• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Pengembangan Wilayah

2.1.4 Permasalahan praktek perencanaan pengembangan wilayah.

Praktek perencanaan pengembangan wilayah memerlukan konsep pemikiran sebagai acuan, dengan pertimbangan dapat diterima secara rasional sebagai konsep yang efektif dan dapat diterapkan dalam praktek pengembangan wilayah secara nyata. Dari keempat konsep di atas, Konsep spatial planning system merupakan konsep yang secara luas diterima sebagai konsep yang paling memenuhi kriteria tersebut, oleh karena itu merupakan konsep pengembangan wilayah yang menjadi acuan pengembangan wilayah secara luas, sementara konsep yang lebih baik belum ada.

Sesuai dengan pemikiran yang diajukan, konsep ini mempunyai sifat perencanaan pengembangan wilayah yang terpusat dengan menitikberatkan pada sasaran pertumbuhan perekonomian nasional. Dalam negara industri baru perencanaan wilayah dikaitkan dengan pembangunan nasional, Perencanaan pusat-pusat dan integrasi ruang dalam perekonomian nasional. Dalam negara-negara industri maju sorotan utama diberikan pada wilayah-wilayah inti dalam perekonomian nasional, dimana secara bertahap wilayah bergabung dengan perencanaan metropolitan. Menurut konsep ini, pengembangan wilayah dititik beratkan pada pengembangan nasional dan mampu menjalankan pertumbuhan ke wilayah belakangnya.

Dalam prakteknya, pusat-pusat yang dianggap potensial untuk merangsang pertumbuhan wilayah dikembangkan dengan mengerahkan tenaga dan biaya dalam menyiapkan lahan dan infrastruktur dan didukung oleh pengembangan perangkat lunak yang berkaitan dengan isentif pajak, untuk menumbuh-kembangkan kegiatan ekonomi, melalui peningkatan minat investasi di pusat-pusat tersebut.

Dalam rangka mengejar sasaran utama pengembangan wilayah untuk maksimasi pertumbuhan perekonomian, karakteristik pendekatan yang dilakukan adalah:

1. Pembangunan fisik mendapat prioritas utama guna menunjang pertumbuhan perekonomian wilayah yang maksimal melalui pengerahan investasi masuk yang padat modal, berteknologi tinggi, nilai tambah besar dan berorientasi ekspor,

2. pengembangan wilayah dikaitkan dengan pembangunan nasional dengan menggunakan pusat–pusat pertumbuhan sebagai instrumen utamanya,

3. manusia diletakkan sebagai elemen pendukung, dengan peran sebagai obyek pembangunan.

Praktek perencanaan pengembangan wilayah yang mengacu pada pemikiran konsep Spatial Planning System telah memberikan hasil yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, baik di negara maju maupun di negara industri baru. Pusat–pusat pertumbuhan tidak tumbuh dan pusat–pusat kecil semakin lemah, kota – kota pusat perekonomian nasional berkembang melebihi batas kapasitasnya dan kemiskinan serta kekacauan atau bencana semakin terakumulasi di dalamnya, wilayah belakang tidak berkembang, ketimpangan ekonomi, sosial dan wilayah semakin membesar. Pendekatan perencanaan pembangunan terpusat lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan telah gagal mengatasi persoalan kesenjangan. Pendekatan pengelolaan perekonomian yang terpusat telah menghasilkan pertumbuhan perekonomian yang cukup berarti, tetapi tidak dapat dinikmati oleh masyarakat secara merata (Malizia dan Feser, 1999), Pendekatan pembangunan terpusat jarang mengembangkan program untuk menyelesaikan kebutuhan lokal, tetapi menuangkan kembali persoalan tersebut untuk dicocokkan dengan model nasional. Dengan demikian persoalan lokal semakin berkembang, khususnya berkaitan dengan krisis pekerjaan (Blakely, 1989)

Perencanaan pembangunan terpusat cenderung kurang memberikan tempat untuk peran atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Strategi maksimisasi

Pertumbuhan telah mengisolasikan orang-orang miskin dalam banyak hal telah membuat nasib mereka semakin memburuk. Meskipun dalam ukuran kriteria yang sempit hasil kebijaksanaan yang tidak mengikut sertakan orang-orang miskin tersebut telah memberikan hasil yang terbatas (Friedmann, 1992)

Pengembangan pusat-pusat perekonomian nasional yang menjadi andalan perencanaan pengembangan wilayah terpusat, telah menghasilkan pertumbuhan kota - kota metropolitan yang melebihi kapasitasnya, baik secara fisik maupun sosial. Pengembangan metropolitan sangat kurang memperhatikan attention (kepedulian), yang akibatnya adalah perusakan lingkungan, pengabaian sosial bagi kelompok yang paling tidak beruntung dan kemungkinan-kemungkinan terjadinya keterbatasan untuk semuanya (Bellah, 1991).

Pengembangan wilayah yang dikaitkan untuk mengejar pertumbuhan perekonomian nasional yang maksimal, telah membawa pada pemikiran eksploitasi sumberdaya yang ada. Pembangunan yang mendorong logika exploitation (pemanfaatan), telah menghasilkan kegagalan. Tekanan pada hasil jangka pendek dalam bisnis dan pemerintahan telah merusak kapasitas berpikir ke depan, baik dalam negara atau kota, maupun kerusakan pribadi dan keluarga dalam kehidupan warga (Bellah, 1991).

Seperti halnya negara-negara lain di dunia, dalam jangka panjang, Indonesia juga telah mengambil Konsep Spatial Planning System sebagai acuan praktek perencanaan pengembangan wilayah. Pusat-pusat pertumbuhan yang merupakan instrumen utama bagi kebijaksanaan ruang dikembangkan. Perkembangan kegiatan ekonomi di pusat-

pusat yang dikembangkan diharapkan akan menularkan perkembangannya ke pusat- pusat yang lebih kecil atau wilayah belakangnya, sehingga terjadi perkembangan secara merata di seluruh wilayah.

Melalui pendekatan yang digunakan selama ini pembangunan di Indonesia cenderung berhasil dalam pembangunan fisik dan ekonomi makro yaitu :

- Tumbuhnya kota - kota besar sebagai pusat-puat perekonomian nasional yang mampu berinteraksi secara global.

- Meningkatnya daya tarik Indonesia sebagai tempat kegiatan investasi, baik investasi asing (PMA) maupun domestik (PMDN), yang menggunakan teknologi tinggi dan mempunyai pasar luas, maupun domestik yang menggunakan teknologi tinggi dan mempunyai pasar luas,

- Meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional - Meningkatnya lapangan pekerjaan baru

Namun demikian pendekatan pengembangan wilayah yang bersifat terpusat ini telah gagal mempertahankan keberlanjutan keadaan diatas, serta gagal dalam pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan mempertahankan kelestarian lingkungan, yang hal ini dapat dilihat dari:

- Menurunnya kualitas fisik, sosial dan ekonomi kota-kota pusat perekonomian nasional, sebagai akibat pertumbuhannya yang tidak terkendali.

- Meningkatnya ketergantungan pada investasi masuk, yang mempunyai mobilitas tinggi sehingga penurunan investasi masuk, akibat krisis multidimensi, telah menghasilkan kemandekkan perekonomian yang berkepanjangan.

- Pusat-pusat perekonomian nasional tidak mampu berfungsi sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang menjalarkan pertumbuhannya ke wilayah belakang, bahkan yang terjadi adalah eksploitasi sumberdaya wilayah belakang, sehingga ketimpangan wilayah semakin lebar.

- Kegiatan ekonomi yang berkembang kurang mampu menyerap tenaga kerja lokal dan tidak mampu membangkitkan kegiatan ekonomi yang baru atau merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi yang ada khususnya kegiatan ekonomi tradisional, bahkan menjadi pesaing yang membinasakan, sehingga mengurangi kesempatan kerja yang ada dan ketimpangan antar golongan menjadi semakin lebar.

- Kualitas lingkugan semakin menurun sebagai akibat eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan ketidakpedulian pada lingkungan.

Kegagalan menghasilkan pemerataan hasil pembangunan dalam segala aspek, disebabkan oleh kegagalan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan yang mempu menjalarkan pertumbuhan sebagai akibat tidak terciptanya keterkaitan antar sektor dan antar wilayah. Keterkaitan yang terjadi sangat lemah karena tidak adanya kesesuaian antara kegiatan ekonomi yang berkembang di pusat-pusat perekonomian

dengan kegiatan ekonomi lokal dan wilayah belakang, yang secara langsung maupun tidak langsung sebagai akibat kelemahan sumber daya manusia lokal dan wilayah belakang (Kusumaningsih, 1995, Arifin, 1997, Immanuel, 1998, Nugroho, 2001) Praktek perencanaan pengembangan wilayah yang mengacu pada konsep Spatial

Planning System, yang bersifat terpusat dan mengejar pertumbuhan perekonomian

nasional, telah gagal mencapai tujuan utamanya, yaitu mengatasi ketimpangan wilayah. Praktek perencanaan wilayah ini lebih mengutamakan pembangunan fisik pada pusat-pusat perekonomian nasional, untuk mendukung perkembangan kegiatan ekonomi, melalui pengerahan investasi masuk, baik domestik maupun asing, mempunyai sifat eksploitatif dan telah mengabaikan pemberdayaan sumberdaya manusia dan pelestarian lingkungan sehingga dengan sendirinya potensi untuk menurunkan kualitas ekonomi, sosial dan lingkungan alam.