• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONVERSI LAHAN: BENTURAN KEPENTINGAN AKTOR-AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONVERSI LAHAN: BENTURAN KEPENTINGAN AKTOR-AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat)

EVI NOVIA NURJANAH

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

USING AMONG ACTORS. Case Study Kertawangunan Village, Sindang Agung District, Kuningan Regency. (Supervised by HERU PURWANDARI).

The objective of this research are: 1) knowing behalf map among actor in agricultural farm conversion process at Kertawangunan Village, Sindang Agung District, Kuningan Regency; 2) analyzing the impact of agricultural farm conversion to changing actor relationship at Kertawangunan Village, Sindang Agung District, Kuningan Regency; 3) analyzing the implication of farm conversion to area development of Kuningan Regency. The approach this research is qualitative approach. Case study use intrinsic case study. Analyze of collection data with data reduction. On Kertawangunan Village case exists two the interested parties actor to convert farms which is among government and society. Regency government has behalf to farm release for development Terminal Type A Kertawangunan. Village government behalf to increase income and budgeting of village and increase salary of village worker. Land owner behalf is derived price sell suitably, seed money, and buying wider farm at other region. Farmers behalf losing the agriculture job access and opening new job. Impact farm conversion to changing actor relationship gets bearing with changed value orientation to farm, changing of relationship among actors, and development country town. Implication of farm conversion to area development of Kuningan Regency gets bearing with changing plan sets region room, economic growth priority, and gross regional domestic product dominant.

(3)

KEPENTINGAN AKTOR-AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA. Studi Kasus Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan. (Di bawah bimbingan HERU PURWANDARI).

Lahan memiliki berbagai fungsi diantaranya fungsi ekonomi, sosial, politik, maupun religi. Perbedaan fungsi lahan tidak terlepas dari perbedaan kepentingan aktor pemanfaat sumberdaya agraria tanah. Perbedaan kepentingan ini terkait dengan tujuan pemanfaatan lahan oleh masing-masing aktor. Pemerintah dan swasta cenderung memanfaatkan lahan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Konversi lahan pertanian dilakukan oleh pemerintah dan swasta dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan untuk kepentingan umum pun harus terus diupayakan mengingat semakin bertambahnya jumlah penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk semakin bertambah pula kebutuhan lahan untuk pembangunan, diantaranya digunakan untuk pemukiman, sarana transportasi, dan kebutuhan akan jalan. Lahan pertanian yang subur seringkali menjadi objek konversi lahan. Dilain pihak, lahan pertanian yang subur dibutuhkan oleh petani untuk kegiatan usahatani. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan antar aktor terutama petani dengan pemerintah dan swasta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kepentingan antar aktor dalam konversi lahan pertanian ke non pertanian di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan; menganalisis dampak konversi lahan pertanian ke non pertanian terhadap perubahan hubungan aktor dan menganalisis implikasi konversi lahan pertanian terhadap pengembangan wilayah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif dan menggunakan metode studi kasus instrinsik. Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat melalui wawancara mendalam kepada informan dan responden, dan pengamatan berperan serta terbatas. Pemilihan informan dan responden dapat diketahui melalui teknik bola salju (snow balling). Data sekunder didapat dengan studi dokumen untuk menguatkan dan melengkapi data primer. Data-data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan mereduksi data.

(4)

Kuningan terdapat dua aktor yang berkepentingan terhadap konversi lahan yaitu pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah desa dan daerah. Pemerintah desa memiliki kepentingan untuk menambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) dan menambah penghasilan perangkat desa. Pemerintah daerah memiliki kepentingan pembangunan fasilitas umum (terminal) untuk pengembangan wilayah. Transportasi memiliki peranan sangat penting dalam pengembangan wilayah. Kepentingan pemilik lahan yaitu kesesuaian harga, modal usaha, dan perolehan lahan yang lebih luas. Kepentingan petani adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang baru, karena dengan terkonversinya lahan sawah irigasi teknis petani kehilangan mata pencahariannya.

Konversi lahan sawah irigasi teknis menjadi terminal ini berdampak pada perubahan hubungan aktor dalam pemanfaatan dan penguasaan sumberdaya agraria tanah. Perubahan hubungan aktor ini berkaitan dengan perubahan orientasi nilai terhadap lahan, perubahan hubungan antar aktor, dan perkembangan desa perkotaan. Perubahan orientasi nilai terhadap lahan yaitu pergeseran nilai suatu lahan. Lahan di Desa Kertawangunan yang sebelumnya memiliki nilai sosial dengan pemanfaatan potensi alami tanah berubah menjadi nilai kepentingan umum dengan pembangunan terminal. Dampak lain dari konversi lahan adalah tidak aksesnya petani dalam pemanfaatan potensi alami tanah untuk penghidupan dan kehidupan mereka. Hilangnya akses ini pun berakibat beralihnya mata pencaharian mereka dan ketidakmampuan petani menyediakan beras secara mandiri. Realisasi perolehan pekerjaan di Terminal Tipe A Kertawangunan bagi petani yang menganggur pun belum sesuai harapan. Petani yang sudah bekerja di terminal ini hanya sebagian kecil, kebanyakan petani beralih menjadi buruh pemecah batu dan buruh bangunan. Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan pun mengakibatkan berkembangnya Desa Kertawangunan menjadi desa perkotaan. Hal ini disebabkan oleh semakin meluasnya pembangunan dan terbukanya akses ke wilayah lain, walaupun kondisi terminal belum efektif.

(5)

untuk kawasan lindung (RTRW Kabupaten Kuningan, 2008). Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya lahan terbangun di Kabupaten Kuningan. Salah satunya adalah pengalihfungsian pertanian lahan basah irigasi teknis menjadi lahan permukiman dan terminal tipe A. Pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan akan mengakibatkan kecenderungan pertumbuhan lahan terbangun tinggi di Kecamatan Sindang Agung. Proyeksi masterplan dalam arahan pengembangan kawasan perkotaan, pada Tahun 2030 luas kawasan terbangun di Kecamatan Sindang Agung seluas 474 hektar (38 persen).

Kabupaten Kuningan memiliki keunggulan dan potensi pada tiga sektor yaitu sektor pertanian, jasa dan perdagangan. Visi Kabupaten Kuningan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah Kuningan sebagai Kabupaten Agropolitan dan Wisata Termaju di Jawa Barat Tahun 2027. Secara tidak langsung melalui visi ini, perekonomian Kabupaten Kuningan mengandalkan dua sektor yaitu pertanian dan pariwisata. Optimalisasi sektor pariwisata di Kabupaten Kuningan perlu ditunjang oleh sektor pertanian dan transportasi. Kegiatan dalam menunjang sektor pariwisata di sektor transportasi salah satunya adalah dengan pembangunan Terminal Tipe A Kertawangunan. Pembangunan terminal ini mengorbankan sektor lain yaitu sektor pertanian dengan terkonversinya lahan sawah irigasi teknis.

Sektor pertanian memiliki kontribusi paling besar di Kabupaten Kuningan, namun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh semakin sempitnya lahan pertanian akibat dari penggunaan lahan untuk pembangunan. Akan tetapi, PDRB pada sektor perdagangan dan jasa mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan perkembangan pembangunan sektor tersier (perdagangan dan jasa) akan semakin mempersempit lahan pertanian di Kabupaten Kuningan. Diproyeksikan 25 tahun ke depan sektor pertanian ini masih akan menjadi sektor kunci (leading sector) perekonomian di Kabupaten Kuningan. Hal ini disebabkan sektor pertanian selama ini memiliki kontribusi terbesar dalam menyumbang pendapatan daerah Kuningan meskipun pertumbuhannya cenderung menurun.

(6)

(Studi Kasus Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat)

EVI NOVIA NURJANAH I34060058

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(7)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Evi Novia Nurjanah

NRP : I34060058

Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Konversi Lahan: Benturan Kepentingan Aktor-Aktor

dalam Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing Heru Purwandari, SP, M. Si NIP. 19790524 200701 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(8)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KONVERSI LAHAN: BENTURAN KEPENTINGAN AKTOR-AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA (STUDI KASUS DESA KERTAWANGUNAN, KECAMATAN SINDANG AGUNG, KABUPATEN KUNINGAN)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Oktober 2010

Evi Novia Nurjanah I34060058

(9)

Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 18 November 1988. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan suami istri Bapak Sopyan dan Ibu Aminah. Penulis bertempat tinggal di kawasan Kuningan. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Aisyah tahun 1994, SDN Kuningan X tahun 2000, SMPN 1 Kuningan tahun 2003, SMAN 1 Kuningan tahun 2006. Kemudian pada tahun ajaran 2006-2007 penulis diterima menjadi Mahasiswa IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama di kampus, penulis tergabung dalam beberapa organisasi kampus diantaranya HIMARIKA (Himpunan Mahasiswa Aria Kamuning) Kuningan Periode 2006-2009, FORSIA (Forum Syiar Islam Fema) periode 2007-2008. Penulis juga tergabung dalam kepengurusan BEM-I (Badan Eksekutif Mahasiswa Ekologi Manusia IPB) kabinet “Laskar Pelangi” periode 2007-2008, HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) periode 2007-2008, dan Eco-Agrifarma periode 2008-2009. Selain itu, penulis menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi pada semester 6 dan semester 7.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan jalan dan kemudahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi yang berjudul ”Konversi Lahan: Benturan Kepentingan Aktor-Aktor dalam Pemanfaatan Sumberdaya Agraria”. Penyusunan skripsi ini merupakan pengkajian data primer dan data sekunder mengenai kasus konversi lahan pertanian ke non pertanian.

Konversi lahan pertanian ke non pertanian telah banyak diteliti, namun ada hal yang menarik dari proses konversi lahan ini. Lahan sawah irigasi teknis yang hanya seluas 5,7 hektar dapat memacu konversi lahan sawah lainnya. Kepentingan aktor dalam proses konversi ini sangat berpengaruh besar terhadap terjadinya konversi lahan. Keadaan ini menjadi ketertarikan peneliti untuk mengkaji dan memahami lebih dalam kasus tersebut.

Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi acuan bagi penelitian mendatang. Selain itu, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai konversi lahan pertanian ke non pertanian.

Bogor, Oktober 2010

(11)

Alhamdulillah seluruh puji dan syukur tercurah untuk Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulisan Skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dapat diselesaikan. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain:

1. Heru Purwandari, S.P, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi atas kesabarannya dan ketekunannya dalam membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Satyawan Sunito dan Sopyan Sjaf S.Pt, M.Si selaku dosen penguji sidang skripsi yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini. 3. Kepala Desa Kertawangunan dan aparat pemerintah Desa Kertawangunan yang

telah memberikan bantuan untuk memperoleh data dan informasi dalam penyusunan skripsi.

4. Kedua orangtuaku (Bapak Sopyan dan Ibu Aminah), kedua saudara kandungku (Teteh Yuli dan Dede Yanti) dan semua keluargaku yang senantiasa memberikan doa dan motivasi bagi penulis.

5. Kepada sahabat-sahabatku (Feby, Lingga, Ani, Pitaloka, Ryad, Kak Agus, Cecep, Dwi) dan teman-teman KPM lainnya yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi.

6. Kepada sahabat-sahabat Marhamah (Isnia, Cha2, Dini, Dya, Isti, Karimah, Qori, Dina, Mila, Danis) yang telah memberikan motivasi bagi penulis dalam penyusunan skripsi.

7. Kepada pihak-pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv BAB IPENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN TEORITIS ... 6

2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.1.1 Tanah dan Penggunaan Tanah ... 6

2.1.2 Hubungan Agraria... 7

2.1.3 Penatagunaan dan Penataruangan Tanah ... 11

2.1.4 Konversi Lahan Pertanian dan Pola Konversi Lahan Pertanian ... 15

2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 17

2.1.6 Kebijakan Tentang Pengendalian Konversi Lahan Pertanian... 18

2.2 Kerangka Pemikiran ... 20

2.3 Definisi Konseptual ... 22

2.4 Hipotesa Pengarah ... 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Metode Penelitian ... 23

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 24

3.4 Teknik Analisis Data ... 25

BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN ... 27

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Kuningan ... 27

4.1.1 Kondisi Geografis ... 27

4.1.2 Kondisi Kependudukan ... 28

4.1.3 Kondisi Perekonomian ... 28

(13)

4.2.1 Letak Geografis Desa Kertawangunan ... 29

4.3.2 Demografi Desa Kertawangunan ... 30

BAB V KEPENTINGAN AKTOR SOSIAL TERHADAP KONVERSI LAHAN ... 33

5.1 Proses Pembebasan Lahan Sawah ... 33

5.2 Konversi Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi ... 35

5.3 Kepentingan Pemerintah ... 39

5.4 Kepentingan Masyarakat ... 41

5.5 Peta Kepentingan Aktor ... 45

5.6 Ikhtisar ... 47

BAB VI DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP HUBUNGAN AKTOR ... 49

6.1 Perubahan Orientasi Nilai Terhadap Lahan ... 49

6.2 Perubahan Hubungan Antar Aktor ... 52

6.3 Perkembangan Desa Perkotaan ... 59

6.4 Ikhtisar ... 61

BAB VII IMPLIKASI KONVERSI LAHAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH ... 62

7.1 Rencana Tata Ruang Wilayah ... 62

7.2 Prioritas Pertumbuhan Ekonomi ... 66

7.3 Sumber PDRB Dominan ... 70

7.4 Ikhtisar ... 74

BAB VIII PENUTUP ... 76

8.1 Kesimpulan ... 76

8.2 Saran .. ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

Tabel 1. Fungsi Tanah Bagi Aktor Sosial ... 8 Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 31 Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Mata Pencaharian ... 31 Tabel 4. Luas Lahan Aparat Desa yang Terkonversi Menurut Nama Pemilik dan

Pekerjaan di Desa Kertawangunan ... 40 Tabel 5. Luas Lahan Pribadi yang Terkonversi Menurut Nama Pemilik dan

Pekerjaan di Desa Kertawangunan ... 42 Tabel 6. Data Responden Mengenai Pekerjaan, Status Kepemilikan Tanah, Luas

Tanah, Harga Tanah dan Pemanfaatan Hasil Penjualan Tanah di Desa Kertawangunan ... 44 Tabel 7. Data Responden Mengenai Pekerjaan dan Luas Tanah (sebelum dan

sesudah konversi), Harga Sewa Lahan (per 100 bata/ tahun dan Dampak yang Dirasakan Setelah Konversi ... 57 Tabel 8. Proyeksi Kebutuhan Lahan Terbangun Kabupaten Kuningan 2030 ... 65 Tabel 9. Peran Sub Sektor dalam PDRB Kabupaten Kuningan Atas Dasar Harga

Konstan (2000=100) Tahun 2001-2005 (dalam %) ... 72  

Lampiran

Tabel 1. Proyeksi Jumlah Penduduk Kabupaten Kuningan Tahun 2009 – 2029 .. 82 Tabel 2. Proyeksi Kepadatan Penduduk Kabupaten Kuningan Tahun 2009 -

2029 ... 83 Tabel 3. Rencana Kebutuhan Lahan Permukiman Kabupaten Kuningan

Tahun 2030 ... 84 Tabel 3. Perkiraan Daya Dukung dan Kebutuhan Lahan di Kabupaten Kuningan

Tahun 2030 ... 85 Tabel 5. Proyeksi PDRB Kabupaten Kuningan Tahun 2030. ... 86 Tabel 6. Peran Sub Sektor dalam PDRB Kabupaten Kuningan Atas Dasar Harga

Konstan (2000=100) Tahun 2006-2008 (dalam %) ... 87 Tabel 7. Proyeksi Lahan Terbangun dan Non Terbangun Kabupaten Kuningan

Tahun 2030 (hektar) ... 88 Tabel 8. Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data ... 89  

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

Gambar 1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria ... 8

Gambar 2. Struktur Agraria Secara Empiris ... 10

Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran ... 21

Gambar 4. Hubungan-Hubungan Agraria di Desa Kertawangunan... 46

Lampiran Gambar 1. Kantor Desa Kertawangunan ... 91

Gambar 2. Dusun Parenca ... 91

Gambar 3. Posisi Sawah di Belakang Terminal ... 91

Gambar 4. Sawah yang Akan Dijadikan Jalan Masuk Terminal (Jalur Lingkar Timur) ... 91

Gambar 5. Posisi Sawah di Samping Terminal ... 91

Gambar 6. Terminal Tipe A Kertawangunan ... 91

Gambar 7. Kantor Dinas Perhubungan di Dalam Terminal ... 92

Gambar 8. Kantor Bappeda di Wilayah Timur ... 92

Gambar 9. Kantor Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya di Wilayah Timur ... 92

Gambar 10. Toko di Samping Terminal ... 92

Gambar 11. Peta Wilayah Administratif Kabupaten Kuningan ... 93

Gambar 12. Peta Arah Pengembangan Kawasan Perkotaan Kecamatan Sindang Agung ... 94 Gambar 13. Peta Desa Kertawangunan ... 95

Gambar 14. Peta Rencana Pengembangan dan Pembangunan Terminal dan Halte ... 96

Gambar 15. Peta Rencana Pengembangan dan Pembangunan Jaringan Jalan... 97

Gambar 16. Peta Arahan Pengelolaan Kawasan Pertanian Kabupaten Kuningan ... 98

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam termasuk sumber-sumber agraria. Salah satu sumber agraria adalah tanah. Tanah merupakan faktor produksi utama untuk para aktor pemanfaat sumberdaya agraria. Aktor pemanfaat sumber-sumber agraria dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pemerintah, pemilik modal (swasta) dan masyarakat. Hubungan ketiga aktor ini berkaitan dengan penguasaan atau pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya agraria tanah. Pemanfaatan sumberdaya agraria tanah merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan berbagai pihak yang berkaitan dengan sumberdaya tersebut.

Fungsi tanah sebagaimana hubungannya dengan aktor pemanfaatnya dapat dibedakan menjadi fungsi ekonomi, sosial, politik maupun religi. Perbedaan fungsi tanah ini juga berhubungan dengan perbedaan kepentingan aktor pemanfaat sumberdaya agraria tanah. Perbedaan kepentingan ini seringkali menimbulkan konflik antar berbagai aktor. Konflik yang sering terjadi biasanya antara masyarakat (petani) dengan pemerintah dan swasta, daripada antara pemerintah dan swasta. Hal ini disebabkan pemerintah dan swasta seringkali memiliki tujuan yang sejalan terhadap pemanfaatan sumberdaya agraria tanah.

Tanah merupakan modal utama untuk pembangunan. Pemerintah dan swasta memerlukan tanah untuk pembangunan. Pembangunan adalah usaha-usaha yang secara sistematis terarah pada pengadaan perubahan, dan perubahan senantiasa membawa konflik (Moeliono, dkk., 2003). Upaya mewujudkan pembangunan dimana jumlah tanah makin berkurang, memerlukan adanya konversi lahan. Konversi lahan seringkali terjadi pada lahan pertanian yang subur. Pada kenyataannya, tanah yang digunakan untuk usahatani semakin menyempit akibat pengalihfungsian lahan pertanian menjadi non pertanian. Hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan: konversi lahan sawah selama tahun 2000-2002 mencapai 563.000 hektar atau rata-rata sekitar 188.000 hektar per tahun. Luas sawah pada Tahun 2002 yaitu 7,75 juta hektar, pengurangan luas sawah akibat konversi lahan mencapai 7,27 persen selama tiga

(17)

tahun atau rata-rata 2,42 persen per tahun.1 Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2004 besaran laju alih fungsi lahan pertanian dapat dikelompokkan sebagai berikut: konversi sawah ke non sawah 187.720 ha/th, terdiri atas konversi ke non pertanian 110.164 ha/th, konversi ke pertanian lainnya 77.556 ha/th.2

Penggunaan lahan sawah di Kabupaten Kuningan pun cenderung menurun dari tahun 2003 sampai 2005. Menurut hasil analisis Penggunaan Lahan Kabupaten Kuningan (2006), penggunaan lahan sawah pada tahun 2003 sekitar 29,51 persen, pada tahun 2004 sekitar 29,28 persen dan pada tahun 2005 sekitar 25,14 persen. Salah satu penyebab penurunan luas lahan sawah adalah kepentingan pemerintah daerah untuk membangun fasilitas umum. Pembangunan untuk kepentingan umum harus terus diupayakan mengingat semakin bertambahnya jumlah penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk semakin bertambah pula kebutuhan lahan untuk pembangunan, diantaranya digunakan untuk pemukiman, sarana transportasi, dan kebutuhan akan jalan.

Tanah merupakan salah satu sumberdaya alam yang penting bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Tanah memiliki fungsi sosial disamping fungsi ekonomis, oleh karena itulah kepentingan pribadi akan tanah harus dikorbankan untuk kepentingan umum. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan telah memberikan definisi kepentingan umum sebagai “kepentingan masayarakat secara keseluruhan” dan kegiatannya haruslah dilakukan oleh pemerintah, kemudian dimiliki oleh pemerintah dan tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Pembangunan untuk kepentingan umum pun harus memperhatikan fungsi ekonomis tanah bagi masyarakat. Pelaksanaan pembangunan kepentingan umum agar dapat berjalan perlu memperhatikan kepentingan perseorangan. Jika tanah untuk kepentingan umum memerlukan tanah milik masyarakat, maka diperlukan adanya musyawarah dan kesepakatan antar masing-masing pihak dalam pembebasan tanah.

       1

Bambang Irawan. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif bagi Ketahanan Pangan dan Lingkungan dalam Warta Penelitian dan Perkembangan Pertanian. Vol. 27 No. 6. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr276054.pdf. Diakses tanggal 15 Oktober 2009. 

2

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan. Ketersediaan Lahan Pertanian. http://www.krkp.org.pdf. Diakses tanggal 15 Oktober 2009. 

(18)

Kegiatan pembangunan dengan mengorbankan lahan sawah akan berdampak pula pada penurunan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di sektor pertanian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kuningan, pada tahun 2007 Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kuningan terbesar adalah pada sektor pertanian sebesar 36,08 persen. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ini mengalami penurunan dari dua tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2006 sebesar 37,04 persen dan pada tahun 2005 sebesar 42,69 persen.

Secara umum kebijaksanaan pembangunan di Kabupaten Kuningan diprioritaskan pada pembangunan berbasis perencanaan yang jelas, terarah, komprehensif dan berkesinambungan. Kebijaksanaan pembangunan ini tetap bertumpu pada pembangunan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada kemitraan terutama di sektor-sektor unggulan dan berpotensi, diantaranya sektor pertanian, jasa, dan perdagangan. Pada kenyataannya, sebagai daerah yang mempunyai potensi di bidang pertanian tetapi penggunaan lahan untuk lahan sawah semakin menurun serta PDRB pada sektor pertaniannya pun menurun.

Konversi lahan dimaksudkan untuk mempertinggi nilai tanah. Pembebasan tanah terjadi ketika aparat pemerintah memiliki tujuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara pembangunan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Begitu pula dengan pembangunan fasilitas umum dimaksudkan untuk pengembangan wilayah. Pembangunan sarana transportasi yang merupakan salah satu fasilitas umum mempunyai peranan penting bagi pengembangan wilayah. Pihak swasta melakukan konversi lahan untuk memperoleh keuntungan. Kebijakan tentang pertanahan seringkali berpihak kepada pemerintah dan swasta yang memiliki kekuatan politik. Bagi petani, konversi lahan pertanian tidak dapat mengubah hidupnya atau meningkatkan kesejahteraan mereka. Konversi lahan menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan petani yang tidak memiliki lahan.

Pembangunan fasilitas umum (Terminal Tipe A Kertawangunan) di Kabupaten Kuningan merupakan salah satu upaya dalam mengembangkan wilayah. Pembangunan terminal ini dilaksanakan pada lokasi lahan yang

(19)

sebelumnya merupakan lahan pertanian. Padahal selama ini kontribusi perekonomian terbesar di Kabupaten Kuningan adalah sektor pertanian. Pengalihfungsian lahan pertanian menjadi pembangunan terminal ini terkait dengan perbedaan kepentingan dalam konversi lahan pertanian ke non pertanian. Perbedaan kepentingan ini tergantung pada kepentingan aktor-aktor dalam memanfaatkan sumberdaya agraria tanah. Konversi lahan pun dapat berdampak terhadap perubahan hubungan aktor dan berimplikasi terhadap pengembangan wilayah. Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan.

1.2 Perumusan Masalah

Konversi lahan merupakan salah satu upaya memenuhi kebutuhan tanah untuk pembangunan. Lahan pertanian yang subur seringkali menjadi objek konversi lahan. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan antar aktor terutama petani dengan pemerintah dan swasta. Masalah yang dapat dirumuskan dari adanya konversi lahan serta pengaruh kepentingan antar aktor terhadap konversi lahan tersebut adalah:

1. Bagaimana peta kepentingan antar aktor dalam proses konversi lahan pertanian di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan? 2. Bagaimana dampak konversi lahan pertanian terhadap perubahan hubungan

aktor di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan?

3. Bagaimana implikasi konversi lahan terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Kuningan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta kepentingan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam konversi lahan pertanian ke non pertanian di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan. Mengetahui penyebab terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian, sehingga dapat menganalis dampak konversi lahan terhadap perubahan

(20)

hubungan aktor. Menganalisis implikasi konversi lahan terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Kuningan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini ditujukan pada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masalah kajian agraria terkait dengan sumberdaya agraria dan aktor pemanfaatnya terutama yang menyangkut konversi lahan pertanian:

1. Bagi penulis dan kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan potret peta kepentingan aktor pemanfaat sumberdaya agraria menyangkut masalah konversi lahan pertanian.

2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan tentang masalah konversi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi.

3. Bagi pemerintah lokal, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan informasi bagi pertimbangan pemerintah daerah dalam meninjau kembali kebijakan rencana tata ruang wilayah terutama untuk mengontrol alih fungsi lahan.

(21)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS  

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tanah dan Penggunaan Tanah

Tanah sebagai sumberdaya pada dasarnya diperlukan bagi semua kegiatan kehidupan dan penghidupan. Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi (Nasoetion, 2002). Nilai tanah menurut Chapin (1995) dalam Jayadinata (1999) dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi, dan yang dapat dicapai dengan jual-beli tanah di pasaran bebas;

b. nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat;

c. nilai sosial, yang merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan (misalnya sebidang tanah yang dipelihara, peninggalan, pusaka, dan sebagainya), dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya.

Tanah mempunyai ciri-ciri khas yang unik dibandingkan dengan sumberdaya lain (Harsono (1992) dalam Utomo, dkk. (1992)). Ciri-ciri ini antara lain adalah bahwa sebidang tanah selalu berorientasi pada lokasi atau letaknya yang tertentu, karena letak sebidang tanah tidak dapat dipindahkan ke tempat lain. Kondisi fisik dua bidang tanah dapat sama, tetapi lokasinya tetap berbeda.

Ciri khas lainnya sebagai ruang, tanah merupakan sumberdaya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap, tidak bertambah. Jika kebutuhan akan ruang termasuk kebutuhan untuk memanfaatkan potensi kesuburan tanah dalam usaha di bidang pertanian juga memerlukan tanah sebagai ruang bertambah, maka yang dapat dilakukan adalah peningkatan efisiensi dan intensitas penggunaan tanah yang bersangkutan. Pada tanah pertanian dilakukan kegiatan intensifikasi pertanian, dalam arti meningkatkan pemberian masukan teknologi pada luas tanah yang sama. Penggunaan non pertanian, misalnya untuk bangunan, jalan, dan struktur-struktur fisik lainnya, dilakukan dengan pendirian bangunan-bangunan

(22)

bertingkat, tidak saja di atas permukaan tanah, tetapi juga dengan pemanfaatan ruang di bawah tanah.

Menurut Harsono (1992) dalam Utomo, dkk. (1992) penggunaan tanah pada garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua golongan:

a. penggunaan tanah dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, misalnya kesuburan tanah, kandungan mineral, atau karena terdapatnya endapan bahan galian pertambangan di bawah permukaannya;

b. penggunaan tanah dalam kaitan dengan pemanfaatannya sebagai ruang pembangunan, yang secara langsung tidak memanfaatkan potensi alami dari tanah, tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang telah ada, di antaranya ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya.

2.1.2 Hubungan Agraria

Pemanfaatan sumber agraria tanah merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut (Sihaloho, 2004). Kepentingan akan tanah berkaitan dengan subyek agraria yang memanfaatkan tanah. Sitorus (2002) membedakan subyek agraria menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial ini adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan atau pemilikan (tenure institution). Hubungan-hubungan tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau lebih spesifik dimensi kerja, dalam hubungan-hubungan agraria. Sekaligus dimensi kerja itu menunjuk pada artikulasi kepentingan-kepentingan sosial ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan penguasaan atau pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut.

Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek

(23)

agraria. Hubungan sosial agraris tersebut, berikut hubungan teknis agraris, dapat digambarkan sebagai hubungan segitiga (Gambar 1). Intinya adalah satu dan lain subyek saling berhubungan secara sosial dalam kaitan hubungan teknis masing-masing subyek dengan sumber-sumber agraria.

Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria

Sumber: Sitorus (2002)

Keterangan:

Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria

Tanah merupakan salah satu sumberdaya agraria. Tanah memiliki fungsi yang berbeda-beda antar subyek agraria. Hal ini berkaitan dengan perbedaan kepentingan antar subyek dalam pemanfaatannya. Fungsi tanah bagi aktor sosial dapat dilihat pada Tabel 1:

Tabel 1. Fungsi Tanah Bagi Aktor Sosial

No Aktor Sosial Fungsi Lahan

1. Petani • Fungsi ekonomi:

a. memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga b. sebagai katup pengaman

c. sebagai kebutuhan uang tunai • Fungsi sosial: sebagai penguat ikatan

kekerabatan

2. Pemerintah • Bagi kemakmuran seluruh rakyat • Fungsi pendapatan negara

3. Swasta • Mencari keuntungan (akumulasi modal dan meningkatkan surplus)

Sumber: dikutip dari berbagai sumber dalam Filosofianti (2010)

Komunitas

Sumber-sumber agraria

(24)

  Filosofianti (2010) menyebutkan peran tanah bagi aktor sosial antara lain: bagi petani, tanah memiliki peran ekonomis dan sosiologis. Peran ekonomis tanah bagi petani ditandai oleh adanya pandangan bahwa tanah merupakan sumber hidup manusia dan tanah dianggap sebagai aset dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Peran tanah secara sosiologis memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai perekat hubungan sosial atau kohesi sosial pada komunitas; bagi pemerintah daerah adalah sebagai aset dalam pembangunan infrastruktur fisik dan perumahan; bagi swasta digunakan sebagai modal untuk meningkatkan surplus ekonomi dan melakukan akumulasi modal.

Fajryah (2006) menyatakan bahwa tanah berperan penting bagi petani karena dapat dipinjam untuk digarap. Adanya kesempatan untuk menggarap bagi petani sama artinya dengan kesempatan untuk mendapatkan beras atau uang tunai. Fungsi tanah secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga semakin penting seiring menurunnya luas pemilikan dan penguasaan tanah dan sulitnya akses pada air irigasi. Tanah tidak saja memberikan jaminan pangan pada mereka yang mengakses tanah, tetapi juga pada mereka yang memberikan akses (Fajryah, 2006). Peran tanah bagi swasta untuk penanaman modal yang mengarah kepada kepentingan akumulasi modal dan meningkatkan surplus (Sihaloho, 2004).

Penelitian Tetiani (2002) dalam Nurjanah dan Nilamsari (2002) menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan pengusaha selalu bersifat mutualistis, sebagai sesama pelaku kapitalisme. Kedua aktor tersebut bersama-sama mendominasi masyarakat (petani) dalam rangka mendominasi penguasaan sumber agraria yang sebelumnya dimiliki atau dikuasai petani. Akibatnya akses petani terhadap sumber agraria berkurang atau hilang sama sekali. Kekuatan kapitalis dalam hal ini menang terhadap ekonomi subsisten. Struktur agraria yang empiris dari penelitian Tetiani (2002) dapat dilihat pada Gambar 2.

(25)

Pemerintah Pengusaha

Masyarakat (petani) Sumber-sumber agraria Gambar 2. Struktur Agraria secara Empiris

Sumber: Tetiani (2002) dalam Nurjanah dan Nilamsari (2002)

Keterangan:

Hubungan konflik dengan ciri dominasi pemerintah dan pengusaha terhadap (masyarakat) petani dalam rangka merebut sumber agraria yang dimiliki petani

Menunjukan hubungan selaras, dengan ciri kerja sama dalam menguasai sumber-sumber agraria yang dimiliki petani

Hubungan produksi petani terhadap sumber-sumber agraria yang makin berkurang atau telah hilang

Hubungan produksi pemerintah dan pengusaha terhadap sumber-sumber agraria yang sebelumnya dikuasai petani, hubungan ini cenderung eksploitatif.

Keterlibatan tiga stakeholder dalam membina suatu hubungan, baik dengan tanah dalam hal penguasaan atau pemanfaatan (hubungan teknis) maupun hubungan sosial agraria yang menunjuk pada interaksi antar stakeholders dalam kepentingan atas tanah (hubungan sosio-agraria), pada akhirnya akan membentuk suatu tatanan yang dipahami sebagai struktur agraria (Sitorus, 2004). Jika mengaitkan pemahaman ini dengan pernyataan “konversi lahan sebagai alih fungsi yang diikuti dengan alih penguasaan”, maka dapat dikatakan bahwa “konversi lahan mempengaruhi atau memicu terjadinya pergeseran (perubahan) struktur agraria”.

Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak kapitalis dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di Indonesia terdapat tiga macam ketimpangan (Cristo-doulou (1990) dalam Wiradi, 2000):

1) ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah; 2) ketimpangan dalam hal “peruntukan” tanah;

3) incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.

  Sihaloho (2004) menegaskan bahwa konversi lahan telah meningkatkan ketidakadilan agraria. Perubahan struktur agraria membawa implikasi dari dampak

(26)

negatif konversi lahan. Hal tersebut ditunjukkan antara lain dengan perubahan dalam pola penguasaan lahan, seperti keterbatasan akses dan pemusatan kekuasaan atas tanah; perubahan pola produksi yang ditandai dengan penurunan produktivitas lahan, degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional; perubahan orientasi nilai (nilai sosial, nilai keuntungan dan nilai kepentingan umum) dalam aturan etika/pemanfaatan lahan; serta pola nafkah yang ditandai dengan penurunan pendapatan, peningkatan kemiskinan, dan pemubaziran investasi; yang menunjukkan suatu “ruang permasalahan agraria”. Perubahan-perubahan ini pula yang merupakan suatu indikator Perubahan-perubahan struktur agraria.

2.1.3 Penatagunaan dan Penataruangan Tanah

  Dasar kebijakan pertanahan (Kurnia, dkk., 2003) adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 Tahun 1960 (UUPA). Pada pasal 2 ayat (1) UUPA ditegaskan lagi bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa hak menguasai dari negara memberikan wewenang untuk: 1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut,

2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dan

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Kebijaksanaan umum yang telah dituangkan dalam peraturan perundangan masih memerlukan penjabaran lebih lanjut ke dalam petunjuk pelaksanaan yang bersifat teknis agar dapat dioperasionalisasikan (Kurnia, dkk., 2003). Kebijaksanaan teknis yang telah tertuang dalam peraturan perundang-undangan, antara lain adalah mengenai penggunaan dan penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu, kebijakan konsolidasi tanah untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah, serta untuk mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur.

(27)

Penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Menurut Jayadinata (1992), tata guna tanah (land use) adalah pengaturan penggunaan tanah. Kebijaksanaan tentang penatagunaan tanah yang merupakan penjabaran dari pasal 14 UUPA yang menyebutkan dalam penjelasannya bahwa "untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam bidang pertanahan perlu adanya rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan, dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara". Pemerintah membuat rencana umum persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan rencana umum yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, pemerintah daerah dapat mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah di wilayahnya sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing (Kurnia, dkk., 2003).

TAP MPR RI No. IV/MPR/1978 juga mengatur tentang perlunya menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah untuk mewujudkan keadilan sosial. Hal yang sama ditetapkan lagi dalam TAP MPR RI No. II/MPR/1988. Terakhir, dengan TAP MPR RI No. II/MPR/1993 secara eksplisit disebutkan tentang pentingnya pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah ini antara lain sebagai berikut: “penataan penggunaan tanah perlu memerhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah pertanian dan perkotaan serta mencegah penelantaran tanah, termasuk berbagai upaya untuk mencegah pemusatan penguasaan yang merugikan kepentingan rakyat.” 3

Sehubungan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2004 pada tanggal 10 Mei 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Muchsin dan Koeswahyono, 2008). Merujuk pada peraturan pemerintah tersebut, yang dimaksud dengan tata guna tanah diatur dalam Pasal 1 angka 1, yakni: “sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui

      

3

Makalah pada seminar nasional ‘Pembatasan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Perkotaan’ dalam

Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 2 Oktober 1993. Yogyakarta:

(28)

pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil”.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 menyebutkan secara tegas empat tujuan penatagunaan tanah, yakni:

a. “mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah;

b. mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;

c. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;

d. menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan.”

Sumardjono (2008) menyatakan bahwa intervensi pemerintah berupa pengaturan penatagunaan tanah ditujukan untuk menyediakan tanah bagi kepentingan umum yang tidak dapat disediakan oleh orang perseorangan. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan efisiensi, misalnya dengan cara mengarahkan pengembangan tanah untuk tujuan yang lebih bermanfaat, membatasi perkembangan kota yang tidak teratur, serta mencegah berkurangnya tanah-tanah perdesaan. Pengaturan penatagunaan tanah juga ditujukan untuk menyediakan tanah bagi semua golongan dalam masyarakat dan menjaga agar manfaat pengembangannya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Upaya pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kegiatan yang menunjang kepentingan umum dikenal hampir di seluruh dunia. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan telah memberikan definisi kepentingan umum sebagai “kepentingan masayarakat secara keseluruhan” dan kegiatannya haruslah dilakukan oleh pemerintah, kemudian dimiliki oleh pemerintah dan tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan (Sumardjono, 2008). Instansi

(29)

pemerintah (termasuk BUMN dan BUMD) dan badan-badan lain non pemerintah yang memerlukan tanah di luar yang diatur dalam Keppres No 55/1993 harus melakukannya secara langsung dengan para pemegang hak atas tanah (tanpa bantuan Panitia Pengadaan Tanah) melalui cara jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati para pihak berdasarkan musyawarah.

Tata guna tanah sebagai bagian dari konsep tata ruang memerlukan perencanaan yang komprehensif (menyeluruh) dengan berbagai pertimbangan agar diperoleh sejumlah nilai, tujuan, dan asumsi (Muchsin dan Koeswahyono, 2008). Perencanaan tata ruang merupakan kegiatan menentukan berbagai kebutuhan manusia dengan cara memanfaatkan rencana lokasi berbagai kegiatan dalam ruang agar memenuhi sumber daya yang tersedia. Antara tata guna tanah dengan tata ruang mempunyai hubungan yang sangat erat dalam perencanaan tata kota. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berasaskan kepada pemanfaatan ruang bagi semua keperluan secara terpadu, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum (Kurnia, dkk., 2003).

Penataan ruang wilayah, mengandung komitmen untuk menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam rangka kebijakan pertanahan yang berlandaskan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 33 ayat (1) sampai (5) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 No. 68) menegaskan secara lebih jelas mengenai korelasi penatagunaan tanah dengan penataan ruang dengan uraian lengkap sebagai berikut:

(1) pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain;

(2) dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan sumber daya alam lain;

(30)

(3) penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah;

(4) dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan.

2.1.4 Konversi Lahan Pertanian dan Pola Konversi Lahan Pertanian

Paradigma pertanahan yang menempatkan tanah bukan saja sekedar aset, tetapi juga merupakan basis untuk memperoleh status ekonomi, sosial, dan politik yang mendorong lazimnya konversi lahan pertanian ke non pertanian terutama industri dan perumahan (Akbar, 2008). Konversi lahan ini merupakan suatu alternatif untuk memperoleh keuntungan dengan mempertinggi nilai lahan. Proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut Harsono (1992) dalam Utomo dkk. (1992) alih fungsi lahan dalam arti perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan tanah, pada dasarnya tidak dapat dihindarkan dalam pelaksanaan pembangunan. Alih fungsi atau mutasi lahan menurut Kustiawan (1997) menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian tidak bisa dilepaskan dari proses transfer pemilikan lahan, khususnya proses jual beli tanah (Budiman, 2009).

Utomo, dkk. (1992) menyatakan bahwa alih fungsi lahan mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia. Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi ini akan bersifat permanen. Alih fungsi lahan sawah bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya daripada alih fungsi lahan sementara.

Pada kasus pembebasan tanah, pemerintah kurang berpihak kepada kepentingan rakyat (Husodo, 2002). Di satu sisi pemerintah sangat jelas

(31)

menggunakan pendekatan formal-legalistik. Di sisi lain, kata-kata untuk kepentingan pembangunan telah menjadi legitimasi berbagai bentuk intervensi negara untuk mengalahkan kepentingan rakyat petani. Konflik yang terjadi bukan karena rakyat menolak kepentingan pembangunan, kepentingan bisnis atau investasi, tetapi karena prosedur hukum yang tidak dipenuhi.

Berdasarkan faktor pokok konversi, pelaku, pemanfaat dan prosesnya, konversi lahan dapat dibedakan menjadi tujuh pola atau tipologi (Sihaloho, 2004). a. Konversi Gradual-Berpola Sporadis; pola konversi ini diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif (bermanfaat secara ekonomi) dan keterdesakan pelaku konversi. Sebagai petani, warga membutuhkan lahan yang produktif. Setelah menjual tanahnya, warga membeli tanah lain dan ada juga yang tidak dapat membeli lagi karena uang hasil penjualan tanah dimanfaatkan oleh keluarga untuk kebutuhan yang mendesak. b. Konversi Sistematik Berpola ‘enclave’; konversi tanah berpola ‘enclave’

yang dimaksud adalah sehamparan tanah yang terkonversi secara serentak, pemilik tanah terdiri dari beberapa orang.

c. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); konversi tidak dapat dihindari dalam suatu wilayah tertentu karena lahan akan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Kebutuhan tempat tinggal akibat pertambahan penduduk, mengakibatkan lahan-lahan terkonversi.

d. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan adalah dua faktor utama penggerak melakukan konversi lahan.

e. Konversi “Tanpa Beban”; satu faktor penggerak utama dari pola konversi tanpa beban ini adalah keinginan untuk mengubah nasib hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung dan atau kelurahan. Pola konversi ini terkait dengan pola konversi masalah sosial dalam hal keinginan untuk berubah. Pola konversi tanpa beban ini lebih pada warga yang menjual tanahnya dan sekaligus keluar dari sektor pertanian ke non pertanian.

f. Konversi Adaptasi Agraris; pola konversi adaptasi agraris terjadi karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah. Dikatakan pola adaptasi

(32)

agraris jika warga yang memiliki tanah yang relatif kurang produktif ingin meningkatkan hasil pertaniannya dengan cara menjual tanah yang kurang produktif dan membeli tanah yang relatif lebih bagus.

g. Konversi Multi Bentuk atau Tanpa Bentuk/Pola; pola konversi multi bentuk ini merupakan konversi yang diakibatkan berbagai faktor. Secara khusus faktor yang dimaksud adalah faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak spesifik dijelaskan dalam konversi adaptasi demografi.

2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

Nasoetion dan Winoto (1996) dalam Ilham, dkk. (2006) menyatakan bahwa proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (i) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (ii) sistem non kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan.

Faktor yang dianggap berpengaruh dalam konversi lahan pertanian menurut Kustiawan (1997) yaitu: faktor eksternal, faktor internal, dan faktor kebijakan pemerintah. Faktor eksternal berkaitan dengan dinamika pertumbuhan perkotaan, yaitu perkembangan kawasan terbangun, pertumbuhan penduduk perkotaan, dan pertumbuhan PDRB. Semakin besar laju perkembangan kawasan terbangun, laju pertumbuhan penduduk semakin tinggi, dan laju pertumbuhan PDRB semakin besar mengakibatkan laju penyusutan luas lahan sawah semakin besar. Faktor internal menyangkut pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan serta perubahan dalam penguasaan lahan pertanian. Semakin tinggi laju pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan dan semakin besar perubahan luas penguasaan lahan per-rumah tangga pertanian pengguna lahan, menyebabkan semakin besarnya laju penyusutan luas lahan sawah.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap kecenderungan dan pola spasial konversi lahan pertanian adalah kebijakan pemerintah. Tiga kebijakan pemerintah yang dianggap sebagai faktor pemacu munculnya konversi lahan pertanian, yaitu

(33)

privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru, serta deregulasi investasi dan perizinan. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri yang tertuang dalam Keputusan Presiden No.53/1989 telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasi sesuai dengan mekanisme pasar.

Faktor-faktor yang dengan sangat nyata mempengaruhi laju konversi lahan sawah menurut Sumaryanto, dkk. (1994) adalah kebijaksanaan pemerintah dan lokasi sawah terhadap pusat pertumbuhan ekonomi. Di suatu wilayah dimana bagian terbesar dari luasan konversi lahan sawah terjadi akibat kebijaksanaan pemerintah, laju konversi lahan sawah semakin tinggi. Semakin dekat lokasi persawahan terhadap pusat pertumbuhan ekonomi, laju konversi lahan sawah semakin tinggi. Asumsinya bahwa panjang jalan aspal yang ada di suatu desa dapat digunakan sebagai proksi dari kualitas prasarana transportasi di desa tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin membaik aksesibilitas suatu desa, kecenderungan terjadinya konversi lahan semakin tinggi.

2.1.6 Kebijakan Tentang Pengendalian Konversi Lahan Pertanian

  Secara agregat, pengendalian konversi lahan harus diterapkan melalui upaya minimalisasi peluang, pengendalian situasi, dan menyiapkan perangkat pendukungnya. Bappenas dan PSE-KP (2006) dalam Iqbal (2009) menjabarkan bahwa secara semantik istilah ‘pengendalian’ mengandung makna ‘melakukan suatu tindakan tertentu dengan tujuan agar proses, keluaran (output), dan hasil (outcome) yang terjadi sesuai dengan yang diharapkan’. Secara normatif langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian mencakup lima aspek, yaitu: (1) penentuan cakupan, tujuan, dan sasaran; (2) penentuan pendekatan dan metode; (3) identifikasi instrumen kebijakan; (4) implementasi kebijakan; dan (5) evaluasi (Iqbal, 2009).

  Peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pengendalian konversi tanah pertanian ke non pertanian antara lain (Kurnia, dkk., 2003):

1. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11108/SJ Tanggal 24 Oktober 1984 yang menyatakan bahwa penyediaan tanah untuk kegiatan pembangunan sedapat mungkin mencegah terjadinya perubahan tanah pertanian ke non

(34)

pertanian, sehingga tidak mengganggu usaha peningkatan produksi pangan yang telah ada selama ini.

2. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua BAPPENAS Nomor 5417/MK/10/1994 Tanggal 4 Oktober 1994; dan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 474/4263/SJ tanggal 27 Desember 1994 yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian tidak mengorbankan tanah pertanian subur dan berpengairan teknis.

3. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-3346 Tanggal 31 Oktober 1994 kepada seluruh Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kantor Pertanahan se-Indonesia. Diinstruksikan untuk tetap mempertahankan tanah sawah beririgasi teknis, apabila rencana perubahan penggunaan tanah sawah tersebut telah tertuang dalam RTRW maka diinstruksikan agar membantu pemda setempat untuk merubah peruntukan tersebut.

Sejak diterapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 mengenai pembagian wewenang antara sistem dan organisasi pemerintah pusat dan daerah, maka peran pemerintah daerah semakin besar dalam mengurus ketatalaksanaan administrasi pemerintahan wilayahnya (Iqbal, 2009). Peran tersebut antara lain berhubungan dengan penyusunan dan penerapan beberapa kebijakan, termasuk di dalamnya kebijakan dalam pengendalian konversi lahan pertanian. Peraturan daerah yang mengatur tentang pengendalian perubahan lahan sawah dituangkan dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) wilayah dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Daerah.4 Secara implisit tata ruang tersebut adalah mengendalikan perubahan fungsi lahan sawah menjadi non sawah, karena pada RUTR tersebut sudah jelas, baik dari aspek hukum maupun tekniknya bahwa setiap wilayah (sawah) memiliki fungsi dan kegunaan yang secara wilayah sudah ditetapkan peruntukannya.

       4

Bambang Irawan dan Supena Friyatno. Dampak Konversi Lahan Sawah Di Jawa Terhadap Produksi Beras Dan Kebijakan Pengendaliannya dalam http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/% 281%29%20soca-supena%20friyatno-kontribusi%20sektor%20pertanian%281%29.pdf. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2010.

(35)

2.2 Kerangka Pemikiran

Lahan merupakan faktor produksi utama bagi para aktor pemanfaat sumberdaya agraria. Aktor-aktor pemanfaat lahan diantaranya pemerintah, swasta dan petani. Pemerintah seringkali memanfaatkan lahan untuk pembangunan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan semakin meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan kuantitas lahan tetap. Konversi lahan kemudian terjadi dalam rangka mendukung agenda pertumbuhan ekonomi. Konversi lahan seringkali terjadi pada lahan pertanian yang subur. Hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar aktor terutama petani dengan pemerintah dan swasta.

Para aktor pemanfaat lahan memiliki kepentingan yang berbeda terhadap konversi lahan pertanian ke non pertanian. Aktor yang berkepentingan terhadap konversi lahan diantaranya pemerintah daerah, pemerintah desa, pemilik lahan dan petani. Kepentingan pemerintah daerah terhadap konversi lahan adalah pembangunan infrastruktur fisik untuk fasilitas umum. Pembangunan fasilitas umum ditujukan untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Kepentingan Pemerintah desa adalah untuk meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) dan peningkatan gaji perangkat desa. Kepentingan masyarakat (pemilik lahan) dalam konversi lahan pertanian berkaitan dengan penawaran harga lahan yang sesuai, modal usaha, perolehan lahan yang lebih luas. Harga lahan yang sesuai menyebabkan masyarakat menjual lahan yang mereka miliki untuk dikonversikan. Kebutuhan modal usaha pun dalam peningkatan kesejahteraan menyebabkan masyarakat menjual lahannya. Hasil penjualan lahan pun digunakan untuk mendapatkan lahan yang lebih luas di daerah lain. Kepentingan masyarakat (petani) adalah kesempatan kerja baru untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya karena kehilangan lahan garapannya.

Konversi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi berdampak terhadap perubahan hubungan aktor dan berimplikasi terhadap pengembangan wilayah. Dampak konversi lahan terhadap perubahan hubungan aktor terkait dengan perubahan orientasi nilai terhadap lahan, perubahan hubungan antar aktor, dan perkembangan desa perkotaan. Perubahan orientasi nilai lahan ini berkaitan dengan pergeseran nilai lahan. Dampak konversi lahan terhadap perubahan

(36)

hubungan antar aktor karena adanya pergeseran penguasaan lahan. Petani kehilangan akses terhadap lahan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Perkembangan desa perkotaan mencakup pada terbukanya akses desa terhadap wilayah lain dan meningkatnya pembangunan desa. Implikasi konversi lahan terhadap pengembangan wilayah terkait dengan kepentingan pemerintah daerah dapat terjadi pada rencana tata ruang wilayah, prioritas pertumbuhan ekonomi, dan sumber PDRB dominan yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerahnya. Kebutuhan untuk pembangunan berimplikasi terhadap rencana tata ruang wilayah di setiap daerah. Pertumbuhan ekonomi yang diprioritaskan akan berbeda ketika pembangunan ditujukan untuk bidang tertentu. Pertumbuhan PDRB dominan pun akan berubah sesuai pertumbuhan ekonomi yang diprioritaskan di daerah tersebut.

Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Keterangan:

: mempengaruhi : dipengaruhi

Implikasi terhadap pengembangan wilayah: - Rencana Tata Ruang Wilayah

- Prioritas pertumbuhan ekonomi - Sumber PDRB Dominan

Konversi lahan pertanian ke non

pertanian

Perubahan hubungan aktor: - Orientasi nilai terhadap lahan - Perubahan hubungan antar aktor - Perkembangan desa perkotaan

Kepentingan Pemerintah Kepentingan Masyarakat

• Pemerintah daerah: - Pembangunan infrastruktur fisik untuk fasilitas umum • Pemerintah desa: - Peningkatan APB Desa ‐Peningkatan gaji perangkat desa  • Pemilik lahan: - Harga lahan sesuai - Modal usaha - Perolehan lahan

yang lebih luas

• Petani:

- Hilangnya akses pekerjaan pertanian - Terbukanya peluang

(37)

2.3 Definisi Konseptual

Definisi yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Konversi lahan pertanian adalah pengalihfungsian lahan sawah ke non sawah. 2. Kepentingan pemerintah berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh

pemerintah dengan mengkonversi lahan pertanian.

3. Kepentingan swasta berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh swasta dengan mengkonversi lahan pertanian.

4. Kepentingan masyarakat berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat dengan mengkonversi lahan pertanian.

5. Pengembangan wilayah adalah proses berkembangannya suatu wilayah akibat adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian.

6. Perubahan hubungan aktor adalah pergeseran dalam penguasaan dan peruntukan atau pemanfaatan sumberdaya agraria tanah.

2.4 Hipotesa Pengarah

Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran adalah:

1. Konversi lahan pertanian yang terjadi dipengaruhi oleh kepentingan para pelaku/aktor meliputi kepentingan pemerintah, kepentingan swasta dan kepentingan petani.

2. Kepentingan pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung mempercepat terjadinya konversi lahan pertanian.

3. Terjadinya konversi lahan pertanian mengakibatkan adanya perubahan dalam penguasaan atau pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya agraria.

4. Diduga konversi lahan pertanian berimplikasi terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Kuningan.

(38)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif. Peneliti memilih pendekatan kualitatif karena pendekatan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial, dalam hal ini adalah konversi lahan pertanian. Pendekatan ini pun mampu menggali realitas sosial mengenai konversi lahan pertanian yang terjadi berdasarkan pada pemahaman dari orang-orang yang menjadi subyek penelitian.

Metode studi kasus pun digunakan dalam penelitian ini. Studi kasus yang digunakan adalah studi kasus instrinsik. Studi kasus instrinsik menurut Sitorus (1998) adalah studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus. Penggunaan studi kasus instrinsik ini disebabkan kasus yang dipilih dapat membantu peneliti dalam memahami permasalahan terkait dengan konversi lahan dan juga dampaknya terhadap hubungan aktor dalam pemanfaatan sumberdaya agraria dan implikasinya terhadap pengembangan wilayah. Strategi studi kasus ini diharapkan mampu menggali gejala sosial yang lebih mendalam dan untuk menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya pada penafsiran peneliti.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan. Lokasi ini dipilih karena sangat berkaitan dengan kasus penelitian, dengan alasan antara lain: pertama, lahan yang dibebaskan merupakan lahan yang sebelumnya diusahakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Desa Kertawangunan.

Kedua, konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan merupakan lahan sawah subur dan beririgasi teknis. Peraturan pengendalian konversi lahan menyebutkan bahwa perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian tidak boleh mengorbankan lahan pertanian subur dan beririgasi teknis. Ketiga,

(39)

konversi lahan sawah menjadi terminal yang terjadi di Desa Kertawangunan merupakan konversi lahan seluas 5,7 hektar. Konversi lahan sawah ini akan mengakibatkan tingginya laju konversi lahan di Desa Kertawangunan. Hal ini disebabkan dibutuhkannya lahan untuk aksesibilitas jalan dalam pengembangan wilayah.

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010. Kurun waktu penelitian ini mencakup waktu semenjak peneliti intensif berada di lokasi penelitian. Waktu penjajagan tidak termasuk pada kurun waktu tersebut. Penjajagan dilakukan pada bulan Maret 2010.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan adalah metode triangulasi. Denzin (1970) dalam Sitorus (1998) menyatakan bahwa triangulasi dapat diartikan sebagai “kombinasi sumber data, tenaga peneliti, teori, dan metodologi dalam suatu penelitian tentang suatu gejala sosial. Metode triangulasi ini bertujuan memperoleh data yang akurat dengan memadukan antara pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Data yang diperoleh dapat berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapat melalui wawancara mendalam kepada informan dan responden, dan pengamatan berperan serta terbatas. Data sekunder didapat dengan studi dokumen yaitu menguatkan dan melengkapi terhadap data-data yang didapat melalui wawancara dan pengamatan berperan serta terbatas.

Pilihan informan dilakukan dengan cara sengaja (purposive). Pemilihan informan dan responden dapat diketahui melalui teknik bola salju (snow balling). Informan tidak terbatas pada masyarakat yang tinggal di Desa Kertawangunan, tetapi juga berasal dari dinas yang terkait dengan praktek pemanfaatan lahan, seperti Pemerintah Desa Kertawangunan, Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Kuningan dan Dinas Perhubungan. Aparat Pemerintah Desa Kertawangunan memberikan informasi terkait gambaran umum lokasi Desa Kertawangunan dan proses pembebasan lahan sawah irigasi. Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya khususnya bagian Tata Ruangnya memberikan informasi mengenai mekanisme pemanfaatan dan perizinan lokasi. Dinas Perhubungan

(40)

memberikan informasi terkait pemanfaatan lahan yang digunakan untuk pembangunan terminal.

Responden merupakan pihak yang memberi keterangan mengenai diri dan keluarganya dengan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian. Responden yang dipilih oleh peneliti adalah masyarakat Desa Kertawangunan yaitu petani dan pemilik lahan. Responden petani dan pemilik lahan sebanyak 15 orang. Di lapangan sepuluh orang responden pemilik lahan hanya tujuh orang yang dapat memberikan keterangan mengenai informasi yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan dua orang lainnya sudah tidak berada di lingkungan Desa Kertawagunan. Informasi dua orang tersebut dapat digali dari informan. Informasi satu orang lainnya yang telah meninggal didapat dari keluarga yang mengetahui informasi tersebut. Responden lainnya yang dipilih oleh peneliti adalah delapan orang petani yang menggarap lahan sawah irigasi teknis sebelum dijadikan Terminal Tipe A Kertawangunan.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan bersamaan pada saat pengumpulan data di lapangan. Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dituangkan dalam catatan harian. Data sekunder berupa data mengenai monografi desa, peraturan desa tentang sewa menyewa lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuningan, Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuningan, Masterplan Kabupaten Kuningan, PDRB Kabupaten Kuningan, dikumpulkan oleh peneliti dari berbagai pihak yang berhubungan langsung dengan data tersebut.

Data-data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan mereduksi data. Pereduksian data primer yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan peringkasan data yang sudah dijabarkan dalam catatan harian. Data yang diringkas merupakan informasi yang penting yang akan dianalisis lebih dalam terkait dengan konversi lahan yang terjadi di Desa Kertawangunan yang dipengaruhi oleh perbedaan kepentingan antar aktor, dampak konversi lahan sawah terhadap perubahan hubungan aktor dan implikasi konversi terhadap pengembangan wilayah. Adapun informasi yang belum jelas selama pereduksian data terkait dengan permasalahan penelitian, informasi tersebut kemudian dipertanyakan

(41)

kembali kepada informan ataupun responden yang bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang jenuh dan valid.

Data sekunder yang diperoleh di lapangan direduksi yaitu dengan penyederhanaan data yang didapat dalam penelitian. Penyederhanaan data dilakukan untuk menajamkan, menggolongkan, dan mengarahkan data yang sesuai diperlukan untuk melengkapi dan mendukung data primer yang sudah diperoleh. Setelah pereduksian data, penyusunan hasil penelitian dilengkapi dengan menyempurnakan dan merevisi kerangka berfikir yang sesuai dengan keadaan di lapangan. Tujuannya adalah agar dapat membantu peneliti menarik suatu kesimpulan yang akan mengarahkan pada pengambilan kesimpulan berikutnya. Hasil penyusunan kesimpulan akhir kemudian diverifikasi antara teori dengan realita di lapangan untuk memperkuat keabsahan data.

(42)

BAB IV

KONTEKS LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Kuningan

4.1.1 Kondisi Geografis

Kabupaten Kuningan terletak di ujung Timur Laut Provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah, dengan luas mencapai 1.178,57 km2 (117.857,55 hektar). Bentang alam Kabupaten Kuningan sebagian besar merupakan perbukitan dan pegunungan dengan puncak tertinggi Gunung Ciremai (± 3.078 meter), sedangkan sebagian kecil lainnya merupakan dataran. Letak geografis Kabupaten Kuningan cukup strategis, yaitu berada pada lintasan jalan regional yang menghubungkan Kota Cirebon dengan Wilayah Priangan Timur, dan sebagai jalan alternatif jalur tengah yang menghubungkan Bandung-Majalengka dengan Jawa Tengah.

Posisi geografis Kabupaten Kuningan yang terbagi menjadi dua kelompok ketinggian yaitu dataran tinggi di bagian barat dan utara, dataran rendah dibagian timur dan selatan membuat Kabupaten Kuningan memiliki potensi pertanian tanaman dataran tinggi maupun dataran rendah. Hal ini dapat terjadi karena cukupnya curah hujan dan persediaan air tanah dalam jumlah besar sehingga memungkinkan dioptimalisasikannya produksi pertanian di Kabupaten Kuningan. Lahan sawah yang mengandalkan pengairannya dari tadah hujan pada Tahun 2008 hanya sekitar 8.012 hektar (ha) dari total 29.078 hektar (ha), artinya lebih dari dua per tiga lahan sawah sudah memiliki sistem pengairan yang cukup baik dan memungkinkan dioptimalkannya hasil pertanian bahan makanan pokok. Kabupaten Kuningan dikenal sebagai salah satu daerah yang surplus bahan makanan pokok. Secara administratif, Kabupaten Kuningan berbatasan dengan: sebelah Utara : Kabupaten Cirebon,

sebelah Selatan : Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat,

sebelah Timur : Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah, sebelah Barat : Kabupaten Majalengka.

Gambar

Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran  Keterangan:
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Tabel 5. Luas Lahan Pribadi yang Terkonversi Menurut Nama Pemilik dan Pekerjaan di  Desa Kertawangunan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pemaparan di atas sangat jelas guru harus mampu merubah suasana pembelajaran di kelas, terutama dalam meningkatkan ketrampilan membaca pemahaman dalam

[r]

Setiap kali peserta didik mengumpulkan tugas, guru diharapkan untuk selalu memberikan feedback secara tertulis. Melalui tulisan tersebut, peserta didik dapat memahami sejauh

Pada saat di a saat di IIGD pasi GD pasien masih belu en masih belum sadarkan di m sadarkan diri dan did ri dan didapatkan tekanan darah apatkan tekanan darah yan yang g tinggi

Dalam kaitannya dengan budidaya termasuk budidaya tambak udang GESAMP (2001), bahwa dalam banyak hal budidaya perairan merupakan suatu contoh klasik mengapa pengelolaan

Interaksi antara SSTS dan partikel tanah pair terjadi melalui gugus polar yang dimiliki rantai polyester dengan SiO pada tanah pasir, dengan interaksi ini

Setelah memahami proses PKG dan media DIGAPE dipasang di ruang kepala sekolah sebagai media pengingat PKG setiap tahun yang wajib dilaksanakan oleh kepala sekolah dan

Pengertian Binocular Disparity adalah perbedaan dalam posisi dari sebuah objek yang ditangkap dalam dua retina, dimana objek yang berjarak lebih dekat akan terlihat lebih