainnya juga akan meniru hal yang sama.

Gambar 19 Umpan ikan dari bahan benang, sendok, dan plastik

Melihat fakta-fakta yang disebutkan sebelumnya, perilaku ekonomi nelayan dari segi adaptasi teknologi terlihat sudah cukup baik. Namun, jika beranjak kepada kriteria yang lebih tinggi, sebenarnya kesesuaian perilaku adaptasi teknologi dengan industrialisasi masih belum sempurna. Ada faktor-faktor lainnya yang belum dimiliki oleh nelayan tuna Sendang Biru, terutama terkait dengan ukuran kapal dan penggunaan teknologi yang lebih modern.

Gambar 20 Kapal sekoci nelayan tuna Sendang Biru

Ukuran kapal yang yang digunakan oleh nelayan tuna Sendang Biru biasanya berkisar antara 16 x 3.5 x 1.2 m. Ukuran tersebut terbilang kecil jika dibandingkan dengan nelayan-nelayan tuna modern. Ukuran kapal tentunya terkait langsung dengan ketangguhan kapal dalam melaut dan kapasitas muatan yang bisa diangkut. Menurut penuturan salah satu pegawai PPI Pondokdadap, sebenarnya kapal dengan ukuran seperti sekoci kurang layak untuk menempuh perjalanan yang sangat jauh. Selain faktor ketahanan, keselamatan awak kapal juga dipertaruhkan, mengingat semakin jauh dari pantai ombaknya bisa semakin

besar. Bahkan hampir bersama semua awakn umumnya berani untuk dipikirkan. Pada kenya saling bergantian untuk p

Selain itu, pengg pencari ikan (fish finde responden yang diwaw dan hanya 3 orang yan inipun usaha perikana makin selaras dengan dipertimbangkan untuk d dapat membantu nela terdapat banyak gerom untuk memancing. Kem Hal ini dilakukan me prioritas. Dengan men dengan orang-orang di