• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan dan Tantangan Provinsi Aceh

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (Halaman 189-196)

No. Jenis Fasilitas Jumlah Fasilitas (unit)

ANALISIS ISU-ISU SRATEGIS

4.1. Permasalahan dan Tantangan Provinsi Aceh

4.1.1.

Belum Optimalnya pelaksanaan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai wujud MoU Helsinki

UUPA ini merupakan produk perundang-undangan yang menjadi pedoman bagi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki. Namun masih banyak peraturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari UUPA yang belum dituntaskan sehingga menghambat pembangunan Aceh. Oleh karena itu, penyelesaian peraturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari UUPA baik berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan daerah serta peraturan lainnya menjadi program prioritas.

Penyelesaian peraturan pemerintah dan peraturan presiden merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Pemerintah Aceh hanya memiliki kewajiban dalam penyiapan draf PP dan Perpres. Oleh karena itu, draft PP dan Perpres yang belum ada harus disiapkan segera oleh Pemerintah Aceh melalui pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian PP dan Perpres. Demikian juga terhadap qanun-qanun yang belum selesai, perlu segera dituntaskan agar implementasi reformasi birokrasi segera dapat terwujud.

4.1.2.

Masih tingginya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)

Praktek KKN mengakibatkan tidak efisien dan tidak efektifnya pemanfaatan anggaran pembangunan dan telah memicu biaya ekonomi tinggi. Pratik KKN menimbulkan persaingan tidak sehat sekaligus mematikan kreatifitas dan produktifitas masyarakat. Selain itu, proses pembangunan juga akan berpihak pada kepentingan kelompok tertentu dari pada kepentingan masyarakat umum. Hal ini mengakibatkan sasaran dan kualitas pembangunan tidak terealisasi secara maksimal. Oleh karena itu, dimasa yang akan datang penetapan

standar operasional prosedur (SOP) dalam penyelenggaraan pemerintahanan yang

clean

dan

clear government

serta komitmen yang tinggi dari penyelenggara pemerintahan daerah dan masyarakat luas untuk pemberantasan KKN sangat diperlukan.

178 BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Provinsi Aceh

4.1.3.

Masih Lemahnya Organisasi, Tata Laksana, dan SDM Aparatur

Efektivitas, efisiensi, dan profesionalisme pelaksanaan roda pemerintahan sangat tergantung dari struktur organisasi, tatalaksana, dan juga dukungan sumber daya manusia. Oleh karena itu perlu dilakukannya kajian yang mendalam mengenai kebutuhan struktur

organisasi pemerintahan yang akan dituangkan dalam ukuran yang tepat (

right sizing

).

Struktur organisasi yang ideal juga perlu didukung oleh penempatan sumber daya aparatur yang tepat, memiliki kompetensi dan profesionalisme yang tinggi sesuai dengan tugas dan fungsinya. Hal ini perlu dijaga mulai dari perekrutan, penempatan, sampai dengan pengaturan reward dan punishment. Dalam rangka mendorong terwujudnya reformasi birokrasi maka diperlukan pengembangan dan penyempurnaan fungsi perencanaan dan penganggaran pembangunan yang terintegrasi dengan sistem pengawasan dan evaluasi pengeluaran anggaran secara berkala. Oleh karena itu maka diperlukan mekanisme pemantauan kinerja setiap lembaga pemerintahan daerah.

4.1.4.

Pelaksanaan nilai-nilai Dinul Islam di Aceh yang belum maksimal

Pelaksanaan nilai-nilai Dinul Islam di Aceh belum maksimal, terutama disebabkan oleh masih kurangnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai dinul Islam di kalangan masyarakat Aceh. Berbagai perilaku masyarakat masih banyak yang bertentangan dengan moralitas dan etika agama. Pemahaman dan pengamalan agama di kalangan peserta didik (sekolah umum dan agama) juga belum memuaskan disebabkan antara lain: masih kurangnya materi dan jam pelajaran agama dibandingkan dengan pelajaran umum, kuatnya pengaruh negatif globalisasi yang umumnya tidak sejalan dan bertentangan dengan tuntunan Dinul Islam. Hal tersebut telah mempengaruhi dan mendorong perilaku masyarakat ke arah yang negatif. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai dinul Islam perlu dilaksanakan sejak usia dini baik di lingkungan formal dan informal. Disamping itu, perbaikan kurikulum dan peningkatan kualitas pendidik perlu ditingkatkan.

4.1.5.

Masih tingginya tingkat kemiskinan di Aceh

Penduduk miskin di Aceh pada tahun 2011 tercatat sebesar 19,38 persen, masih lebih besar dari penduduk miskin tingkat nasional yang hanya sebesar 12,49 persen. Disamping itu, Indeks Kedalaman Kemiskinan sebesar 3,48 dan Indeks Keparahan Kemiskinan sebesar 0,94 (BPS, 2011). Di sisi lain, sebaran penduduk miskin Aceh lebih dominan berada di pedesaan (80,14%), sedangkan diperkotaan hanya 19,86 persen. Hal ini mencerminkan bahwa dampak dari pembangunan belum memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Oleh karena itu, program pengentasan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja,

BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Provinsi Aceh 179

peningkatan keterampilan masyarakat yang didukung oleh pembangunan infrastruktur dasar yang terintegrasi menjadi prioritas di masa yang akan datang. Demikian juga dengan dukungan terhadap akses modal, pemasaran produk unggulan masyarakat dan penguatan kelembagaannya perlu ditingkatkan.

4.1.6.

Masih tingginya tingkat pengangguran terbuka (TPT)

Tingkat pengangguran terbuka di Aceh pada tahun 2011 mengalami penurunan, namun kondisi tersebut tergolong masih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata nasional. Tingkat pengangguran terbuka di Aceh pada tahun 2011 tercatat sebesar 7,43 persen, sementara angka pengangguran terbuka nasional hanya sebesar 6,80 persen. Jika dilihat dari sisi gender, keberadaan pengangguran terbuka perempuan tahun 2011 mencapai 8,50 persen lebih tinggi 1,70 persen dibandingkan pengangguran terbuka laki-laki sebesar 6,80 persen. Oleh karena itu, peningkatan keterampilan masyarakat sesuai dengan minat dan kebutuhan pasar ketenagakerjaan dan penciptaan lapangan kerja perlu mendapat perhatian secara serius. Untuk meningkatkan keterampilan masyarakat, peningkatan kapasitas dan manajemen BLK sangat diperlukan. Demikian juga dengan lulusan sekolah menengah kejuruan perlu difasilitasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.

4.1.7.

Keterlibatan peran swasta dalam pembangunan Aceh masih rendah

Struktur perekonomian Aceh masih didominasi oleh belanja pemerintah. Partisipasi pihak swasta belum menunjukkan pengaruh yang besar terhadap pembangunan Aceh. Pihak swasta masih sangat tergantung pada anggaran belanja pemerintah (APBN, APBA dan APBK). Dalam hal ini, pemerintah daerah sangat mengharapkan investasi swasta, baik yang bersumber dari pengusaha lokal, nasional maupun asing untuk berinvestasi di Aceh. Oleh karena itu, sinkronisasi investasi pembangunan menjadi penting untuk tercapainya sinergi yang optimal antara berbagai pelaku ekonomi melalui pembentukan kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat. Kemitraan tersebut ditujukan untuk mensinergikan aktivitas yang dilakukan oleh dunia usaha dengan program pembangunan daerah. Implementasi dari hubungan kemitraan dilaksanakan melalui pola-pola kemitraan yang sesuai dengan sifat, kondisi budaya dan keunikan lokal.

4.1.8.

Sektor Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) belum

berkembang dengan baik

Sektor Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan salah satu sektor yang sangat strategis dalam menunjang perekonomian daerah sekaligus mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun demikian, sektor ini belum berkembang secara optimal. Misalnya pada tahun 2010, data Kementerian Koordinator Perekonomian

180 BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Provinsi Aceh

menunjukkan bahwa daya serap Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Propinsi Aceh hanya sebesar

0,8% dari total plafon nasional sebesar Rp 24 trilliun

.

Permasalahan lainnya yang masih

dihadapi oleh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Aceh adalah terkait dengan iklim usaha yang kurang kondusif, seperti besarnya biaya transaksi akibat masih adanya ketidakpastian berusaha, persaingan pasar yang kurang sehat, terbatasnya akses kepada sumber daya produktif terutama terhadap bahan baku, permodalan, sarana dan prasarana serta informasi pasar. Di sisi lain, tantangan utama yang dihadapi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Aceh adalah masih rendahnya kinerja dan produktivitas usaha dalam menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing untuk memenuhi permintaan pasar domestik, regional dan bahkan pasar internasional. Dengan demikian, tantangan ke depan adalah bagaimana meningkatkan produktifitas dan daya saing usaha mikro kecil menengah yang berbasis agro industry, industri kreatif, dan inovatif yang didukung oleh peningkatan kapasitas kelembagaan UMKM.

4.1.9.

Rendahnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang berdaya guna,

berhasil guna dan berkelanjutan

Pemanfaatan sumber daya alam masih belum optimal dalam rangka membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam pemanfaatan sumber daya alam di sektor pertanian masih sangat rendah jika dilihat dari produksi dan produktivitas. Hal ini disebabkan antara lain karena rendahnya kepemilikan lahan per kepala

keluarga. Rata-rata kepemilikan lahan perkepala keluarga hanya sekitar 0,25 – 0,6 ha/kk

dengan Indeks Penanaman (IP) sekitar 1,28 pertahun, sedangkan rata-rata produktivitas padi baru mencapai 4,6 ton/ha. Disamping sektor pertanian, sektor-sektor lain yang bergerak dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam juga mengalami persoalan yang sama, seperti: pemanfaatan energi baru terbarukan, sumber daya kelautan dan kehutanan sehingga belum mampu memperkuat nilai tambah masyarakat terhadap produk yang dihasilkannya.

Di sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali dan penggunaan teknologi yang tidak tepat dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap keberlanjutan sumber daya alam. Hal ini dapat dilihat dari sistem pengelolaan hutan, pemanfaatan sumber daya air, usaha pertambangan, usaha perkebunan, dan kelautan serta pengelolaan kawasan pesisir yang belum tepat sehingga berdampak pada kerusakan ekosistem, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya bencana alam.

4.1.10.

Pertumbuhan ekonomi Aceh masih rendah

Pertumbuhan ekonomi Aceh masih rendah hanya sebesar 5,02 persen pada tahun 2011, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Nasional yang tercatat sebesar 6,5 persen (Bank Indonesia, 2011). Disamping itu, perkembangan pertumbuhan ekonomi Aceh pada

BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Provinsi Aceh 181

periode 2007-2011 menunjukkan kecenderungan yang fluktuatif. Hal ini menggambarkan bahwa pondasi struktur ekonomi Aceh masih lemah dan labil.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi Aceh disebabkan oleh belum optimalnya pengelolaan sumber daya alam, lemahnya sistem pengelolaan keuangan daerah, rendahnya minat investasi swasta pada sektor produktif dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Hal ini terlihat dari masih rendahnya produksi dan nilai tambah dari produk unggulan daerah yang belum secara nyata meningkatkan struktur ekonomi Aceh. Berdasakan kondisi tersebut di atas, peningkatan produk dan nilai tambah komoditi unggulan daerah menjadi prioritas pembangunan dengan tetap menjaga kelestarian dan daya dukung lingkungan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh ke arah yang lebih baik.

Untuk mendukung prioritas pembangunan sebagaimana yang diuraikan di atas salah satu konsep yang dapat digunakan adalah kerangka kerja sistem inovasi. Pengembangan teoretik dari sistem inovasi didasarkan pada hipotesis bahwa proses inovasi tidak terjadi dalam suatu area yang terisolasi dari lingkungannya, tetapi merupakan hasil dari interaksi-interaksi yang bersifat sistemik. Sebuah sistem inovasi mencakup sistem riset iptek, berbagai unsur dari lingkungan ekonomik, sistem perbankan, sistem pendidikan dan pelatihan, sektor-sektor publik, serta kondisi sosio-kultural masyarakat. Ukuran bagi kinerja dari sebuah sistem inovasi ditentukan dengan berfokus pada nilai-nilai tambah ekonomik atau sosial (sebagai

outcome

) dari inovasi.

4.1.11.Kualitas Sumberdaya Manusia Masih Rendah

Kualitas sumberdaya manusia (SDM) Aceh masih rendah jika dibandingkan dengan pencapaian rata-rata nasional yang direpresentasikan dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Demikian juga dengan daya saing SDM Aceh masih tergolong rendah, yang dicirikan

dengan masih terbatasnya jumlah lulusan SDM kejuruan yang memiliki keterampilan (

skill

),

rendahnya daya saing lulusan SMA/sederajat untuk memasuki Perguruan Tinggi jumlah tenaga kerja yang berpendidikan tinggi masih sedikit dan rasio ketergantungan penduduk usia produktif dengan jumlah penduduk masih tinggi. Hal ini tergambar dari angka rasio ketergantungan hidup mencapai 54,89 persen pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 55,59 persen pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung 56 penduduk usia tidak produktif.

Masih rendahnya kualitas kesehatan masyarakat Aceh yang dapat dilihat dari masih tingginya proporsi masyarakat Aceh yang mengalami keluhan kesehatan yaitu 30% dari jumlah penduduk Aceh. Penyakit-penyakit menular seperti tuberkulosis, malaria, deman berdarah dan HIV-AIDS belum tuntas tertangani, sementara penyakit tidak menular seperti

182 BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Provinsi Aceh

diabetes, hypertensi dan stroke sudah menjadi ancaman baru ditengah-tengah masyarakat. Angka kematian bayi dan angka kematian ibu pada saat melahirkan masih tinggi. Demikian juga dengan masalah gizi. Prevalensi gizi kurang dan buruk serta balita pendek masih tinggi. Kondisi kesehatan lingkungan yang belum baik memberi dampak negatif terhadap situasi kesehatan masyarakat. Disisi lain tingkat kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat juga masih rendah.

4.1.12.

Kualitas Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Masih Rendah

Kualitas lingkungan sangat dipengaruhi oleh tata guna lahan yang penggunaannya diatur sesuai dengan pola ruang. Pola ruang wilayah Aceh terdiri dari kawasan lindung seluas 2.708.550 Ha (47,7%) dan Kawasan Budidaya seluas 2.934.602 Ha (52,3%). Hutan Aceh pada tahun 2008 seluas 3.523.925 Ha (60,37%) dan pada tahun 2010 seluas 2.291.080 ha (40,36%). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan luas kawasan hutan (

deforestasi

) sebesar 20,01%. Terjadinya deforestasi akibat adanya kebijakan yang lebih mementingkan aspek ekonomi dari pada aspek lingkungan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi. Selain itu, faktor perilaku manusia juga menjadi permasalahan utama dalam kerusakan lingkungan, dimana sering sekali menganggap sungai dan sepadan sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan kegiatan usaha pertnian yang dapat mengakibatkan penyempitan, sedimentasi dan penurunan kualitas air.

Pembangunan yang tidak terpadu (

fragmented

) selama ini telah berakibat perubahan

drastis negatif terhadap kondisi lingkungan sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan (pertambangan mineral, batubara, migas, dan galian C) telah mengubah bentang alam tanpa terkendali. Terlebih lagi sumber daya alam terbarukan oleh deforestasi

intensif (

legal and illegal logging

) untuk pembangunan fisik infrastruktur, transportasi,

industri, perkebunan, pertanian, telah mengakibatkan penyusutan drastis tutupan vegetasi hutan terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan punahnya keanekaragaman hayati.

Aceh merupakan wilayah dengan kondisi alam yang kompleks sehingga menjadikannya sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi terhadap bencana, khususnya bencana alam. Tingkat resiko bencana alam yang terjadi setiap tahunnya sangat tinggi, terutama bencana banjir dan kekeringan. Sangat terbatasnya investasi infrastruktur tampungan penyimpanan air, telah berdampak pada keseimbangan hidrologi DAS, fluktuasi debit air di sungai menjadi sangat besar terutama pada musim hujan terjadi bencana banjir dan tanah longsor, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan. Sedangkan dalam hal penanggulangan bencana juga masih sangat lemah, terutama belum sistematis penaganannya, masih lemahnya kapasitas kelembagaan dan partisipasi

BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Permasalahan dan Tantangan Provinsi Aceh 183

masyarakat dalam pengurangan risiko bencana, lemahnya koordinasi penanggulangan baik dalam fase tanggap darurat maupun dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi.

4.1.13.

Penanganan pasca konflik yang terisolasi dari pembangunan reguler

Berbagai dukungan pasca konflik yang berlangsung sejak 2005 sampai dengan saat ini telah menimbulkan ekslusifitas tersendiri. Banyak mantan kombatan dan korban konflik mengklaim bahwa mereka belum menerima bantuan. Namun disisi lain, sebagai kelompok, mantan kombatan dan warga sipil korban konflik tersebut sesungguhnya telah menerima bantuan reintegrasi yang lebih besar dibandingkan dengan warga sipil bukan korban. Bantuan yang bersifat tunai yang lebih mudah diakses bagi mantan kombatan dan warga sipil korban konflik dibandingkan dengan warga sipil bukan korban telah mengakibatkan perbedaan mencolok dalam upaya pembangunan kesejahteraan yang lebih luas.

Di satu sisi proses perdamaian di Aceh dimotori oleh Pemerintah (pusat dan daerah). Kondisi ini menyediakan banyak peluang unik namun juga terbatas berbagai keterbatasan dalam efektifitas program dan strategi pemerintah. Pemerintah tidak memiliki mata anggaran dan kelembagaan khusus untuk penangganan pasca konflik sehingga mendorong kelembagaan yang bersifat sementara (adhoc) untuk mengambil peran yang lebih dominan dengan menggunakan infrastruktur dan suprastruktur instansi yang lebih permanen. Namun disisi lain, perencanaan, pengelolaan dan pengawasan program-program pasca konfik menjadi sesuatu yang terpisahkan dari perencanaan tahunan pemerintah bahkan hingga saat ini pemerintah tidak memiliki rancang bangun terpadu komprehensif yang diimplementasikan untuk memperkokoh proses perdamaian Aceh.

Pengalaman yang terbatas dikalangan birokrasi pemerintahan dalam penanganan pasca konflik telah mengakibatkan kepemilikan yang terbatas akan isu penguatan perdamaian itu sendiri. Upaya-upaya konsolidasi dan promosi perdamaian yang seharusnya menjadi keseharian birokrasi pemerintahan tidak sepenuhnya mampu diimplementasi dalam berbagai instasi dan organisasi, hal ini bahkan berdampak kepada minimnya ketersediaan system dan mekanisme bantuan reintegrasi yang dikembangkan.

4.1.14.

Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan dan Anak Masih Rendah

Berdasarkan data pada tahun 2011 yang bersumber dari BPP dan PA, terdapat 466 anak korban kekerasan yang ditangani oleh Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan dan Badan PP PA Kabupaten /Kota. Dari unit PPA Polda, tahun 2010 terdapat 123 kasus anak berhadapan dengan hukum. Penanganan korban kekerasan yang dilakukan ditingkat masyarakat dan di pelayanan lainnya tidak terekam dengan baik, sehingga diyakini masih lebih banyak lagi anak dan perempuan korban kekerasan yang tidak terdeteksi. Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan terdapat 1.956 kasus.

184 BAB IV - RPJM Aceh 2012-2017 | Isu Strategis

Menurut data dari Dinas Sosial Aceh terdapat 13.000 anak terlantar. Makin meningkatnya kasus pencabulan dan perkosaan serta traficking anak dan perempuan yang ditemukan menunjukkan masih lebih besar jumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang tidak tertangani dan direkam dengan baik.

4.1.15.

Perencanaan dan Penganggaran belum Responsif Gender dan belum

Berbasis Pada Pemenuhan Hak Anak

Perencanaan dan penganggaran di Aceh masih belum responsive gender dan belum berbasis pada pemenuhan hak anak. Hal ini terlihat dari minimnya keterlibatan perempuan dan anak dalam proses perencanaan pembangunan mulai dari tingkat gampong sampai dengan tingkat provinsi, sehingga kebutuhan-kebutuhan spesifik perempuan dan anak belum semuanya terakomodir dalam program-program pembangunan. Dana yang dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan dan pemenuhan hak anak pada tahun 2010 hanya 0.15% dari total RAPBA, sementara permasalahan perempuan dan anak yang harus diselesaikan sangat besar. Sementara itu dana yang dialokasikan untuk program perbaikan gizi masyarakat dan peningkatan kesehatan ibu melahirkan dan anak pada tahun 2007 hanya 0,08% dari RAPBA 2007. Hal ini tidak signifikan dengan angka kematian ibu di Aceh yang masih relatif tinggi (238/100.000) kelahiran hidup melebihi rata-rata angka kematian ibu

nasional (228/100.000) kelahiran hidup, dan target MDG’s 2015 sebesar 102/100.000

kelahiran hidup. Dalam bidang pendidikan sebagian besar dana dialokasikan untuk sekolah-sekolah formal, sedangkan perempuan dan anak masih banyak yang belum mempunyai akses pada pendidikan formal.

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (Halaman 189-196)