• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Sosial Anak Selama Masa Sekolah Dasar

LANDASAN TEORI

2.5 Kajian Teori

2.5.1 Perkembangan Sosial Anak Selama Masa Sekolah Dasar

Uraian tentang perkembangan sosial anak selama masa sekolah dasar ini membahas perkembangan sosial dan karakteristik perkembangan sosial.

2.5.1.1 Hakikat Perkembangan Sosial

Setiap anak memiliki perkembangan sosial yang berbeda-beda dengan anak-anak lainnya. Slavin (2011:100-102) mengatakan bahwa perkembangan yang dialami oleh anak-anak usia sekolah dasar terbagi menjadi 3 bagian yaitu: a) perkembangan fisik b) perkembangan kognisi c) perkembangan sosioemosi. Peneliti menekankan kepada aspek sosial anak sekolah dasar. Mendukung pendapat sebelumnya, Hapsari (2016: 8) mengatakan bahwa perkembangan sosial berkaitan dengan kemampuan anak dalam berinteraksi dengan lingkungannya yaitu dengan keluarga, teman sebaya, dan orang-orang di sekitarnya.

2.5.1.2 Karakteristik Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial pada anak yang berkaitan dengan usia anak tersebut dibedakan menjadi beberapa karakteristik. Hapsari (2016: 254) mengatakan bahwa perkembangan sosial dikarakteristikan menjadi enam yaitu: a) adanya korelasi yang tinggi antara keadaan dimana jasmani (keterampilan, kesehatan) berhubungan dengan prestasi di sekolah, b) bersikap tunduk pada peraturan permaian tradisional, c) memiliki kecenderungan untuk memuji diri sendiri, d) suka membandingkan dirinya dengan orang lain, terutama bila

9 menguntungkan dirinya, e) anak belum menggangap bahwa tugas itu penting, sehingga mereka tidak mempersoalkan bahwa tugas atau soal harus diselesaikan atau tidak, f) anak menginginkan nilai rapot yang baik walaupun mereka tidak selalu memperdulikan apakah prestasinya dapat dinilai baik atau tidak baik (harapan terhadap prestasi kurang realistis). American Acedemy of Pediatrics (2012) mengatakan bahwa perkembangan sosial anak mengacu pada kemampuan anak untuk memiliki pengetahuan dalam mengelola dan mengekspresikan emosi secara baik emosi positif maupun emosi negatif serta mampu menjalin hubungan dengan anak-anak lainnya dan orang dewasa di lingkungannya. Dalam hal ini, peneliti menyimpulkan bahwa perkembangan sosial sangat dipengaruhi oleh perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak-anak dalam mengenalkan berbagai macam aspek kehidupan sosial dan norma dalam bermasyarakat. Proses tersebut dapat disebut juga dengan sosialisasi yang dimana tingkah laku bukan hanya sekedar hasil dari kematangan namun dari sesuatu yang telah dipelajari.

2.5.2 Kecemasan

2.5.2.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak dapat dikendalikan dan berlangsung terus menerus (Tsuraya, 2013: 39). Pendapat lain mengatakan mengenai kecemasan menurut Chaplin (2000: 33) adalah perasaan yang berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Kecemasan juga dapat menimbulkan berbagai macam efek samping seperti perubahan sikap seseorang, meningkatnya tingkat emosi, dan lain-lainnya. Atkinson dkk (2001) menyebutkan bahwa kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan, ditandai dengan istilah-istilah keprihatinan, kekhawatiran, dan rasa takut yang kadang-kadang dialami dalam tingkatan yang berbeda-beda. Ramaiah (2003: 10) mengatakan bahwa kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang menekan kehidupan seseorang, kecemasan juga dapat muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi.

Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat di atas bahwa kecemasan merupakan rasa takut atau khawatir pada sesuatu yang sangat

10 mengancam dirinya, yang menyebabkan kegelisahan karena adanya ketakutan akan sesuatu yang buruk dimasa yang akan datang.

2.5.2.2 Dampak Kecemasan

Rasa takut dan cemas dapat menetapkan bahkan meningkat meski situasi yang betul-betul mengancam tidak ada, dan ketika emosi tumbuh berlebihan dibandingkan dengan bahaya yang sesungguhnya, emosi ini menjadi tidak terkontrol. Cutler (2004: 304) menjelaskan kecemasan yang berlebihan dapat mempunyai dampak yang merugikan pada pikiran serta tubuh bahkan dapat menimbulkan penyakit-penyakit fisik. Melengkapi pendapat sebelumnya, Ramaiah (2003: 9) mengatakan bahwa kecemasan biasanya menyebabkan dua macam akibat, yaitu:

a) Gagal mengetahui terlebih dahulu bahayanya dan mengambil tindakan pencegahan yang kurang.

b) Kepanikan yang amat sangat, oleh karena itu gagal berfungsi secara normal atau menyesuaikan diri pada situasi.

Berdasarkan pendapat ahli di atas diketahui bahwa kecemasan menyebabkan kepanikan yang berlebih dan gagal mengetahui ancaman atau bahaya yang akan terjadi sehinga mengakibatkan seseorang mengambil pencegahan yang tidak sesuai.

2.5.2.3 Gangguan Kecemasan Pada Anak

Kecemasan pada anak memiliki beberapa faktor yang mengakibatkan anak-anak terutama anak pada masa sekolah dasar mengalami gangguan, menurut (Slavin, 2011:102-103) mengatakan bahwa anak-anak pada masa sekolah dasar cenderung menggunakan perbadingan sosial untuk mengevaluasi diri mereka dan anak-anak juga cenderung menilai sesuatu dengan berlebihan. Gangguan kecemasan menurut pendapat lain, Desiningrum (2016: 55-57) gangguan kecemasan terbagi menjadi empat jenis, yaitu:

a) Gangguan Kecemasan akan Perpisahan

Gangguan kecemsan pemisahan adalah salah satu gangguan kecemasan berupa “Gangguan Pertama Didiagnosa dalam Infancy, Childhood, atau

11 Remaja” di DSM-IV-TR. Anak-anak dengan gangguan kecemasan pemisahan memiliki tanda seperti mengeluh sakit sakit kepala atau perut, menangis, dan khawatir. Beberapa tanda yang dialami oleh seseorang diakibatkan oleh rasa khawatir yang berlebih dikarenakan adanya perpisahan.

b) Gangguan Kecemasan Umum (Generalized Anxiety Disorder)

Gangguan kecemasan umum biasanya melibatkan kecemasan yang berlebih dan khawatir tanpa sebab peristiwa atau kegiatan baru/khusus. Kekhawatiran yang disertai dengan gejala fisik sakit kepala, nyeri otot, kesulitan berkonsentrasi, mudah marah, dan kesulitan tidur. Gangguan kecemasan umum ini dialami oleh anak-anak yang sering khawatir dengan kinerja sekolah atau kompetensi dalam acara olahraga.

c) Gangguan Kecemasan Sosial (Social Anxienty Disorder)

Pemalu, terlihat pendiam, atau menarik diri ketika bertemu dengan orang-orang atau situasi baru/asing. Gejala emosional yang sering terlihat seperti rasa takut berlebih, pengawasan interpersonal, dan merasa takut atau mendapat penghinaan.

d) Gangguan Panik (Panic Disorder)

Jantung berdebar, merasa lemas dan pusing, perasaan mual dan perasaan takut akan sesuatu yang buruk akan terjadi. Anak-anak yang memiliki gangguan panik akan mengalaminya pada periode-periode tertentu, namun sayangnya beberapa anak masih belum dapat mengatasi serangan kepanikan yang dialaminya. Dikarenakan serangan ini berhubungan dengan rangsangan eksternal, dan gangguan ini jarang terindentifikasi pada anak-anak.

2.5.2.4 Kecemasan Sosial

Seseorang yang memiliki kecemasan biasanya akan mengalami keadaan dimana dirinya tidak dapat menerima segala keadaan yang berada di sekitar dirinya. Desiningrum (2016: 56-57) mengatakan bahwa seseorang dengan ciri kecemasan sosial memiliki ketakutan terus menerus dan berlebihan dari situasi

12 sosial, pengawasan interpersonal, dan merasa takut malu atau mendapat penghinaan.

2.5.2.5 Gangguan Kecemasan Sosial

Gangguan kecemasan sosial merupakan keadaan dimana seseorang memiliki rasa takut yang berlebih dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Desiningrum (2016: 56) mengatakan bahwa seseorang dengan gangguan kecemasan sosial memiliki ketakutan yang terus-menerus dan berlebihan dari situasi sosial, pengawasan interpersonal, dan merasa takut malu apabila mendapat penghinaan dari orang lain. Gangguan-gangguan kecemasan sosial menurut Desiningrum (2016: 56-57) memiliki ciri-ciri seperti:

1. Pemalu

Jung (dalam Nursyahrurahmah, 2017: 114) mengatakan bahwa tipe pemalu merasa sangat awas di sekitar orang asing dan menjadi sangat gugup pada lingkungan yang kurang dikenal.

2. Pendiam

Kepribadian pendiam atau introvert, merupakan kepribadian yang tertutup, sehingga anak-anak cenderung memilih sendiri atau bertemu dengan sedikit teman. Alavinia (dalam Nursyahrurahmah, 2017: 114) mengatakan bahwa kepribadian pendiam atau introvert, tidak selalu bersikap pasif, pemurung atau tidak bergaul. Kepribadian pendiam bisa saja individu yang aktif, periang, dan suka bersosialisasi, namun kepribadian pendiam juga memerlukan privacy, dan butuh ketenangan.

3. Menarik Diri

Sukmadinata (2007: 412) mengatakan bahwa perilaku menarik diri merupakan gangguan emosional yang muncul pada seseorang karena adanya ketidakcocokan atau ketidakberhasilan dalam penyesuaian dirinya dengan lingkungannya.

4. Merasa Takut

Sukmadinata (2007: 411) mengatakan perasaan takut, gugup, atau cemas menghadapi sesuatu termasuk dalam gangguan emosional yang dimana gangguan emosional ada yang tampak keluar, apalagi peserta didik ini memiliki beberapa kelebihan, bakat, dan kecerdasan yang tinggi dalam suatu bidang tertentu.

13 5. Kurang Percaya Diri

Sukmadinata (2007: 422) menjelaskan bahwa sikap kurang percaya diri merupakan suatu reaksi emosional untuk menutupi kecemasan atau rasa takut, dengan melakukan kegiatan lain.

6. Mudah Menangis

Sukmadinata (2007: 418) menegaskan bahwa sikap mudah menangis merupakan suatu reaksi untuk menyatakan kekecewaan, ketidaksetujuan ataupun penentang terhadap sesuatu yang pasif.

Kesimpulan yang peneliti dapatkan adalah bahwa sikap-sikap yang telah disebutkan di atas, seperti pemalu merupakan sikap yang akan terlihat pada saat seseorang berada di lingkungan yang kurang dikenal, kemudian pendiam atau

introvert merupakan kepribadian yang tertutup, dan cenderung memilih

menyendiri atau bertemu dengan sedikit teman. Namun seseorang dengan kepribadian pendiam ini tidak selalu bersikap pasif, namun seseorang dengan kepribadian seperti ini tetap memerlukan situasi yang lebih tenang dan private. Menarik diri adalah sikap dimana seseorang akan berusaha mengasingkan dirinya dikarenakan adanya ketidaksesuaian dengan lingkungannya, merasa takut pun merupakan sikap seseorang yang mengalami gangguan emosional, yang dikarenakan adanya beberapa kelebihan bakat atau hal-hal lain dalam bidang tertentu. Sikap kurang percaya diri pun termasuk ke dalam gangguan emosional, yang pada dasarnya diawali dengan adanya reaksi emosional untuk menutupi kecemasan yang di alaminya. Sikap mudah menangis pun termasuk dalam gangguan emosional, sikap ini akan terlihat ketika seseorang menyatakan kekecewaannya pada sesuatu yang tidak disenanginya atau terhadap sesuatu yang pasif. Oleh karena itu peneliti menyusun sebuah alat ukut untuk mengetahui apakah anak-anak tersebut memiliki kecemasan atau tidak.

2.5.2.6 Tingkat Kecemasan

Stuart dan Sundeen (2000), menguraikan tingkat kecemasan dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu kecemasan ringan, sedang, dan berat.

14 1) Kecemasan Ringan (mild anxiety)

Kecemasan ringan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang membuat seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kemampuan meilhat dan mendengar yang menderita kecemasan ringan ini juga meningkat yang dapat membuat seseorang ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan kreatifitasnya sendiri.

2) Kecemasan Sedang (moderate axiety).

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memfokuskan pada satu hal penting dan mengesampingkan hal lainnya, sehingga seseoarang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah lagi. 3) Kecemasan Berat (severe anxiety)

Kecemasan berat di sini sangatlah membatasi lahan persepsinya, dikarenakan seseorang cenderung untuk memfokuskan pada sesuatu yang lebih terperinci, spesifik, dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan, orang tersebut memerlukan banyak sekali pengarahan sehingga dapat memusatkan pada objek lainnya.

2.5.3 Skala

Uraian tentang kecemasan membahas definisi skala, jenis skala yang digunakan, karakteristik skala psikologi, skala kecemasan, tampilan skala.

2.5.3.1 Definisi Skala

Skala merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur objek-objek yang akan diteliti lebih lanjut oleh peneliti. Ridwan (2016: 6) mengatakan bahwa skala adalah pengukuran untuk mengklasifikasi variabel yang akan diukur supaya tidak terjadi kesalahan dalam menganalisis data yang akan diteliti. Menanggapi pendapat di atas, Widoyoko (2015: 102) mengatakan bahwa skala adalah sebuah acuan untuk menentukan panjang dan pendeknya sebuah interval dalam alat ukur sehingga dapat menghasilkan data kuantitatif.

Kesimpulan pada pendapat di atas bahwa skala adalah sebuah alat yang memiliki beberapa nilai angka yang dapat diklasifikasikan variabelnya yang kemudian dapat diukur dan menghasilkan sebuah data kuantitatif.

15 2.5.3.2 Skala Likert

Skala Likert memiliki prinsip pokok yaitu menentukan lokasi kedudukan seseorang dalam suatu kontinum sikap terhadap objek sikap yang dimulai dari sangat negatif sampai dengan sangat positif. Penentuan lokasi dilakukan untuk mengkuantifikasi respon seseorang terhadap butir pertanyaan atau pernyataan yang telah disediakan. Dengan menggunakan skala Likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, yang kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak menyusun butir-butir instrumen yang berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh responden (Widoyoko, 2015: 104).

Widoyoko (2015: 104) mengatakan bahwa jawaban dari setiap butir instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari yang sangat positif menuju ke sangat negatif, dan penggunaan skala Likert ini dibagi kembali menjadi tiga cara penggunaan yaitu a) model skala tiga, b) model skala empat, c) model skala lima. Setiap model memiliki kelebihan dan kelemahan dan pada model skala tiga memiliki kelemahan pada variabilitas respon terlalu terbatas yang mengakibatkan kurang mampunya mengungkap secara maksimal perbedaan sikap responden, dan pada model skala tiga ini memiliki alternatif lain yaitu pada jawaban tengah yang dapat dianggap sebagai jawaban yang paling aman. Kemudian model skala empat memiliki kelebihan dikarenakan pada model skala empat ini terdapat variabilitas respon yang lebih baik dan lebih lengkap dibandingkan skala tiga, sehingga mampu mengungkap lebih maksimal perbedaan sikap responden dan pada model skala empat ini juga tidak memberikan peluang bagi responden untuk bersikap netral sehingga memaksa responden untuk menentukan sikap terhadap fenomena sosial yang ditanyakan atau dinyatakan dalam instrumen.

Model skala lima memiliki kelebihan dari dua skala sebelumnya dikarenakan pada model skala lima ini variabilitas respon yang didapatkan lebih baik dan lebih maksimal pada saat mengungkap perbedaan sikap responden. Namun pada model ini juga memiliki kelemahan yang dimana adanya kecenderungan responden untuk memilih alternatif tengah sebagai pilihan jawaban yang menurut responden paling aman (cukup,netral atau ragu-ragu). Oleh

16 karena itu untuk menghindari kecenderungan tersebut, peneliti menghindari penggunaan istilah “cukup, netral, dan ragu-ragu” namun gunakanlah alternatif pilihan tengah dengan istilah “kurang” (Widoyoko, 2015: 104-107).

2.5.3.3 Karakteristik Skala Psikologi

Sebagai alat ukur skala psikologi harus memiliki karakteristik khusus menurut Azwar (2009: 3) mengatakan bahwa hal yang membedakannya adalah pengambilan data dapat didapatkan dengan menggunakan angket (questionnaire), daftar isian, inventori, dan lain-lainnya. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari skala disebut dengan nama lain dari tes, namun dalam pengembangan instrumen ukur umumnya isitilah tes digunakan untuk penyebutan alat ukur kemampuan kognitif sedangkan istilah skala lebih banyak dipakai untuk menamakan alat ukur afektif. Dengan penjelaskan di atas, skala memiliki beberapa karakteristik yaitu:

1) Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak di ukur melainkan indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.

2) Atribut psikologi diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk item-item, maka dari itu skala psikologi selalu berisi banyak item-item, dan jawaban subjek terhadap suatu item merupakan bagian dari banyak indikasi mengenai atribut yang di ukur sedangkan kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis baru apabila semua item telah direspon.

3) Respon yang berasal dari subjek tidak langsung diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”, melainkan semua jawaban dapat diterima ketika jawaban yang diterima diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh.

2.5.3.4 Skala Kecemasan

Skala kecemasan adalah alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan yang sedang dialami seseorang. Peneliti menggunakan indikator kecemasan yang dikemukakan oleh Desiningrum (2016:54) yang mengatakan bahwa kecemasan merupakan gejala psikologis seseorang yang meliputi kondisi emosi dan pikiran seseorang yang mengalami kecemasan seperti

17 takut dan khawatir yang tidak terkendali, merasa tertekan, merasa tidak mudah menghadapi sesuatu yang buruk yang akan terjadi, terus menerus mengeluh tentang perasaan takut terhadap masa depan, mudah percaya sesuatu yang menakutkan akan terjadi dengan sebab yang tidak jelas. Mendukung pendapat di atas, Sundari (2004:64) mengatakan bahwa gejala-gejala yang bersifat fisik di antaranya jari-jari tangan yang dingin, detak jantung makin cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, tidak dapat tidur nyenyak, dada sesak, dan gejala yang bersifat mental yaitu ketakutan akan ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak tentram.

2.5.3.5 Tampilan Skala

Dalam penyusunan skala, peneliti memperhatikan kebutuhan yang diperlukan siswa dan salah satu yang diperlukan adalah tampilan skala itu sendiri. Azwar (2009:73), menjelaskan beberapa hal yang diperlukan dalam membuat skala adalah format dan tata letak, pemilihan warna, lembar jawaban, dan data identitas. Keempat hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Format dan tata letak

Format yang dijelaskan pada bahasan ini adalah bentuk item yang dipilih seperti bentuk pilihan ganda, bentuk dikotomi “ya-tidak” atau bentuk

“setuju-tidak setuju”. Pemilihan bentuk pilihan jawaban ini ditujukan untuk menyesuaikan

dengan karakteristik dari objek atau responden. Penyusunan skala ini terlihat lebih menarik dan mudah dimengerti oleh responden ketika skala yang disajikan dengan menggunakan format buku dibandingkan dengan menggunakan format folio.

Dalam menyajikan skala dalam format buku, peneliti juga harus memperhatikan format lainnya seperti pemilihan ukuran huruf dan jenis huruf yang akan digunakan agar mempermudah responden pada saat membaca. Hal lain yang harus diperhatikan adalah tata letak. Peneliti harus menyusun sedemikian rupa agar skala yang akan diisikan oleh responden tidak terlihat berdesak-desakan atau bahkan sampai responden tidak mendapat membaca dengan baik.

2) Pemilihan warna

Dalam pemilihan warna, peneliti harus memperhatikan agar responden tidak mudah bosan pada saat mengisikan skala yang telah dibuat. Karena dalam

18 pemilihan warna untuk skala, peneliti memberikan beberapa kesan seperti menyenangkan, menenangkan, dan tidak adanya paksaan dalam mengisi.

3) Lembar Jawaban

Dalam hal lembar jawaban, peneliti harus memperhatikan beberapa hal seperti penggunakan kertas atau jumlahnya, alasan tersebut dapat tujukan untuk alasan penghematan terutama apabila banyak item-item yang digunakan.

4) Data Identitas

Data identitas sangat penting dalam pengisian skala baik menggunakan lembar jawaban atau tidak menggunakan data identitas sangatlah penting. Peneliti mencantumkan data diri atau keterangan yang menyangkut dirinya. Untuk mendiagnosis individual atau apabila dalam kegiatan penelitian skor, subjek akan dikorelasikan dengan skor atau variabel lain. Oleh karena itu nama subjek harus dicantumkan.

5) Instruksi atau Petunjuk Pengerjaan

Meskipun format penyajian item-item dalam skala dapat langsung dijawab oleh responden, penyajian skala harus disertakan beberapa pentunjuk untuk memberikan jawaban.