• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN IPG DAN IDG INDONESIA TAHUN 2004-2012

Dalam dokumen BUKU II RKP TAHUN 2015 (Halaman 31-38)

Sumber: BPS

Peningkatan IPG didukung oleh pencapaian di bidang pendidikan. Hasil Susenas 2011 dan 2013 (bulan Maret) menunjukkan bahwa rasio APM perempuan terhadap APM laki-laki meningkat untuk semua jenjang pendidikan. Di tingkat SD/MI meningkat dari sebesar 98,8 persen menjadi 99,8 persen, di tingkat SMP/MTs meningkat dari sebesar 103,45 persen menjadi 105,7 persen, di tingkat SMA/MA meningkat dari sebesar 96,1 persen menjadi 100,7 persen; dan di tingkat Perguruan Tinggi meningkat dari sebesar 102,9 persen menjadi 109,7 persen. Sedangkan peningkatan IDG didukung oleh pencapaian di bidang politik dan pengambilan keputusan. Data KPU menunjukkan proporsi keterwakilan perempuan di DPR meningkat dari sebesar 11,3 persen pada Pemilu 2004 menjadi sebesar 18,4 persen pada Pemilu 2009. Peningkatan tersebut didukung oleh UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang mengamanatkan sedikitnya tiga puluh persen keterwakilan perempuan dalam pendaftaran Partai Politik sebagai calon dalam pengajuan bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;

Walaupun terdapat kemajuan dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan, masih terdapat permasalahan dan tantangan yang dihadapi pada tahun 2015.

1-14 | Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015

PENGARUSTAMAAN DAN PEMBANGUNAN LINTAS BIDANG

hal ini, partisipasi pendidikan anak laki-laki lebih rendah dibandingkan anak perempuan. Pada tahun 2012, untuk kelompok usia 7-12 tahun, 2,25 persen anak laki-laki dan 1,83 persen anak perempuan tidak bersekolah, sementara untuk kelompok usia 13-15 tahun angkanya mencapai 11,4 persen untuk anak laki-laki dan 9,17 persen untuk anak perempuan. Untuk kelompok usia 16-18 tahun persentase mereka yang yang tidak bersekolah tidak terlalu berbeda, yaitu 39,0 persen untuk anak laki-laki dan 38,8 persen untuk anak perempuan. Di bidang kesehatan, status kesehatan ibu belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Angka kematian ibu (AKI) melahirkan meningkat dari 228 (SDKI 2007) menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012). Peningkatan AKI ini jauh dari target MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015 yaitu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup. Di samping itu, kasus HIV/AIDS cenderung meningkat di kalangan ibu rumah tangga yang kemudian ditularkan pada janin yang dikandung. Pada tahun 2012 terdapat 4.943 kasus HIV yang terjadi pada kelompok ibu rumah tangga (KPAN). Sementara itu, status kesehatan dan gizi anak laki-laki lebih rendah dibandingkan anak perempuan. Hal ini terlihat dari Angka Kematian Balita (AKBa) dan status gizi buruk balita. Berdasarkan SDKI 2007, AKBa laki-laki sebesar 56 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan AKBa perempuan sebesar 46 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, status gizi buruk balita laki-laki sebesar 5,2 persen, sedangkan gizi buruk balita perempuan sebesar 4,6 persen (Riskesdas 2007). Kondisi tersebut karena secara genetis bayi dan balita laki-laki lebih rentan daripada perempuan, kromosom Y pada laki-laki tidak se-stabil kromosom X. Umumnya ibu atau pengasuhbelum memahami tentang perbedaan kerentanan antara bayi/balita laki-laki dengan perempuan tersebut.

Permasalahan di bidang ketenagakerjaan, ditunjukkan oleh tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan yang menurun dari 52,44 pada tahun 2011 menjadi 51,39 pada tahun 2012. Selain itu, TPAK perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, yaitu 51,39 persen dibanding 81,4 persen pada tahun 2012 (Sakernas). Terdapat beberapa hambatan bagi perempuan yang sudah menikah untuk masuk ke dunia kerja, yaitu masih terbatasnya sarana dan prasarana kesehatan

Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015 | PENGARUSTAMAAN DAN PEMBANGUNAN LINTAS BIDANG

1-15

terbagi dengan pekerjaan. Selain itu, kualitas pekerja perempuan di sektor formal masih rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini terlihat dari rata-rata tingkat pendidikan pekerja perempuan setara SD sekitar 28,44 persen dibanding pekerja laki-laki yang setara SD sekitar 23,06 persen (Sakernas 2011). Sedangkan di sektor informal, pekerja perempuan banyak yang berstatus pekerja tak dibayar sekitar 31,28 persen (Sakernas 2012). seperti ibu rumah tangga/anggota keluarga yang membantu orang lain berusaha dengan tidak mendapat upah/gaji, misalnya berjualan di warung. Sementara itu, permasalahan terkait Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW), ditemui mulai dari pra-penempatan, masa pra-penempatan, hingga purna penempatan (pemulangan). Pengiriman TKI/TKW juga menimbulkan masalah di keluarga yang ditinggalkan.

Di bidang politik, partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan/atau politik di Legislastif, Eksekutif, dan Yudikatif masih rendah. Hal ini terlihat dari keterwakilan perempuan di DPR pada periode 2009-2014 hanya sebesar 18,4 persen dibandingkan laki-laki sebesar 81,6 persen (KPU). Hal ini antara lain disebabkan oleh masih rendahnya keinginan perempuan untuk terjun ke dunia politik yang identik dengan dunia laki-laki dan masih kurangnya kapasitas perempuan di bidang politik.

Selanjutnya, pengambil keputusan di lembaga Eksekutif masih belum berimbang antara pejabat laki-laki dan perempuan di semua tingkat eselon. Berdasarkan data BKN tahun 2013, rasio menteri laki-laki dengan menteri perempuan masih sekitar 9:1. Sedangkan rata-rata rasio antara pejabat eselon I dan II laki-laki dan perempuan di kementerian/lembaga sekitar 8:2, sementara rasio pejabat eselon III kondisinya lebih baik, sekitar 7:3 Sementara di tingkat provinsi, rendahnya keterwakilan perempuan lebih mencolok lagi, terlihat dari perbandingan gubernur laki-laki dan gubernur perempuan sekitar 32:1. Demikian pula pada tingkat kabupaten/kota kondisinya tidak jauh berbeda.

Di bidang ekonomi, khususnya dalam upaya penurunan kemiskinan masih terdapat kesenjangan gender. Penurunan

1-16 | Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015

PENGARUSTAMAAN DAN PEMBANGUNAN LINTAS BIDANG

persen, sedangkan RTM-P mengalami peningkatan dengan angka yang sama. Selanjutnya, pola yang sama dan jauh lebih kontras terjadi untuk tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan untuk rumah tangga miskin di perkotaan. Penurunan tingkat kedalaman kemiskinan RTM-P di perkotaan (7 persen) lebih rendah dari RTM-L (21 persen), dan penurunan tingkat keparahan kemiskinan untuk RTM-P (19 persen) juga lebih rendah dari RTM-L (25 persen). Berbagai program perlindungan sosial bagi penduduk miskin telah diluncurkan, namun sebagian besar RTM-P mengalami kesulitan untuk mengakses aset finansial.

Di bidang hukum, masih banyaknya peraturan perundang-undangan, kebijakan, program yang bias gender. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, peraturan daerah yang diskriminatif atau bias gender terus meningkat dari sebanyak 282 pada tahun 2012 menjadi 342 pada tahun 2013. Permasalahan lainnya adalah akses perempuan pada peradilan juga masih rendah dan jumlah aparat penegak hukum yang responsif gender masih terbatas.

Di bidang lingkungan hidup, perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya krisis air bersih, pangan, dan ancaman kesehatan, berdampak lebih besar terhadap perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan peran perempuan merupakan pelaku kegiatan yang seringkali bersinggungan langsung dengan alam, yang mengakibatkan lebih rentan.

Kedua, meningkatkan perlindungan bagi perempuan dari

berbagai tindak kekerasan, termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Dalam rangka perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, sampai dengan 2013 telah disusun dan disahkan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan, seperti UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women/CEDAW), UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun demikian, kasus kekerasan

Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015 | PENGARUSTAMAAN DAN PEMBANGUNAN LINTAS BIDANG

1-17

Data Komnas Perempuan menunjukkan kasus KDRT meningkat dari 4.305 kasus (42 persen) pada tahun 2012 menjadi 7.548 kasus (66 persen) pada tahun 2013. Tindak kekerasan di tempat kerja,umumnya berupa pelecehan seksual, mencapai sekitar 10 persen pada tahun 2011 (Kementerian PP dan PA). Terkait kekerasan di ruang publik, data Komnas Perempuan mencatat kekerasan di ranah publik (komunitas) meningkat dari 4.293 kasus pada tahun 2012 menjadi 4.679 kasus pada tahun 2013. Di samping itu, Komnas Perempuan juga mencatat kasus TPPO mencapai 614 kasus pada tahun 2013. Tingginya/meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan TPPO tersebut disebabkan oleh: (i) masih tingginya tingkat kemiskinan; (ii) tingginya angka perkawinan pada usia anak, terutama pada perempuan; (iii) masih kurangnya upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan; (iv) masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan; (v) keengganan korban melapor karena berbagai alasan; dan (vi) belum optimalnya penegakan hukum dan pemenuhan rasa keadilan bagi korban.

Ketiga, meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG dan

perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan.

Capaian dalam peningkatan kelembagaan PUG di tingkat nasional dan daerah, telah disusun Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG yang ditandatangani oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri PP dan PA, serta Menteri Dalam Negeri pada tahun 2012. Selain itu, sampai tahun 2013 telah dilakukan pelatihan dan fasilitasi penerapan PUG di 34 kementerian/lembaga dan 33 provinsi, serta disusun Pedoman Penerapan PPRG di berbagai bidang pembangunan. Namun demikian, masih dihadapi beberapa permasalahan antara lain: (i) masih rendahnya pemahaman konsep gender, termasuk payung hukum PUG yang mempengaruhi komitmen penerapan PUG (Inpres No. 9 tahun 2000, RPJMN I (2004-2009) dan II (2010-2014), serta Surat Keputusan Mendagri No. 32 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah); (ii) belum melembaganya penyediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data terpilah dalam penyusunan kebijakan dan rencana program/kegiatan

1-18 | Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015

PENGARUSTAMAAN DAN PEMBANGUNAN LINTAS BIDANG

Capaian dalam peningkatan kelembagaan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, termasuk TPPO, adalah disusunnya berbagai peraturan perundang-undangan terkait tindak kekerasan termasuk TPPO, seperti yang telah disebutkan di atas (UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW), UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO), serta peraturan teknis lainnya seperti: Permeneg PP No. 01/2007 Tentang Forum Koordinasi Penghapusan KDRT, Permeneg PP dan PA No. 1 Tahun 2010 tentang SPM Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Permeneg PP dan PA No. 19 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan, Perpres No.69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO, Permeneg PP dan PA No. 22 Tahun 2010 Tentang Prosedur Standar Operasional Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban TPPO,Permeneg PP dan PA No. 9 Tahun 2011 Tentang Kewaspadaan Dini TPPO, Permeneg PP dan PA No. 10 Tahun 2012 Tentang Pembentukan dan Penguatan Gugus Tugas PP-TPPO, serta Permeneg PP dan PA No. 11 Tahun 2012 Tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Berbasis Masyarakat dan Komunitas.

Sedangkan permasalahan yang masih dihadapi adalah : (i) belum tersedianya data prevalensi yang dapat memberikan informasi mengenai besaran masalah kekerasan terhadap perempuan. Data kekerasan yang tersedia saat ini adalah data kasus, yang didasari oleh laporan kasus kekerasan yang diterima penyedia layanan (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak/P2TP2A, Komnas Perempuan, Woman Crisis Center/WCC, Lembaga Bantuan Hukum, UPPA Polri, Kejaksaan, Pengadilan Agama); (ii) masih kurangnya koordinasi antarlembaga penyedia layanan bagi perempuan korban kekerasan; (iii) terbatasnya ketersediaan anggaran untuk layanan terpadu perempuan korban kekerasan; (iv) kurangnya petugas terlatih untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan; dan (v) kurangnya sosialisasi perundang-undangan dan kebijakan terkait kekerasan terhadap perempuan.

Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015 | PENGARUSTAMAAN DAN PEMBANGUNAN LINTAS BIDANG

1-19

kesetaraan gender, yang ditandai antara lain dengan: (1)

Meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, politik, ekonomi, dan hukum; (2) Meningkatnya perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, termasuk TPPO, yang ditandai dengan meningkatnya upaya-upaya pencegahan, efektivitas pelayanan, serta pemberdayaan perempuan korban kekerasan; dan (3) Meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender dan kelembagaan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan di tingkat nasional dan daerah.

1.1.3.3 Arah Kebijakan dan Strategi

Arah kebijakan pengarusutamaan gender di tahun 2015 antara lain: Pertama, meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan, yang dilakukan melalui strategi: (1) Peningkatan pemahaman dan komitmen tentang pentingnya pengintegrasian perspektif gender dalam berbagai tahapan, proses, dan bidang pembangunan, di tingkat nasional maupun di daerah; dan (2) Penerapan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) di dalam berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, politik, ekonomi, dan hukum. Kedua, meningkatkan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, yang dilakukan melalui strategi: 1) Harmonisasi dan penyusunan aturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait dengan perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, termasuk TPPO; (2) Peningkatan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan; (3) Peningkatan layanan bagi perempuan korban kekerasan (layanan pengaduan, kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial) dengan meningkatkan koordinasi antarlembaga terkait.

Ketiga, meningkatkan efektivitas kelembagaan PUG/PPRG dan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, yang dilakukan melalui strategi: (1) Peningkatan kapasitas SDM di K/L dan Pemda; (2) Penguataan lembaga/jejaring PUG; (3) Pelembagaan ketersediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data terpilah dalam penyusunan kebijakan dan rencana

1-20 | Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015

PENGARUSTAMAAN DAN PEMBANGUNAN LINTAS BIDANG

Penerapan PUG di berbagai bidang pembangunan tahun 2015 adalah sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:

TABEL 1.2

Dalam dokumen BUKU II RKP TAHUN 2015 (Halaman 31-38)