ANALISIS YURIDIS MENGENAI PENGADAAN/
PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA
PASAR VII MARTUBUNG KECAMATAN MEDAN LABUHAN
T E S I S
Oleh
:ADLIN BUDHIAWAN
057005001 / HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS YURIDIS MENGENAI PENGADAAN/
PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA
PASAR VII MARTUBUNG KECAMATAN MEDAN LABUHAN
T E S I S
Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
:ADLIN BUDHIAWAN
057005001 / HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji pada
Tanggal 15 November 2007
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution. SH, MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2.
Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS
3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
JURIDICAL ANALIZE OF SUPPLIYING/DEVELOPMENT OF RENT PLAIN APARTMENT OF MARTUBUNG PASAR VII
SUB ISRICT MEDAN LABUHAN
The growth of city populations is the main problem for demand of houses improvement. The main problem which is faced by the develop countries, including Indonesia is the problem of population settlement especially in big cities. The obstacle which is faced is the limitation of cities areas. One of alternatives to solve the house demand in cities which is limit is that by developing the occupied model vertically such us apartment building. For the middle to low economic level people, the Government built the rent plain apartment of Martubung with rent system. In renting the apartment, in the Law Number 16 Year 1985, it is not found the certainty about it, so that the regulation which is used for it is the agreement between the parties according to Article of 1338 Civil Law.
The research method is the normative legal study, the character of this research is explorative research, by using approach method of qualitative. The research located at Rent Plain Apartment of Martubung Sub District Medan Labuhan. Data resource was from secondary data from collecting it through document study of library research and field research, with data which was got through the interview from informants,
According to research result, can be seen that the supplying/development of rent plain apartment of Martubung had been doing fit with Law Number 16 Year 1985 about Apartment. The certainty of rent apartment pratically there are two kinds of rent house agreement, they are according to Civil Code and Government Regulation Number 55 Year 1981 about Relation of House Rent. The rent agreement of Martubung apartment bent over the Government Regulation Number 55 Year 1981 about Relation of House Rent.
1
Student of Past Graduate Studies, Faculty of Law, University of North Sumatera
2
Head of Past Graduate Studies, Faculty of Law, University of North Sumatera
3
In protecting the lessee’s right from developer/organizer, so for the lessee, law protection can be got by him through consumer protection institution, that is Consumer Dispute Settlement Committe (BPSK). Beside the law protection also can be got from administration law instruments, private law, or criminal law.
Key Word : Supplying/Development
ANALISIS YURIDIS MENGENAI PENGADAAN/ PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA PASAR VII MARTUBUNG
KECAMATAN MEDAN LABUHAN
Pertumbuhan penduduk perkotaan merupakan permasalahan utama bagi peningkatan permintaan akan rumah. Permasalahan utama yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah permasalahan pemukiman penduduk khususnya di kota-kota besar. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya lahan perkotaan. Salah satu alternatif untuk memecahkan kebutuhan rumah di perkotaan yang terbatas adalah dengan mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun. Untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah, Pemerintah membangun rumah susun sederhana sewa Martubung dengan sistem sewa. Dalam pelaksanaan sewa menyewa rumah susun, di dalam UU No. 16 Tahun 1985 tidak ditemui ketentuan tentang itu, maka aturan yang mengikat pelaksanaan sewa menyewa yang dilakukan adalah perjanjian kedua belah pihak sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata.
Penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif, yang bersifat eksploratoris (explorative research), dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian berada di Rusunawa Martubung Kecamatan Medan Labuhan. Sumber data berasal dari data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan didukung wawancara dengan para informan yang berhubungan dengan judul tesis. Metode pengumpulan data adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa pengadaan/pembangunan rumah susun sederhana sewa Martubung sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Mengenai ketentuan sewa-menyewa untuk rumah susun, dalam praktik ada 2 (dua) macam bentuk sewa-menyewa rumah perjanjian sewa-menyewa berdasarkan ketentuan KUH Perdata dan dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan. Perjanjian sewa-menyewa pada
4
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
5
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
6
rusunawa Martubung lebih tunduk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan. Dalam melindungi hak penyewa dari pengembang/pengelola, maka bagi penyewa perlindungan hukum dapat diperolehnya melalui lembaga perlindungan konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Selain itu juga perlindungan hukum dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata maupun instrumen hukum pidana.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Tiada kata pembuka yang paling pantas dikemukakan selain mengucapkan puji
dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufik dan rahmat-Nya
dengan memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Juga disampaikan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabatnya, para tabi’in dan pengikutnya
sampai akhir zaman.
Tesis ini diberi judul “Analisis Yuridis Mengenai Pengadaan/ Pembangunan
Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan”. Tesis ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam meraih gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian tesis ini, Penulis
telah banyak memperoleh dorongan, pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti
pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Asisten Direktur yang memberikan
kesempatan dan kelancaran proses administrasi pendidikan.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan sekaligus Ketua Komisi Pembimbing yang telah mendidik dan
4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum dan
sekaligus merupakan dosen penguji yang dengan sabar telah membantu dan
mengarahkan penulis untuk kesempurnaan tesis ini.
5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Bapak Prof. Dr. Tan
Kamello, SH, MS, selaku Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan
keikhlasan memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis dalam penyusunan
tesis ini.
6. Bapak Dr. Budiman Ginting, SH, MS, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
masukan demi memperkaya penulisan tesis ini.
7. Bapak Prof. Alvi Syahrin, SH, MS, yang telah memberikan kesempatan dan jalan
bagi Penulis untuk melanjutkan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
8. Seluruh Guru Besar beserta dosen/staf pengajar pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
ilmunya kepada Penulis.
9. Kepada pihak Perum Perumnas khususnya Bapak Oerip Sidik Tjipto Oesodo yang
telah banyak membantu Penulis dalam penyusunan tesis ini.
10.Kepada rekan-rekan satu angkatan (Bang Faisal, Sangkot, Arif, Putri, Bibah, Lolo,
Nunung, Nursiti, Kak Siti, Bu Mega, dan semuanya “Good Bless U”), beserta
seluruh staf pegawai Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara (bu Ganthi, kak Juli, Kak Fika, Kak Fitri, Bang Udin, Bang Herman,
Kak Niar dan Kalian Semua “Thank U So May..”).
11.Kepada seluruh mujahidin-mujahidin dan kepada semuanya yang telah banyak
membantu baik pada penyusunan tesis ini maupun yang telah banyak membantu
penulis dalam penyelesaian studi ini, yang tidak mungkin saya sebutkan
satu-persatu.
Secara khusus Penulis haturkan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan
Yusriah, Nst yang berkat dukungan, motivasi, kesabaran dan doa yang merupakan
rahmat bagi Penulis dalam menyelesaikan studi dan tugas akhir ini.
Tidak lupa pula Penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga kakakku, Siti
Ayuna Sari, SH, adinda Prastuti Sari yang telah banyak memberikan motivasi dan doa
hingga Penulis dapat menyelesaikan studi Magister ini.
Akhirnya Penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
penulis berdoa semoga segala dukungan yang telah diberikan kepada Penulis dapat
menjadi amal dan ibadah. Amin Ya Rabbal Alamin.
Medan, November 2007
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ……….………... vii
DAFTAR SINGKATAN ... ix
BAB I : PENDAHULUAN ………... 1
A. Latar Belakang ……….. 1
B. Rumusan Permasalahan ..……….. 8
C. Tujuan Penelitian ……….. 9
D. Manfat Penelitian ………. 9
E. Keaslian Penelitian ………... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ………... 10
G. Metode Penelitian ………. 33
H. Sistematika Penulisan ... 37
BAB II : PENGADAAN/PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA MARTUBUNG DILAKSANAKAN MENURUT KETENTUAN UU NO. 16 TAHUN 1985 ... 37
A. Pengadaan Rumah Susun Sederhana Sewa Martubung ……. 37
B. Penyediaan Tanah untuk Rumah Susun ... 55
C. Syarat-Syarat yang Harus Dipenuhi Dalam Pembangunan Rumah Susun ... 69
E. Ketentuan-Ketentuan di Rumah Susun Sederhana Sewa
Martubung ... 93
BAB III : ANALISIS KETENTUAN SEWA-MENYEWA RUMAH SUSUN DILIHAT DARI KUH PERDATA ... 96
A. Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Menurut KUH Perdata ... 96 B. Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan ... 115
C. Perjanjian Sewa-Menyewa di Rusunawa Martubung ... 120
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUSUNAWA MARTUBUNG ... 133
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 144
A. Kesimpulan ... 144
B. Saran ... 145
DAFTAR SINGKATAN
BPN : Badan Pertanahan Nasional
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
KB : Koefisien Bagian Bersama
KDB : Koefisien Dasar Bangunan
KIM : Kawasan Industri Medan
KLB : Koefisien Lantai Bangunan
KUH Perdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata
KUP : Kantor Urusan Perumahan
Menpera : Kementerian Perumahan Rakyat
Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri
Perum Perumnas : Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional
PP : Peraturan Pemerintah
RT : Rukun Tetangga
RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah
Rusun : Rumah susun
Rusuna : Rumah susun sederhana
Rusunawa : Rumah susun sederhana sewa
RW : Rukun Warga
SDM : Sumber Daya Manusia
SIP : Surat Izin Perumahan
SPS : Surat Perjanjian Sewa
UU : Undang-undang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Pertumbuhan penduduk perkotaan merupakan permasalahan utama bagi
peningkatan permintaan akan rumah. Pada tahun 1900 + 13,6 % dari jumlah
penduduk dunia bermukim di perkotaan. Pada tahun 1980-an angka tersebut
meningkat menjadi + 41,3 %. Diperkirakan pada akhir abad ke 20 angka ini
meningkat menjadi + 51 %”.7 “Berdasarkan data dari Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah, pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 4,2%
pada periode tahun 1990-2000”.8 Konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan
penduduk tersebut adalah meningkatnya kebutuhan pelayanan akan prasarana dan
sarana kota termasuk kebutuhan perumahan yang layak bagi penduduk.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang
termasuk Indonesia adalah permasalahan pemukiman penduduk. Dalam hal ini
kendala yang dihadapi adalah terbatasnya lahan perkotaan sehingga pemerintah
dituntut untuk dapat memanfaatkan lahan secara efisien dengan meningkatkan
intensitas penggunaannya. Tuntutan akan penggunaan lahan perkotaan cenderung
semakin meningkat seiring diterapkannya otonomi daerah. Hal ini terjadi karena di
satu sisi Pemerintah perlu memanfaatkan sumber daya lahan yang ada untuk
meningkatkan pendapatan daerah, di sisi lain adanya tuntutan masyarakat yang
7
Hermayulis, “Pengadaan Rumah untuk Masyarakat di Perkotaan dan Keberadaan Rumah Susun di Indonesia”, http://www.alunand.com, diakses 1 Oktober 2007
8
semakin kritis dalam mendapatkan pelayanan dan kenyamanan lingkungan termasuk
sarana sosial, taman dan ruang terbuka hijau.
Pengadaan perumahan di perkotaan dalam jumlah besar bagi masyarakat
berpenghasilan rendah di negara-negara berkembang merupakan persoalan yang
cukup kompleks dan menghadapi banyak kendala. Menurut Bambang Panudju
dalam bukunya yang berjudul ”Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran Serta
Masyarakat Berpenghasilan Rendah”, yang dikutip oleh R. Lisa Suryani dan Amy
Marisa, kendala-kendala tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Kendala Pembiayaan
Hampir seluruh negara berkembang memiliki kemampuan ekonomi nasional yang rendah atau sangat rendah. Sebagian besar anggaran biaya pemerintah yang tersedia untuk pembangunan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang perbaikan ekonomi seperti industri, pertanian, pengadaan infrastruktur, pendidikan, dan sebagainya. Anggaran pemerintah untuk pengadaan perumahan menempati prioritas yang rendah, dengan jumlah kecil. Selain itu pendapatan sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang begitu rendah, sehingga setelah dipakai untuk membayar makanan, pakaian, keperluan sehari-hari dan lain-lain, hanya sedikit sekali yang tersisa untuk keperluan rumah. Sementara itu harga rumah terus meningkat sehingga pendapatan penduduk semakin jauh di bawah harga rumah yang termurah sekalipun. 2. Kendala Ketersediaan dan Harga Lahan
Lahan untuk perumahan semakin sulit didapat dan semakin mahal, di luar jangkauan sebagian besar anggota masyarakat. Meskipun kebutuhan lahan sangat mendesak, terutama untuk pengadaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, usaha-usaha positif dari pihak pemerintah di negara-negara berkembang untuk mengatasi masalah tersebut belum terlihat nyata. Mereka cenderung menolak kenyataan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah memerlukan lahan untuk perumahan dalam kota dan mengusahakan lahan untuk kepentingan mereka.
3. Kendala Ketersediaan Prasarana untuk Perumahan
merupakan persyaratan penting bagi pembangunan perumahan. Kurangnya pengembangan prasarana, terutama jalan dan air merupakan salah satu penyebab utama sulitnya pengadaan lahan untuk perumahan di daerah perkotaan.
4. Kendala Bahan Bangunan dan Peraturan Bangunan
Banyak negara berkembang belum mampu memproduksi bahan-bahan bangunan tertentu seperti semen, paku, seng gelombang, dan lain-lain. Barang-barang tersebut masih perlu diimpor dari luar negeri, sehingga harganya berada di luar jangkauan sebagian besar anggota masyarakat. Selain itu, banyak standar dan peraturan-peraturan bangunan nasional di negara-negara berkembang yang meniru negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, atau Amerika Serikat yang tidak sesuai dan terlalu tinggi standarnya bagi masyarakat negara-negara berkembang. Kedua hal tersebut menyebabkan pengadaan rumah bagi atau oleh masyarakat berpenghasilan rendah sulit untuk dilaksanakan.9
Dalam Seminar Arsitektur yang diadakan di Yogyakarta, Soenarno
berpendapat bahwa :
Jumlah dan proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan yang semakin lama semakin bertambah, mengakibatkan ketersediaan lahan dan penataan ruang untuk perumahan dan permukiman dirasakan semakin berkurang. Semakin banyaknya jumlah penduduk kota mengakibatkan semakin menurunnya daya dukung prasarana dan sarana dasar (PSD) permukiman serta fasilitas kota lainnya, terlebih lagi dengan pola pertumbuhan kota yang tidak terkendali. Kondisi ini mengakibatkan harga tanah yang mahal sehingga penduduk perkotaan yang tergolong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) semakin tidak mampu menjangkau harga rumah di perkotaan. Kemampuan ekonomi masyarakat perkotaan secara umum masih tergolong masyarakat berpendapatan rendah (MBR), yaitu sebesar 65% (enam puluh lima persen).10
Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada ditambah laju
urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di
9
R. Lisa Suryani dan Amy Marisa, “Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Masalah Permukiman di Perkotaan”, www.usu.ac.id , diakses 3 Maret 2005
10
perkotaan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan lahan menjadi semakin
langka, sebagaimana juga terjadi di kota Medan. Kelangkaan ini menyebabkan
semakin mahalnya harga lahan di pusat kota, sehingga mendorong masyarakat
berpenghasilan menengah bawah tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari
tempat kerja. Kondisi ini menyebabkan meningkatkan biaya transportasi, waktu
tempuh, dan pada akhirnya akan menurunkan mobilitas dan produktivitas
masyarakat. Sedangkan sebagian masyarakat kota Medan tinggal di kawasan yang
tidak jauh dari pusat aktivitas ekonomi, sehingga menyebabkan ketidakteraturan tata
ruang kota dan dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru.
Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah
ke pusat aktifitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di
perkotaan, maka direncanakan suatu pembangunan hunian secara vertikal, berupa
Rumah Susun (Rusun). Dengan pembangunan rumah susun di pusat-pusat kota,
dengan intensitas bangunan tinggi, diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan
dan penyediaan rumah yang lebih efisien dan efektif.
Keberadaan rumah susun di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor
16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Menurut undang-undang ini pembangunan
rumah susun ditujukan untuk masyarakat golongan ekonomi lemah dan sebagai
tempat tinggal (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 1985). Pembangunan rusun
bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan rusun layak huni dan terjangkau bagi
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah di kawasan perkotaan dengan
penduduk di atas 1,5 juta jiwa, sehingga akan berdampak pada:
2. Peningkatan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan menengah-bawah dan pencegahan tumbuhnya kawasan kumuh perkotaan;
3. Peningkatan efisiensi prasarana, sarana dan utilitas perkotaan; 4. Peningkatan produktivitas masyarakat dan daya saing kota;
5. Peningkatan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah;
6. Peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.11
Pembangunan rumah susun dimaksudkan untuk menyediakan hunian yang
layak bagi orang dan badan hukum. Oleh karena itu, perumahan tersebut harus
memenuhi standar sebagai hunian yang memenuhi syarat baik dari segi kesehatan,
kenyamanan dan keasrian dari rumah tersebut. Pembangunan rumah susun
merupakan pemenuhan atas kebutuhan papan (tempat tinggal) khususnya bagi
masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 UU
No. 16 Tahun 1985 yang menyatakan bahwa Rumah susun dibangun sesuai dengan
tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama masyarakat yang
berpenghasilan rendah. Pembangunannya dapat dilaksanakan/diselenggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi dan Badan Usaha Milik Swasta
yang bergerak dalam bidang itu, serta swadaya masyarakat.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 5 di atas, rumah susun dapat dibangun di atas
tanah milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara atau Hak
Pengelolaan. Penyelenggara pembangunan yang membangun rumah di atas tanah
yang dikuasai dengan Hak Pengelolaan wajib menyelesaikan status Hak Guna
11
Bangunan di atas Hak Pengelolaan tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.12
Hak Pengelolaan merupakan hal yang tidak dikenal dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,13 yang lahir dan berkembang
sesuai dengan terjadinya perkembangan suatu daerah.14 Secara yuridis formal
pengaturan tentang Hak Pengelolaan diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan
Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak
atas Tanah, Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.
”Rumah susun sederhana identik dengan kemiskinan sehingga walau
bagaimanapun pengadaan rumah susun untuk golongan masyarakat ini selalu
terbentur pada keterbatasan, baik pada dana yang dimiliki pemerintah maupun pada
daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah yang serba kekurangan”.15 Dalam
upaya menyediakan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah di kota Medan,
maka Pemerintah membangun rumah susun sederhana sewa Martubung dengan
sistem sewa.
12
Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318, Pasal 7 ayat (1) dan (2)
13
Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960
14
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 148
15
menyewa salah satu aspek penting dari dunia perumahan.
Sewa-menyewa menjadi penting sebab tidak semua warga mampu membeli rumah secara
tunai, atau bahkan membeli rumah dengan cara kredit. Sebagian masyarakat hanya
bisa menghuni rumah, melalui cara sewa. Instrumen sewa ini perlu dipahami benar,
baik oleh penyewa maupun yang menyewakan rumah, karena pelaksanaannya
memerlukan alas hukum yang tegas dan kuat. ”Lemahnya landasan hukum sewa,
atau tidak konkretnya isi perjanjian sewa, selalu berujung pada perselisihan atau
masalah hukum yang rumit di kemudian hari”.16
Pengaturan tentang sewa menyewa rumah termasuk ke dalam pengaturan
tentang sewa menyewa pada umumnya yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (untuk selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata). Perjanjian sewa
menyewa merupakan salah satu bentuk perwujudan dari adanya suatu perjanjian dua
belah pihak atau lebih. Suatu perjanjian yang dibuat adalah sah dan akan mempunyai
kekuatan hukum apabila memenuhi syarat-syarat syahnya suatu perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata bahwa syarat sahnya suatu
perjanjian apabila terpenuhinya kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri,
kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya hak tertentu, dan sebab suatu
yang halal. Para pihak yang terikat kepada perjanjian sewa menyewa diikat oleh
kesepakatan yang telah dicapai di dalam perjanjian sewa menyewa yang dibuat.
Untuk sahnya suatu perjanjian sewa menyewa yang dibuat tentunya tidak terlepas
16
dari harus terpenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal
1320 KUH Perdata.
Dalam pelaksanaan sewa menyewa rumah susun, di dalam UU No. 16 Tahun
1985 tidak ditemui ketentuan tentang itu, maka aturan yang mengikat pelaksanaan
sewa menyewa yang dilakukan adalah perjanjian kedua belah pihak sesuai dengan
Pasal 1338 KUH Perdata. Ketentuan yang berlaku untuk pelaksanaan
sewa-menyewa adalah ketentuan umum yang berkaitan dengan sewa sewa-menyewa
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1548 sampai dengan 1600 KUH Perdata.
B. Perumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut:
1. Apakah pengadaan/pembangunan rumah susun sederhana sewa Martubung sudah
dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 16 Tahun 1985 ?
2. Bagaimana ketentuan sewa-menyewa di rumah susun ?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak penyewa dalam perjanjian
sewa-menyewa di rusunawa Martubung ?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengadaan/pembangunan rumah susun sederhana sewa
2. Untuk menganalisis ketentuan sewa-menyewa rumah susun.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pihak penyewa dalam
perjanjian sewa-menyewa di rusunawa Martubung.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Secara teoretis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya bidang hukum
perumahan serta menambah khasanah perpustakaan.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan
masyarakat, praktisi, peneliti, dosen dan mahasiswa tentang pengadaan
rumah susun sederhana sewa, bentuk perjanjian sewa-menyewa rumah
susun, dan bentuk perlindungan hukum penyewa atau konsumen perumahan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan
khususnya pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada
penelitian yang menyangkut masalah “Analisis Yuridis Mengenai Pengadaan /
Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan
Medan Labuhan”. Dengan demikian penelitian ini betul asli baik dari segi substansi
maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Pengertian dan Pengaturan Rumah Susun
Meningkatnya arus urbanisasi yang terjadi secara terus menerus khususnya
dari masyarakat yang berpenghasilan rendah, kesulitan dalam mendapatkan lahan
perumahan yang murah di perkotaan, telah mendorong pembangunan rumah susun
sebagai salah satu model penyediaan perumahan di kota-kota besar.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, salah satu alternatif untuk
memecahkan kebutuhan rumah di perkotaan yang terbatas adalah dengan
mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun. Untuk
kelompok masyarakat berpendapatan tinggi rumah susun disediakan dalam bentuk
rumah susun mewah (flat/kondominium) sedangkan untuk kelompok masyarakat
berpendapatan menengah dan rendah adalah rumah susun sederhana (rusuna).
Kondominium merupakan istilah yang dikenal dalam sistem hukum
negara Italia. Kondominium terdiri atas 2 (dua) suku kata ”con” yang berarti
bersama-sama dan ”dominium” berarti pemilikan. Di negara Inggris dan Amerika
menggunakan istilah Joint Property sedangkan di Singapura dan Australia
mempergunakan Strata Title. Banyaknya istilah yang dipergunakan kalangan
masyarakat di Indonesia seperti apartemen, flat, kondominium, rumah susun
(rusun) akan semakin membingungkan awam.17
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun berbunyi:
17
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Rusuna adalah:
Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. 18
Sejalan dengan perubahan dan perkembangan keadaan, maka rumah susun
juga mengalami perubahan pengertian seperti terjadi dalam praktik adalah:
Suatu pemilikan bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing merupakan satu kesatuan yang dapat digunakan dan dihuni secara terpisah serta dimiliki secara individual berikut bagian-bagian lain dari bangunan itu dan tanah yang merupakan tempat berdirinya bangunan (gedung) itu yang karena fungsinya digunakan bersama, dimiliki secara bersama-sama oleh pemilik bagian yang dimiliki secara individual tersebut.19
Sebagai suatu bahan banding kajian tentang rumah susun dan menambah
wawasan tentang hal itu, bagian yang berlapis-lapis (Strata Scheme), menurut
hukum di negara bagian New South Wales di Australia sebagaimana disebutkan
oleh Arie Sukanti H yang dikutip oleh Imam Kuswahyono yang menentukan
sebagai berikut:
A strata scheme is legally recognized arrangement whereby a building and the land upon which it is erected is subdivided into lots or lots and common property, the lots (or units as they are commonly called) having separate title, the transfer of which is not inherently restricted, the common property
18
http://www.pu.go.id/litbang/puskim/Advis-Teknik/Modul/Rusuna.pdf, ”Perencanaan dan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana”, diakses 3 Maret 2007, hal. 4
19
being used by the occupiers of the lots but owned by a body corporate as an agent for the owners of the lots in specified proportions. The definitions is much wider in that it encompasses not only the manner of subdivision, but also the allocations of units entitlements among the lost and more importantly, the rights and the obligations that exist from time to time between the owners of the lots (or proprietors), other person who have an interest in a lot (e.g. mortgages), the occupiers of the lots and the body corporate.20
(Secara bebas dapat diartikan: Suatu bangunan yang bertingkat menurut hukum dikenal pengaturan dengan mana suatu bangunan dan daratan atas mana bangunan tersebut terbagi-bagi kedalam bagian-bagian bangunan atau bagian-bagian dan milik umum, bagian-bagian tersebut (atau unit-unit sebagaimana lazimnya disebut) mempunyai hak yang terpisah, perpindahan yang sifatnya tidak terbatas, hak milik umum yang digunakan oleh orang yang bertempat tinggal di bagian-bagian bangunan tetapi dimiliki oleh sebuah badan hukum sebagai sebuah agen bagi pemilik dari bagian-bagian di bagian tertentu. Defenisi tersebut terlalu luas yang meliputi tidak hanya cabangnya, tetapi juga alokasi hak-hak dari unit-unit tersebut di antara yang hilang dan lebih penting lagi, hak-hak dan obligasi-obligasi yang tetap ada dari waktu ke waktu antara pemilik bagian bangunan (atau pemilik), orang lain yang mempunyai ketertarikan pada bagian-bagian bangunan (misalnya gadai), orang yang menempati bagian-bagian bangunan dan badan hukum).
Pembangunan rumah susun ditujukan untuk tempat hunian, khususnya
bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian,
pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap
dan fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan gedung bertingkat lainnya
untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan
kehidupan masyarakat ekonomi lemah.
Rumah susun apabila ditinjau dari sudut penggunaannya dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) golongan sebagai berikut:
20
1. Rumah susun hunian yaitu rumah susun yang seluruhnya berfungsi sebagai
tempat tinggal;
2. Rumah susun bukan hunian yaitu rumah susun yang seluruhnya berfungsi
sebagai tempat usaha dan atau kegiatan sosial.
3. Rumah susun campuran yaitu rumah susun yang sebagian berfungsi tempat
tinggal dan sebagian berfungsi sebagai tempat usaha.
Sejauh ini penyediaan rumah susun mewah dipercayakan kepada pihak
swasta, sedangkan rumah susun sederhana disediakan oleh pemerintah melalui
Perum Perumnas. Rusun mewah bisa dihuni dengan cara memiliki atau sewa. Pada
awalnya rusuna dapat dihuni secara milik ataupun sewa, tetapi kemudian pemerintah
menetapkan kebijakan bahwa rusuna di perkotaan hanya dapat dihuni dengan cara
sewa sehingga disebut rumah susun sederhana sewa (rusunawa).
Rusunawa merupakan bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan
yang masing-masing dapat disewa secara terpisah, terutama untuk tempat hunian
yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.21
Dalam menyelenggarakan pembangunan rumah susun sederhana sewa di
perkotaan, Pemerintah telah menyiapkan perangkat perundang-undangan sebagai
berikut:
1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
21
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.
5. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman
Kumuh yang berada di atas tanah Negara.
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
8. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
9. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
10.Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
11.Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2006 tentang Perubahan Kelima Atas
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
12.Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.22
13.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1336/KMK.04/89 tentang Pemberian
Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan yang Terhutang atas Unit Hunian Rumah
Susun yang dibangun/ditiadakan.
14.Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rumah Susun.
15.Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/92 tentang Persyaratan
Teknis Pembangunan Rumah Susun.
16.Keputusan Menteri Perumahan dan Permukiman Nomor 10/KPTS/Mi 1999
tentang Kebijaksanaan dan Strategi Pembangunan Rumah Susun.
17.Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Bentuk dan Tata Cara Pengisian dan Pendataan Akte Pemisahan Rumah Susun.
18.Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang
Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Akte Tanah serta Sertifikat Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun;
19.Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan Nomor ll Tahun 1991
tentang Rumah Susun di Kotamadya Medan;
22
20.Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Medan
No.593.61/1097/SK/90 tentang Peraturan Pelaksanaan Rumah Susun di
Kotamadya Daerah Tingkat II Medan.
Sebagai landasan hukum pembangunan rumah susun adalah Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang dalam pertimbangannya
menyebutkan :
a. Bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan meningkatkan taraf hidup
rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan
perumahan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara,
diperlukan peningkatan usaha-usaha penyediaan perumahan yang layak, dengan
harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan masyarakat
yang mempunyai penghasilan rendah.
b. Bahwa dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi
pembangunan perumahan dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan
pemukiman terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya
tersedia lahan tanah yang terbatas, dirasakan perlu untuk membangun perumahan
dengan sistem lebih dari satu lantai yang dibagi atas bagian-bagian bersama dan
satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah untuk dihuni,
dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat.
Dari pertimbangan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut di atas
dapat diketahui bahwa tujuan pembangunan rumah susun adalah diantaranya untuk
meningkatkan kualitas lingkungan permukiman di daerah-daerah berpenduduk padat
tetapi hanya tersedia tanah yang terbatas.
2. Sejarah Pembangunan Rumah Susun di Indonesia23
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara, secara tegas menetapkan ketentuan-ketentuan pokok kebijaksanaan
perumahan di Indonesia. Ketentuan-ketentuan pokok tersebut adalah:
1) Dalam Pelita III akan ditingkatkan pembangunan perumahan rakyat, khususnya
rumah-rumah dengan harga yang dapat dijangkau oleh rakyat banyak.
2) Untuk program pembangunan perumahan perlu dikembangkan suatu sistem
yang lebih terarah dan terpadu yang berkaitan dengan tata guna tanah perkotaan
dan pedesaan, pembiayaan, perluasan kesempatan kerja, kesehatan lingkungan,
produksi bahan bangunan lokal dan keserasian pembangunan daerah serta
lingkungan pemukiman pada umumnya.
3) Suatu sistem dan lembaga pembiayaan yang lebih efektif dan dapat mendorong
terhimpunnya modal untuk pembangunan perumahan seperti yang telah dimulai
dalam Pelita II perlu lebih dikembangkan lagi sehingga memungkinkan
pembangunan perumahan dalam jumlah yang besar dengan harga yang dapat
dijangkau oleh rakyat banyak.
4) Penyuluhan mengenai teknik pembangunan perumahan serta pemugaran
perumahan desa perlu ditingkatkan agar semakin banyak rakyat mendiami
rumah yang sehat dalam lingkungan yang sehat pula.
23
5) Penyediaan air bersih perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan yang terus
meningkat.
Keterbatasan tanah dan jarak yang harus ditempuh oleh seseorang untuk
sampai ke tempat bekerja menyebabkan orang memilih alternatif yang lebih dapat
mendukung kehidupannya. Penghasilan dari pekerjaan bagi golongan yang
berpenghasilan rendah dan mendiami rumah di lingkungan yang tidak sehat,
merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Keadaan ini menimbulkan
kegelisahan, terutama bagi kalangan pemerhati lingkungan dan kehidupan sosial
masyarakat.
Keterbatasan luas tanah dan kemampuan masyarakat untuk memiliki tanah
menyebabkan diperlukan intervensi teknologi untuk penyediaan rumah yang tidak
membutuhkan tanah yang luas dan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Untuk
itu Indonesia memilih alternatif membangun rumah susun. Pada mulanya
pembangunan rumah susun di Indonesia didasari oleh Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 14 Tahun 1974 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4
Tahun 1977 dan terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun
1983. Semua peraturan tersebut, dirasakan tidak dapat memenuhi tuntutan tentang
pengaturan yang seharusnya ada, karena ketiga ketentuan tersebut hanya mengatur
tentang hal-hal yang berkaitan dengan tanah bersama sebagai tempat dimana rumah
susun tersebut dibangun. Ketentuan tersebut tidak mengatur mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan: tanda bukti pemilikan bangunan unit satuan rumah susun;
bersama; dan hubungan antara sesama penghuni rumah susun, hubungan antara
penghuni dengan pengelola dan lain-lain sebagainya.
Pengaturan secara khusus dan lebih rinci tentang keberadaan dan akibat
hukum yang timbul dengan adanya pembangunan rumah susun sangat dibutuhkan,
terutama pada rumah susun yang diselenggarakan dengan tujuan timbulnya hak
milik individu atas unit-unit rumah susun. Status pemilik akan menimbulkan
beberapa permasalahan hukum yang memerlukan pengaturan secara jelas terhadap
hal-hal yang menyangkut subyek dan obyek hukum rumah susun tersebut. Pada
tahun 1985 Indonesia memberlakukan UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun. Undang-undang ini memuat 3 (tiga) konsep yang dikembangkan dalam
pembangunan rumah susun, yaitu:
1) Tata ruang dan pembangunan perkotaan. Konsep ini memperkenalkan
“intervensi” teknologi untuk mengatasi permasalahan keterbatasan dan harga
tanah yang tinggi dengan mewujudkan efektifitas dan efisiensi penggunaan
tanah. Dengan demikian akan terwujud pendayagunaan tanah secara optimal
dan dapat menampung serta mendukung kepadatan penduduk yang tinggi.
2) Pembangunan hukum. Pembangunan rumah susun menyebabkan timbulnya
bentuk subyek dan obyek hukum baru. Subyek hukum baru adalah munculnya
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun sebagai subyek hukum, sedangkan dari
obyek timbulnya hak kebendaan baru yaitu: satuan rumah susun yang dapat
dimiliki secara perseorangan dan pemilikan bersama atas benda, bagian dan
tanah. Pada cara pemilikan rumah susun mulai diakui keberadaan lembaga
3) Pembangunan Ekonomi dan Kegiatan usaha. Pembangunan rumah susun
memberikan kemungkinan bagi pengembang untuk menggunakan fasilitas
kredit konstruksi dari perbankan. Bagi konsumen untuk memiliki rumah susun
terbuka kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas kredit dengan menggunakan
lembaga hipotik dan fidusia.
Bila dilihat dari ketersediaan tanah, maka upaya memenuhi kebutuhan
perumahan masyarakat melalui pembangunan rumah susun merupakan upaya yang
strategis, namun hal ini belum memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan.
Kendala yang dihadapi dalam memasyarakatkan rumah susun atau menggiring
masyarakat untuk tinggal di rumah susun antara lain adalah kendala budaya
masyarakat.
Masyarakat lebih menyukai rumah tidak susun bila dibandingkan dengan
rumah susun, karena berbagai alasan, antara lain adalah karena kehidupan penduduk
perkotaan Indonesia masih banyak yang bersifat semi pedesaan. Mereka lebih
menyukai halaman, baik untuk bercocok tanam, memelihara ternak, atau untuk
tempat bermain bagi anak-anak. Mereka juga masih senang berkumpul dengan
kerabat dan teman-temannya, seperti mengadakan arisan dan berbagai upacara atau
selamatan di rumah dan halaman merupakan tambahan ruangan yang dapat
menampung sebagian kegiatan yang tidak tertampung di dalam rumah. Untuk itu
mereka membutuhkan pekarangan atau halaman di luar rumah, yang tidak akan
ditemui di rumah susun.
Di samping itu juga disebabkan karena mereka lebih menyukai kebebasan.
untuk menjaga ketenteraman, kenyamanan, privacy dan kebersihan penghuni di
lingkungan di rumah susun. Hal ini lain yang tidak kalah pentingnya yang
menyebabkan kurangnya minat masyarakat Indonesia terhadap rumah susun adalah
karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang suka merubah-rubah bentuk rumah,
seperti untuk menjadikan lebih besar. Hal ini tidak mungkin dilaksanakan di rumah
susun.
Suatu hal yang kiranya perlu dikaji dalam pemasyarakatan rumah susun,
yang merupakan hal yang lebih prinsipil dan menyebabkan masyarakat kurang
menyenangi rumah susun adalah latar belakang sejarah kehidupan masyarakat
Indonesia itu sendiri. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris, dimana
tanah bagi mereka merupakan faktor produksi utama, dan merupakan unsur yang
harus ada dan dimiliki dalam kehidupan mereka, sehingga suatu saat dapat
diwariskan kepada generasi pelanjut keturunannya. Sedangkan pada rumah susun
mereka hanya akan memiliki bangunan, dan mereka masih menyangsikan
keberadaan haknya atas bangunan tertentu.
Mengantisipasi kesangsian masyarakat dan dalam rangka memasyarakatkan
rumah susun, maka pemerintah memberlakukan UU No.16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun. Dengan diberlakukannya undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan jaminan hukum bagi pemilikan rumah susun, dan dapat mendorong
minat masyarakat untuk menempati rumah susun. Dengan meningkatnya minat
masyarakat untuk tinggal di rumah susun, maka permasalahan tanah terutama
tanah pertanian yang semakin berkurang karena dialihgunakan menjadi bangunan
terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat dengan laju pertumbuhan yang
demikian cepat.
Adapun yang merupakan tujuan utama dilaksanakan pembangunan rumah
susun sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1985
adalah:
1) Untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian
hukum dalam pemanfaatannya.
2) Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan
memperlihatkan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan
pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.
Hubungan antara unit satuan rumah susun dengan tanah tempat bangunan
rumah susun itu didirikan diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985. Pasal 7 ayat (1) UU
No. 16 Tahun 1985 menyatakan bahwa rumah susun hanya dapat dibangun di atas
tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara atau hak
pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keterkaitan antara unit satuan rumah susun yang dimiliki secara individual
dan terpisah dengan bagian atau benda yang secara struktural tidak terlepas dengan
blok rumah susun, sehingga secara fungsional harus digunakan secara bersama oleh
para penghuni dan karenanya tidak dapat dimiliki secara individual. Hubungan
hukum antara subyek hak individu dengan hak bersama yang tidak dapat dipisahkan
Subyek hukum tidak dapat memiliki salah satu diantaranya. Apabila dilakukan
pelepasan hak individu secara otomatis hak bersamanya juga dilepaskan.24
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa rumah susun adalah bangunan
gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan
vertikal yang terbagi dalam satuan-satuan yang masing-masing jelas batas-batasnya,
ukuran dan luasnya, dan dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah. Selain
satuan-satuan yang penggunaannya terpisah, ada bagian bersama dari bangunan tersebut,
dan benda bersama, serta tanah bersama yang di atasnya didirikan rumah susun.
Bangunan tersebut karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati
bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan.
Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan
secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal yang terbagi dalam
satuan-satuan yang masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, dan dapat
dimiliki dan dihuni secara terpisah. Selain satuan-satuan yang penggunaannya
terpisah, ada ”bagian bersama”25 dari bangunan tersebut, dan ”benda bersama”26,
serta ”tanah bersama”27 yang di atasnya didirikan rumah susun. Bangunan tersebut
24
Ridwan A. Halim, Op cit, hal. 272
25
Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318, Pasal 1 angka 4, Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.
26
Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318, Pasal 1angka 5, Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
27
karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat
dimiliki secara perseorangan.
Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat
perorangan dan terpisah, yang meliputi:
1) Hak atas bagian bersama untuk bagian rumah susun yang dimiliki secara
terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan
rumah susun.
2) Hak atas benda-benda bersama yaitu benda yang bukan merupakan bagian
rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk
pemakaian bersama.
3) Hak atas tanah bersama yaitu sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak
bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri tumah susun dan
ditempatkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.
Semua hak-hak tersebut di datas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak-hak tersebut didasarkan atas luas
atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut
diperoleh pemiliknya yang pertama.
3. Perjanjian Sewa Menyewa
Dalam Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa
“sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang
oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”.
M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa ”Sewa-menyewa (huur en verhuur)
adalah ”persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak
yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak di sewa kepada
pihak penyewa untuk "dinikmati" sepenuhnya (volledige genot)”.28
Dari rumusan pengertian diatas dapat dilihat, bahwa sewa-menyewa
merupakan:
a. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pemilik barang) dengan pihak penyewa.
b. Pihak yang menyewa menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati (volledige genot).
c. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu.29
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
membuat perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Adanya kata sepakat, dalam arti bahwa perjanjian tersebut dibuat secara musyawarah oleh kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak;
b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, yaitu bahwa yang membuat perjanjian tersebut sudah dewasa dan tidak dalam sakit ingatan;
c. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas, yaitu rumah yang yang dijadikan obyek sewa-menyewa tersebut harus jelas lokasinya, bentuk, luasnya dan sebagainya;
d. Perjanjian tersebut harus halal, yaitu isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kesusilaan.
28
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 220
29
Keempat unsur diatas digolongkan kedalam 2 dua bagian, yakni unsur pokok
yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian atau syarat yang
mesti melekat pada diri orang yang membuat perjanjian, biasa disebut unsur
subyektif. Dan yang kedua unsur pokok yang berhubungan langsung dengan obyek
perjanjian atau syarat yang harus terdapat pada obyek perjanjian, biasa disebut unsur
obyektif.30
Unsur subyektif ini mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari
para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan
perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dan pokok persoalan yang
merupakan obyek yang diperjanjikan, dan kausa dari obyek yang berupa prestasi
yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut harus sesuatu yang tidak terlarang atau
diperkenankan menurut hukum.31
Jika tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan
kebatalan baik dalam bentuk dibatalkan (jika tidak terpenuhinya salah satu unsur
subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif).
Dalam hal tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian tersebut ”batal
demi hukum”, artinya dari semula perjanjian tidak ada dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Dengan demikian tiada dasar untuk saling menuntut di muka Hakim jika
terjadi sengketa. Perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat
dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak
30
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, I, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 93
31
terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Lalu perjanjian yang isinya
tidak halal, jelas bahwa perjanjian tersebut tidak boleh dilaksanakan karena
melanggar hukum atau kesusilaan.
Dalam hal suatu syarat subyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian bukan batal
demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya
perjanjian dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang
tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi
perjanjian yang telah dibuat masih bersifat mengikat sebelum tidak dibatalkan oleh
Hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.
Dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan
bahwa “Semua perjanjian (persetujuan) yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa perjanjian itu
bersifat “mengikat” seperti halnya dengan suatu Undang-undang.
Menurut J. Satrio :
Kata-kata “secara sah” dalam pasal 1338 KUH Perdata berarti memenuhi semua syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, sedangkan kata “berlaku sebagai undang-undang” berarti mengikat para pihak yang membuat perjanjan sebagaimana undang-undang mengikat orang terhadap siapa undang-undang berlaku. Dengan demikian para pihak, dengan membuat perjanjian, seakan-akan menetapkan undang-undang bagi mereka sendiri.32
Konsekuensi yuridis dari Pasal 1338 ayat (1) ini diantaranya adalah
“perjanjian yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan
oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka”,33 dan “setiap orang
32
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 142
33
yang memperjanjikan sesuatu mendapat jaminan bahwa apa yang ditetapkan dalam
suatu perjanjian itu tidak akan dikurangi, atau larangan untuk mengurangi sedikit pun
pengikatan suatu kontrak atau perjanjian”.34
Sewa-menyewa seperti halnya dengan jual-beli dan perjanjian-perjanjian lain
pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensuil. Artinya, perjanjian tersebut sah
dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu
barang dan harga.35 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya
untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini
adalah membayar "harga sewa". Jadi barang itu diserahkan tidak untuk dimiliki,
tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian penyerahan
tadi hanya bersifat menyerahkan kekuasaan atas barang yang di sewa itu. Kalau
seorang diserahi barang untuk dipakainya, tanpa kewajiban membayar sesuatu apa,
maka yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-pakai. Jika si pemakai barang itu
diwajibkan membayar maka bukan lagi pinjam-pakai yang terjadi, tetapi
sewa-menyewa.
Disebutkannya "waktu tertentu" dalam uraian Pasal 1548 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata menimbulkan pertanyaan tentang apakah maksudnya itu,
sebab dalam sewa-menyewa tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang itu
disewanya, asal sudah disetujui berapa harga sewanya untuk satu hari, satu bulan
atau satu tahun. ”Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya tidaklah lain adalah
mengemukakan bahwa pembuat undang-undang memang memikirkan pada
34
R. Subekti, I, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung : Alumni, 1981), hal.64.
35
perjanjian sewa-menyewa di mana waktu-sewa ditentukan (misalnya untuk sepuluh
bulan, untuk lima tahun dan sebagainya)”.36
Hal ini diatur dalam Pasal 1579 KUH Perdata, yang berbunyi: "Pihak yang
menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan hendak
memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan
sebaliknya."
Menurut Subekti bahwa :
Pasal ini ditujukan juga hanya dapat dipakai terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu tertentu. Dan juga sudah selayaknya bahwa seorang yang sudah menyewakan barangnya misalnya untuk sepuluh tahun, tidak boleh menghentikan sewanya kalau waktu tersebut belum lewat, dengan dalih bahwa ia hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan itu. Sebaliknya, kalau seorang menyewakan barangnya tanpa ditetapkannya suatu waktu tertentu, maka tentu ia berhak untuk menghentikan sewa itu setiap waktu manakala ia mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang diperlukan untuk pemberitahuan tentang pengakhiran sewa menurut kebiasaan setempat.37
Namun demikian peraturan tentang sewa-menyewa yang terkandung dalam
bab ketujuh dari Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala jenis sewa-menyewa,
untuk semua jenis barang, baik yang tidak bergerak maupun yang bergerak, yang
menggunakan waktu tertentu ataupun tidak menggunakan waktu tertentu, “karena
waktu tertentu itu bukannya suatu ciri yang khas untuk perjanjian
sewa-menyew
jika berupa barang bukan jual beli tetapi tukar-menukar, tetapi dalam
a”.38
Menurut Subekti “Apabila dalam jual beli, harga harus berupa uang karena
menyewa tidak menjadi halangan apabila harga sewa itu berupa barang atau jasa”.39
Perbedaan pokok antara jual beli dengan sewa-menyewa menurut M. Yahya
Harahap terletak pada masalah:
a. Pada sewa-menyewa hak menikmati barang yang disewakan kepada si penyewa hanya terbatas pada “suatu jangka waktu tertentu” saja, sesuai dengan lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam persetujuan;
b. Pada jual-beli di samping hak pembeli untuk menikmati sepenuhnya tanpa jangka waktu tertentu, sekaligus terhadap barang yang dibeli telah terjadi penyerahan hak milik kepada pembeli;
c. Tujuan pembayaran sejumlah uang dalam sewa-menyewa hanya sebagai “imbalan atas hak penikmatan” benda yang disewakan;
d. Sedangkan pada jual beli, tujuan pembayaran harga barang oleh pembeli tidak lain untuk “pemilikan” barang yang dibeli.40
Selanjutnya M. Yahya Harahap mengatakan:
Maksud diadakannya sewa-menyewa adalah “penikmatan” atas suatu barang dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Penikmatan inilah sebagai salah satu unsur yang ditekankan pada Pasal 1548 KUH Perdata. “Penikmatan” ini tidak terbatas sifatnya. Seluruh kenikmatan yang dapat diperoleh dari barang yang disewa harus “diperuntukkan” bagi si penyewa. Akan tetapi penikmatan atas seluruh barang yang disewakan tidak akan menimbulkan persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bahagian barang. Masalah penikmatan akan timbul apabila si penyewa hanya menyewa atas sebagian barang saja. Misalnya hanya menyewa bagian paviliun sebuah rumah. Maka dalam hal ini si penyewa hanya berhak menikmati bagian yang disewanya saja, sesuai dengan yang diidentifikasi dalam perjanjian sewa-menyewa.41
Menurut Pasal 1553 KUH Perdata, dalam sewa-menyewa resiko terhadap
barang yang disewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu pihak yang
menyewakan. “Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan adanya
suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”.42
Mengenai resiko dalam sewa-menyewa tidak ditegaskan dalam Pasal 1553
KUH Perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata yang
menggunakan istilah “pertanggungan” yang berarti resiko. Akan tetapi peraturan
mengenai resiko dalam sewa-menyewa dapat disimpulkan dari Pasal 1553 KUH
Perdata yang menentukan bahwa ”Apabila barang yang disewakan itu musnah
karena sesuatu hal yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian
sewa-menyewa gugur demi hukum”. “Dari kata “gugur demi hukum” dapat
diartikan bahwa masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut apapun dari pihak
lainnya, yang berarti kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan harus
dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan”.43
Selain ketentuan-ketentuan di atas, ketentuan-ketentuan lain dalam
membahas tentang sewa-menyewa rumah adalah Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa
Perumahan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 1981 yang menyatakan bahwa hubungan sewa menyewa ditimbulkan oleh
:
a. Adanya persetujuan antara pemilik dan penyewa;
b. Adanya Surat Izin Perumahan (SIP) mengenai penggunaan perumahan yang
masih dikuasai oleh Kepala Daerah.
42
R. Subekti, II, Op cit, hal. 56
43
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut,
maka dalam prakteknya terjadi 2 (dua) macam bentuk sewa-menyewa rumah
yaitu sewa-menyewa rumah milik perseroangan dan sewa-menyewa rumah yang
dikuasai oleh Kepala Daerah. Untuk sewa-menyewa rumah milik perseorangan
dapat dilakukan dengan adanya persetujuan antara pemilik dengan penyewa
sedangkan perumahan yang dikuasai oleh Kepala Daerah memerlukan adanya
Surat Izin Perumahan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Perumahan
(KUP).
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah
disebutkan di atas, maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni
dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian melalui
pendekatan asas-asas hukum serta mengacu kepada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penelitian hukum
normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga dengan “penelitian doktrinal
(doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang
tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang
diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge
trough judicial process)”.44
44
Sedangkan sifat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat 0 yaitu suatu
penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data
mengenai hal-hal yang belum diketahui.
Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Dalam hal ini penelitian dilakukan dengan tujuan untuk membatasi
kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan yang berkaitan
dengan pengadaan/pembangunan rumah susun sewa.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lokasi Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII
Martubung Kecamatan Medan Labuhan.
3. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder.
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan
kepustakaan. Jadi, dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum
normatif yang dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas tiga bagian yakni
hukum primer, hukum sekunder dan hukum tertier, yaitu:
a.Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar,
peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan
hukum primernya yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang
No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Pemukiman, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988
tentang Rumah Susun, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun
2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
b.Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya
ilmiah dari kalangan hukum tentang sewa-menyewa perumahan dan rumah
susun, serta data dan arsip dari pihak Perum Perumnas.
c.Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Disamping itu data juga dikumpulkan melalui wawancara dengan informan
yang dipilih yaitu:
1.Manager Bagian Produksi Perum. Perumnas Medan
2.General Super Intendent PT. Pembangunan Perumahan
4. Alat Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, metode pengumpulan datanya adalah
dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field
research). Dalam penelitian ini penelitian kepustakaan (library research) bertujuan
untuk menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan
perundang-undangan, jurnal ilmiah, maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
Sedangkan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk
penelitian ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini digunakan metode
wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (depth interview) secara
langsung kepada para informan yaitu Manager Bagian Produksi Perum Perumnas
Regional I Medan, Staf Biro Hukum Perum Perumnas Regional I dan General Super
Intendent PT. Pembangunan Perumahan.
5. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.45
Analisis data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan,
pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu
dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah
dengan menggunakan metode induktif dan deduktif dan terakhir dilakukan
pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian
kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan
permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat
dipresentasekan dalam bentuk deskriptif.
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang diadakannya penelitian
ini, kemudian rumusan permasalahan yaitu apakah pengadaan/pembangunan rumah susun