• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Kerangka Teori

4. Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah

Hukum dan ekonomi dua hal yang tidak boleh dipisahkan, sebab dua hal ini saling melengkapi seperti dua sisi mata uang. Hukum ekonomi merupakan kajian tentang hukum yang berkaitan dengan ekonomi secara interdisipliner dan multidimensional. Menurut Rachmat Soemitro, hukum ekonomi adalah keseluruhan norma-norma yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi dimana kepentingan individu dan masyarakat saling berhadapan.41

39

Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, (Bandung: P.T. Alumni, 2010), hal. 145-148.

40 Ibid.

41 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan

Islam juga menetapkan adanya keseimbangan antara hak pelaku usaha dan konsumen dalam jual beli. Dalam kegiatan bisnis, baik itu barang dan/atau jasa tentunya diperlukan sebuah kepastian hukum berupa perlindungan agar terciptanya kenyamanan dan keamanan dalam bertransaksi. Dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentunya hal ini menjadi penting bagi konsumen Indonesia khususnya Muslim dalam melakukan jual beli barang dan/atau jasa yang harus berlandaskan pada prinsip-prinsip dan Hukum Ekonomi Syariah.

Menurut Muhammad, bangunan ekonomi Islam diletakkan pada lima fondasi yaitu ketuhanan (ilahiah), keadilan (al-„Adl), kenabian (al-Nubuwah), pemerintahan (al-Khalifah), dan hasil (al-Ma‟ad) atau keuntungan. Kelima fondasi ini hendaknya menjadi aspirasi dalam menyusun proposisi-proposisi atau teori-teori ekonomi Islam.42

a. Konsep Jual Beli dalam Islam

Jual beli menurut bahasa yaitu mutlaq al-mubadalah yang berarti tukar menukar secara mutlak. Atau dengan ungkapan lain

muqabalah syai‟ bi syai‟ berarti tukar menukar sesuatu dengan

sesuatu. Menurut Jalaluddin al-Mahally pengertian jual beli secara bahasa adalah:43

ةضواعلما وجو ىلع ءيشب ءيش ةلباقم

“Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu dengan adanya ganti atau imbalan”.

Sementara itu, pengertian jual beli menurut istilah adalah:

ّلتمو اكيلتم لابم لام ةلدابم

اك

“Tukar menukar harta dengan harta yang berimplikasi pada pemindahan milik dan kepemilikan”.

42 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan

Agama, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 9.

43 Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implementasinya pada Sektor

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan para ulama Fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi sama. Sayyid Sabiq, mendefinisikannya dengan:44

ٍلاَم ُةَلَداَبُم

َِبم

ىَلَع ٍلا

ِوْجَوْلا ىَلَع ٍضَوِعِب ٍكْلِم ُلْقَ ن ْوَا ,ىِضاَرَّ تلا ِلْيِبَس

ِوْيِف ِنْوُذْأَمْلا

“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan”. Atau “memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan”.

Dalam definisi di atas terdapat kata “harta”, “milik”, “dengan”, “ganti” dan “dapat dibenarkan” (al-ma‟dzun fih). Yang dimaksud harta dalam definisi di atas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat; yang dimaksud milik agar dapat dibedakan dengan yang bukan milik; yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian); sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (al-ma‟dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.

Definisi lain dikemukakan oleh ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaily, jual beli adalah:45

ىَلَع ٍلاَِبم ٍلاَم ُةَلَداَبُم

ِلْثِِبم ِوْيِف ٍبْوُغْرَم ٍئْيَش ُةَلَداَبُم ْوَأ ,ٍصْوُصَْمَ ٍوْجَو

ٍصْوُصَْمَ ٍدَّيَقُم ٍوْجَو ىَلَع

“Saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu”. Atau, “tukar-menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.

44 Abdul Rahman Ghazaly, Gufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2018), hal. 67-68.

Menurut Pasal 20 Ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ba‟i adalah “jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang”.46

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, jual beli adalah transaksi tukar menukar uang dengan barang berdasarkan suka sama suka menurut cara yang ditentukan syariat, baik dengan ijab dan kabul yang jelas, atau dengan cara saling memberikan barang atau uang tanpa mengucapkan ijab dan kabul, seperti yang berlaku pada pasar swalayan.47

Jual beli akan sah bila terpenuhi rukun dan syaratnya. Yang menjadi rukun jual beli dikalangan Hanafiyah adalah ijab dan

qabul. Ini yang ditunjukkan oleh saling tukar menukar atau berupa

saling memberi (muathah). Sementara itu, yang menjadi rukun jual beli di kalangan Jumhur ada empat, yaitu ba‟i‟ waal-mustari (penjual dan pembeli), tsaman wa mabi‟ (harga dan barang),

shighat (ijab dan kabul).48

Adapun yang menjadi syarat-syarat jual beli adalah:49 a. Ba‟i‟ wa musytari (penjual dan pembeli) disyaratkan:

1) Berakal dalam arti mumayiz 2) Atas kemauan sendiri 3) Bukan pemboros atau pailit.

b. Mabi‟ wa tsaman (benda dan uang) disyaratkan: 1) Milik sendiri

2) Benda yang diperjualbelikan itu ada dalam arti yang sesungguhnya, jelas sifat, ukuran, dan jenisny.

3) Benda yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan ketika akad secara langsung maupun tidak langsung

46

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 20 Ayat 2.

47 Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implementasinya pada Sektor

Keuangan Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017), hal. 64-70.

48 Ibid.

4) Benda yang diperjualbelikan adalah mal mutaqawwim.50 c. Sighat ijab dan kabul, disyaratkan:

1) Ijab dan kabul diucapkan oleh orang yang mampu (ahliyah) 2) Kabul berkesesuaian dengan ijab

3) Menyatunya majelis (tempat) akad

Dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan sabda-sabda rasul terkait jual beli, para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 H), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam al-Syathibi, memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.51

Islam juga mengajarkan beretika dalam jual-beli sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama, diantaranya:52

1) Tidak terkandung penipuan dalam memperoleh keuntungan 2) Jujur dalam ber-mu‟amalah (shidq al-mu‟amalah),

3) Lemah-lembut (al-samahah) dalam ber-mu‟amalah

4) Menghindari sumpah meskipun sumpah pedagang tersebut adalah benar

50 Mal mutaqawwim merupakan benda yang dibolehkan syariat untuk memanfaatkannya. Oleh karena itu, tidak sah melaksanakan jual beli terhadap benda yang tidak dibolehkan syariat untuk memanfaatkannya, seperti bangkai, babi, minuman keras, dan lain sebagainnya.

51 Abdul Rahman Ghazaly, Gufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2018), hal. 70.

52 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fikih Mu‟amalah Maliyyah Akad Jual-Beli, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017), hal. 7-8.

5) Banyak bersedekah (katsrat al-shadaqah) 6) Penulisan utang disertai saksi.

b. E-commerce dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah

Dalam praktiknya e-commerce disamakan dengan transaksi

As-salam dalam hukum perikatan Islam. As-salam merupakan

istilah dalam bahasa Arab yang mengandung makna penyerahan. Transaksi al-salam merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara tunai/disegerakan tetapi penyerahan barangnya ditangguhkan.

Landasan hukum diperbolehkannya transaksi bay‟ al-salam sebagaimana terdapat dalam Firman Allah yang berbunyi Q.s.

Al-Baqarah (002): 282:

َهُّ يَأ َيَ

ُهوُبُ تْكاَف ىِّمَسُم ٍلَجَأ َٰلَِإ ٍنْيَدِب ْمُتْ نَ ياَدَت اَذِإ اوُنَمآ َنيِذَّلا ا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.

Sebab faktanya salam merupakan utang, sehingga jual beli

salam ini juga tercakup dalam keumuman ayat di atas.

Perlu ditekankan, bahwa e-commerce adalah rangkaian set dinamis dari suatu teknologi, aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen dan komunitas melalui transaksi eloktronik dan perdagangan barang, jasa dan informasi yang diselenggarakan secara elektronik. Kondisi itu yang menyebabkan jarak bukan lagi menjadi hambatan dalam dunia bisnis. Perkembangan mencolok teknologi internet membuat suatu produk dapat dipasarkan secara global dalam situs Web, sehingga setiap orang dari seluruh penjuru dunia dapat langsung mengakses situs tersebut untuk melakukan transaksi secara online.53

53 Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, (Bandung: P.T. Alumni, 2010), hal. 2.

Perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik punya arti penting yang lebih luas dan lebih besar. Seperti disebut secara jelas dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

Nomor 29/PERM/M.KOMINFO/11/26 tentang pedoman

penyelenggaraan Certification Authority (CA): bahwa untuk memberi kepastian hukum dan melindungi para pihak yang melakukan transaksi elektronik diperlukan sistem pengamanan.54

Merujuk kepada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE), ketentuan ini jelas mengatakan bahwa Transaksi Elektronik yang dituangkan dalam

Kontrak Elektronik mengikat para pihak. Suatu versi yang lebih

terperinci tentang perjanjian elektronik dapat dilihat dalam Article 11 model hukum UNCITRAL untuk e-commerce. Secara teoritis Article 11 menyebutkan bahwa unsur-unsur dalam perjanjian elektronik adalah adanya penawaran dan penerimaan yang dilaksanakan lewat pengiriman data-data elektronik dari komputer ke komputer (data messages). Oleh karena itu, pengiriman data-data elektronik yang pada akhirnya dapat membentuk perjanjian elektronik, memiliki daya validitas dan keberlakuan hukum sebagai perjanjian yang sah dan mengikat para pihak.55

Tidak dapat diragukan lagi, bahwa teknologi informasi telah membuka mata dunia akan sebuah dunia baru, marketplace baru dan sebuah jaringan bisnis dunia yang tanpa batas. Bagaimanapun juga, teknologi internet berhasil mengubah pola interaksi masyarakat, yaitu interaksi bisnis, ekonomi, sosial, dan budaya. Bertolak dari situ, internet telah memberi kontribusi yang demikian besar bagi masyarakat, perusahaan/industri maupun pemerintah. Kehadiran internet dianggap dapat menunjang

54 Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, (Bandung: P.T. Alumni, 2010), hal. 3.

efektivitas dan efisiensi operasional perusahaan terutama perannya sebagai sarana informasi yang dibutuhkan oleh sebuah usaha dan bentuk badan usaha atau lembaga lainnya.56

Dalam praktiknya, syarat-syarat perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Menurut ketentuan ini sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat persyaratan utama:57

1) Adalah kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya 2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3) Harus ada hal tertentu 4) Harus ada kausa yang halal.

Penting dicatat bahwa setiap transaksi perniagaan elektronik yang memenuhi syarat pasal 1320 harus diakui sebagai perjanjian dan mengikat para pihak. Tidak diragukan lagi, bahwa seluruh bentuk perjanjian yang dibuat secara online memiliki kekuatan hukum berlaku (enforceable) dan mengikat (binding) para pihak dalam perjanjian.

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 101 s/d Pasal 103, bahwa syarat ba‟i salam adalah sebagai berikut:58

1) Kualitas dan kuantitas barang sudah jelas. Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran, atau timbangan, dan/atau meteran.

2) Spesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.

3) Barang yang dijual, waktu, dan tempat penyerahan dinyatakan dengan jelas.

4) Pembayaran barang dapat dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati.

56 Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, (Bandung: P.T. Alumni, 2010), hal. 13-19.

57 Ibid.

Meski dalam praktiknya e-commerce disamakan dengan transaksi as-salam yaitu transaksi yang merupakan pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Dalam hal ini yang sama hanyalah ketiadaan barang semata, bukan sistem pembayarannya. Perbedaan yang sangat terlihat dalam hal sistem pembayaran antara salam dan

e-commerce adalah pembayaran pada salam dilakukan dalam serah

terima oleh kedua pihak yang bertransaksi, sedangkan dalam

e-commerce terjadi dengan perantara wakil, dalam hal ini pihak bank

sebagai penyedia jasa inkaso atau transfer uang.59 Tabel 2.1: Perbedaan Al-Salam dan Ecommerce

No Transaksi Al-Salam E-commerce

1 Penjual/ Ba‟i Muslam Ilaih Merchant/Seller

2 Pembeli/ Mustari Rabb al-

Salam/ Muslim

Cardholder/Consumer/ Buyer

3 Obyek/Barang/

Ma‟qud Alaih Muslam fihi Comodity

4 Pernyataan/Sighat Ijab Qabul Agreement

5 Nilai tukar Ra‟su al-Mal Price/money

6 Perwakilan Wakil Payment Gateway

Dalam tabel di atas dijelaskan bahwa antara transaksi al-salam dengan e-commerce terdapat penganalogian/pengqiasan yaitu:60

a) Dalam pernyataan keduanya mengharuskan adanya kesepakatan b) Dalam pembayaran, kedua sistem pembayarannya didahulukan.

59

Ratu Maemunah, “Analisa Hukum Islam Terhadap Masalah Perlindungan Konsumen yang Terjadi atas Jual Beli E-Commerce”, Jurnal Islamiconomic, 6, 1 (Januari-Juni, 2015), hal. 63-64.

60 Sugeng Santoso, “Sistem Transaksi E-commerce dalam Perspektif KUH Perdata dan Hukum Islam”, Ahkam, 4, 2, (November 2016), hal. 241.

c. Hak-hak konsumen dalam Islam

Hak menurut bahasa adalah ats-tsubut wa al-wujub artinya tetap dan wajib. Pernyataan ini tertuang dalam firman Allah SWT dalam QS Yasin [36: 7], yaitu:61

َنوُنِمْؤُ ي َلا ْمُهَ ف ْمِىِرَثْكَأ ىَلَع ُلْوَقْلا َّقَح ْدَقَل

“Sesungguhnya telah benar perkataan itu kepada kebanyakan sedang mereka tidak beriman”.

Kata-kata haq pada ayat ini berarti tetap dan pasti. Sementara itu, haq dengan pengertian wujub terdapat dalam QS Al-Baqarah [2: 241].

َم ِتَقَّلَطُمْلِلَو

َيِقَّتُمْلا ىَلَع اِّقَح ِفُرْعَمْلِبِ ُعَت

“Dan bagi wanita-wanita yang di talak (hendaklah diberikan oleh suami) mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Kata-kata haq pada ayat ini berarti kewajiban. Sementara itu, pengertian hak secara istilah terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli fikih. Menurut Mustafa Ahmad Zarka’, seperti yang dikutip oleh Muhammad Usman Syabir, hak adalah:62

لس عرشلا وبررقي صاصتخإ

افيلكت وا ةط

"Kekhususan yang dengannya syarak menetapkan kekuasaan dan kewajiban".

Sultah pada definisi ini meliputi sulthah ala nafsi

(kekuasaan terhadap jiwa/diri), seperti hak hadhanah (memelihara anak), dan sulthah ala syaiin mu‟ayanin (kekuasaan terhadap benda) seperti hak milkiyah (hak milik). Sementara itu, taklif pada definisi ini meliputi iltizam ala insan (tanggung jawab atas seseorang), seperti kewajiban buruh melaksanakan tugasnya dan

61 Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implementasinya pada Sektor

Keuangan Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017), hal. 12-13.

iltizam ala mal (tanggung jawab terhadap harta), seperti kewajiban

melunasi hutang.63

Definisi hak yang dikemukakan Mushtafa az-Zaraqa’ di atas dipandang sebagai definisi yang lengkap. Pada definisi ini hak secara umum mencakup hak-hak keagamaan (diniyah), seperti hak Allah atas hambanya berupa shalat, puasa, dan sejenisnya. Hak-hak keduniawian (madaniyah), seperti Hak-Hak-hak kepemilikan, Hak- hak-hak adabiyah, seperti hak-hak taat seorang anak terhadap orang tua, serta kebendaan (maliyah), seperti hak nafkah, dan hak bukan kebendaan (ghairu maliyah), seperti hak perwalian. Sesuai dengan konsep fikih muamalah yang pembahasannya mencakup hak dan kebendaan maka yang dimaksud dengan hak dalam pembahasan ini adalah kekuasaan seseorang untuk menguasai sesuatu berupa benda atau dengan istilah lain kaidah yang mengatur tentang orang dan benda yang harus ditaati orang lain.64

Dalam Islam, para ahli hukum Islam terdahulu (fukaha) tidak pernah mendefinisikan konsumen dan menjadikannya sebagai suatu objek kajian hukum secara khusus. Hanya saja, sumber hukum Islam berbicara tentang prinsip-prinsip konsumen dan perlindungan konsumen. Sehingga definisi konsumen menurut Islam membutuhkan kajian tersendiri dan secara khusus tentang perlindungan konsumen.65

Muhammad dan Alimin, mendefinisikan konsumen berangkat dari pandangan atau konsep Islam terhadap harta, hak dan kepemilikan dengan transaksi atau tidak, yang sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan konsumen dalam Islam. Definisi konsumen tersebut adalah “setiap orang, kelompok atau badan

63

Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implementasinya pada Sektor

Keuangan Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017), hal. 12-13.

64 Ibid.

65 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), hal. 18-20.

hukum pemakai suatu harta benda dan atau jasa karena adanya hak yang sah, baik ia dipakai untuk pemakai akhir ataupun untuk proses produksi selanjutnya”.66

Konsumen dalam hukum ekonomi Islam tidak hanya terbatas pada orang perorangan saja, tetapi juga mencakup badan hukum, seperti yayasan, perusahaan, atau lembaga tertentu.67 Hukum ekonomi Islam tidak membedakan antara konsumen akhir (ultimate consumer) dengan konsumen antara (intermediate

consumer) ataupun konsumen komersial (commercial consumer).

Karena konsumen dalam Islam termasuk semua pemakai barang dan/atau jasa, baik yang dipakai langsung habis maupun dijadikan sebagai alat perantara untuk memproduksi selanjutnya. Menurut Islam, keadilan ekonomi Islam adalah milik semua orang baik berkedudukan sebagai individu maupun kelompok atau publik.68

Sumber hukum perlindungan konsumen dalam Islam, praktis sama persis dengan sumber hukum Islam yang diakui oleh mayoritas ulama (jumhur ulama), yaitu; AL-Qur’an, Sunnah,

Ijma‟, dan Qiyas. Al-Qur’an dan Sunnah dapat berdiri sendiri

sebagai dalil hukum, sedangkan Ijma‟ dan Qiyas tidak dapat berdiri sendiri sebagai dalil hukum, karena proses Ijma‟ dan Qiyas harus berdasarkan kepada dalil penyandaran dari Al-Qur’an dan Sunnah. Perlindungan konsumen merupakan hal yang sangat penting dalam hukum Islam. Karena Islam melihat, bahwa perlindungan konsumen bukan sebagai hubungan keperdataan saja, melainkan menyangkut kepentingan publik secara luas, bahkan menyangkut hubungan antara manusia dan Allah SWT.

66 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), hal. 18-20.

67 Ibid.

Maka perlindungan terhadap konsumen muslim berdasarkan syariat Islam merupakan kewajiban negara.69

Dalam Islam, hukum perlindungan konsumen mengacu kepada konsep halal dan haram, serta keadilan ekonomi, berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip ekonomi Islam. Aktivitas ekonomi Islam dalam perlindungan konsumen meliputi perlindungan terhadap zat, proses produksi, distribusi, tujuan produksi, hingga pada akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa tersebut. Maka dalam ekonomi Islam, barang dan/atau jasa yang halal dari segi zatnya dapat menjadi haram, ketika cara memproduksi dan tujuan mengonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan syara‟.70

Karena itu pula, tujuan konsumen Muslim berbeda dengan tujuan konsumen non-Muslim. Konsumen Muslim dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa bertujuan untuk mengabdi dan merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah SWT. Fuqaha‟ memberikan empat tingkatan bagi konsumen, yaitu:71

1. Wajib, mengonsumsi sesuatu untuk menghindari dari kebinasaan, dan jika tidak mengonsumsi kadar ini padahal mampu akan berdosa.

2. Sunnah, mengonsumsi lebih dari kadar yang menghindarkan dari kebinasaan, dan menjadikan seorang muslim mampu shalat berdiri dan mudah berpuasa.

3. Mubah, sesuatu yang lebih dari sunnah sampai batas kenyang. 4. Konsumsi yang melebihi batas kenyang. Dalam hal ini terdapat

dua pendapat, salah satunya menyatakan makruh, dan yang lain menyatakan haram.

69 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), hal. 24-25.

70 Ibid.

Dalam Islam, konsumen memiliki hak mendasar yang dapat dipergunakan untuk melindunginya dari transaksi yang merugikan kepentingan konsumen itu sendri. Diantara hak yang melekat pada konsumen tersebut antara lain:72

1) Hak untuk mengetahui informasi atas barang dan jasa

Kebenaran dan informasi dari produk yang ditawarkan pihak produsen harus dijelaskan secara benar. Karena seringkali perusahaan-perusahaan memberikan gambaran yang terkait produknya dengan gambaran yang menyesatkan. Dalam hal ini dikenal dengan istilah al-ghurur, yaitu usaha untuk menggiring opini seseorang dengan cara yang tidak benar untuk menerima suatu hal yang tidak memberi keuntungan disertai rayuan bahwa hal itu menguntungkan. Islam mencela perbuatan ghurur, atau transaksi yang didasari penipuan.

2) Hak konsumen atas kebebasan memilih

Kebebasan memilih dalam aspek ini adalah hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, kebebasan memilih dan saling menerima merupakan dasar adanya proses transaksi jual beli. 3) Hak konsumen atas penyelesaian sengketa

Penyelesaian perselisihan dapat dilaksanakan melalui tiga jalan, yaitu:

a) Perdamaian (sulhu)

Menurut istilah fiqih adalah menetapkan hukum syara‟ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya jenis akad dan untuk mengakhiri sengketa antara dua pihak yang berselisih.

b) Arbitrase (Tahkim)

72 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 88.

Secara literal adalah mengangkat sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan secara terminologi tahkim berarti penyelesaian sengketa yang dilakukan hakam atau lembaga

hakam yang dipilih atau ditunjuk secara sukarela oleh dua

orang atau lebih yang bersengketa untuk mengakhiri, dan para pihak akan menaati penyelesaian oleh hakam atau para

hakam yang mereka tunjuk.

c) Proses Peradilan (Al-qadha)

Secara harfiah berarti secara adil dan mengikat, melalui lembaga peradilan dan orang yang berwenang untuk menyelesaikan perkara dikenal dengan qadhi (hakim). Berdasarkan kesimpulan dari diskusi ilmiah “Pengembangan

Cyber Law di Indonesia; Kesiapan Peraturan Perundang-undangan

di Indonesia Mengantisipasi Kegiatan E-commerce di kampus Universitas Padjajaran, tanggal 3 Juni 2000 yang dikutip Edmon Makarim menjelaskan bahwa hak-hak konsumen dalam

e-commerce yang tergolong riskan adalah sebagai berikut:

1) Tidak ada jaminan keselamatan dan keamanan dalam konsumsi barang dan jasa. Hal ini dikarenakan para konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat atau menyentuh barang yang akan dipesan lewat internet, sebagaimana yang biasa terjadi dalam transaksi tatap muka di pasar.

2) Tidak ada kepastian apakah konsumen telah memperoleh informasi yang dibutuhkannya dalam bertransaksi, sebab informasi yang tersedia dibuat secara sepihak oleh penjual atau produsen, tanpa ada kemungkinan konsumen melakukan verifikasi.

3) Tidak terlindunginya hak-hak konsumen untuk mengeluh atau mengadu atau memperoleh kompensasi. Hal ini karena transaksi lewat internet, dilakukan tanpa tatap muka, maka ini

membuka peluang tidak teridentifikasinya si produsen atau penjual barang/jasa tersebut.

4) Dalam transaksi pembayaran lewat e-commerce, biasanya konsumen harus terlebih dahulu membayar penuh (menggunakan kartu kredit), barulah pesanannya diproses oleh produsen atau penjual. Sehingga beresiko membuka peluang terlambatnya barang yang dipesan, atau isi dan mutunya tidak sesuai dengan pesanan.

5) Transaksi e-commerce dapat dilakukan antar negara. Bila terjadi sengketa maka akan sulit ditentukan hukum negara mana yang dipakai.73

Meskipun Islam tidak mengatur hak-hak konsumen secara berurutan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun Islam melindungi hak-hak konsumen dari perbuatan curang dan informasi yang menyesatkan, serta memberikan hak atas keselamatan dan kesehatan, hak untuk memilih, hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, hak untuk mendapatkan advokasi dan penyelesaian sengketa, dan hak untuk mendapatkan ganti rugi.74

Dalam ekonomi Islam, konsumen dikendalikan oleh lima prinsip dasar, yaitu:75

1) Prinsip kebenaran

Prinsip ini mengatur agar konsumen untuk menggunakan