• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

C. DAS Brantas Hilir

3.9 PERMASALAHAN DAS BRANTAS

 Dapat memenuhi kebutuhan air terutama pada musim kemarau dan memenuhi kebutuhan air penduduk pada masa yang akan datang

 Potensi pesisir (hilir) dimanfaatkan langsung oleh para petani yang bertempat tinggal di kawasan

 Menunjang ketahanan air dan ketahanan pangan.

 pembangkit listrik tenaga mini (PLTM) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA)  Berpotensi untuk mendukung pengembangan sektor unggulan seperti pertanian,

perkebunan, dan sebagainya.

3.9 PERMASALAHAN DAS BRANTAS

Sejalan dengan

perkembangan dan pertumbuhan jumlah penduduk, maka berbagai tatanan kehidupan berubah dengan

cepat mengikuti perkembangan

peningkatan kebutuhan masyarakat.

Salah satu dari dampak tersebut adalah pola pemanfaatan sumber daya alam yang berada di sekitar masyarakat. Perkembangan penduduk dan permukiman akan mendesak pola penggunaan lahan sehingga terjadi alih fungsi lahan pada Daerah Aliran sungai sehingga mengakibatkan penurunan kualias DAS. Penurunan kualitas DAS disebabkan, antara lain oleh:

 Tekanan penduduk yang meningkat, pembangunan industri, permukiman, sampah, dan limbah industri

 Rendahnya kapasitas institusi yang tugasnya mencegah dan merehabilitasi kerusakan sumber daya

 Kegagalan pasar

 Kebijakan yang belum berpihak kepada pelestarian sumber daya alam  Koordinasi yang belum optimal antar stakeholder terkait

 Kesadaran dan partisipasi berbagai pihak termasuk sebagian masyarakat yang masih kurang dalam konteks pemanfaatan dan pelestarian SDA.

Penyebaran penduduk yang tidak merata antar daerah dan kabupaten/kota yang pada umumnya penyebaran penduduk lebih terkonsentrasi pada bagian hilir DAS dan sungai-sungai besar. Fenomena lain adalah mobilisasi penduduk yang mencari lahan-lahan yang relatif lebih subur, sehingga banyak masyarakat dari bagian hilir

Sumber: http://www.flickr.com/photos/agipk/5329289286/ (diakses tanggal 27 Juni 2012)

KAJIAN ANALISA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI EKOSISTEM DAS DALAM MENUNJANG KETAHANAN AIR DAN KETAHANAN PANGAN

3

yang menggarap lahan di kawasan hutan atau pada lahan dengan elevasi yang lebih tinggi. Persoalan ini juga terjadi di sekitar DAS Brantas, yaitu tingkat pertambahan penduduk berkembang pesat, ditambah lagi dengan faktor kemiskinan penduduk, dan sebagian hak pengelolaan DAS juga diberikan kepada masyarakat, sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya perubahan penggunaan lahan yang pada umumnya kurang memperhatikan faktor konservasi tanah dan air dalam pengelolaannya. Pemanfaatan potensi DAS Brantas baik sumber daya lahan maupun sumberdaya air yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi akan mengakibatkan degradasi di hulu, tengah dan hilir DAS Brantas.

Sumber: Kementerian Kehutanan

Gambar 3. 25 Peta Penggunaan Lahan DAS Brantas

Berdasarkan gambar di atas kawasan hutan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Brantas melintasi 16 kabupaten/kota mecakup 1,5 juta Ha. Sesuai dengan ketetapan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, idealnya dari total hutan di DAS minimal 30 persen adalah hutan lindung atau sekitar 450 ribu hektar di DAS Brantas. Namun kenyataannya saat ini, luas hutan lindung yang terdapat di DAS Brantas adalah seluas 60 ribu hektare.

Fenomena berkurangnya luas hutan di DAS Brantas tampak dari perubahan luas hutan tahun 1972 adalah 2.790 km² turun menjadi 2.641 km² tahun 1985 dan akhirnya menjadi 1.308 km² pada tahun 2004. Perubahan yang cukup drastis ini disebabkan

KAJIAN ANALISA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI EKOSISTEM DAS DALAM MENUNJANG KETAHANAN AIR DAN KETAHANAN PANGAN

3

tekanan kependudukan mengingat DAS Brantas memiliki populasi yang cukup besar. Tekanan ini menyebabkan intensifikasi pengambilan hasil hutan, khususnya kayu yang mendorong konversi lahan (BBWS Brantas, 2006). Hal di atas terjadi karena berbagai sebab yang sangat kompleks antara lain: (i) praktik penebangan liar dan konversi lahan; (ii) tata kelola kehutanan masih menemui kendala koordinasi; (iii) penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) masih harus ditingkatkan; (iv) rendahnya kapasitas pengelola kehutanan, (v) belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa lingkungan. Hal ini disebabkan oleh buruknya pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan yang dilakukan di masa lalu yang melupakan aspek sosial, ekonomi, ekologi dan lain sebagainya. Kesadaran masyarakat dalam upaya konservasi hutan dan lahan belum membudaya, hanya berorientasi pada kepentingan jangka pendek sehingga menimbulkan degradasi sumber daya hutan dan lahan serta menurunnya kualitas lingkungan.

Berkurangnya hutan lindung khususnya di DAS Brantas Hulu menyebabkan banyak sumber mata air yang tidak berproduksi lagi. Jumlah mata air di DAS Brantas yang diperkirakan terdapat sebanyak 1.577 mata air, pada saat ini hanya tersisa sekitar 50%-nya saja. Hal ini terlihat jelas di Kota Batu hanya tersisa 57 mata air yaitu dari awalnya terdapat sebanyak 118 mata air. Bahkan, jika musim kemarau datang, sumber yang menghasilkan air terbesar hanya tersisa tiga saja sehingga mengakibatkan penurunan hasil produksi para petani.

Tidak optimalnya kondisi DAS Brantas antara lain disebabkan tidak adanya adanya keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Salah satu penyebab terjadinya alih fungsi lahan atau berkurangnya kelestarian DAS tersebut adalah karena tuntutan ekonomi masyarakat (kemiskinan). Kualitas sumber daya manusia yang rendah pada masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan akan mempengaruhi kemampuan dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Akibat kerusakan hutan di daerah hulu yang sulit diperbaiki dan memerlukan waktu lama untuk pemulihannya, mengakibatkan Waduk Sengguruh dan Waduk Sutami mengalami sedimentasi. Setelah berfungsi, Waduk Sengguruh menangkap sejumlah besar sedimen, sehingga kapasitas tampungan airnya semakin menyusut. Karena Waduk Sengguruh sudah tidak dapat menampung sedimen lagi, maka sebagian besar sedimen terbawa kembali ke Waduk Sutami (PJT I, 2005).

Selain itu, oleh karena keterbatasan dana pengelolaan banyak prasarana pengairan yang telah selesai dibangun menjadi tidak terawat sehingga kondisinya

KAJIAN ANALISA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI EKOSISTEM DAS DALAM MENUNJANG KETAHANAN AIR DAN KETAHANAN PANGAN

3

memprihatinkan dan memerlukan rehabilitasi dengan biaya cukup besar. Penyelenggaraan Operasi dan Pemeliharaan memerlukan biaya yang besar. Biaya untuk kegiatan tersebut tiap tahunnya berkisar 0,6-1,9% dari nilai investasi yang ditanamkan (CIDA, 1993). Sehingga, bila kaidah ini diterapkan pada prasarana pengairan di DAS Brantas, maka besar biaya O&P yang diperlukan adalah sebesar Rp 114,38 miliar/tahun (2006).

Sumber pencemar dominan yang mencemari sungai Kali Brantas dikategorikan menjadi dua, yaitu sumber pencemar terpusat (point source polluter) dan tersebar (non

point source polluter). Sumber pencemar tersebut adalah yaitu limbah industri, limbah

domestik, dan limbah pertanian. Terdapat sekitar 483 perusahaan/industri di sepanjang DAS Brantas yang memanfaatkan air sebagai penunjang kegiatan produksinya serta sebagai tempat pembuangan limbah cair.

Selain itu, terjadi peningkatan volume penambangan pasir liar di DAS Brantas

Tengah. Aktivitas pengerukan ini sangat mudah ditemukan di DAS Brantas, yaitu hampir

di setiap jarak 500 meter dapat ditemukan aktivitas pengerukan pasir, mulai dari menggunakan alat mekanik sampai dengan penyelam. Eksploitasi pengambilan pasir di DAS Brantas ini tiap tahunnya mencapai 1,6 juta meter kubik, sedangkan umumnya kapasitas pasir di sungai ini hanya sebanyak 450 ribu meter kubik saja tiap tahunnya. Akibatnya, dasar sungai terus bergerus dan beberapa tanggul sungai menjadi rusak, dan berdampak pada sejumlah bangunan yang berada di sekitar lokasi DAS Brantas terancam longsor.

Pada DAS Brantas Hilir, sumber pencemar yang menonjol adalah limbah domestik. Sekitar 50% sumber pencemar berasal dari limbah domestik ini. Tingginya pencemaran DAS Brantas ditandai dengan adanya indikator BOD yang seharusnya 2 mg/l, pada Desember 2011 terdapat rata-rata 4,41 mg/l, sedangkan COD yang seharusnya 10 mg/l, terdapat rata-rata 15,47 mg/l. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel berikut ini:

KAJIAN ANALISA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI EKOSISTEM DAS DALAM MENUNJANG KETAHANAN AIR DAN KETAHANAN PANGAN

3

Tabel 3. 15 Kualitas Air DAS Brantas

Lokasi Parameter (mg/l) 2010 2011

DAS Brantas Hulu BOD 4,6 3,96 COD 12,1 10,71 DAS Brantas Tengah BOD 4,54 3,89

COD 15,4 12,39 DAS Brantas Hilir BOD 6,21 5,38

COD 26,33 23,3 Rata-rata BOD 5,12 4,41 COD 17,94 15,47

Sumber: Profil Relawan Pengabdi Lingkungan 2011

Dari berbagai permasalahan-permasalahan yang dipaparkan di atas, maka poin-poin penting persoalan yang dihadapi DAS Brantas, antara lain sebagai berikut:

 Lemahnya koordinasi dan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan DAS Brantas. Pengelolaan DAS Brantas yang melintasi beberapa wilayah administrasi yang berbeda memerlukan koordinasi dan keterpaduan kebijakan pengelolaan dari hulu-hilir, sehingga kebijakan yang dilaksanakan tidak bersifat ego sektoral dan ego wilayah masing-masing.

 Alih fungsi lahan, yaitu dari peruntukkan untuk tanaman pangan, menjadi kehutanan. Hal ini terjadi karena adanya keinginan untuk mendapatkan hasil/komoditi yang lebih tinggi nilai ekonominya, yaitu kayu hasil kehutanan, dibandingkan dengan tanaman pangan hasil pertanian.

 Kegiatan budidaya pertanian yang dilakukan belum memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Strategi pembangunan pertanian secara berkelanjutan harus mencakup aspek-aspek kebijakan di sektor pertanian, diversifikasi program dan usaha tani, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk secara tepat, perencanaan dan pengelolaan lahan yang memperhatikan aspek konservasi tanah dan air, pemanfaatan sumberdaya air secara efisien, pembangunan infrastruktur pendukung dan peningkatan keterampilan petani dan kelembagaan.

 Sistem tanam yang dilakukan masyarakat pada umumnya adalah tanaman semusiman. Hal ini dapat disiasati dengan penerapan sistem agroforestry yaitu suatu sistem pertanaman campuran antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan berkayu (pohon), dalam suatu tapak yang sama dan dapat dikombinasikan dengan kegiatan peternakan atau perikanan.

 Kegiatan yang bertujuan untuk peningkatan produksi pertanian semata berupa penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida yang berlebihan dan

KAJIAN ANALISA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI EKOSISTEM DAS DALAM MENUNJANG KETAHANAN AIR DAN KETAHANAN PANGAN

3

mengabaikan kelestarian lingkungan menyebabkan terjadinyan pencemaran dan ketidakseimbangan sistem lingkungan secara keseluruhan dalam menopang kehidupan manusia. Hal ini lebih diperparah dengan penegakan hukum yang masih lemah, diskriminatif dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi kawasan.

 Rendahnya kualitas sumber daya masyarakat dan partisipasi dalam menjaga lingkungan yang kurang. Hak pengelolaan hutan oleh masyarakat cenderung berujung pada timbulnya berbagai masalah di DAS, seperti masih berkutatnya pada masalah kemanan hutan seperti penebangan liar, perambahan kawasan hutan oleh masyarakat menjadi lahan garapan, pengambilan hasil hutan non kayu secara illegal, perburuan satwa dan kebakaran hutan.

Data spasial lahan kritis dapat diketahui melalui parameter penentu kekritisan lahan. Parameter penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 meliputi:

 kondisi tutupan vegetasi  kemiringan lereng

 tingkat bahaya erosi dan singkapan batuan (outcrop)  kondisi pengelolaan (manajemen)

Tabel 3. 16 Lahan Kritis DAS Brantas di Luar Kawasan Hutan Jawa Timur (Ha)

No Kabupaten Wilayah (km2) Lahan Kritis Luar Kawasan Hutan (Ha)

2007 2008 2009 2010 2011 1 blitar 1753 11400.00 11400.00 10651.00 9485.00 10651.00 2 gresik 1238 3750.00 - 287,59 287,36 290,21 3 jombang 1114 4650.00 2044,58 1433.00 1194,63 660,92 4 kediri 1522 1650.00 1650.00 10314.00 9889.00 6497.00 5 kota batu 202 1710.00 - 141.00 138.00 250.00 6 kota blitar 33 - - - - - 7 kota kediri 69 - - 200.00 200.00 - 8 kota malang 110 - - 43.00 43.00 - 9 kota mojokerto 20 - - - - - 10 kota surabaya 331 - - 0,11 - - 11 madiun 1011 14500.00 14500.00 230,28 1131.00 1806.00 12 malang 3457 22265.00 15445.00 15091.00 5042,24 1254.00 13 mojokerto 974 2250.00 2250.00 3203.00 3180,97 11834.00 14 nganjuk 1284 550.00 9170,11 1633.00 1588,61 1633.00 15 pasuruan 1487 27250.00 27250.00 25125,59 23123,18 4653,89 16 ponorogo 1487 950.00 950.00 8549,46 8504,6 8391,73 17 sidoarjo 719 - - - - - 18 trenggalek 1245 10550.00 8752,5 11143,41 8600.00 8752,5 19 tulungagung 1151 3065.00 1600.00 2540.00 1629,34 2540.00 TOTAL 104540 95012,19 90585,44 84036,93 59214,25

Keterangan: Data Lahan Kritis yg disajikan meliputi kriteria Kritis dan Sangat Kritis

Sumber: Dinas/ Instansi yang membidangi Kehutanan Kabupaten/ Kota se-Jawa Timur danUPT Departemen Kehutanan Jawa Timur Tahun 2007-2011

KAJIAN ANALISA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI EKOSISTEM DAS DALAM MENUNJANG KETAHANAN AIR DAN KETAHANAN PANGAN

3

Tabel 3. 17 Kerentanan Kekritisan Lahan Wilayah Brantas Bagian Hilir

No. Sub DAS Luas Wilayah (Ha)

Kekritisan Lahan (Ha) Jumlah (Ha) Kawasan Pemukiman Perkotaan Kawasan Lahan Milik Kawasan Hutan 1 2 3 4 5 6 7

Brantas Bagian Hilir 344.121,00 16.381,00 18.180,00 7.413,86 41.974,86

1 Bluwek 21.482,00 - 653,00 697,00 1.350,00 2 Brangkal 96.097,00 - 6.166,00 3.498,86 9.664,86 3 Maspo 226.542,00 16.381,00 11.361,00 3.218,00 30.960,00

Sumber Data : Hasil Analisa BPDAS Brantas’07

Sumber: Statistik BPDAS Brantas, 2007

Gambar 3. 26 Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan di Wilayah DAS Brantas

3.10 GAMBARAN DAN KEBIJAKAN TERKAIT DAS BERDASARKAN RTRW