• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Perjanjian dan Akad `

Perjanjian adalah salah satu bentuk perikatan. Pengertian dari perikatan sendiri adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, yaitu pihak pertama mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain. Kewajiban yang dibebankan kepada debitur(peminjam) dalam perjanjian, memberikan hak kepada kreditur untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Jika debitur tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditur berhak menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang telah disepakati bersama, dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga, kerugian, dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur.

Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi tentang perjanjian yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan diri untuk sesuatu hal terhadap seseorang atau beberapa orang lainnya. Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : 1) Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;

3) Suatu pokok persoalan tertentu; 4) Suatu sebab yang tidak terlarang .

Dari ketentuan diatas, bahwa dalam melakukan sebuah perikatan yaitu perlu adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak, faham atas apa yang telah dilakukan pada perjanjian tersebut, dan melakukan suatu perjanjian yang tidak dilarang oleh hukum yang berlaku di Indonesia.

b. Akad

Menurut fiqih muamalah, membagi perjanjian atau akad menjadi dua bagian yaitu : akad tabarru’ dan akad tijarah atau mu’awadah. Mengacu pada pendapatnya Adiwarman Karim (2004: 58) dari kedua akad tersebut dapat peneliti kemukakan sebagai berikut :

a. Akad Tabarru‟

Akad tabarru‟ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-profit (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersial. Akad tabarru‟ ditujukan untuk tolong- menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru‟ pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak untuk mendapatkan imbalan apapun dari pihak lainnya, kecuali imbalan tersebut hanya dari Allah SWT bukan dari manusia.

b. Akad Tijarah

Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena bersifat komersil.

4. Pembiayaan Al-Mudharabah a. Pengertian Al-Mudharabah

Al-Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha. Muhammad (2005: 106) berpendapat bahwa :

Qirad atau mudharabah adalah kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha pemilik keahlian atau keterampilan atau tenaga dalam pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha.

Sedangkan Adiwarman Karim (2004: 93) menyatakan bahwa :

Al-Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan dalam panduan kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian mudharib.

Zainul Arifin (2000: 202) menyatakan bahwa :

Mudharabah adalah akad yang dilakukan antara pihak pemilik modal dengan mudharib (pengelola), dimana keuntungan disepakati di awal untuk dibagi bersama dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

Ach. Syaiful Hidayat A. (2009:4) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul Penerapan Akuntansi Syari‟ah Pada Koperasi BMT Sarana Dakwah Muslim Malang, menyatakan bahwa :

Mudharabah adalah kerjasama bank dengan pihak pengusaha yang

diyakini. Bank memberikan dana 100% untuk usahanya, pengusaha memberikan tenaga dan keahliannya. Laba atau Rugi usaha akan dibagi. Berdasarkan rasio atau nisbah tertentu sesuai kesepakatan. Kerugian yang timbul akibat dari suatu hal yang bukan karena kelalaian atau penyelewengan pengusaha akan ditanggung bank, sedangkan kerugian karena kesalahan pengusaha akan ditanggung pengusaha sendiri.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak, pihak pertama (shahib al maal) menyediakan 100% modal, sedangkan pihak kedua (mudharib) sebagai pemilik keahlian dan keterampilan menjadi pengelola. Keuntungan dari kerjasama

ini dibagi sesuai dengan akad perjanjian dan apabila terjadi kerugian atas usaha yang dijalankan, maka kerugian tersebut menjadi tanggungjawab bersama.

b. Rukun Al-Mudharabah

Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah menurut Adiwarman Karim (2004: 193) adalah :

1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha),

2. Objek mudharabah (modal dan kerja),

3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul),

4. Nisbah keuntungan

Rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad jual-beli ditambah satu faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Faktor pertama, dalam akad mudharabah harus ada minimal dua pelaku yaitu pemilik modal sebagai

obyek mudharabah yang menyerahkan modalnya, dan pelaksana usaha yang

menyerahkan keahlian atau keterampilannya sebagai obyek mudharabah. Persetujuan kedua pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah, bila kedua belah pihak telah menyetujui perjanjian-perjanjian dan tugas yang harus dilaksanakan oleh masing- masing, maka langkah selanjutnya adalah membicarakan nisbah keuntungan. Nisbah keuntungan merupakan rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak.

c. Landasan Syari'ah

Landasan syari'ah al-Mudharabah lebih mencerminkan pada tujuan

melakukan usaha. Hal ini tampak pada ayat-ayat al-qur‟an dan al-hadist berikut: 1) Al-Qur‟an

Dalam menjalankan pembiayaan mudharabah perlu adanya aturan yang melandasi dari kegiatan tersebut, diantaranya

a)QS. Al-Muzammil :20

Artinya :

”Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri kurang

dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang- orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah dari Al-Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Yang menjadi argumen dari QS. Al-Muzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan.

QS. Al-Jumu‟ah : 10

Artinya ;

”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Ayat tersebut menerangkan bahwa Allah menghalalkan umat manusia untuk mencari rizki yang sudah diberikan kepadanya dan memanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia.

b)QS. Al-Baqarah : 198

Artinya ;

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”

Ketiga ayat diatas ( QS. Muzammil: 20, QS. Al-Jumu‟ah: 10 dan QS. Al- Baqarah: 198) sama-sama mendorong manusia untuk melakukan upaya perjalanan usaha.

Selain dalam Al-Qur‟an juga ditegaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Thabrani berikut :

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib

jika memberikan dan kepada mitra usahanya secara mudharabah, ia

mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikannya syarat-syarat tersebut kepada Rosulullah SAW dan Rosulullah SAW memperbolehkannya.

Dari hadist tersebut menegaskan bahwa dalam pemberian dana pembiayaan mudharabah harus digunakan syarat-syarat yang disepakati bersama dan kedua belah pihak yaitu pihak yang memberi dana (shahibul maal) dan pihak penerima dana (mudharib) harus mentaati syarat-syarat tersebut.

Dalam sistem ekonomi Islam tidak mengenal adanya bunga, karena hal tersebut dianggap sebagai riba dan dihukumi haram. Dasar hukum larangan menggunakan riba atau bunga telah tercantum dalam Al-Qur‟an, menurut Muhammad (2005: 107) yaitu :

a) Doktrin kerjasama dalam ekonomi Islam dapat menciptakan kerja

produktif sehari-hari dari masyarakat. (QS. 2 : 190)

b) Meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan sosial. (QS. 3: 105;

QS. 5: 3; QS.9: 71,105)

c) Mencegah penindasan ekonomi dan distribusi kekayaan yang tidak merata ( QS.69: 25-37; QS.89:17-20; QS.107:1-7)

d) Melindungi kepentingan ekonomi lemah (QS.4: 5-10; 74-76;QS.89:17-26)

e) Membangun organisasi yang berprinsip syarikat, sehingga terjadi proses yang kuat membantu yang lemah (QS. 43: 32)

f) Pembagian kerja atau spesialisasi berdasarkan saling ketergantungan serta pertukaran barang dan jasa karena tidak mungkin berdiri sendiri (QS. 92: 8- 10; QS. 96: 6)

d. Jenis-jenis Al Mudharabah

Mengacu pada pendapat Adiwarman Karim (2004: 200) secara umum, al- mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu:

1. Mudharabah Muthlaqah

Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Pemilik dana (shahibul maal)

memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudharib untuk

menginvestasikan atau memutar uangnya.

2. Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah Muqayyadah (restricted mudharabah atau specified

mudharabah) adalah kerjasama usaha dimana mudharib dibatasi dengan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum shahibul maal dalam memasuki jenis usaha.

Menurut Zainul Arifin (2000: 203) berpendapat bahwa “Mudharabah

muqayyadah adalah akad yang dilakukan antara pemilik modal (shahibul maal) kepada pengelola usaha (mudharib) untuk usaha yang ditentukan oleh pemilik modal, dimana keuntungan disepakati di awal untuk dibagi bersama dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal (shahibul maal) “.

e. Manfaat dan Resiko Al-Mudharabah

1) Manfaat Al-Mudharabah

Manfaat pembiayaan mudharabah, menurut pendapat Muhammad( 2002:

105) adalah :

a) Bank akan mengalami peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat;

b) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread;

c) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah;

d) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan;

e) Prinsip bagi hasil mudharabah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap pun keuntungannya yang dihasilkan oleh nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis moneter.

2) Resiko Al-Mudharabah

Resiko al-mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi (Muhammad, 2002: 105) diantaranya :

a) Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak;

b) Lalai dan kesalahan yang disengaja;

c) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah yang tidak jujur.

5. Kredit

Dokumen terkait