• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUSUNAWA

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK PENYEWA

DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUSUNAWA

MARTUBUNG

Pihak penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa perumahan mempunyai kedudukan yang lemah karena perjanjian tersebut dibuat secara sepihak dalam bentuk perjanjian baku (standard contract). Oleh karena itu kepentingan pihak pengembang lebih dominan jika dibandingkan dengan kepentingan penyewa (konsumen perumahan).

Untuk kepraktisan dari segi hubungan hukum antara pengembang dengan penyewa, pada umumnya pengembang sebagai pihak yang kedudukannya lebih kuat, menciptakan formulir-formulir standar yang mengikat (standard form contracts). Dalam praktek perlindungan konsumen, formulir-formulir itu disebut sebagai kontrak standar. Penggunaan istilah kontrak dalam hal ini bukanlah istilah “kontrak rumah” sehari-hari yang digunakan masyarakat awam, yang membedakannya dengan “sewa rumah”. Kontrak di sini dirumuskan sebagai berikut : “Suatu kontrak dibuat dimana para pihak memberikan persetujuannya atau dimana mereka diminta persetujuannya dan hukum mengakui hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian”.149 Sedangkan standar di sini memiliki pengertian baku. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kontrak standar adalah perjanjian atau persetujuan

149

Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangann, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 6

yang dibuat para pihak mengenai suatu hal yang telah ditentukan secara baku (standar) serta dituangkan secara tertulis.150

Kontrak standar yang diciptakan pihak pengembang sering memuat klausula-klausula pengecualian (exemption clause), misalnya meniadakan tanggung jawab pengembang dalam hal terlambat menyerahkan bangunan, membebaskan pengembang dari tuntutan atas kondisi/kualitas bangunan yang melampaui batas seratus hari sejak serah terima bangunan fisik rumah atau satuan rumah susun, sebaliknya bila konsumen terlambat membayar angsuran dikenakan penalti atau denda.151

Hondius sebagaimana dikutip oleh Yusuf Sofie, berpendapat bahwa pembuat kontrak standar itu sebagai “pembuat undang-undang swasta” atau “hakim swasta”, sehingga adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden), karena pihak lain berada keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai “hakim swasta”.152

Oleh karena perjanjian sewa-menyewa tersebut dibuat oleh pihak pengembang, maka subyektifitas pengembang sangat mempengaruhi di dalam memasukkan kepentingan-kepentingannya di dalam perjanjian tersebut. sebaliknya sulit bagi konsumen untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya walaupun sudah ada UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman ataupun UU

150

Ibid

151

Henny Saida Flora, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Perumahan, Jurnal Compendium, Vol. I Juni 2005, (Medan : Magister Kenotariatan, USU, 2005), hal. 8

152

No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, namun kepentingan konsumen tidak terlindungi.

Sejumlah ketidakadilan pun dijumpai dalam klausula-klausula perjanjian sewa-menyewa, pertama akibat keterlambatan pembayaran yang dialami konsumen. Klausula-klausula dalam perjanjian menentukan bahwa konsumen harus membayar denda yang tinggi, bahkan menghadapi pembatalan perjanjian dengan tanpa pengembalian sebagian atau keseluruhan uang muka yang sudah dibayarkan. Dalam hubungan ini, bila pengembang yang terlambat menyelesaikan atau menyerahkan bangunan, akibat yang dialaminya hanya sebatas denda, atau bahkan akibat yang dialami pengembang tidak diatur sama sekali dalam perjanjian tersebut dan kerugian-kerugian akibat keterlambatan itu juga tidak diperhitungkan.

Selanjutnya, pembatasan tanggung jawab pengembang atas klaim atau tuntutan konsumen. Dalam praktek penerapannya dilakukannya dengan mencantumkan klausula-klausula perjanjian yang pada intinya menetapkan suatu tenggang waktu untuk mengajukan klaim atas kondisi/mutu bangunan atau hal-hal lain yang dijanjikan pengembang. Biasanya dalam perjanjian dicantumkan klausula bahwa konsumen dapat mengajukan klaim kepada pengembang dalam waktu 90 hari atau 100 hari setelah serah terima bangunan, termasuk dalam hal ini masalah cacat tersembunyi. Lewat dari waktu yang ditentukan secara sepihak itu, klaim atas apa pun tidak dilayani. Pembatasan ini tidak adil bagi konsumen karena waktu 90 hari atau 100 hari hanya cukup untuk meneliti kondisi atau kualitas bangunan yang terlihat kasat mata, sedangkan untuk mengetahui cacat-cacat tersembunyi pada bangunan seperti konstruksi bangunan, penggunaan semen yang tidak sesuai dengan

perbandingan, dan sebagainya tidak cukup dalam waktu itu. Klaim konsumen tentang hal itu tidak dilayani pengembang setelah melampaui jangka waktu tersebut, ini sama saja mengabaikan hak konsumen untuk mendapat barang/jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya. Dalam keadaan ini pihak pengembang menggunakan kedudukannya itu untuk membebankan kewajiban yang berat kepada pihak yang lainnya (konsumen), sedangkan ia sedapat mungkin membatasi atau mengesampingkan tanggung jawabnya termasuk dalam hal-hal adanya cacat tersembunyi pada obyek perjanjian.153

Pasal 1493 KUH Perdata memang memungkinkan untuk mengurangi kewajiban salah satu atau kedua belah pihak dengan menentukan sebagai berikut: “Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas, atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung suatu apapun”.

Ketentuan ini sering digunakan untuk memojokkan konsumen secara hukum, padahal pasal berikutnya (Pasal 1494 KUH Perdata) menegaskan bahwa: “meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu apapun namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya, segala persetujuan yang bertentangan dengan hal ini adalah batal”.

Dengan melihat ketentuan ini bahwa sebenarnya pengembang dalam menciptakan kontrak standar tidak akan sewenang-wenang dalam memasukkan

153

kepentingan-kepentingannya, sebaliknya dengan merujuk pada asas kebebasan berkontrak dan konsumen dapat meminta perbaikan atau perubahan klausula-klausula dalam perjanjian tersebut.

Dilihat dari isi perjanjian sewa-menyewa rumah susun sederhana sewa Martubung ini, ketentuan-ketentuannya lebih banyak menguntungkan pihak pengembang. Ketentuan-ketentuan perjanjian sewa-menyewa lebih banyak mengatur tentang kewajiban-kewajiban pihak penyewa, dan sanksi-sanksi bagi pihak penyewa. Sedangkan dalam perjanjian tersebut tidak disebutkan hak-hak dari penyewa yang dapat dituntut kepada pengembang/pengelola, dan juga tidak disebutkan apa yang menjadi kewajiban pengembang/pengelola terhadap pihak penyewa.

Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) perjanjian sewa-menyewa rusunawa Martubung menentukan bahwa keterlambatan pembayaran sewa rumah unit hunian, rekening listrik dan air bersih sampai melewati tanggal 20 (dua puluh) bulan berjalan dan apabila sampai akhir bulan belum dapat melunasi tanpa alasan akan dilakukan pemutusan aliran listrik dan air.

Isi pasal ini menentukan kewajiban penyewa dan sanksi terhadapnya jika ia wanprestasi, akan tetapi dalam perjanjian ini tidak ditentukan apa kewajiban pihak pengembang/pengelola apabila terjadi kerusakan-kerusakan pada instalasi listrik dan air tersebut, dan apa hak penyewa apabila akibat kerusakan instalasi listrik tersebut ada barang-barang penyewa yang rusak, misalnya alat-alat elektronik. Kepada siapa penyewa menuntut ganti kerugian, tidak ada dicantumkan.

Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (3) bahwa dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak penandatanganan Surat Perjanjian Sewa-Menyewa ini, apabila Pihak Kedua

tidak atau belum menempati unit hunian yang menjadi haknya tanpa alasan yang jelas atau pemberitahuan kepada Pihak Pertama, maka Pihak Pertama secara sepihak dapat membatalkan Surat Perjanjian Sewa Menyewa ini dan uang sewa serta jaminan sewa yang telah disetorkan dan diterima Pihak Pertama tidak dapat diambil kembali dan untuk selanjutnya menjadi milik Pihak Pertama.

Ketentuan ini lebih menguntungkan pihak pengembang, dan sangat merugikan pihak penyewa. Uang jaminan yang disetorkan adalah sejumlah 1 (satu) bulan masa sewa yang berarti Rp. 150.000,- Menurut kebiasaan apabila pihak penyewa tidak jadi menyewa barang/tempat semula, maka hanya uang mukanya saja yang tidak dapat dituntut kembali, sedangkan jaminannya dapat dikembalikan. Dalam tidak dapat dikembalikannya uang jaminan ini oleh pihak Perum Perumnas sebagai pengembang/pengelola, hal ini adalah bertentangan dengan peruntukan rusunawa Martubung yaitu bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, uang sangat berharga bagi kehidupan mereka. Seharusnya pihak pengembang/pengelola memperhitungkan terlebih dahulu biaya-biaya yang dikeluarkan selama 1 (satu) bulan tersebut seperti biaya listrik air, iuran kebersihan dan sebagainya, dan kemudian diperhitungkan dari uang jaminan tersebut dan sisanya dapat dikembalikan kepada pihak penyewa.

Dalam perjanjian sewa-menyewa ini tidak dijumpai klausul yang menentukan bahwa pihak penyewa dapat mengklaim atas kondisi/mutu bangunan rusunawa. Seharusnya dalam perjanjian ini diperjanjikan mengenai klaim atas kondisi/mutu bangunan, karena hal ini merupakan salah satu hak dari penyewa sebagai konsumen.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (2) disebutkan: “Konsumen adalah setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu: a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); c. Hak untuk memilih (the right to choose);

d. Hak untuk didengar (the right to be heard).154

Sementara itu, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hak konsumen ini diatur dalam Pasal 4 sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

154

Dari sembilan butir hak konsumen di atas maka masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunaannya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dihendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

Sebagai konsekuensi dari hak konsumen maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen155 yaitu:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.

155

Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1999

6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

7. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam perjanjian sewa-menyewa rumah, pihak penyewa rumah sebagai pihak yang lemah yang dalam hal ini adalah konsumen, untuk memperoleh perlindungan hukum maka ia dapat menggunakan lembaga perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen”.156

Jika terjadi sengketa perumahan maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai ataupun melalui lembaga atau instansi yang berwenang. Penyelesaian sengketa secara damai dimaksudkan penyelesaian sengketa antara para pihak, dengan atau tanpa kuasa/pendamping bagi masing-masing pihak, melalui cara-cara damai. Perundingan secara musyawarah dan atau mufakat antara para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa dengan ini disebut pula dengan penyelesaian secara kekeluargaan.

156

Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1999Pasal 1 butir 1

Penyelesaian sengketa secara damai ini, sebenarnya bentuk penyelesaian yang mudah, murah dan relatif lebih cepat, sementara itu berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, penyelesaian sengketa konsumen ini dapat pula diselesaikan secara sukarela (melalui pengadilan atau di luar pengadilan) sesuai pilihan para pihak yang bersengketa.157 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang dialami konsumen. Untuk memenuhi tujuan tersebut maka diperlukan adanya jaminan tertulis dari pihak (pelaku usaha) bahwa perilaku yang merugikan konsumen ini tidak akan terulang kembali.

Setiap konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi barang/jasa yang tidak memenuhi aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen dapat menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Dalam melindungi kepentingan konsumen perumahan, selain intrumen hukum administrasi dan hukum perdata sebenarnya masih ada instrumen hukum pidana. Namun penggunaan instrumen hukum pidana ini belum optimal. Sementara potensi terjadinya tindakan kejahatan di bidang perumahan cukup tinggi. 158

157

Shidarta, Op cit, hal.143.

158

BAB V