• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP HUBUNGAN

6.2 Perubahan Hubungan Antar Aktor

Konversi lahan sawah irigasi teknis menyebabkan berubah pula hubungan antar aktor di Desa Kertawangunan. Pertama, hubungan aktor ini terkait dengan pemilik lahan dan petani. Pemilik lahan semula memiliki hubungan dengan petani yang menggarap lahannya yaitu hubungan penyewa dan pemilik-penggarap. Hubungan pemilik-penyewa yaitu hubungan antara pemilik tanah bengok dengan masyarakat yang menyewa lahan tersebut. Bagi pemilik tanah bengkok setelah tanah tersebut disewa oleh pemerintah daerah meningkatkan penghasilan sewa mereka. Tanah yang sebelumnya disewa oleh masyarakat dengan harga berkisar antara Rp 400.000,00 sampai Rp 500.000,00/100 bata per tahun. Harga sewa tersebut meningkat menjadi Rp 700.000,00/100 bata per tahun dari pemerintah daerah. Bagi petani (penyewa) setelah tanah tersebut menjadi aset pemerintah daerah, mereka tidak memiliki lahan garapan untuk disewa. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibu IYH:

“ayeuna mah neng entos henteu aya lahan garapan deui kanggo disewa, kapungkur tiasa nyewa 100 bata. Paling ayeuna mah kana memprekan batu wae. Harga batu oge saember tanggung teh Rp 1.800,00.”

“sekarang sudah tidak ada lagi lahan untuk disewa, dulu bisa menyewa 100 bata. Sekarang yang dikerjakan adalah memecah batu saja. Harga batu untuk satu ember yang tanggung juga Rp 1.800,00.”

Dampak lain yang dirasakan adalah kehilangan kemampuan menyediakan beras secara mandiri. Petani harus membeli beras untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Selain itu, petani pun harus beralih mata pencahariannya. Bapak BHR (petani) menyatakan bahwa:

“saentos teu molah deui teh rugi atuh neng, biasana beas henteu kedah meser ayeuna kedah meser. Henteu aya ganti rugi kanggo abdi mah, ari kanggo anu gaduh sawah na mah aya ganti rugina. Paling ayeuna mah padamelan nu aya teh kanu meprekan batu, da kumargi di desa teh caket sareng sungai.

“sesudah tidak mengelola sawah lagi mengalami kerugian, biasanya beras tidak usah beli sekarang harus beli. Tidak ada ganti rugi untuk saya, kalau untuk pemilik sawah diberikan ganti rugi. Sekarang pekerjaan yang dilakukan yaitu sebagai buruh pemecah batu, soalnya lokasi desa berdekatan dengan sungai.”

Adapun petani yang masih bisa menggarap mereka dapat menggarap sawah dengan sistem bagi hasil maro dengan pemilik lahan yang lainnya. Seperti yang dialami oleh Ibu NN, sebelum lahan tersebut dialihfungsikan menjadi terminal dia sering menyewa lahan dari perangkat desa (tanah bengkok). Namun, setelah lahan tersebut dibangun terminal Ibu NN tidak dapat menggarap lahan lagi dengan sistem sewa. Ibu NN hanya dapat menggarap di lahan Bapak MMN dengan sistem bagi hasil maro. Hal yang paling dirasakan Ibu NN adalah hasil yang didapat dari lahan sawah dengan sistem bagi maro yang sekarang dijalankan, berbeda dengan hasil sawah dengan menggarap sendiri dari menyewa lahan. Sebagaimana diungkapkan Ibu NN:

“ayeuna abdi molah anu Bapak MMN, biasana hasilna bagi dua saentos dipotong ku pupuk sareng benih. Ari pupuk sareng benih na mah tinu gaduh lahan na. Benten neng sareng kapungkur, nuju ngagarap lahan nu disewa mah melak naon bae tiasa kumaha cek urang, hasilna oge alhamdulillah. Tina hasil sawah teh tiasa kenging ngabangun rompok, sampe sok disalinder rompok teh bau bawang. Sanajan waktos eta lahan teh sok dipelakan ku bawang.”

“sekarang saya mengelola sawah punya Bapak MMN, biasanya hasilnya bagi dua setelah dipotong dengan biaya pupuk dan benih. Pupuk dan benih biasanya diberikan oleh pemilik lahan. Beda dengan dulu, selagi saya menggarap lahan yang disewa menanam apa saja bisa gimana ingin kita, hasilnya juga alhamdulillah. Hasil dari sawah itu bisa sampai ngebangun rumah, sampai-sampai suka disindir rumahnya bau bawang. Hal ini dikarenakan dulu lahan saya sering ditanami bawang.”

Ada pula petani yang masih bisa menyewa tanah bengkok lainnya yang tidak digunakan untuk pembangunan terminal. Namun, harga sewa lahan ini semakin tinggi, harga sewa lahan mencapai Rp 800.000,00/100 bata per tahun.

Hubungan pemilik-penggarap dilakukan dengan sistem bagi hasil maro. Hubungan sistem bagi hasil ini memberikan penghasilan bagi pemilik lahan dan petani setiap kali panen (dalam setahun tiga kali panen). Keadaan ini berubah setelah lahan tidak digunakan lagi untuk lahan sawah. Perubahan ini berkaitan dengan penghasilan bagi pemilik lahan dari hasil sawah sekarang sudah berkurang, walaupun dengan penjualan lahan tersebut menambah keuangan keluarga.

Sebagaimana penuturan Bapak NN (putra dari Bapak JNL (Alm) pemilik lahan):

ayeuna nu diraoskeun penghasilan tina sawah ngurangan, namung nambih artos tina ngical tanah. Hasil tina ngical tanah teh dianggo kangge sahari-hari.”

“sekarang yang dirasakan mengurangi penghasilan dari hasil sawahnya, namun menambah uang dari penjualan tanah. Hasil dari menjual tanah digunakan untuk keperluan sehari-hari.”

Bagi petani, tanah merupakan sumber penghidupan. Pemindahalihan pemilikan lahan yang telah dilakukan oleh pemilik tanah secara tidak langsung beralih pula penguasaan atas tanah. Konversi lahan menyebabkan hilangnya akses terhadap lahan sawah, sehingga harus beralih ke mata pencaharian lainnya. Mata pencaharian yang sekarang banyak digeluti oleh petani yakni menjadi buruh pemecah batu dan buruh bangunan. Pekerjaan sebagai pemecah batu dilakukan karena Desa Kertawangunan berdekatan dengan sungai. Bapak ADA menyatakan bahwa:

“kapungkur sateuacan dijantenkeun terminal abdi ngolah sawah 400 bata anu gaduh Bapak Lurah Parenca. Sentosna na dijantenkeun terminal henteu tiasa ngolah deui, paling ayeuna kanu buruh bagunan. Nuju molah sawah mah heunteu kedah meser beas, ayeuna mah meser beas. Kadang-kadang meser beas tinu raskin sakarung Rp 30.000,00 aya 15 kg, eta oge lamun aya artosna. Nembe tahun ayeuna aya nu miwarang molah deui.” “dulu sebelum dijadikan terminal saya menggarap sawah 400 bata punya Bapak Lurah Parenca. Sesudah dijadikan terminal tidak bisa menggarap lagi, sekarang pekerjaannya buruh bangunan. Ketika menggarap sawah beras tidak harus membeli, sekarang harus membeli. Kadangkalan membeli beras miskin sekarungnya Rp 30.000,00 seberat 15 kg, itu juga kalau ada uangnya. Baru tahun ini saja ada yang menyuruh lagi untuk menggarap.”

Hubungan antar aktor yang kedua, berkaitan dengan pemerintah desa, pemerintah daerah dan petani. Petani yang sebelumnya dapat meyewa dan menggarap tanah dari pemilik tanah, menjadi kehilangan akses untuk pemanfaatan dan penguasaan lahan tersebut. Pada kenyataannya, konversi lahan yang terjadi berdampak pada semakin menyempitnya lahan pertanian khususnya lahan sawah irigasi teknis. Semakin menyempitnya lahan pertanian khususnya lahan sawah di Desa Kertawangunan, menyebabkan pergeseran mata pencaharian atau

kesempatan kerja penduduk. Pergeseran mata pencaharian ini lebih besar kepada sektor perdagangan dan buruh, mengingat rendahnya tingkat pendidikan masyarakat desa. Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak DJDJ Kepala Desa Kertawangunan:

“setelah mengalami konversi penduduk desa yang bermatapemcaharian sebagai petani kehilangan mata pencahariannya. Sekarang mata pencahariannya ada yang sebagai pedagang biasanya jual bubur, ada yang sebagai buruh serabutan karena kebanyakan masyarakat hanya lulusan SD.”

Hal yang serupa dikemukakan oleh Bapak DSK:

“saentosna dibangun terminal teh, anu paling karaosna ku masyarakat Dusun Parenca. Soalna seseurna nu damel di sawah eta teh masyarakat Dusun Parenca. Ayeuna masyarakat Dusun Parenca seseurna damel teh jadi buruh memprekan batu, kan didieu caket sareng sungai.”

“setelah dibangun terminal, yang paling terasa dampaknya pada masyarakat Dusun Parenca. Hal ini disebabkan yang bekerja di sawah tersebut adalah masyarakat Dusun Parenca. Sekarang masyarakat Dusun Parenca banyak yang bekerja sebagai buruh pemecah batu kali, karena lokasinya dekat dengan sungai.”

Tanah yang tadinya merupakan sumber penghidupan petani, telah menjadi aset daerah yang tidak dapat lagi digunakan oleh petani. Penguasaan akan tanah telah berada di pihak pemerintah daerah dan pemilik tanah tidak memiliki kekuasaan lagi terhadap tanah tersebut. Perubahan penguasaan lahan dari pemilik tanah kepada pemerintah daerah menyebakan masyarakat (petani) tidak memiliki akses lagi dalam pemanfaatan potensi alami tanah untuk penghidupan dan kehidupan mereka.

Tuntutan dari masyarakat untuk keberlanjutan hidupnya yaitu memperoleh pekerjaan yang baru belum terealisasi. Pemerintah daerah menjanjikan pekerjaan yang baru kepada masyarakat yang menganggur dengan pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan, namun sampai saat ini baru beberapa orang yang dipekerjakan di terminal tersebut. Pekerjaan yang diberikan pun yaitu sebagai satpam dan petugas kebersihan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat (petani). Sebagian besar petani tingkat pendidikannya lulusan Sekolah Dasar (SD). Realisasi dari janji pemerintah daerah belum benar-benar terlaksana, tidak sesuai dengan yang diharapkan masayarakat. Hal ini

disebabkan oleh terminal yang baru dibuka pada Tahun 2008 belum berjalan efektif, sehingga masyarakat yang dipekerjakan pun baru beberapa orang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak DJDJ Kepala Desa Kertawangunan:

“setelah pembangunan terminal tipe A banyak masyarakat desa yang menganggur, terutama masyarakat yang tinggal di Dusun Parenca yang berdekatan dengan terminal. Terdapat sekitar 150 orang yang menganggur, yang sudah dipekerjakan di terminal paling hanya beberapa orang. Pekerjaan yang diberikan di terminalpun hanya sebagai satpam dan pegawai kebersihan karena tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, sebagian besar hanya lulusan SD.”

Tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintah desa dalam menanggulangi penurunan kondisi ekonomi para petani yaitu memasukkan mereka pada golongan keluarga prasejahtera. Hal ini dilakukan agar mereka dapat terdata untuk penyaluran beras miskin. Kebutuhan akan pangan sehari-hari para petani dapat terbantu dengan adanya beras miskin, walaupun beras miskin tersebut memiliki kualitas yang rendah. Kebutuhan akan beras miskin semakin meningkat, dahulu beras miskin yang disalurkan untuk desa sebanyak tiga kuintal, tetapi sekarang beras miskin yang disalurkan kepada masyarakat sebanyak 1,5 ton setiap tiga bulan sekali. Para petani untuk mendapatkan beras yang lebih layak dikonsumsi, mereka membeli beras yang kualitasnya lebih bagus untuk dicampurkan dengan beras miskin. Tindakan lainnya yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Kertawangunan untuk membantu para petani ini berkaitan dengan bidang kesehatan. Pemerintah desa memberikan pelayanan pembuatan Kartu Sehat kepada masyarakat yang kurang mampu untuk berobat. Hal ini dimaksudkan untuk lebih meringankan beban masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Tabel 7. Data Responden Mengenai Pekerjaan dan Luas Tanah (sebelum dan sesudah konversi), Harga Sewa Lahan (per 100 bata/ tahun) dan Dampak yang Dirasakan Setelah Konversi

No. Responden Pekerjaan Sebelum Konversi Pekerjaan Sesudah Konversi Luas Tanah Sebelum Konversi Luas Tanah Setelah Konversi

Harga Sewa Lahan (per 100 bata/tahun)

Dampak yang Dirasakan Setelah Konversi 1. NN Petani- Penyewa Petani dengan sistem bagi hasil maro, pemecah batu

150 bata 200 bata Rp 500.000,00 • Tanah yang dapat digarap tanah

milik masyarakat dengan sistem bagi hasil (tidak bisa menyewa lagi)

• Dulu ingin punya apa saja bisa sampai bisa membangun rumah penghasilan dari menggarap lahan

• Sekarang penghasilan hanya untuk mencukupi sehari-hari

2. AD Petani,

Pekebun- Penyewa

Petani- Penyewa

200 bata 200 bata Rp 400.000,00 • Lahan sawah yang digarap

sekarang harga sewanya semakin naik (Rp 800.000,00/ 100 bata per tahun)

3. BHR Petani-

Penyewa

Pemecah batu

200 bata - Rp 500.000,00 • Dulu tidak usah membeli beras,

sekarang harus membeli beras

4. YYN Petani- Penggarap (sistem bagi hasil maro) Pemecah batu

150 bata - - • Tidak ada lahan lagi untuk

digarap

• Dulu bisa punya persediaan beras 1 kuintal sekarang tidak ada sama sekali

No. Responden Pekerjaan Sebelum Konversi Pekerjaan Sesudah Konversi Luas Tanah Sebelum Konversi Luas Tanah Setelah Konversi

Harga Sewa Lahan (per 100 bata/tahun)

Dampak yang Dirasakan Setelah Konversi

5. IYH Petani-

Penyewa

Pemecah batu

100 bata - Rp 400.000,00 • Tidak ada lagi lahan untuk

digarap

• Sekarang jadi pemecah batu saja 6. ADA Petani Penggarap (sistem bagi hasil maro) Buruh bangunan

400 bata - - • Dulu tidak usah membeli beras,

sekarang harus membeli beras kadang-kadang beras miskin • Menyekolahkan anak pun

kerepotan, dulu kakaknya bisa sekolah sampai SMA

7. UD Petani- penyewa Petani Penggarap (sistem bagi hasil maro)

150 bata 150 bata Rp 500.000,00 • Penghasilan dari hasil

menggarap sawah turun 50 persen

• Menggarap punya orang lain tidak bisa bebas menanam apa saja, bibit dan pupuk sudah disediakan 8. MNH Petani Penggarap (sistem bagi hasil maro) Pemecah batu

400 bata - - • Sekarang beras harus beli,

kadang-kadang beli beras miskin juga karena harganya murah walaupun jelek berasnya

Hubungan aktor yang ketiga yaitu terkait dengan aktor di dalam pemerintah daerah. Ketika perumusan rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah ada perbedaan pendapat tentang fungsi Terminal Tipe A Kertawangunan. Perbedaan pendapat tersebut terkait dengan belum efektifnya Terminal Tipe A Kertawangunan, sehingga pada waktu itu fungsi terminal tipe A akan difungsikan menjadi terminal tipe B dengan fasilitas terminal tipe A. Sebagaimana diutarakan oleh salah seorang pegawai Bappeda:

“memang terjadi perbedaan pendapat untuk fungsi terminal tipe A, apakah tetap berfungsi sebagai terminal tipe A atau fungsinya berubah menjadi terminal tipe B. Mengingat terminal tipe A belum efektif untuk di Kabupaten Kuningan sendiri. Namun, Dinas Perhubungan sendiri menginginkan terminal tersebut tetap berfungsi sebagai terminal tipe A.”

Perubahan fungsi ini meliputi perubahan operasional, manajemen dan sirkulasi kendaraan bertujuan sebagai pengoptimalan atau kesesuaian fungsi dengan tetap menggunakan standar fasilitas terminal tipe A. Pihak Dinas Perhubungan sendiri menginginkan agar fungsi terminal tersebut sebagaimana fungsi awalnya yaitu sebagai terminal tipe A. Terminal tipe A berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar propinsi, dan atau angkutan lalu lintas batas negara, angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan perdesaan.

Dokumen terkait